Taksi yang dikendarai Fery dan Ria telah sampai di depan halaman rumah Ria. Setelah membayar si sopir, keduanya turun.
“Sampe sini saja, ya,” ucap Fery celingukan takut ada yang melihat, nanti malah jadi bahan gosip lagi seperti sebelumnya.Namun, Ria malah menggelayut di lengan Fery. Dengan adanya kejadian tadi, Ria memiliki kesempatan untuk mendekati Fery kembali, wanita itu tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini, Ria pun kini bersiasat lain.“Fery, sebentar saja, kumohon ....” Ria memohon.“Jangan begini! Nanti di lihat orang gimana?” Fery berusaha melepaskan tangan Ria.“Aku takut sendirian.”Fery terdiam.“Maaf gak bisa, istriku sudah menunggu di rumah,” ucap Fery menekankan.“Aku gak bisa sendirian sekarang, Fery.” Ria malah memeluk Fery tanpa rasa malu.Fery melihat sekeliling lagi, lau dirinya berusaha melepaskan pelukan Ria, tetapi sulit.“Ya sudah! Cuma 5 menit, sekarang lepas!” dengkus Fery kesal. Terpaksa ia menuruti permintaan Ria agar bisa lepas dari pelukan Ria.Benar saja, Ria akhirnya segera melepas pelukannya.“10 menit?”Mata Fery memicing pada Ria kesal.“Iya, iya. Lima menit cukup, ayo masuk sebelum ada tetangga yang lihat,” Ria menggandeng tangan Fery masuk ke dalam.“Aku bisa jalan sendiri,” ketus Fery melepaskan gandengan Ria.Dari kejauhan, tampak seseorang memperhatikan Fery dan Ria. Matanya memandang tak percaya. Segera setelah Fery dan Ria sudah tidak terlihat lagi, orang tersebut pergi meninggalkan tempat.“Fery, makasih udah nolongin aku. Kalau enggak ada kamu, mungkin ....” Ria tidak bisa melanjutkan kata-katanya dan mulai memperlihatkan ekspresi sedih.Fery memutar mata, ada rasa muak di hatinya.“Aku harus ke toilet,” ucap Fery kemudian berlalu meninggalkan Ria.Ria kesal di buatnya, baru saja dirinya akan ber-akting dihadapan Fery, lelaki itu malah pergi. Sementara Fery di toilet berusaha mencari ponsel di setiap saku, tidak ia temukan juga.“Lha? di mana HP-ku?” Ia baru menyadari bahwa kini ponselnya tidak ada.“Tas kerjaku?! Buket bunga?! Perhiasan juga?!” Fery meremas rambut frustasi, Ia berusaha mengingat kejadian sebelumnya.Sebelumnya Fery melihat sosok Ria bersama seorang Lelaki di dekat Bar, Ia tak peduli dan meminta sang sopir taksi untuk mempercepat laju kendaraan, entah kenapa mata nya malah kembali menoleh pada Ria waktu itu? Dahinya mengerut melihat Ria seolah diseret paksa.“Stoop!” Spontan Fery menyuruh sopir taksi berhenti.Ketika taksi benar-benar sudah berhenti, Fery langsung membuka pintu mobil dan pergi begitu saja. Tas kerja, bunga, hadiah untuk Ara serta ponselnya pun tertinggal.Begitulah ingatan terakhir Fery.***“Ya ampun! Bodohnya! Lupa lagi, tadi enggak balik lagi ke taksi!” Fery kesal sendiri dengan kecerobohan yang dibuatnya.Ia melihat jam ditangan sudah menunjukkan hampir pukul sembilan. Dengan langkah terburu-buru, Fery keluar dari toilet dan langsung pamit pada Ria.“Sudah baikan, kan, sekarang? Aku pergi,” ucap Fery.Namun, Ria enggan ditinggal, ia pun menarik tangan Fery berusaha menghentikan.“Fery, tolong jangan pergi dulu.”“Kamu kelihatan sudah baikan sekarang, aku harus pulang. Mungkin Ara sudah nunggu.” Fery melepaskan tangan Ria dan langsung pergi meninggalkan sendiri. Kini, Ria tidak bisa lagi menahan Fery pergi.Setelah keluar, Fery pergi dari area itu. Ia mencari-cari tempat telepon umum agar bisa menghubungi si sopir taksi lewat ponsel yang tertinggal. Setelah menemukannya, Fery langsung memasukkan beberapa uang koin yang ada pada dompet kemudian segera menekan angka nomor miliknya.“Halo.” Suara lelaki paruh baya terdengar ketika sambungan telepon diterima.“Halo, pak! Ini saya, yang tadi naik taksi Bapak. Sekarang posisi, ada dimana? Barang-barang saya masih ada, 'kan?” Pertanyaan Fery membeludak mengkhawatirkan barang yang tertinggal.“Iya, Pak. Masih ada, tenang saja. Bapak kemana? Kok ditungguin gak datang-datang,” tanya si sopir yang kini masih setia menunggu Fery.Fery menghela napas lega, yang ia takutkan ternyata tak terjadi. Tak bisa dipungkiri kalau pikiran jahat yang mengira barangnya dibawa kabur si sopir hinggap di kepala.“Itu, dimana, sekarang?”“Masih di tempat tadi Bapak berhenti.”“Bisa tolong antarkan sama saya sekarang?” tanya Fery kemudian.“Iya, siap, Pak. Posisi Bapak, dimana?”Fery pun menyebutkan tempat ia berada, sekarang. Sekitar 40 menit menunggu, akhirnya si sopir datang. Dengan cepat, ia mengecek barang-barangnya.“Duh, maaf, ya, Pak. Saya tadi turun tiba-tiba, tadi ada urusan mendadak,” jelas Fery setelah mengambil barang-barangnya termasuk benda pipih yang disodorkan oleh si sopir.“Iya, enggak apa-apa, Pak,” si sopir tersenyum ramah.“Ini ongkosnya, Pak.” Fery memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu.“Ini, kebanyakan, Pak,” terang sang sopir setelah menghitung lembaran tersebut.“Udah, ambil saja Pak, anggap saja itu tanda terima kasih karena sudah menjaga barang-barang saya,” balas Fery.“Ya Allah. Terima kasih, Pak.” Senyum merekah terlihat dari Bapak sopir taksi, tampak lelaki paruh baya tersebut juga bersyukur mendapatkan rezeki yang lebih. Ia pun pamit pergi.Karena sudah dekat, Fery memutuskan berjalan kaki menuju rumahnya. Ketika rumah yang didiami Ria terlewat, langkahnya dipercepat, takut Ria melihat. Tinggal beberapa rumah lagi Fery sampai, terlihat dari jauh lampu rumah masih menyala.“Kayaknya Ara belum tidur. Duh, bilang apa ya nanti?” gumamnya merasa gusar selama perjalanan.Pintu terkunci, untunglah Fery memegang kunci serep yang selalu dibawa. Sengaja Fery tidak menekan bel rumah berniat diam-diam ingin mengagetkan Ara. Ia melangkah pelan hingga tak menimbulkan suara. Televisi terdengar masih menyala, dari samping terlihat Ara sedang selonjoran di sofa, tetapi saat Fery menghampiri, ternyata Ara tertidur.‘Ya ampun ... ketiduran kayaknya dia,’ batinnya.Fery menyimpan bunga dan perhiasan di lantai samping sofa, ia berjalan ke arah meja makan. Tampak makanan yang tertata sudah dingin.“Ara sampe bikin acara makan malam segala. Tapi aku malah mengacau,” gumamnya kembali, kini rasa sesal memenuhi ruang hatinya.Fery kembali menghampiri Ara yang tertidur, ia mengelus pucuk kepala istrinya itu dengan lembut disertai kecupan di kening.Ara terbangun merasakan kecupan Fery. “Mas?!” Ara mengucek mata. “Kok, baru pulang? Aku nungguin loh,” sambungnya keheranan.Jam di dinding sudah menunjukkan waktu hampir pukul sepuluh malam.“Maaf, Sayang. Tadi Mas mendadak disuruh lembur dan lupa ngasih kabar,” jelas Fery berbohong, tidak mungkin baginya mengatakan yang sesungguhnya.“Oh, gitu. Mas tahu, kan, hari ini hari apa?” Ara bertanya antusias.“Hari ... Sabtu.”Jawaban Fery berhasil membuat bibir Ara mengerucut.“Kok, malah manyun?““Mas serius nggak ingat?““ngat, apa, ya?” ujar Fery masih pura-pura tidak tahu.“Ishhh!” Ara kesal bukan main, ia sedari tadi menunggu, tetapi ternyata Fery bersikap seperti itu.“Jangan manyun, begitu. Jelek, tahu,” ujar Fery seraya mencolek hidung Ara gemas.“Habisnya ... Mas bisa-bisanya, sih, lupa. Ini kan hari ....” Belum sempat Ara selesai bicara, Fery mengecup bibirnya hingga terdengar suara mengecipak yang hanya terdengar oleh Mereka berdua.“Selamat hari ulang tahun pernikahan, Sayangku. Semoga mas selalu bisa menjadi seseorang yang membuat hari-hari kamu gembira,” ungkap Fery memotong perkataan Ara sembari memberikan buket bunga mawar kesukaannya.“Mas, aku pikir, kamu lupa.” Ara terharu menerima bunga berwarna merah tersebut.“Nggak, lah. Mas tadi cuma pura-pura aja, biar bisa liat kmu cemberut.”“Ihh! Dasar iseng! Sini, sini, Aku peluk dulu. Makasih, ya, Mas ....” Ara menelentangkan kedua tangannya, Fery pun memeluk Ara gemas.“Ada lagi, nih, buat kamu,” Fery melepaskan pelukannya.“Apa, Mas?”“Ini, hadiah buat kamu! Anggap saja sebagai tanda terima kasih Mas buat kamu, karena selama dua tahun pernikahan kita, kamu selalu sabar menghadapi Mas yang kadang membuat kamu kesal,” ucapnya sembari menyodorkan kotak berlapis kain beludru biru yang kemudian dibuka di hadapan Ara.Ara mengangga tidak percaya, ia senang bukan main dengan hadiah yang diberikan suaminya tersebut.“Mas, ini beneran buat Aku?”“Iya, lah. Sini, biar mas pasangkan.” Fery meraih benda berkilau tersebut dengan hati-hati kemudian memasangkan di leher Ara.Ukurannya pas dengan leher Ara yang semampai, terlihat sangat cocok. Ara kembali memeluk suaminya dan tak henti ia mengucapkan terima kasih. Fery yang melihat Ara begitu bahagia merasa lega.“Mas ....” Ara menunduk melepaskan pelukannya.“Ya?““Hari ini, tamu bulananku sudah selesai, kalau mas mau ....” Ara menghentikan ucapannya karena malu.Fery menelan ludah ketika mendengar penuturan Ara, nalurinya sebagai Lelaki tergugah. Ia menarik Ara lalu membopong perlahan ke arah kamar. Tak lupa pintu ditutup rapat-rapat. Rasa kesal yang sebelumnya dirasakan Ara kini berganti dengan rasa bahagia yang membuncah. Tak tahu harus menggambarkannya bagaimana. Jelasnya, Ara kini sangat bahagia.Ara terbangun di pagi hari, hidungnya mencium aroma enak menyeruak menggugah selera, ia melirik ke samping tidak mendapati Fery.“Pasti dia lagi masak,” gumamnya seraya mengulum senyum.Setelah mengenakan cardigan yang diambil dari lemari, Ara pun turun ke lantai bawah menuju area dapur.“Emhh, imutnya suamiku pake celemek kayak gini.” Ara memeluk Fery yang tengah sibuk mempersiapkan makanan.“Udah bangun? Cuci muka belum, nih?” Fery sejenak menghentikan aktivitasnya. Ia memandang ke samping tepat pada wajah Ara yang menggantung di bahu kekarnya.“Belum, mau liat kamu dulu.” Ara makin erat memeluk Fery. Entah mengapa, pagi itu Ara terasa ingin terus bermanja-manja pada Fery.“Eiihh jorok, cuci muka dulu, gih! Nanti kita sarapan bareng. Ayo cepetan. Ini udah selesai kok.”“Hmm, iya sebentar.” Ara masih enggan melepas pelukan.Hangat terasa pada tubuhnya membuat Ara nyaman dan masih ingin memeluk Fery, bahkan sesekali Ara menghirup aroma khas suaminya itu.“Emh, ayo. Tadi malam, kan sud
Ara menekuk lutut di sofa ruang tamu. Ia tak berani membuka pintu karena takut dengan kiriman menyeramkan itu.Tak lama terdengar deru mobil di halaman. Itu pasti Fery! Ara pun berdiri, melangkah cepat menuju jendela. Saat mengintip di celah gorden, ternyata iya itu adalah mobil suaminya.“Mas Fery, akhirnya kamu pulang juga,” gumamnya pelan. Bibir Ara semringah, hatinya merasa lega.Setidaknya ketakutan itu berkurang sekarang.“Sayang.” Fery turun dari mobil dengan Vina terburu-buru.Mata mereka langsung tertuju pada kotak di teras, juga kelopak bunga yang berserakan di lantai tak jauh dari kain kumal, persis seperti apa yang Ara laporkan.“Mas!” Ara membuka pintu dan menunjuk ke lantai.Vina menganga di tempat usai melihatnya dengan mata kepala sendiri.“Ini cuma orang jahil aja, Ra. Lihat, deh. Yang kata kamu darah, bukan kok. Cuma pewarna aja,” jelas Fery sambil meraih kain itu.Bibirnya tersenyum simpul. Sedangkan Ara memiringkan bibir, merasa jijik melihat suaminya main pegang-p
Ara setengah kaget dengan kedatangan Fery ke kamar secara tiba-tiba tanpa suara. Ia terlonjak.“Maaf, Sayang. Kamu kaget, ya?” Fery melompat naik ke atas ranjang sembari tertawa.“Kamu dari mana, sih, Mas? Lama banget.” Bibir Ara mengerucut lucu. Membuat Fery gemas bukan main.“Habis buang yang tadi. Jauh,” jawabnya singkat. Fery mendekat pada Ara.Cup!Fery pun malah mencium bibir ranum Ara tanpa izin dari pemiliknya. Membuat pipi wanita itu memanas merah muda.“Dih, Mas. Main cium dadakan aja.” Ara merasa geli, tapi ia suka dengan perlakuan hangat Fery.Fery menyunggingkan senyum lebar, ia menarik Ara ke tengah ranjang.“Mas, ngapain ih, geli,” cegah Ara menarik diri.“Kamu kira ngapain lagi, ya mau bikin anak, lah. Siapa tahu kali ini berhasil,” bisik Fery mengedip mata nakal.“Ini baru jam berapa, Mas. Kalau ada orang bertamu gimana?” Ara meringsut mundur, tetapi ia masih belum bisa menghentikan kenakalan suaminya.“Siapa emangnya yang bakal datang ke sini jam segini, hm?”Fery ta
Ara masih melamun di atas bed besar yang ada di kamarnya. Matanya sesekali melirik foto yang sebelumnya sudah ia remas-remas. Keraguan tumbuh di hatinya pada Fery yang begitu ia cintai.Inginnya menghubungi Fery dan menanyakan perihal foto itu, tetapi ia akhirnya berusaha menenangkan diri dan akan menanyakan langsung nanti sepulang kerja.“Apa iya kamu mengkhianati aku, mas?” tanyanya yang entah untuk keberapa kalinya itu. Ara menatap bingkai foto pernikahannya kosong. Seketika gambar pada bingkai seolah berubah menjadi foto Fery bersama Ria.Prank ...!Ara membanting foto tersebut hingga pecah menjadi beberapa bagian. Tampak berserakan di dekat nakas samping bed. Sesaat di mata Ara, foto itu kembali menjadi wajah dirinya dan fery, Ara mengapit kepala dengan kedua tangannya. Ia terlihat frustrasi.Tring ...!Ponsel yang ada di atas ranjang pun berdering singkat, tanda notifikasi pesan masuk. Ara melirik kaget seakan baru disadarkan dari pikirannya yang kalut. Ia pun segera meraih bend
Fery memijat pelipis dengan jari, merasakan pusing sebab banyaknya pekerjaan yang belum juga selesai. Tiba-tiba saja sekretarisnya mengabarkan informasi tentang adanya masalah dalam proyek baru Fery dan mengharuskannyamengurus semua saat itu juga.“Padahal kepengen cepet pulang. Ampun, deh!”Sesaat teringat Ara, ia pun mengambil ponsel berniat menghubunginya sekadar melepas kangen. Lelaki itu benar-benar kasmaran pada istrinya. Seolah masih pengantin baru saja.‘Panggilan di alihkan ....’Fery heran, tidak biasanya Ara mengalihkan panggilan.“Pak, ada wanita yang ingin bertemu,” ucap sekretaris Fery setelah mengetuk pintu ruangan dan masuk.“striku?” tanya Fery seraya bangkit dari kursi. Bibirnya sudah semringah saja.“Bukan, Pak. Tapi ....” Ucapannya terpotong kala seseorang menerobos masuk tanpa permisi.Senyum Fery langsung pudar begitu saja.“Hai, Fery ... duh, sekretarismu ini rese! Mau masuk nggak boleh, biasanya juga aku sering kesini, kan?” cerocosnya.Ria yang datang ternyata
‘Beginikah rasanya dikhianati?’ batin Ara. Air matanya terus jatuh dan sulit sekali untuk dihentikan.Setelah memergoki suaminya tengah bermesraan dengan Ria yang ia sebut sebagai perusak rumah tangga orang, hatinya bagai dihujam ribuan jarum tajam. Sangat menyakitkan.Wanita itu kini sibuk memasukkan pakaian dan barang-barang pribadinya ke dalam koper tanpa mempedulikan gedoran pintu disertai panggilan Fery dari luar kamar.“Ara! Buka dulu, kita bisa bicarakan baik-baik,” bujuk Fery penuh sesal.“Ra ...!”“Maaf, mas khilaf. Ara, tolong maafkan sekali saja,” pinta Fery. Gedoran di pintu pun mulai melemah.“Sayang, mas sangat menyesal. Tolong, bicaralah. Tidak apa kalau kamu tidak mau melihat mas, tapi setidaknya bicaralah, sayang.”Fery masih membujuk istrinya dengan putus asa. Ia tahu, meski semua terasa sia-sia, setidaknya dengan terus mencoba bicara dari hati akan sedikit didengar Ara walau wanita itu tak menyahuti barang sedikit saja.“Mas tidak pernah berniat mengkhianati kamu, S
Fery benar-benar mengikuti taksi yang ditumpangi Ara hingga sampai. Setelah Ara turun dan berjalan masuk ke gang menuju rumahnya sambil membawa koper, Fery langsung ikut turun dan berjalan perlahan di belakang Ara.Sunyi, hanya suara langkah kaki sendiri saja yang terdengar. Ara berada di depannya dengan jarak sekitar sepuluh meter. Fery terus memandang punggung Ara lurus.‘Ara ...,’ batin Fery begitu sedih.Terlihat Ara berhenti sejenak. Wanita itu menyentuh tumit kaki yang mungkin sedikit pegal.‘Dia memang ceroboh, ke kampung pakai high heels. Udah tahu jalannya jelek.’Ternyata bukan hanya pegal, tapi tumitnya sedikit lecet. Ara berjongkok memeriksa kaki sebelahnya lagi. Sama, keduanya sedikit lecet dan membuat perih di kaki.“Apakah sakit di hatiku belum cukup? Aku sudah merasa sakit yang tidak tertahankan. Sekarang, fisikku juga ikut terluka? Nasib macam apa ini?” gumamnya merutuk sembari menatap rembulan di atas langit.Ara kembali mengeluarkan air mata sembari mengipas-ngipas
Fery masih berada di dalam kendaraan sembari menatap gang sempit yang baru saja dilewati. Lelaki itu menghidupkan mesin mobil berniat pergi.“Kalau aku kembali ke Jakarta, bisa-bisa nanti Ara mikir aku gitu lagi sama Ria,” gumamnya seraya mematikan lagi mesin mobil.Lelaki itu mengambil ponsel di saku, lalu menelepon Mirna yang tak lain adalah sekretarisnya. Tidak peduli meski waktu sudah tengah malam.“Mir, saya enggak ngantor, ya beberapa hari. Kerjaan kirim saja lewat e-mail. Untuk rapat dan pertemuan dengan klien, tolong tangani dulu.”“Iya, Pak. Semoga sukses, ya, merayu Bu Ara, hehe ... Semoga cepat baikan,” balas Mirna.“Ck. Apa, sih! Ngejek, kamu? Awas nanti saya potong gaji bulanan kamu, lho!” Fery mendengkus kesal.“Iya maaf, Pak. Saya enggak ngejek, kok. Serius, Bu Ara itu perfect wife menurut saya, tetap pertahankan!” serunya membalas.“Saya akan urus masalah rumah tangga saya sendiri. Sebaiknya kamu kerja yang benar. Ingat, jangan sampai ada gosip tentang yang tadi,” jela
Semua yang telah terjadi, seakan menjadi buih lautan yang terombang-ambing sampai akhirnya hilang tak berjejak.Cinta, kasih sayang, penyatuan dua manusia yang berakhir saling berpisah, kemudiaan berjarak dan saling benci karena sebuah kesalah pahaman, akhirnya bisa kembali bicara empat mata dengan waktu yang cukup panjang. Meluruskan segala hal yang salah.Ara tersedu hingga menghabiskan satu pack tisu kecil di tangannya. Setengah hatinya tak percaya karena dia telah ditipu oleh mantan mertua dan adik iparnya, sehingga dia harus menjalani kepahitan selama bertahun-tahun lamanya, setengah hati lainnya masih saja marah karena mengingat tentang perselingkuhannya dengan Ria dulu.Bagian itu, Fery tak dapat membela diri. Sebab namanya memang sudah rusak berkat wanita setan itu. Namun, dia masih berharap Ara akan memaafkan.Dia juga menyesal mengapa semudah itu percaya dengan kata ibunya yang mengatakan Ara sudah menikah dengan Rangga, sehingga dia pun menjadi setengah gila waktu itu. “Ra
“P-Pak Fery?”Mirna begitu terkejut sampai dia hampir saja menjatuhkan ponselnya dari tangan. Beruntung hal buruk itu tak sampai terjadi.“Tantee! Malah ninggalin, sih!” Dinda memburunya, memeluknya, tapi dengan gaya kesal. Sesekali memukul perut Mirna pelan.Ceritanya marah.Namun, Mirna masih mematung sempurna tanpa melepas pandangannya dari Fery. Pun dengan lelaki itu sendiri.“Pak Fery? Ini bener-bener Bapak, kan?” Sambil memangku Dinda agar tak tertinggal lagi karena kecerobohannya, ia mendekat pada Fery yang juga melangkah ke arahnya.Namun, Fery menatapnya dengan berjuta rasa yang menggebu-gebu. Sesekali menatap Dinda dengan berbagai praduga yang tercipta begitu saja dalam rongga otaknya.“Katakan padaku, Mir. Dinda anak siapa?”Dan, yah ... begini jadinya jika seorang Fery sudah curiga berat. Setelah mendengar Dinda berkata jika dia bukan anak kandung Rangga, dia akan langsung mencari jawabannya tak peduli meski tak langsung pada Ara.Seketika mata Mirna terbelalak besar. Dia
Yang Maha Kuasa telah mentakdirkan agar mereka kembali berjumpa. Lantas, sampai kapan, kah, kesalahpahaman antar keduanya terus mengungkung mereka? Kapan sekiranya dua hati yang lukanya tak kering-kering itu sembuh?Entah, tak ada yang tahu. Namun, satu yang pasti, meski tertanam kecewa dan benci atas apa yang terjadi di masa lalu, tetapi rasa rindu juga tak luput menggedor-gedor pintu hati mereka.Ingin keluar, ingin lepas. Sayangnya sesuatu yang bernama gengsi, egois, juga amarah mencegahnya. Rasa yang disebut rindu itu dirantai kuat-kuat, lalu dikubur ke dalam hati terdalamnya.Hasil pertemuan itu tak menjadi apa-apa kecuali menjadi luka yang membuat hati masing-masing berdarah.***Fery terlampau kecewa, ternyata wanita yang sepalu membakar semangatnya untuk kembali pada kondisi semula itu ternyata sudah menikahi laki-laki lain. Bahkan mereka sudah memiliki keturunan.“Sepertinya aku memang terlahir tak normal, tidak sehat, mandul,” gumam Fery frustrasi. Isi kepalanya kini dipenuh
Benarkah yang dilihatnya adalah Fery? Ara terdiam menatap lelaki yang perlahan mendekatinya. Tertegun bahkan hampir tak mengedipkan mata.“Ra, itu kamu?”Tak salah lagi. Lelaki itu memanglah Fery. Sang mantan suami yang kini tampak lebih kurus. Sehingga Ara sedikit syok melihatnya.Sekian tahun berpisah, dan tak pernah saling berhubungan, lalu tiba-tiba bertemu tanpa sengaja begini membuat keduanya merasa sedang bermimpi.Perlahan mata ara berkaca kala Fery telah sampai di hadapanya dengan jarak amat dekat.Lelaki itu sesungguhnya enggan mendekat, tetapi kakinya terus melangkah sejak melihat wajah Ara di tempa ia berdiri tadi. Tanpa bisa diperintah diam, ia terus mendekat.Mungkin rasa rindu yang menggunduk dalam dadanya menjadi sebuah dorongan kuat baginya untuk mendekati Ara.“M-Mas Fery kah?” tanya Ara terbata. Dengan suara paling pelan, tetapi untung lelaki itu masih paham.Bibir Fery tersenyum, kepalanya mengangguk kikuk.‘Sial. Kenapa aku bersikap begini ketika harus berhadapan
Waktu terus bergulir tanpa terasa. Fery mulai bosan tinggal di kamar terus. Semakin lama mendekam di dalam, semakin terbayang wajah sang mantan.“Sepertinya aku harus cari angin. Kalau tidak, bisa mati karena gila memikirkan Ara,” monolog Fery seraya bangkit dari posisi tidurannya.Fery berkaca sebelum benar-benar pergi. Di situ ia menghela napas berat, merasa sedih melihat diri yang masih terlihat kurus. Ya, meski tidak separah sebelumnya, tetapi ia sedih saja.Berjalan keluar, dia disambut oleh tatapan serius dari Vina yang kini sedang selonjoran di atas sofa sambil menonton siaran televisi. Namun Fery cuek saja dan terus melangkah.“Mau ke mana? Ini udah mau magrib, loh Mas.” Gadis muda itu tak segan menegur kala melihat kakaknya berjalan menuju pintu utama.“Sambil nunggu mama balik dan masak, mau keliling-keliling dulu di sekitar kota ini. Sumpek di kamar terus,” jawabnya sambil menarik gagang pintu. Kemudian Fery hilang dari pandangan Vina sebelum dia menyahuti perkataannya.“Hi
Tak akan pernah ada yang tahu tentang takdir akan berjalan bagaimana. Beratkah? Muluskah? Semua hanya Tuhan yang tahu.Mungkin sebagian dari orang menganggapnya sebagai kalimat belaka tanpa arti, tetapi nyatanya takdir memang ada di dunia ini.Takdir yang tak bisa dihindari.Seperti pertemuan kembali Ara dan Fery. Dua manusia yang pernah disatukan dalam ikatan pernikahan, tetapi terpaksa kandas hanya karena sebuah kesalahpahaman dan juga adanya hal lain yang memberatkan sebelah pihak.Sehingga Fery memutuskan untuk menceraikannya lewat surat.Dn dia menyesalinya sepanjang hidup setelah berhasil melewati masa-masa terberatnya dalm hidup.Lantas, akankah semua kesalahpahaman itu akan berakhir?Tak ada yang tahu. Kembali lagi lepada takdir yang sudah menggaris di tangan. Garis yang hanya bisa digambar oleh Sang Pencipta.***Ara masih termenung di meja kerja. Masih mengingat rupa seseotang yang mirip dengan mantan suaminya, Fery.‘Dia mirip sekali. Apakah itu dia? Sungguh?’ Entah untuk k
Saat itu bulan Agustus, waktu di mana Fery dinyatakan pulih hampir seratus persen. Dia sudah bisa kembali menggerakkan seluruh tubuhnya dan mampu bicara, meski sesekali ia merasakan kondisi mati rasa dan juga belum lancar bicara, tetapi itu tak mematahkan semangatnya untuk tetap berusaha kembali pada kondisi normalnya.Hari demi hari dilalui dengan suka cita dan penuh air mata. Fery mencoba melewati masa itu, mencoba membunuh rasa sakit yang terasa tiada ujung. Hingga akhirnya Fery bisa benar-benar kembali pada kondisi normalnya.Dia banyak mengucap syukur dan terima kasihnya yang tak terhingga kepada orang tua serta adiknya yang tetap setia menjaga dan merawat tanpa lelah. Meski sejatinya ia tahu bahwa ada rasa jengah tergaris di wajah mereka di satu waktu.Untuk sementara Fery serta keluarga tinggal di Inggris sebab tak punya pilihan lain setelah habiskan aset dan harta benda demi kesembuhannya.Kondisi ekonomi mereka begitu buruk saat itu, hingga harus merasakan tidur di jalanan us
Ara termenung di jam istirahat. Membuka lembar demi lembar buku album foto Dinda dari ketika dia masih bayi merah hingga kini sudah menjadi gadis mungil yang cantik.Sekarang Dinda tengah tertidur di sofa, di kantor Ara. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dibawa bekerja, sebab di rumah tak ada yang menjaga. Sehingga anak itu tumbuh menjadi gadis baik yang penuh pengertian dan mandiri.Bahkan Dinda selalu menjadi penyemangatnya di saat pekerjaan membuat pening dan memusingkan.“Sebanyak apa pun aku menepis, kamu tetap mirip ayah kamu, Din.” Sofia bergumam sedih.Seminggu lagi dia akan pulang ke rumah untuk merundingkan pernikahannya dengan Rangga, tetapi sejak memutuskan itu, pikirannya kembali dikecoh oleh bayang-bayang Fery sang mantan suami.Entah mengapa, Ara pun tak mengerti.Meski benci mengental mendarah daging, rasa itu tak bisa dibohongi. Nyatanya rindu masih ada untuknya. Rindu yang ada bersamaan dengan benci di hati.“Gimana sekarang dia, ya? Sudah punya anak belum, ya dengan is
Tak peduli bau nasi padang menguar dari mulut, Rangga melamar Ara dengan percaya dirinya. Di sana. Di dalam mobil yang masih diam di tempat.Mata Ara sudah berkaca-kaca. Ingin menangis. Namun, mati-matian menahan sekuatnya. Dia bagai baru saja tersengat oleh aliran listrik. Tak bisa berkata, atau bergerak.“Ra? Kok, malah bengong, sih?” tanya Rangga berhasil mengusir kekagetan Ara.Saat itu juga, ia tersenyum.“Mas serius udah siap nikahin aku?”Kontan Rangga mengangguk.“Serius, dong. Aku sudah memikirkannya dengan matang. Kurasa ini sudah waktunya. Jadi gimana, kamu mau apa engga?” ulangnya bertanya. Rangga tak sabar ingin mendengar jawaban Ara, yakin jika wanita itu akan menerima lamarannya.“Ya mau lah Mas. Aku sudah menunggu begitu lama,” ucap Ara seraya menjatuhkan air mata. Tak tahan lagi. Terharu.Rangga tercenung diam.‘Menunggu lama?’“Kamu menunggu, Ra?” Pertanyaannya bersambut satu anggukkan. Bagi Ara itu adalah kesialan karena bisa-bisanya keceplosan. Kini pipinya semerah