“Tidak mungkin ....” “Apa Anda mengenalnya?” tanya pihak medis. “Dia ... suami sa-saya,” jawab Ara terbata. Baru saja semalam rasa benci menyelimuti diri, kini berubah menjadi sebaliknya, bahkan ada penyesalan dalam hati, kala melihat sosok Fery yang terbujur kaku di hadapannya. Tetesan demi tetesan air mata mulai mengaburkan penglihatan. Ara sungguh emosional. Ara akhirnya ikut ke dalam mobil jenazah. Selama perjalanan, tangisnya tidak berhenti. Dirinya meraih ponsel dalam saku celana jeans yang dipakai dan langsung menghubungi keluarganya dan juga keluarga Fery sendiri.Namun, di sela tangis yang membuncah itu, tiba-tiba ada pergerakan dalam bodybag. Ara membiarkannya sebab menganggap hanya halusinasi saja. “Uhuk!“ Tiba-tiba suara batuk terdengar, membuat Ara terperangah sesaat sebelum akhirnya ia membuka bodybag yang membungkus tubuh Fery. Wanita itu langsung memeluk sang suami dan segera memberitahukan pada sang supir dan rekannya bahwa Fery masih hidup, bahkan napas dan de
Ara yang hatinya dikuasai kemarahan pun masih terus mencekik Ria dengan sekuat tenaga. Namun, tiba-tiba seseorang masuk dan langsung menarik tangan Ara secara kasar. “Uhuukk! Uhuuk!” Ria terbatuk sambil berusaha menghirup udara sebisanya. Sementara Ara, dia menoleh dan membeku menatap orang yang baru saja menariknya. Orang itu adalah sosok Rangga. Setelah acara akad pernikahan adiknya selesai, Rangga langsung pergi untuk menjenguk Fery seusai berita tentang kecelakaan tersebut sampai di telinganya. “Ara! Kamu apa-apaan?!” sentak Rangga. Ara membatu sambil menatap intens pada mantan kekasihnya itu. “Mas gak perlu tahu, dan seharusnya mas gak usah ikut campur!” ucap Ara dengan nada tinggi, lalu berlalu meninggalkan ruang rawat Ria. Ria masih saja terbatuk, tetapi kini tidak separah tadi. Rangga tidak menghiraukan Ria, ia berlari menyusul Ara yang tampak kesal karenanya. Lelaki itu memperlambat langkahnya kala melihat Ara menyandarkan diri di depan ruang mayat. Baginya, itu adala
Ara tidak sanggup lagi menahan air mata kala mertua dan adik iparnya menangis di hadapan Fery yang terbaring koma. Monitor detak jantung terlihat normal, tetapi membuat wanita itu tidak berhenti cemas. Ingat kata dokter bahwa Fery mungkin saja akan meninggal sewaktu-waktu. Memang belum ada kepastian lelaki itu akan sadar atau tidak. Namun, dalam hati, Ara tidak mampu berbohong. Apakah nanti setelah suaminya sadar, ia bisa merawat suaminya yang kemungkinan besar tidak bisa lagi menjalani kehidupan normal? “Ma, aku keluar dulu. Mau beli air mineral,” sela Ara di tengah isakan mertua dan adik iparnya. Mertuanya menoleh dan mengangguk pelan. Ara langsung saja keluar sebab tidak tahan melihat kesedihan mereka kala itu. Rangga yang masih menemani pun ikut melangkah menyusul Ara yang entah mau pergi kemana. “Ra, tunggu saja di sini. Biar saya belikan,” tawar Rangga. Ara melirik Rangga dengan intens. “Mas, gak usah. Lebih baik kamu pulang dan istirahat. Mertuaku, kan sudah datang,” balas
Ara turun dari ojek di depan gang. Ia berjalan menuju rumahnya dengan mata sembab dan lelah.Malam ini Ara pulang atas saran mertua dan adik iparnya.“Loh, Ra? Kenapa enggak bilang kalau mau pulang? Kan, bisa saya jemput.” Rangga yang melihat Ara melintas saat itu langsung menghampiri, bertanya dengan cemas.Sebenarnya Ara masih agak tak nyaman dengan perhatian Rangga. Bagi Ara itu tak perlu. Ia takut menimbulkan gosip yang berakhir menjadi sebuah kesalahpahaman orang kampung.“Mas Rangga. Oh, iya. Pulang dulu aja, besok pagi mau ke sana lagi. Hari ini mama mertua sama adik ipar yang jaga,” sahut Ara tanpa merespons soal Rangga yang mengatakan bisa menjemput.“Kamu baik-baik saja, kan?”“Aku baik-baik saja, Mas. Mas enggak perlu seperhatian ini,” terang Ara menegaskan.“Saya hanya khawatir, dan ....”“Terima kasih, Mas. Tidak perlu. Maaf kalau menyinggung perasaan Mas. Tapi, aku harap Mas bisa menjaga sedikit sikap. Aku enggak mau perhatian baik Mas menjadi buah bibir tetangga.”Rangg
Pagi-pagi sekali Ara sudah berusaha bangun, membuka mata rapatnya yang sudah dilingkari warna hitam.“Bu, mertuaku titip salam. Juga katanya minta maaf karena enggak bisa menyempatkan datang ke sini karena harus jaga mas Fery di rumah sakit. Vina ... Ibu tahu sendiri dia itu agak pemalu kalau datang sendiri.” Ara berkata pada ibunya yang sedang masak.Ibunya adalah notabene orang yang lempeng-lempeng saja. Meski permasalahan rumah tangga Ara agak serius, wanita setengah tua itu tak ingin mencampurinya sedikitpun, walau sejatinya dalam hati agak marah atas pengkhianatan yang dilakukam Fery menantunya.“Ibu paham. Enggak apa-apa, kan memang sudah seharusnya jagain di sana.”“Makasih, ya, Bu, udah ngertiin Ara. Em ... dan ada lagi yang mau Ara sampaikan. Ini sangat penting, bapak harus tahu, Bu.” Ia sudah berniat ingin mengatakan soal rencana kembalinya mengurus Fery serta perusahaan dan akan segera pergi ke Jakarta.Ibunya menatap lekat. Ia tahu Ara ingin menyampaikan suatu pesan yang s
“Ga, kamu mau kemana malam-malam begini? Bawa tas segala. Jangan-jangan mau kabur, ya?”Rangga terkesiap ketika baru akan mengetuk pintu kamar ibunya. Ia bermaksud untuk meminta izin pergi. Namun, ternyata ibunya telah berada di balik pintu.“Ah, ini, Bu. Rangga mau minta izin pergi ke Jakarta,” jawabnya sambil menggaruk tengkuk.“Jakarta? Ngapain? Kerja? Masa malam-malam gini mau pergi?”Rangga bingung mau bilang apa, tetapi akhirnya lelaki itu mengatakan juga dengan jujur. Dirinya pergi ke Jakarta karena dipinta Pak Wisnu untuk menemani Ara pulang. Itu saja. Namun, Rangga juga mengatakan tidak akan langsung pulang lagi dan akan mencari pekerjaan di sana.Awalnya ibunya ragu, tetapi karena Rangga bersi keras, ia pun akhirnya mengizinkan. Putra dari tiga bersaudara itu pun akhirnya pamit pada ibunya. Tidak lupa dirinya mencium takzim punggung tangan ibunya, lalu mengucap salam.****“Pak! Ngapain, sih nyuruh mas Rangga nemenin Ara ke Jakarta?” sergah Ara.Wanita itu benar-benar marah.
“Aku kesiangan!” teriak Ara sambil melonjak dari sofa.Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Wanita itu benar-benar heboh sendiri. Ia berlari ke kamar mandi hanya untuk menggosok gigi dan mencuci muka saja. Tidak ada waktu untuk mandi.“Gawat! Gawat! Padahal hari ini mau ke kantor!” gumamnya sambil menyisir rambut di depan cermin.Setelah semua selesai, Ara langsung bergegas menuju kendaraan putih milik suaminya di garasi, lalu mengendarainya untuk pergi ke kantor.“Malah kesiangan! Padahal hari pertama aku balik ke kantor! Duh, dasar!” gerutu Ara.Saat masih mengendarai mobil, ponselnya berbunyi. Langsung ia sambar dan menempelkannya di telinga.“Hallo, Ma. Ada apa?” sapa Ara bertanya. Ternyata mertuanya yang menghubungi.Ibu mertuanya hanya memastikan bahwa Ara sudah sarapan dan berpesan agar tidak perlu mampir ke rumah sakit.“Iya, Ma. Ara nggak mampir. Paling nanti malem ke sana, maaf merepotkan,” jawab Ara.Setelah itu, panggilan diakhiri.“Ya ampun, kirain mas Fery
“Ria? Ba-bagaimana Anda ....” Ucapannya menggantung di udara. Dalam sepersekian detik dirinya masih mencoba mencerna kata-kata yang keluar dari mulut Erik.Tiba-tiba, pikirannya kembali mengingatkan akan sebuah amplop putih yang sudah ia terima dari orang misterius.“Ka-kamu si pengirim foto dan surat itu?!” ucap Ara setengah berteriak. Tangannya refleks mengacung kepada laki-laki itu.“Shuuut. Jangan sampai sekretarismu tahu,” bisiknya sambil tersenyum.Ara terbelalak. Spontan mulutnya ditutup rapat refleks menuruti perkataan Erik. Ternyata tebakkannya benar, dan wanita itu sungguh syok bukan main.“Siapa kamu sebenarnya!?” gertak Ara kemudian setelah bisa menyadarkan diri dari keterkejutan yang menyerang.“Kamu tidak perlu tahu siapa saya. Jelasnya, saya mau kita bisa bekerja sama. Bukankah kamu sangat butuh uang investasi ini?” ucapnya sambil menyimpan berkas putih di meja.Ara memandang berkas itu, tetapi nuraninya memaksa ia untu terpejam beberapa detik. Benar, dirinya memang but
Semua yang telah terjadi, seakan menjadi buih lautan yang terombang-ambing sampai akhirnya hilang tak berjejak.Cinta, kasih sayang, penyatuan dua manusia yang berakhir saling berpisah, kemudiaan berjarak dan saling benci karena sebuah kesalah pahaman, akhirnya bisa kembali bicara empat mata dengan waktu yang cukup panjang. Meluruskan segala hal yang salah.Ara tersedu hingga menghabiskan satu pack tisu kecil di tangannya. Setengah hatinya tak percaya karena dia telah ditipu oleh mantan mertua dan adik iparnya, sehingga dia harus menjalani kepahitan selama bertahun-tahun lamanya, setengah hati lainnya masih saja marah karena mengingat tentang perselingkuhannya dengan Ria dulu.Bagian itu, Fery tak dapat membela diri. Sebab namanya memang sudah rusak berkat wanita setan itu. Namun, dia masih berharap Ara akan memaafkan.Dia juga menyesal mengapa semudah itu percaya dengan kata ibunya yang mengatakan Ara sudah menikah dengan Rangga, sehingga dia pun menjadi setengah gila waktu itu. “Ra
“P-Pak Fery?”Mirna begitu terkejut sampai dia hampir saja menjatuhkan ponselnya dari tangan. Beruntung hal buruk itu tak sampai terjadi.“Tantee! Malah ninggalin, sih!” Dinda memburunya, memeluknya, tapi dengan gaya kesal. Sesekali memukul perut Mirna pelan.Ceritanya marah.Namun, Mirna masih mematung sempurna tanpa melepas pandangannya dari Fery. Pun dengan lelaki itu sendiri.“Pak Fery? Ini bener-bener Bapak, kan?” Sambil memangku Dinda agar tak tertinggal lagi karena kecerobohannya, ia mendekat pada Fery yang juga melangkah ke arahnya.Namun, Fery menatapnya dengan berjuta rasa yang menggebu-gebu. Sesekali menatap Dinda dengan berbagai praduga yang tercipta begitu saja dalam rongga otaknya.“Katakan padaku, Mir. Dinda anak siapa?”Dan, yah ... begini jadinya jika seorang Fery sudah curiga berat. Setelah mendengar Dinda berkata jika dia bukan anak kandung Rangga, dia akan langsung mencari jawabannya tak peduli meski tak langsung pada Ara.Seketika mata Mirna terbelalak besar. Dia
Yang Maha Kuasa telah mentakdirkan agar mereka kembali berjumpa. Lantas, sampai kapan, kah, kesalahpahaman antar keduanya terus mengungkung mereka? Kapan sekiranya dua hati yang lukanya tak kering-kering itu sembuh?Entah, tak ada yang tahu. Namun, satu yang pasti, meski tertanam kecewa dan benci atas apa yang terjadi di masa lalu, tetapi rasa rindu juga tak luput menggedor-gedor pintu hati mereka.Ingin keluar, ingin lepas. Sayangnya sesuatu yang bernama gengsi, egois, juga amarah mencegahnya. Rasa yang disebut rindu itu dirantai kuat-kuat, lalu dikubur ke dalam hati terdalamnya.Hasil pertemuan itu tak menjadi apa-apa kecuali menjadi luka yang membuat hati masing-masing berdarah.***Fery terlampau kecewa, ternyata wanita yang sepalu membakar semangatnya untuk kembali pada kondisi semula itu ternyata sudah menikahi laki-laki lain. Bahkan mereka sudah memiliki keturunan.“Sepertinya aku memang terlahir tak normal, tidak sehat, mandul,” gumam Fery frustrasi. Isi kepalanya kini dipenuh
Benarkah yang dilihatnya adalah Fery? Ara terdiam menatap lelaki yang perlahan mendekatinya. Tertegun bahkan hampir tak mengedipkan mata.“Ra, itu kamu?”Tak salah lagi. Lelaki itu memanglah Fery. Sang mantan suami yang kini tampak lebih kurus. Sehingga Ara sedikit syok melihatnya.Sekian tahun berpisah, dan tak pernah saling berhubungan, lalu tiba-tiba bertemu tanpa sengaja begini membuat keduanya merasa sedang bermimpi.Perlahan mata ara berkaca kala Fery telah sampai di hadapanya dengan jarak amat dekat.Lelaki itu sesungguhnya enggan mendekat, tetapi kakinya terus melangkah sejak melihat wajah Ara di tempa ia berdiri tadi. Tanpa bisa diperintah diam, ia terus mendekat.Mungkin rasa rindu yang menggunduk dalam dadanya menjadi sebuah dorongan kuat baginya untuk mendekati Ara.“M-Mas Fery kah?” tanya Ara terbata. Dengan suara paling pelan, tetapi untung lelaki itu masih paham.Bibir Fery tersenyum, kepalanya mengangguk kikuk.‘Sial. Kenapa aku bersikap begini ketika harus berhadapan
Waktu terus bergulir tanpa terasa. Fery mulai bosan tinggal di kamar terus. Semakin lama mendekam di dalam, semakin terbayang wajah sang mantan.“Sepertinya aku harus cari angin. Kalau tidak, bisa mati karena gila memikirkan Ara,” monolog Fery seraya bangkit dari posisi tidurannya.Fery berkaca sebelum benar-benar pergi. Di situ ia menghela napas berat, merasa sedih melihat diri yang masih terlihat kurus. Ya, meski tidak separah sebelumnya, tetapi ia sedih saja.Berjalan keluar, dia disambut oleh tatapan serius dari Vina yang kini sedang selonjoran di atas sofa sambil menonton siaran televisi. Namun Fery cuek saja dan terus melangkah.“Mau ke mana? Ini udah mau magrib, loh Mas.” Gadis muda itu tak segan menegur kala melihat kakaknya berjalan menuju pintu utama.“Sambil nunggu mama balik dan masak, mau keliling-keliling dulu di sekitar kota ini. Sumpek di kamar terus,” jawabnya sambil menarik gagang pintu. Kemudian Fery hilang dari pandangan Vina sebelum dia menyahuti perkataannya.“Hi
Tak akan pernah ada yang tahu tentang takdir akan berjalan bagaimana. Beratkah? Muluskah? Semua hanya Tuhan yang tahu.Mungkin sebagian dari orang menganggapnya sebagai kalimat belaka tanpa arti, tetapi nyatanya takdir memang ada di dunia ini.Takdir yang tak bisa dihindari.Seperti pertemuan kembali Ara dan Fery. Dua manusia yang pernah disatukan dalam ikatan pernikahan, tetapi terpaksa kandas hanya karena sebuah kesalahpahaman dan juga adanya hal lain yang memberatkan sebelah pihak.Sehingga Fery memutuskan untuk menceraikannya lewat surat.Dn dia menyesalinya sepanjang hidup setelah berhasil melewati masa-masa terberatnya dalm hidup.Lantas, akankah semua kesalahpahaman itu akan berakhir?Tak ada yang tahu. Kembali lagi lepada takdir yang sudah menggaris di tangan. Garis yang hanya bisa digambar oleh Sang Pencipta.***Ara masih termenung di meja kerja. Masih mengingat rupa seseotang yang mirip dengan mantan suaminya, Fery.‘Dia mirip sekali. Apakah itu dia? Sungguh?’ Entah untuk k
Saat itu bulan Agustus, waktu di mana Fery dinyatakan pulih hampir seratus persen. Dia sudah bisa kembali menggerakkan seluruh tubuhnya dan mampu bicara, meski sesekali ia merasakan kondisi mati rasa dan juga belum lancar bicara, tetapi itu tak mematahkan semangatnya untuk tetap berusaha kembali pada kondisi normalnya.Hari demi hari dilalui dengan suka cita dan penuh air mata. Fery mencoba melewati masa itu, mencoba membunuh rasa sakit yang terasa tiada ujung. Hingga akhirnya Fery bisa benar-benar kembali pada kondisi normalnya.Dia banyak mengucap syukur dan terima kasihnya yang tak terhingga kepada orang tua serta adiknya yang tetap setia menjaga dan merawat tanpa lelah. Meski sejatinya ia tahu bahwa ada rasa jengah tergaris di wajah mereka di satu waktu.Untuk sementara Fery serta keluarga tinggal di Inggris sebab tak punya pilihan lain setelah habiskan aset dan harta benda demi kesembuhannya.Kondisi ekonomi mereka begitu buruk saat itu, hingga harus merasakan tidur di jalanan us
Ara termenung di jam istirahat. Membuka lembar demi lembar buku album foto Dinda dari ketika dia masih bayi merah hingga kini sudah menjadi gadis mungil yang cantik.Sekarang Dinda tengah tertidur di sofa, di kantor Ara. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dibawa bekerja, sebab di rumah tak ada yang menjaga. Sehingga anak itu tumbuh menjadi gadis baik yang penuh pengertian dan mandiri.Bahkan Dinda selalu menjadi penyemangatnya di saat pekerjaan membuat pening dan memusingkan.“Sebanyak apa pun aku menepis, kamu tetap mirip ayah kamu, Din.” Sofia bergumam sedih.Seminggu lagi dia akan pulang ke rumah untuk merundingkan pernikahannya dengan Rangga, tetapi sejak memutuskan itu, pikirannya kembali dikecoh oleh bayang-bayang Fery sang mantan suami.Entah mengapa, Ara pun tak mengerti.Meski benci mengental mendarah daging, rasa itu tak bisa dibohongi. Nyatanya rindu masih ada untuknya. Rindu yang ada bersamaan dengan benci di hati.“Gimana sekarang dia, ya? Sudah punya anak belum, ya dengan is
Tak peduli bau nasi padang menguar dari mulut, Rangga melamar Ara dengan percaya dirinya. Di sana. Di dalam mobil yang masih diam di tempat.Mata Ara sudah berkaca-kaca. Ingin menangis. Namun, mati-matian menahan sekuatnya. Dia bagai baru saja tersengat oleh aliran listrik. Tak bisa berkata, atau bergerak.“Ra? Kok, malah bengong, sih?” tanya Rangga berhasil mengusir kekagetan Ara.Saat itu juga, ia tersenyum.“Mas serius udah siap nikahin aku?”Kontan Rangga mengangguk.“Serius, dong. Aku sudah memikirkannya dengan matang. Kurasa ini sudah waktunya. Jadi gimana, kamu mau apa engga?” ulangnya bertanya. Rangga tak sabar ingin mendengar jawaban Ara, yakin jika wanita itu akan menerima lamarannya.“Ya mau lah Mas. Aku sudah menunggu begitu lama,” ucap Ara seraya menjatuhkan air mata. Tak tahan lagi. Terharu.Rangga tercenung diam.‘Menunggu lama?’“Kamu menunggu, Ra?” Pertanyaannya bersambut satu anggukkan. Bagi Ara itu adalah kesialan karena bisa-bisanya keceplosan. Kini pipinya semerah