Fery benar-benar mengikuti taksi yang ditumpangi Ara hingga sampai. Setelah Ara turun dan berjalan masuk ke gang menuju rumahnya sambil membawa koper, Fery langsung ikut turun dan berjalan perlahan di belakang Ara.Sunyi, hanya suara langkah kaki sendiri saja yang terdengar. Ara berada di depannya dengan jarak sekitar sepuluh meter. Fery terus memandang punggung Ara lurus.‘Ara ...,’ batin Fery begitu sedih.Terlihat Ara berhenti sejenak. Wanita itu menyentuh tumit kaki yang mungkin sedikit pegal.‘Dia memang ceroboh, ke kampung pakai high heels. Udah tahu jalannya jelek.’Ternyata bukan hanya pegal, tapi tumitnya sedikit lecet. Ara berjongkok memeriksa kaki sebelahnya lagi. Sama, keduanya sedikit lecet dan membuat perih di kaki.“Apakah sakit di hatiku belum cukup? Aku sudah merasa sakit yang tidak tertahankan. Sekarang, fisikku juga ikut terluka? Nasib macam apa ini?” gumamnya merutuk sembari menatap rembulan di atas langit.Ara kembali mengeluarkan air mata sembari mengipas-ngipas
Fery masih berada di dalam kendaraan sembari menatap gang sempit yang baru saja dilewati. Lelaki itu menghidupkan mesin mobil berniat pergi.“Kalau aku kembali ke Jakarta, bisa-bisa nanti Ara mikir aku gitu lagi sama Ria,” gumamnya seraya mematikan lagi mesin mobil.Lelaki itu mengambil ponsel di saku, lalu menelepon Mirna yang tak lain adalah sekretarisnya. Tidak peduli meski waktu sudah tengah malam.“Mir, saya enggak ngantor, ya beberapa hari. Kerjaan kirim saja lewat e-mail. Untuk rapat dan pertemuan dengan klien, tolong tangani dulu.”“Iya, Pak. Semoga sukses, ya, merayu Bu Ara, hehe ... Semoga cepat baikan,” balas Mirna.“Ck. Apa, sih! Ngejek, kamu? Awas nanti saya potong gaji bulanan kamu, lho!” Fery mendengkus kesal.“Iya maaf, Pak. Saya enggak ngejek, kok. Serius, Bu Ara itu perfect wife menurut saya, tetap pertahankan!” serunya membalas.“Saya akan urus masalah rumah tangga saya sendiri. Sebaiknya kamu kerja yang benar. Ingat, jangan sampai ada gosip tentang yang tadi,” jela
Pagi telah tiba. Tidak! Ternyata sudah siang. Fery baru bangun pukul sembilan, Ara sudah tidak ada di kamar. Selimut bekas pakai Ara sudah rapi terlipat di ujung bed.‘Tega sekali, dia. Sampai enggak membangunkan!’ batin Fery.Lelaki itu mencari-cari pakaian yang semalam dilepasnya, tetapi tidak ada dilantai. Namun, dirinya menyadari bahwa di nakas sudah ada satu setel pakaian bersih. Fery menilik-nilik kemeja garis hijau hitam itu seksama.“Ini ...,” gumamnya mengeryitkan dahi.Setelan jeans dan kemeja itu adalah miliknya, pakaian yang dulu awal menikah yang tidak terbawa pulang ke Jakarta.“Pasti Ara yang sediain,” ucapnya sembari mengulum senyum.Setelah berpakaian, ia langsung ke kamar mandi mencuci muka.“Fer? Baru bangun? Ayo makan dulu,” sapa ibu mertuanya ketika Fery keluar kamar mandi.“I-ya, Bu. Ngomong-ngomong, Ara kemana, Bu?”“Dia lagi ke rumah Erin. Dua hari lagi dia mau menikah. Jadi, Ara kesana bantu-bantu. Ibu juga sebentar lagi mau ke sana.”“Ohh,” sahut Fery hanya m
Suasana canggung melanda hati Fery. Setelah sebelumnya kesalahpahaman tentang Ara dan Rangga sudah terluruskan. Fery terpaksa meminta maaf sebab telah memukulnya beberapa kali hingga memar timbul di wajah tampannya.Ara masih dirawat di puskesmas. Beruntung cepat dibawa, alhasil dirinya tidak sempat mengalami gejala yang disebut Rangga sebelumnya dan sudah boleh pulang saat malam. Sementara Rangga, lelaki itu pulang setelah mengetahui bahwa Ara baik-baik saja.Fery membisu di ambang pintu ruang rawat, sesekali ia melirik Ara yang terlihat kesal.“Ara, sudah. Jangan marah terus, kasian suamimu,’ ucap ibunya pelan.“Ck. Gimana enggak marah, Bu! Mas Fery keterlaluan!”Fery mengeryitkan dahi.“Mas sudah minta maaf kan, sama dia? Udah, dong. Jangan marah lagi, oke?”Ara tidak menjawab, ia malah memalingkan wajah. Ibunya menoleh pada Fery, menatap dengan sedikit senyum. Seolah mengisyaratkan untuk memaklumi anaknya.Di sela kebekuan antara Fery dan Ara, tiba-tiba seseorang datang memanggil
Fery bangun jam tiga pagi karena terganggu dengan sesuatu. Ketika tangannya mengucek mata, ia mendapati bapak mertuanya bernama Pak Wisnu sedang merapikan karung-karung di rumah.“Bapak.”“Eh, Fer. Kamu keganggu, ya.”Pak Wisnu melirik Fery sekilas, tetapi tangannya tak berhenti membereskan karung-karung tipis itu dan mengikatnya dengan tali rafia.“E-enggak, Pak.” Entah mengapa, ketika melihat penampakan sang mertua yang mirip preman itu Fery menciut sekali. Teringat soal permasalahan rumah tangganya, ia sedikit ngilu membayangkan bahwa mungkin Pak Wusnu akan sangat galak padanya.“Kamu ngapain tidur di tengah rumah? Di kamar sana,” suruh Pak Wisnu. Saat itu aktivitas beres-beras karung sudah selesai.“Di kamar gerah, Pak.”Itu hanya alasan. Terpaksa Fery berbohong tentang ia yang tak diizinkan masuk ke kamar oleh Ara.“Oh, gitu.” Pak Wusnu berdiri, menenteng gulungan karung. “Bapak pergi dulu, ya. Kamu bisa tidur lagi yang nyenyak,” sambungnya seraya pergi menuju pintu.Fery dengan
“Ria, kamu apa-apaan?! Lepas, nanti orang-orang pada salah paham!” Fery berusaha melepaskan rangkulan Ria.Perempuan gatal itu mengerucutkan bibir agak kecewa. Ternyata Fery sulit untuk ditaklukkan kembali hatinya.Ara di kejauhan ternyata melihatnya. Seketika ia memiringkan bibir. Jijik dengan pemandangan tersebut.“Ra, Ara, kamu dengar saya?”Ara terkesiap, menoleh pada Rangga yang ada di sampingnya. Tak lama dirinya mengangguk.“I-iya, dengar. Mas, kita langsung pergi sekarang aja gimana? Takutnya kesiangan nanti keburu lupa,” ajak Ara sembari menarik lengan Rangga.Sebenarnya ia ingin menyingkir saja dari tempat itu, malas melihat kemesraan Ria dan Fery.Rangga sedikit aneh akan sikap Ara, tetapi pada akhirnya ia setuju saja.Rencananya hari ini Ara akan pergi ke desa sebelah dengan diantar Rangga. Ia ingin memberikan undangan yang sempat ketinggalan. Ada beberapa.Mereka pun pergi bersama. Dan ketika Fery berhasil melepaskan diri dari Ria, saat melihat ternyata istrinya sudah hil
Pak Wisnu yang baru pulang pun kesal sebab mendengar ada keributan di dalam kamar Ara. Bagaimana tidak? Ia baru saja datang dan sudah disuguhi teriakan, bahkan makian. Membuat Pak Wisnu yang sedang kelelahan pun geram. Bukannya disambut dengan suguhan kopi, malah disambut dengan perkataan kotor.Lelaki yang sudah mulai menua itu berjalan dengan perasaan kesal ke arah kamar Ara. Awalnya Pak Wisnu hanya menyangka Ara sedang bertengkar dengan Fery. Namun, ia sangat kaget ketika melihat pertikaian kedua perempuan di sana, yaitu Ara dan wanita yang tidak diketahuinya. Sementara Fery terlihat sedang berusaha melerai mereka.“Ada apa, ini?!” sentaknya sembari berkacak pinggang.Ketiganya berhenti dan menatap lurus ke arah Pak Wisnu yang terlihat marah.***Meraka bertiga kini berhadapan dengan Pak Wisnu di ruang tengah. Awalnya hanya terdiam. Namun, Pak Wisnu yang bertempramen tinggi itu bertanya penuh penekanan agar diberi penjelasan. “Ara, jawab!”Ara menunduk kala bapaknya berteriak bert
Ara terhenyak di sela lamunannya. Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Bahkan hampir memasuki jam tiga pagi. Entah mengapa hatinya bergetar memanggil nama Fery. Rasa khawatir menghinggapi pikiran tanpa sebab.“Kenapa malah mikirin dia, sih? Dia sekarang pasti lagi sama si Ria!” gumamnya.Ara pun memutuskan untuk tidur kembali.***Esoknya, pukul 07:17 WIB.Rasa khawatir yang Ara rasakan semalam muncul kembali dan ia tidak bisa memungkirinya. Akhirnya, Ara meraih ponsel di atas ranjang, lalu memikirkan apa harus menghubungi suaminya atau jangan. Ketika masih memikirkannya, ponsel Ara berbunyi, ternyata mertuanya yang menghubungi.“Hallo, Ma? Ada apa?”“Ra, Mama mau tanya. Fery balik lagi nggak ke rumah kamu? Semalem, waktu Mama hubungi tiba-tiba panggilan diputus dan gak bisa dihubungi lagi,” paparnya bertanya.Bu Asti sengaja sedikit berbohong dan tidak ingin mengatakan bahwa semalam ia sempat ribut lewat telepon dengan Ria.“Enggak, Ma. Mas Fery semalam pulang dan enggak balik
Semua yang telah terjadi, seakan menjadi buih lautan yang terombang-ambing sampai akhirnya hilang tak berjejak.Cinta, kasih sayang, penyatuan dua manusia yang berakhir saling berpisah, kemudiaan berjarak dan saling benci karena sebuah kesalah pahaman, akhirnya bisa kembali bicara empat mata dengan waktu yang cukup panjang. Meluruskan segala hal yang salah.Ara tersedu hingga menghabiskan satu pack tisu kecil di tangannya. Setengah hatinya tak percaya karena dia telah ditipu oleh mantan mertua dan adik iparnya, sehingga dia harus menjalani kepahitan selama bertahun-tahun lamanya, setengah hati lainnya masih saja marah karena mengingat tentang perselingkuhannya dengan Ria dulu.Bagian itu, Fery tak dapat membela diri. Sebab namanya memang sudah rusak berkat wanita setan itu. Namun, dia masih berharap Ara akan memaafkan.Dia juga menyesal mengapa semudah itu percaya dengan kata ibunya yang mengatakan Ara sudah menikah dengan Rangga, sehingga dia pun menjadi setengah gila waktu itu. “Ra
“P-Pak Fery?”Mirna begitu terkejut sampai dia hampir saja menjatuhkan ponselnya dari tangan. Beruntung hal buruk itu tak sampai terjadi.“Tantee! Malah ninggalin, sih!” Dinda memburunya, memeluknya, tapi dengan gaya kesal. Sesekali memukul perut Mirna pelan.Ceritanya marah.Namun, Mirna masih mematung sempurna tanpa melepas pandangannya dari Fery. Pun dengan lelaki itu sendiri.“Pak Fery? Ini bener-bener Bapak, kan?” Sambil memangku Dinda agar tak tertinggal lagi karena kecerobohannya, ia mendekat pada Fery yang juga melangkah ke arahnya.Namun, Fery menatapnya dengan berjuta rasa yang menggebu-gebu. Sesekali menatap Dinda dengan berbagai praduga yang tercipta begitu saja dalam rongga otaknya.“Katakan padaku, Mir. Dinda anak siapa?”Dan, yah ... begini jadinya jika seorang Fery sudah curiga berat. Setelah mendengar Dinda berkata jika dia bukan anak kandung Rangga, dia akan langsung mencari jawabannya tak peduli meski tak langsung pada Ara.Seketika mata Mirna terbelalak besar. Dia
Yang Maha Kuasa telah mentakdirkan agar mereka kembali berjumpa. Lantas, sampai kapan, kah, kesalahpahaman antar keduanya terus mengungkung mereka? Kapan sekiranya dua hati yang lukanya tak kering-kering itu sembuh?Entah, tak ada yang tahu. Namun, satu yang pasti, meski tertanam kecewa dan benci atas apa yang terjadi di masa lalu, tetapi rasa rindu juga tak luput menggedor-gedor pintu hati mereka.Ingin keluar, ingin lepas. Sayangnya sesuatu yang bernama gengsi, egois, juga amarah mencegahnya. Rasa yang disebut rindu itu dirantai kuat-kuat, lalu dikubur ke dalam hati terdalamnya.Hasil pertemuan itu tak menjadi apa-apa kecuali menjadi luka yang membuat hati masing-masing berdarah.***Fery terlampau kecewa, ternyata wanita yang sepalu membakar semangatnya untuk kembali pada kondisi semula itu ternyata sudah menikahi laki-laki lain. Bahkan mereka sudah memiliki keturunan.“Sepertinya aku memang terlahir tak normal, tidak sehat, mandul,” gumam Fery frustrasi. Isi kepalanya kini dipenuh
Benarkah yang dilihatnya adalah Fery? Ara terdiam menatap lelaki yang perlahan mendekatinya. Tertegun bahkan hampir tak mengedipkan mata.“Ra, itu kamu?”Tak salah lagi. Lelaki itu memanglah Fery. Sang mantan suami yang kini tampak lebih kurus. Sehingga Ara sedikit syok melihatnya.Sekian tahun berpisah, dan tak pernah saling berhubungan, lalu tiba-tiba bertemu tanpa sengaja begini membuat keduanya merasa sedang bermimpi.Perlahan mata ara berkaca kala Fery telah sampai di hadapanya dengan jarak amat dekat.Lelaki itu sesungguhnya enggan mendekat, tetapi kakinya terus melangkah sejak melihat wajah Ara di tempa ia berdiri tadi. Tanpa bisa diperintah diam, ia terus mendekat.Mungkin rasa rindu yang menggunduk dalam dadanya menjadi sebuah dorongan kuat baginya untuk mendekati Ara.“M-Mas Fery kah?” tanya Ara terbata. Dengan suara paling pelan, tetapi untung lelaki itu masih paham.Bibir Fery tersenyum, kepalanya mengangguk kikuk.‘Sial. Kenapa aku bersikap begini ketika harus berhadapan
Waktu terus bergulir tanpa terasa. Fery mulai bosan tinggal di kamar terus. Semakin lama mendekam di dalam, semakin terbayang wajah sang mantan.“Sepertinya aku harus cari angin. Kalau tidak, bisa mati karena gila memikirkan Ara,” monolog Fery seraya bangkit dari posisi tidurannya.Fery berkaca sebelum benar-benar pergi. Di situ ia menghela napas berat, merasa sedih melihat diri yang masih terlihat kurus. Ya, meski tidak separah sebelumnya, tetapi ia sedih saja.Berjalan keluar, dia disambut oleh tatapan serius dari Vina yang kini sedang selonjoran di atas sofa sambil menonton siaran televisi. Namun Fery cuek saja dan terus melangkah.“Mau ke mana? Ini udah mau magrib, loh Mas.” Gadis muda itu tak segan menegur kala melihat kakaknya berjalan menuju pintu utama.“Sambil nunggu mama balik dan masak, mau keliling-keliling dulu di sekitar kota ini. Sumpek di kamar terus,” jawabnya sambil menarik gagang pintu. Kemudian Fery hilang dari pandangan Vina sebelum dia menyahuti perkataannya.“Hi
Tak akan pernah ada yang tahu tentang takdir akan berjalan bagaimana. Beratkah? Muluskah? Semua hanya Tuhan yang tahu.Mungkin sebagian dari orang menganggapnya sebagai kalimat belaka tanpa arti, tetapi nyatanya takdir memang ada di dunia ini.Takdir yang tak bisa dihindari.Seperti pertemuan kembali Ara dan Fery. Dua manusia yang pernah disatukan dalam ikatan pernikahan, tetapi terpaksa kandas hanya karena sebuah kesalahpahaman dan juga adanya hal lain yang memberatkan sebelah pihak.Sehingga Fery memutuskan untuk menceraikannya lewat surat.Dn dia menyesalinya sepanjang hidup setelah berhasil melewati masa-masa terberatnya dalm hidup.Lantas, akankah semua kesalahpahaman itu akan berakhir?Tak ada yang tahu. Kembali lagi lepada takdir yang sudah menggaris di tangan. Garis yang hanya bisa digambar oleh Sang Pencipta.***Ara masih termenung di meja kerja. Masih mengingat rupa seseotang yang mirip dengan mantan suaminya, Fery.‘Dia mirip sekali. Apakah itu dia? Sungguh?’ Entah untuk k
Saat itu bulan Agustus, waktu di mana Fery dinyatakan pulih hampir seratus persen. Dia sudah bisa kembali menggerakkan seluruh tubuhnya dan mampu bicara, meski sesekali ia merasakan kondisi mati rasa dan juga belum lancar bicara, tetapi itu tak mematahkan semangatnya untuk tetap berusaha kembali pada kondisi normalnya.Hari demi hari dilalui dengan suka cita dan penuh air mata. Fery mencoba melewati masa itu, mencoba membunuh rasa sakit yang terasa tiada ujung. Hingga akhirnya Fery bisa benar-benar kembali pada kondisi normalnya.Dia banyak mengucap syukur dan terima kasihnya yang tak terhingga kepada orang tua serta adiknya yang tetap setia menjaga dan merawat tanpa lelah. Meski sejatinya ia tahu bahwa ada rasa jengah tergaris di wajah mereka di satu waktu.Untuk sementara Fery serta keluarga tinggal di Inggris sebab tak punya pilihan lain setelah habiskan aset dan harta benda demi kesembuhannya.Kondisi ekonomi mereka begitu buruk saat itu, hingga harus merasakan tidur di jalanan us
Ara termenung di jam istirahat. Membuka lembar demi lembar buku album foto Dinda dari ketika dia masih bayi merah hingga kini sudah menjadi gadis mungil yang cantik.Sekarang Dinda tengah tertidur di sofa, di kantor Ara. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dibawa bekerja, sebab di rumah tak ada yang menjaga. Sehingga anak itu tumbuh menjadi gadis baik yang penuh pengertian dan mandiri.Bahkan Dinda selalu menjadi penyemangatnya di saat pekerjaan membuat pening dan memusingkan.“Sebanyak apa pun aku menepis, kamu tetap mirip ayah kamu, Din.” Sofia bergumam sedih.Seminggu lagi dia akan pulang ke rumah untuk merundingkan pernikahannya dengan Rangga, tetapi sejak memutuskan itu, pikirannya kembali dikecoh oleh bayang-bayang Fery sang mantan suami.Entah mengapa, Ara pun tak mengerti.Meski benci mengental mendarah daging, rasa itu tak bisa dibohongi. Nyatanya rindu masih ada untuknya. Rindu yang ada bersamaan dengan benci di hati.“Gimana sekarang dia, ya? Sudah punya anak belum, ya dengan is
Tak peduli bau nasi padang menguar dari mulut, Rangga melamar Ara dengan percaya dirinya. Di sana. Di dalam mobil yang masih diam di tempat.Mata Ara sudah berkaca-kaca. Ingin menangis. Namun, mati-matian menahan sekuatnya. Dia bagai baru saja tersengat oleh aliran listrik. Tak bisa berkata, atau bergerak.“Ra? Kok, malah bengong, sih?” tanya Rangga berhasil mengusir kekagetan Ara.Saat itu juga, ia tersenyum.“Mas serius udah siap nikahin aku?”Kontan Rangga mengangguk.“Serius, dong. Aku sudah memikirkannya dengan matang. Kurasa ini sudah waktunya. Jadi gimana, kamu mau apa engga?” ulangnya bertanya. Rangga tak sabar ingin mendengar jawaban Ara, yakin jika wanita itu akan menerima lamarannya.“Ya mau lah Mas. Aku sudah menunggu begitu lama,” ucap Ara seraya menjatuhkan air mata. Tak tahan lagi. Terharu.Rangga tercenung diam.‘Menunggu lama?’“Kamu menunggu, Ra?” Pertanyaannya bersambut satu anggukkan. Bagi Ara itu adalah kesialan karena bisa-bisanya keceplosan. Kini pipinya semerah