Semua yang telah terjadi, seakan menjadi buih lautan yang terombang-ambing sampai akhirnya hilang tak berjejak.Cinta, kasih sayang, penyatuan dua manusia yang berakhir saling berpisah, kemudiaan berjarak dan saling benci karena sebuah kesalah pahaman, akhirnya bisa kembali bicara empat mata dengan waktu yang cukup panjang. Meluruskan segala hal yang salah.Ara tersedu hingga menghabiskan satu pack tisu kecil di tangannya. Setengah hatinya tak percaya karena dia telah ditipu oleh mantan mertua dan adik iparnya, sehingga dia harus menjalani kepahitan selama bertahun-tahun lamanya, setengah hati lainnya masih saja marah karena mengingat tentang perselingkuhannya dengan Ria dulu.Bagian itu, Fery tak dapat membela diri. Sebab namanya memang sudah rusak berkat wanita setan itu. Namun, dia masih berharap Ara akan memaafkan.Dia juga menyesal mengapa semudah itu percaya dengan kata ibunya yang mengatakan Ara sudah menikah dengan Rangga, sehingga dia pun menjadi setengah gila waktu itu. “Ra
"Dinginnya ...."Ara berjalan keluar rumah sambil kedua tangannya memeluk diri merasakan angin dingin yang menusuk hingga tulang. Pagi-pagi sekali ia sudah pergi keluar rumah untuk membeli bahan makanan agar ia bisa membuat sarapan.Wanita itu akan pergi ke warung serba ada yang letaknya tak jauh dari rumah. Jarak ke warung sudah dekat, bahkan terlihat warga lain juga sedang memilah-memilih sayuran di sana. Namun, tiba-tiba langkah Ara terhenti ketika ia melihat Nina si ratu gosip.“Idih! Malas aku belanja ke sana kalau ada dia, bukannya belanja ujungnya malah denger dia gosipin orang, nyinyir, ih!” gumamnya sebal. Ara berbalik untuk pulang lagi.Langkahnya lagi-lagi terhenti ketika indera pendengaran mendengar nama Fery—suami nya disebut. Entah salah dengar atau bagaimana, Ara menjadi penasaran dan ia nekad mengendap, lalu bersembunyi di balik tembok sebelah warung agar bisa mendengarkan gosipan Nina.“Suamiku, kenapa di sebut-sebut sama si Nina?” gumamnya sembari menempelkan teling
Semua mata kini tertuju pada Fery yang baru saja datang. Wajah tampan segar yang masih memakai pakaian olahraga itu terlihat mempesona dengan headphone masih melingkar di leher, poin tambahan yang membuat dia semakin mempesona. Membuat para wanita memandangnya kagum.Tak ayal banyak perempuan memuji ketampanannya itu dengan terang-terangan. Bahkan kalangan anak SMA saja masih suka menggodanya.Ara memicingkan mata ke arah Fery tajam, ada rasa kesal dalam hatinya, masih tak terima dengan tudingan Nina tentang gosip bersama tetangga baru itu.“Ara, kamu kenapa, sih? Gak biasanya gini?” Fery mendekat ke arah istrinya yang semrawutan. Tak lupa rambut Ara disibak lembut, membuat Nina yang melihatnya merasa mual.“Yaelah! Sok baik dan perhatian segala, padahal di belakang main serong,” ujar Nina ketus.“Eh, itu mulut!” Kemarahan Ara tersulut kembali. Namun sigap para warga kompak memegangi keduanya agar tak terjadi lagi perkelahian. Fery yang mendengar pun tak mengerti. Ingin bertanya, tap
Sepulang kerja, Fery memutuskan membeli makanan favorit Ara di restoran kesukaan istrinya sebagai tanda permintaan maaf karena sempat membuat hatinya sedikit terluka.“Mudah-mudahan dia belum tidur,” gumamnya seraya tersenyum, membayangkan wajah Ara. Ia memang sangat mencintai istrinya dengan sepenuh hati. Meskipun pernikahan sudah berjalan 2 tahun lamanya, tetapi perasaan cinta masih sangat menggebu bagai pengantin baru.“Fery?” sapa seseorang memanggilnya. Ia pun menoleh dan mendapati Ria tengah duduk di antara para tamu yang singgah untuk makan malam di sana. Fery pun menghampiri setelah Ria melambaikan tangannya seolah memberi kode untuk ikut duduk.“Disini juga? Ngapain?”“Ini, lagi beli makanan buat di bawa kerumah, inget Ara.” sengaja Fery katakan untuk menekankan bahwa sekarang dirinya sudah menikah.“Emh, jadi inget waktu dulu, kamu juga perhatian ke aku.”Ya, sesungguhnya Fery dan Ria pernah menjadi sepasang kekasih. Terjadi empat tahun yang lalu dan hanya bertahan satu set
Tringg! Suara gelas dipukul sendok. Ara tengah mempersiapkan makan malam untuk menyambut kepulangan Fery sehabis kerja. Rasa gembira terpancar dari raut wajahnya.“Ini hari anniversary pernikahanku dan mas Fery yang ke-2, semoga aja dia suka,” ucapnya seraya mengecek kembali semua persiapan supaya tak ada yang kurang mengingat bahwa ini adalah acara makan malam spesial.Akhir pekan biasanya Fery sudah pulang lebih awal, mungkin sekitar pukul delapan malam suaminya akan segera tiba. Makanan tersaji dengan rapih di meja, terlihat nuansa romantis yang tercipta dari lilin yang berjejer.“Tiga puluh menit lagi Mas Fery pulang, sebaiknya aku mandi dulu biar wangi,” gumamnya sembari berlari ke kamar.Setelah selesai mandi, sengaja ara hanya memakai nightdress tanpa lengan setinggi lutut. Karena pakaian seksi itu, tercetak bulat bagian dadanya membusung. Farfum pun disemprot ke sekujur tubuh.Dengan santai, Ara menyetel televisi menunggu kedatangan Fery disana.***Hari ini Fery memang pula
Taksi yang dikendarai Fery dan Ria telah sampai di depan halaman rumah Ria. Setelah membayar si sopir, keduanya turun.“Sampe sini saja, ya,” ucap Fery celingukan takut ada yang melihat, nanti malah jadi bahan gosip lagi seperti sebelumnya.Namun, Ria malah menggelayut di lengan Fery. Dengan adanya kejadian tadi, Ria memiliki kesempatan untuk mendekati Fery kembali, wanita itu tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini, Ria pun kini bersiasat lain.“Fery, sebentar saja, kumohon ....” Ria memohon.“Jangan begini! Nanti di lihat orang gimana?” Fery berusaha melepaskan tangan Ria.“Aku takut sendirian.”Fery terdiam.“Maaf gak bisa, istriku sudah menunggu di rumah,” ucap Fery menekankan.“Aku gak bisa sendirian sekarang, Fery.” Ria malah memeluk Fery tanpa rasa malu.Fery melihat sekeliling lagi, lau dirinya berusaha melepaskan pelukan Ria, tetapi sulit.“Ya sudah! Cuma 5 menit, sekarang lepas!” dengkus Fery kesal. Terpaksa ia menuruti permintaan Ria agar bisa lepas dari pelukan Ria.Benar
Ara terbangun di pagi hari, hidungnya mencium aroma enak menyeruak menggugah selera, ia melirik ke samping tidak mendapati Fery.“Pasti dia lagi masak,” gumamnya seraya mengulum senyum.Setelah mengenakan cardigan yang diambil dari lemari, Ara pun turun ke lantai bawah menuju area dapur.“Emhh, imutnya suamiku pake celemek kayak gini.” Ara memeluk Fery yang tengah sibuk mempersiapkan makanan.“Udah bangun? Cuci muka belum, nih?” Fery sejenak menghentikan aktivitasnya. Ia memandang ke samping tepat pada wajah Ara yang menggantung di bahu kekarnya.“Belum, mau liat kamu dulu.” Ara makin erat memeluk Fery. Entah mengapa, pagi itu Ara terasa ingin terus bermanja-manja pada Fery.“Eiihh jorok, cuci muka dulu, gih! Nanti kita sarapan bareng. Ayo cepetan. Ini udah selesai kok.”“Hmm, iya sebentar.” Ara masih enggan melepas pelukan.Hangat terasa pada tubuhnya membuat Ara nyaman dan masih ingin memeluk Fery, bahkan sesekali Ara menghirup aroma khas suaminya itu.“Emh, ayo. Tadi malam, kan sud
Ara menekuk lutut di sofa ruang tamu. Ia tak berani membuka pintu karena takut dengan kiriman menyeramkan itu.Tak lama terdengar deru mobil di halaman. Itu pasti Fery! Ara pun berdiri, melangkah cepat menuju jendela. Saat mengintip di celah gorden, ternyata iya itu adalah mobil suaminya.“Mas Fery, akhirnya kamu pulang juga,” gumamnya pelan. Bibir Ara semringah, hatinya merasa lega.Setidaknya ketakutan itu berkurang sekarang.“Sayang.” Fery turun dari mobil dengan Vina terburu-buru.Mata mereka langsung tertuju pada kotak di teras, juga kelopak bunga yang berserakan di lantai tak jauh dari kain kumal, persis seperti apa yang Ara laporkan.“Mas!” Ara membuka pintu dan menunjuk ke lantai.Vina menganga di tempat usai melihatnya dengan mata kepala sendiri.“Ini cuma orang jahil aja, Ra. Lihat, deh. Yang kata kamu darah, bukan kok. Cuma pewarna aja,” jelas Fery sambil meraih kain itu.Bibirnya tersenyum simpul. Sedangkan Ara memiringkan bibir, merasa jijik melihat suaminya main pegang-p
Semua yang telah terjadi, seakan menjadi buih lautan yang terombang-ambing sampai akhirnya hilang tak berjejak.Cinta, kasih sayang, penyatuan dua manusia yang berakhir saling berpisah, kemudiaan berjarak dan saling benci karena sebuah kesalah pahaman, akhirnya bisa kembali bicara empat mata dengan waktu yang cukup panjang. Meluruskan segala hal yang salah.Ara tersedu hingga menghabiskan satu pack tisu kecil di tangannya. Setengah hatinya tak percaya karena dia telah ditipu oleh mantan mertua dan adik iparnya, sehingga dia harus menjalani kepahitan selama bertahun-tahun lamanya, setengah hati lainnya masih saja marah karena mengingat tentang perselingkuhannya dengan Ria dulu.Bagian itu, Fery tak dapat membela diri. Sebab namanya memang sudah rusak berkat wanita setan itu. Namun, dia masih berharap Ara akan memaafkan.Dia juga menyesal mengapa semudah itu percaya dengan kata ibunya yang mengatakan Ara sudah menikah dengan Rangga, sehingga dia pun menjadi setengah gila waktu itu. “Ra
“P-Pak Fery?”Mirna begitu terkejut sampai dia hampir saja menjatuhkan ponselnya dari tangan. Beruntung hal buruk itu tak sampai terjadi.“Tantee! Malah ninggalin, sih!” Dinda memburunya, memeluknya, tapi dengan gaya kesal. Sesekali memukul perut Mirna pelan.Ceritanya marah.Namun, Mirna masih mematung sempurna tanpa melepas pandangannya dari Fery. Pun dengan lelaki itu sendiri.“Pak Fery? Ini bener-bener Bapak, kan?” Sambil memangku Dinda agar tak tertinggal lagi karena kecerobohannya, ia mendekat pada Fery yang juga melangkah ke arahnya.Namun, Fery menatapnya dengan berjuta rasa yang menggebu-gebu. Sesekali menatap Dinda dengan berbagai praduga yang tercipta begitu saja dalam rongga otaknya.“Katakan padaku, Mir. Dinda anak siapa?”Dan, yah ... begini jadinya jika seorang Fery sudah curiga berat. Setelah mendengar Dinda berkata jika dia bukan anak kandung Rangga, dia akan langsung mencari jawabannya tak peduli meski tak langsung pada Ara.Seketika mata Mirna terbelalak besar. Dia
Yang Maha Kuasa telah mentakdirkan agar mereka kembali berjumpa. Lantas, sampai kapan, kah, kesalahpahaman antar keduanya terus mengungkung mereka? Kapan sekiranya dua hati yang lukanya tak kering-kering itu sembuh?Entah, tak ada yang tahu. Namun, satu yang pasti, meski tertanam kecewa dan benci atas apa yang terjadi di masa lalu, tetapi rasa rindu juga tak luput menggedor-gedor pintu hati mereka.Ingin keluar, ingin lepas. Sayangnya sesuatu yang bernama gengsi, egois, juga amarah mencegahnya. Rasa yang disebut rindu itu dirantai kuat-kuat, lalu dikubur ke dalam hati terdalamnya.Hasil pertemuan itu tak menjadi apa-apa kecuali menjadi luka yang membuat hati masing-masing berdarah.***Fery terlampau kecewa, ternyata wanita yang sepalu membakar semangatnya untuk kembali pada kondisi semula itu ternyata sudah menikahi laki-laki lain. Bahkan mereka sudah memiliki keturunan.“Sepertinya aku memang terlahir tak normal, tidak sehat, mandul,” gumam Fery frustrasi. Isi kepalanya kini dipenuh
Benarkah yang dilihatnya adalah Fery? Ara terdiam menatap lelaki yang perlahan mendekatinya. Tertegun bahkan hampir tak mengedipkan mata.“Ra, itu kamu?”Tak salah lagi. Lelaki itu memanglah Fery. Sang mantan suami yang kini tampak lebih kurus. Sehingga Ara sedikit syok melihatnya.Sekian tahun berpisah, dan tak pernah saling berhubungan, lalu tiba-tiba bertemu tanpa sengaja begini membuat keduanya merasa sedang bermimpi.Perlahan mata ara berkaca kala Fery telah sampai di hadapanya dengan jarak amat dekat.Lelaki itu sesungguhnya enggan mendekat, tetapi kakinya terus melangkah sejak melihat wajah Ara di tempa ia berdiri tadi. Tanpa bisa diperintah diam, ia terus mendekat.Mungkin rasa rindu yang menggunduk dalam dadanya menjadi sebuah dorongan kuat baginya untuk mendekati Ara.“M-Mas Fery kah?” tanya Ara terbata. Dengan suara paling pelan, tetapi untung lelaki itu masih paham.Bibir Fery tersenyum, kepalanya mengangguk kikuk.‘Sial. Kenapa aku bersikap begini ketika harus berhadapan
Waktu terus bergulir tanpa terasa. Fery mulai bosan tinggal di kamar terus. Semakin lama mendekam di dalam, semakin terbayang wajah sang mantan.“Sepertinya aku harus cari angin. Kalau tidak, bisa mati karena gila memikirkan Ara,” monolog Fery seraya bangkit dari posisi tidurannya.Fery berkaca sebelum benar-benar pergi. Di situ ia menghela napas berat, merasa sedih melihat diri yang masih terlihat kurus. Ya, meski tidak separah sebelumnya, tetapi ia sedih saja.Berjalan keluar, dia disambut oleh tatapan serius dari Vina yang kini sedang selonjoran di atas sofa sambil menonton siaran televisi. Namun Fery cuek saja dan terus melangkah.“Mau ke mana? Ini udah mau magrib, loh Mas.” Gadis muda itu tak segan menegur kala melihat kakaknya berjalan menuju pintu utama.“Sambil nunggu mama balik dan masak, mau keliling-keliling dulu di sekitar kota ini. Sumpek di kamar terus,” jawabnya sambil menarik gagang pintu. Kemudian Fery hilang dari pandangan Vina sebelum dia menyahuti perkataannya.“Hi
Tak akan pernah ada yang tahu tentang takdir akan berjalan bagaimana. Beratkah? Muluskah? Semua hanya Tuhan yang tahu.Mungkin sebagian dari orang menganggapnya sebagai kalimat belaka tanpa arti, tetapi nyatanya takdir memang ada di dunia ini.Takdir yang tak bisa dihindari.Seperti pertemuan kembali Ara dan Fery. Dua manusia yang pernah disatukan dalam ikatan pernikahan, tetapi terpaksa kandas hanya karena sebuah kesalahpahaman dan juga adanya hal lain yang memberatkan sebelah pihak.Sehingga Fery memutuskan untuk menceraikannya lewat surat.Dn dia menyesalinya sepanjang hidup setelah berhasil melewati masa-masa terberatnya dalm hidup.Lantas, akankah semua kesalahpahaman itu akan berakhir?Tak ada yang tahu. Kembali lagi lepada takdir yang sudah menggaris di tangan. Garis yang hanya bisa digambar oleh Sang Pencipta.***Ara masih termenung di meja kerja. Masih mengingat rupa seseotang yang mirip dengan mantan suaminya, Fery.‘Dia mirip sekali. Apakah itu dia? Sungguh?’ Entah untuk k
Saat itu bulan Agustus, waktu di mana Fery dinyatakan pulih hampir seratus persen. Dia sudah bisa kembali menggerakkan seluruh tubuhnya dan mampu bicara, meski sesekali ia merasakan kondisi mati rasa dan juga belum lancar bicara, tetapi itu tak mematahkan semangatnya untuk tetap berusaha kembali pada kondisi normalnya.Hari demi hari dilalui dengan suka cita dan penuh air mata. Fery mencoba melewati masa itu, mencoba membunuh rasa sakit yang terasa tiada ujung. Hingga akhirnya Fery bisa benar-benar kembali pada kondisi normalnya.Dia banyak mengucap syukur dan terima kasihnya yang tak terhingga kepada orang tua serta adiknya yang tetap setia menjaga dan merawat tanpa lelah. Meski sejatinya ia tahu bahwa ada rasa jengah tergaris di wajah mereka di satu waktu.Untuk sementara Fery serta keluarga tinggal di Inggris sebab tak punya pilihan lain setelah habiskan aset dan harta benda demi kesembuhannya.Kondisi ekonomi mereka begitu buruk saat itu, hingga harus merasakan tidur di jalanan us
Ara termenung di jam istirahat. Membuka lembar demi lembar buku album foto Dinda dari ketika dia masih bayi merah hingga kini sudah menjadi gadis mungil yang cantik.Sekarang Dinda tengah tertidur di sofa, di kantor Ara. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dibawa bekerja, sebab di rumah tak ada yang menjaga. Sehingga anak itu tumbuh menjadi gadis baik yang penuh pengertian dan mandiri.Bahkan Dinda selalu menjadi penyemangatnya di saat pekerjaan membuat pening dan memusingkan.“Sebanyak apa pun aku menepis, kamu tetap mirip ayah kamu, Din.” Sofia bergumam sedih.Seminggu lagi dia akan pulang ke rumah untuk merundingkan pernikahannya dengan Rangga, tetapi sejak memutuskan itu, pikirannya kembali dikecoh oleh bayang-bayang Fery sang mantan suami.Entah mengapa, Ara pun tak mengerti.Meski benci mengental mendarah daging, rasa itu tak bisa dibohongi. Nyatanya rindu masih ada untuknya. Rindu yang ada bersamaan dengan benci di hati.“Gimana sekarang dia, ya? Sudah punya anak belum, ya dengan is
Tak peduli bau nasi padang menguar dari mulut, Rangga melamar Ara dengan percaya dirinya. Di sana. Di dalam mobil yang masih diam di tempat.Mata Ara sudah berkaca-kaca. Ingin menangis. Namun, mati-matian menahan sekuatnya. Dia bagai baru saja tersengat oleh aliran listrik. Tak bisa berkata, atau bergerak.“Ra? Kok, malah bengong, sih?” tanya Rangga berhasil mengusir kekagetan Ara.Saat itu juga, ia tersenyum.“Mas serius udah siap nikahin aku?”Kontan Rangga mengangguk.“Serius, dong. Aku sudah memikirkannya dengan matang. Kurasa ini sudah waktunya. Jadi gimana, kamu mau apa engga?” ulangnya bertanya. Rangga tak sabar ingin mendengar jawaban Ara, yakin jika wanita itu akan menerima lamarannya.“Ya mau lah Mas. Aku sudah menunggu begitu lama,” ucap Ara seraya menjatuhkan air mata. Tak tahan lagi. Terharu.Rangga tercenung diam.‘Menunggu lama?’“Kamu menunggu, Ra?” Pertanyaannya bersambut satu anggukkan. Bagi Ara itu adalah kesialan karena bisa-bisanya keceplosan. Kini pipinya semerah