“Ga, kamu mau kemana malam-malam begini? Bawa tas segala. Jangan-jangan mau kabur, ya?”Rangga terkesiap ketika baru akan mengetuk pintu kamar ibunya. Ia bermaksud untuk meminta izin pergi. Namun, ternyata ibunya telah berada di balik pintu.“Ah, ini, Bu. Rangga mau minta izin pergi ke Jakarta,” jawabnya sambil menggaruk tengkuk.“Jakarta? Ngapain? Kerja? Masa malam-malam gini mau pergi?”Rangga bingung mau bilang apa, tetapi akhirnya lelaki itu mengatakan juga dengan jujur. Dirinya pergi ke Jakarta karena dipinta Pak Wisnu untuk menemani Ara pulang. Itu saja. Namun, Rangga juga mengatakan tidak akan langsung pulang lagi dan akan mencari pekerjaan di sana.Awalnya ibunya ragu, tetapi karena Rangga bersi keras, ia pun akhirnya mengizinkan. Putra dari tiga bersaudara itu pun akhirnya pamit pada ibunya. Tidak lupa dirinya mencium takzim punggung tangan ibunya, lalu mengucap salam.****“Pak! Ngapain, sih nyuruh mas Rangga nemenin Ara ke Jakarta?” sergah Ara.Wanita itu benar-benar marah.
“Aku kesiangan!” teriak Ara sambil melonjak dari sofa.Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Wanita itu benar-benar heboh sendiri. Ia berlari ke kamar mandi hanya untuk menggosok gigi dan mencuci muka saja. Tidak ada waktu untuk mandi.“Gawat! Gawat! Padahal hari ini mau ke kantor!” gumamnya sambil menyisir rambut di depan cermin.Setelah semua selesai, Ara langsung bergegas menuju kendaraan putih milik suaminya di garasi, lalu mengendarainya untuk pergi ke kantor.“Malah kesiangan! Padahal hari pertama aku balik ke kantor! Duh, dasar!” gerutu Ara.Saat masih mengendarai mobil, ponselnya berbunyi. Langsung ia sambar dan menempelkannya di telinga.“Hallo, Ma. Ada apa?” sapa Ara bertanya. Ternyata mertuanya yang menghubungi.Ibu mertuanya hanya memastikan bahwa Ara sudah sarapan dan berpesan agar tidak perlu mampir ke rumah sakit.“Iya, Ma. Ara nggak mampir. Paling nanti malem ke sana, maaf merepotkan,” jawab Ara.Setelah itu, panggilan diakhiri.“Ya ampun, kirain mas Fery
“Ria? Ba-bagaimana Anda ....” Ucapannya menggantung di udara. Dalam sepersekian detik dirinya masih mencoba mencerna kata-kata yang keluar dari mulut Erik.Tiba-tiba, pikirannya kembali mengingatkan akan sebuah amplop putih yang sudah ia terima dari orang misterius.“Ka-kamu si pengirim foto dan surat itu?!” ucap Ara setengah berteriak. Tangannya refleks mengacung kepada laki-laki itu.“Shuuut. Jangan sampai sekretarismu tahu,” bisiknya sambil tersenyum.Ara terbelalak. Spontan mulutnya ditutup rapat refleks menuruti perkataan Erik. Ternyata tebakkannya benar, dan wanita itu sungguh syok bukan main.“Siapa kamu sebenarnya!?” gertak Ara kemudian setelah bisa menyadarkan diri dari keterkejutan yang menyerang.“Kamu tidak perlu tahu siapa saya. Jelasnya, saya mau kita bisa bekerja sama. Bukankah kamu sangat butuh uang investasi ini?” ucapnya sambil menyimpan berkas putih di meja.Ara memandang berkas itu, tetapi nuraninya memaksa ia untu terpejam beberapa detik. Benar, dirinya memang but
“Sampai kapan kamu akan terbaring koma, Mas?” Kata-kata itu menyerbu pikiran Ara. Ia berdiri menatap hujan yang turun dengan derasnya sambil menunggu sekuriti jaga yang tadi menawarkan diri untuk membawakan mobilnya dari area parkir.“Belum pulang?” tanya seseorang yang tiba-tiba muncul di belakang Ara, dan berhasil membuatnya hampir jantungan.Ara kaget bukan main. Di malam yang terguyur hujan itu, Rangga muncul tanpa disadari Ara.“Mas Rangga! Kaget tau!” pekik Ara seraya memukul lengan lelaki itu.“Kaget? Saya nanya, loh. Bukan ngagetin,” sahutnya diiringi tawa.“Iya, tapi cara nanya-nya bikin aku kaget!” protes wanita berambut hitam itu tak mau kalah.Rangga menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil masih tertawa.“Maaf, deh,” ucapnya simpel. Membuat Ara gemas, ingin sekali ia menjitak kepalanya.Namun, semua ia tahan. Meski Rangga sekarang masih sama, tetapi sekarang jalan mereka sudah berbeda. Laki-laki itu bukan lagi pemilik hatinya. Ara sadar bagaimana harus bersikap. Apalagi
Hujan di luar semakin deras, membuat Ara semakin merasakan dingin hingga menusuk tulang.Dalam situasi itu, hatinya tambah sedih saja. Teringat Fery yang biasanya akan memeluk erat kalau ia sedang kedinginan.Dulu, sebelum kisah mereka hancur berantakan tentunya. Jika saja Ara boleh jujur, ia kini merindukan kembali masa-masa indah itu. Ia ingin semua kembali seperti semula.“Mas, aku akan memaafkan kamu untuk kali ini. Jadi, tolong segera sadarlah. Ayo kita mulai lagi semua dari awal.”Di tengah isakkan tangisnya Ara berkata lirih. Tangannya kiam erat menggenggam tangan Fery penuh harap.Namun, sayangnya harapan Ara belum juga dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Dan ia hanya bisa terus berdoa dan berdoa tanpa henti, meski sejatinya hati begitu lelah menghadapi kenyataan yang amat pahit.“Mas, kumohon ....” Ara mengangkat tangan Fery, menaruhnya di pipi kiri sambil terus mengusap dengan jemari.Semakin Ara berharap, semakin besar pula sakit yang mendera hati. Ara tak bisa menghentikan ta
“Bu, apa masih merasa tak enak badan?” Mirna menanyakan kondisinya usai rapat.Bukan tanpa alasan. Mirna begitu khawatir ketika melihat wajah Ara memucat, bahkan tampak lebih pucat lagi di penghujung acara rapat.“Aku tidak apa-apa, Mirna.” Meski sebenarnya pusing masih berdenyut-denyut di kepala, Ara masih mencoba untuk menguatkan diri dan tak mau merepotkan sekretaris suaminya karena hanya khawatir pada keadaannya.“Ibu Ara yakin? Mau saya antar ke rumah sakit?” tawarnya serius.Ara gegas menggeleng.“Tidak apa-apa, Mir. Aku baik-baik saja. Setelah istirahat sebentar nanti juga akan lebih membaik. Terima kasih sudah memperhatikan. Sudah, ayo kembali bekerja. Pekerjaan kita tidak boleh terhambat karena aku seorang,” ucapnya. “Tapi, Bu ....”Ara menepuk bahunya. Bibir itu tersenyum lebar seakan-akan masalah kesehatannya sama sekali bukan suatu hal serius untuk diperhatikan. Wanita itu lebih memilih pergi menuju ruangan kerjanya dari pada mendengar kekhawatiran sekretarisnya.Akan tet
Baru saja semalam Ara bisa bernapas lega, setelah mendengar kabar bahwa Fery akan segera sadar. Kini, hatinya dilanda kecemasan kembali, bahkan lebih besar daripada sebelumnya.Sosok Fery yang baru terbangun setelah hampir tiga hari koma kini dinyatakan mengalami keadaan LIS (Locked-in Syndrome) oleh dokter yang menanganinya. Pikiran lelaki itu ada dalam kesadaran penuh, tetapi tidak dapat berkomunikasi sama sekali.Seluruh tubuh mati rasa. Meski begitu, indera pendengarannya tetap berfungsi, sehingga otaknya masih bisa merekam memori saat ini lewat indera pendengaran.Bagi sosok Fery, hidupnya kini telah terjebak dalam kematian saja. Meski bernapas dan sadar secara pikiran, lelaki itu kehilangan sensitifitas rasa di tubuhnya. Satu-satunya yang bisa digerakkan hanyalah mengedipkan mata.“Aku ngak tau harus gimana sekarang, Mas. Sekarang, rasa benci pun terkalahkan dengan simpati,” ucap Ara pelan.Fery hanya bisa mendengarkan Ara berbicara tak berdaya. Kelopak matanya saja yang berkedi
“Setelah dilakukan serangkaian tes dan pemeriksaan, hasil sementara menunjukkan tanda-tanda vitalnya membaik. Tapi, saya tidak bisa menjamin atau menjanjikan kesembuhan meski kami selaku tim medis telah melakukan yang terbaik bagi putra Anda.”Sepasang mata wanita separuh baya itu mulai penuh dengan gumpalan air mata yang siap meluncur. Ia pikir bukankah kesadaran Fery adalah suatu berita baik? Lantas, mengapa di hari-hari berikutnya dokter berkata sesuatu yang tak jelas.“Maksudnya, Dok?” Sedikit serak tanya itu keluar dari mulutnya.“Maaf, kami tak bisa berbuat banyak. Untuk membantunya keluar dari masa sulitnya ... itu sangat mustahil. Melihat peralatan medis kami begitu terbatas, dan—”“Langsung saja katakan apa yang harus saya lakukan! Saya tidak mau membuang banyak waktu begini!” Bu Asti teramat emosi.Tak hanya pikirannya yang digrogoti ketertekanan mental, tetapi dirinya sungguh serasa diguncang hebat. Baru saja lepas dari kegelisahan yang terasa tak berkesudahan, ia kembali d
Semua yang telah terjadi, seakan menjadi buih lautan yang terombang-ambing sampai akhirnya hilang tak berjejak.Cinta, kasih sayang, penyatuan dua manusia yang berakhir saling berpisah, kemudiaan berjarak dan saling benci karena sebuah kesalah pahaman, akhirnya bisa kembali bicara empat mata dengan waktu yang cukup panjang. Meluruskan segala hal yang salah.Ara tersedu hingga menghabiskan satu pack tisu kecil di tangannya. Setengah hatinya tak percaya karena dia telah ditipu oleh mantan mertua dan adik iparnya, sehingga dia harus menjalani kepahitan selama bertahun-tahun lamanya, setengah hati lainnya masih saja marah karena mengingat tentang perselingkuhannya dengan Ria dulu.Bagian itu, Fery tak dapat membela diri. Sebab namanya memang sudah rusak berkat wanita setan itu. Namun, dia masih berharap Ara akan memaafkan.Dia juga menyesal mengapa semudah itu percaya dengan kata ibunya yang mengatakan Ara sudah menikah dengan Rangga, sehingga dia pun menjadi setengah gila waktu itu. “Ra
“P-Pak Fery?”Mirna begitu terkejut sampai dia hampir saja menjatuhkan ponselnya dari tangan. Beruntung hal buruk itu tak sampai terjadi.“Tantee! Malah ninggalin, sih!” Dinda memburunya, memeluknya, tapi dengan gaya kesal. Sesekali memukul perut Mirna pelan.Ceritanya marah.Namun, Mirna masih mematung sempurna tanpa melepas pandangannya dari Fery. Pun dengan lelaki itu sendiri.“Pak Fery? Ini bener-bener Bapak, kan?” Sambil memangku Dinda agar tak tertinggal lagi karena kecerobohannya, ia mendekat pada Fery yang juga melangkah ke arahnya.Namun, Fery menatapnya dengan berjuta rasa yang menggebu-gebu. Sesekali menatap Dinda dengan berbagai praduga yang tercipta begitu saja dalam rongga otaknya.“Katakan padaku, Mir. Dinda anak siapa?”Dan, yah ... begini jadinya jika seorang Fery sudah curiga berat. Setelah mendengar Dinda berkata jika dia bukan anak kandung Rangga, dia akan langsung mencari jawabannya tak peduli meski tak langsung pada Ara.Seketika mata Mirna terbelalak besar. Dia
Yang Maha Kuasa telah mentakdirkan agar mereka kembali berjumpa. Lantas, sampai kapan, kah, kesalahpahaman antar keduanya terus mengungkung mereka? Kapan sekiranya dua hati yang lukanya tak kering-kering itu sembuh?Entah, tak ada yang tahu. Namun, satu yang pasti, meski tertanam kecewa dan benci atas apa yang terjadi di masa lalu, tetapi rasa rindu juga tak luput menggedor-gedor pintu hati mereka.Ingin keluar, ingin lepas. Sayangnya sesuatu yang bernama gengsi, egois, juga amarah mencegahnya. Rasa yang disebut rindu itu dirantai kuat-kuat, lalu dikubur ke dalam hati terdalamnya.Hasil pertemuan itu tak menjadi apa-apa kecuali menjadi luka yang membuat hati masing-masing berdarah.***Fery terlampau kecewa, ternyata wanita yang sepalu membakar semangatnya untuk kembali pada kondisi semula itu ternyata sudah menikahi laki-laki lain. Bahkan mereka sudah memiliki keturunan.“Sepertinya aku memang terlahir tak normal, tidak sehat, mandul,” gumam Fery frustrasi. Isi kepalanya kini dipenuh
Benarkah yang dilihatnya adalah Fery? Ara terdiam menatap lelaki yang perlahan mendekatinya. Tertegun bahkan hampir tak mengedipkan mata.“Ra, itu kamu?”Tak salah lagi. Lelaki itu memanglah Fery. Sang mantan suami yang kini tampak lebih kurus. Sehingga Ara sedikit syok melihatnya.Sekian tahun berpisah, dan tak pernah saling berhubungan, lalu tiba-tiba bertemu tanpa sengaja begini membuat keduanya merasa sedang bermimpi.Perlahan mata ara berkaca kala Fery telah sampai di hadapanya dengan jarak amat dekat.Lelaki itu sesungguhnya enggan mendekat, tetapi kakinya terus melangkah sejak melihat wajah Ara di tempa ia berdiri tadi. Tanpa bisa diperintah diam, ia terus mendekat.Mungkin rasa rindu yang menggunduk dalam dadanya menjadi sebuah dorongan kuat baginya untuk mendekati Ara.“M-Mas Fery kah?” tanya Ara terbata. Dengan suara paling pelan, tetapi untung lelaki itu masih paham.Bibir Fery tersenyum, kepalanya mengangguk kikuk.‘Sial. Kenapa aku bersikap begini ketika harus berhadapan
Waktu terus bergulir tanpa terasa. Fery mulai bosan tinggal di kamar terus. Semakin lama mendekam di dalam, semakin terbayang wajah sang mantan.“Sepertinya aku harus cari angin. Kalau tidak, bisa mati karena gila memikirkan Ara,” monolog Fery seraya bangkit dari posisi tidurannya.Fery berkaca sebelum benar-benar pergi. Di situ ia menghela napas berat, merasa sedih melihat diri yang masih terlihat kurus. Ya, meski tidak separah sebelumnya, tetapi ia sedih saja.Berjalan keluar, dia disambut oleh tatapan serius dari Vina yang kini sedang selonjoran di atas sofa sambil menonton siaran televisi. Namun Fery cuek saja dan terus melangkah.“Mau ke mana? Ini udah mau magrib, loh Mas.” Gadis muda itu tak segan menegur kala melihat kakaknya berjalan menuju pintu utama.“Sambil nunggu mama balik dan masak, mau keliling-keliling dulu di sekitar kota ini. Sumpek di kamar terus,” jawabnya sambil menarik gagang pintu. Kemudian Fery hilang dari pandangan Vina sebelum dia menyahuti perkataannya.“Hi
Tak akan pernah ada yang tahu tentang takdir akan berjalan bagaimana. Beratkah? Muluskah? Semua hanya Tuhan yang tahu.Mungkin sebagian dari orang menganggapnya sebagai kalimat belaka tanpa arti, tetapi nyatanya takdir memang ada di dunia ini.Takdir yang tak bisa dihindari.Seperti pertemuan kembali Ara dan Fery. Dua manusia yang pernah disatukan dalam ikatan pernikahan, tetapi terpaksa kandas hanya karena sebuah kesalahpahaman dan juga adanya hal lain yang memberatkan sebelah pihak.Sehingga Fery memutuskan untuk menceraikannya lewat surat.Dn dia menyesalinya sepanjang hidup setelah berhasil melewati masa-masa terberatnya dalm hidup.Lantas, akankah semua kesalahpahaman itu akan berakhir?Tak ada yang tahu. Kembali lagi lepada takdir yang sudah menggaris di tangan. Garis yang hanya bisa digambar oleh Sang Pencipta.***Ara masih termenung di meja kerja. Masih mengingat rupa seseotang yang mirip dengan mantan suaminya, Fery.‘Dia mirip sekali. Apakah itu dia? Sungguh?’ Entah untuk k
Saat itu bulan Agustus, waktu di mana Fery dinyatakan pulih hampir seratus persen. Dia sudah bisa kembali menggerakkan seluruh tubuhnya dan mampu bicara, meski sesekali ia merasakan kondisi mati rasa dan juga belum lancar bicara, tetapi itu tak mematahkan semangatnya untuk tetap berusaha kembali pada kondisi normalnya.Hari demi hari dilalui dengan suka cita dan penuh air mata. Fery mencoba melewati masa itu, mencoba membunuh rasa sakit yang terasa tiada ujung. Hingga akhirnya Fery bisa benar-benar kembali pada kondisi normalnya.Dia banyak mengucap syukur dan terima kasihnya yang tak terhingga kepada orang tua serta adiknya yang tetap setia menjaga dan merawat tanpa lelah. Meski sejatinya ia tahu bahwa ada rasa jengah tergaris di wajah mereka di satu waktu.Untuk sementara Fery serta keluarga tinggal di Inggris sebab tak punya pilihan lain setelah habiskan aset dan harta benda demi kesembuhannya.Kondisi ekonomi mereka begitu buruk saat itu, hingga harus merasakan tidur di jalanan us
Ara termenung di jam istirahat. Membuka lembar demi lembar buku album foto Dinda dari ketika dia masih bayi merah hingga kini sudah menjadi gadis mungil yang cantik.Sekarang Dinda tengah tertidur di sofa, di kantor Ara. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dibawa bekerja, sebab di rumah tak ada yang menjaga. Sehingga anak itu tumbuh menjadi gadis baik yang penuh pengertian dan mandiri.Bahkan Dinda selalu menjadi penyemangatnya di saat pekerjaan membuat pening dan memusingkan.“Sebanyak apa pun aku menepis, kamu tetap mirip ayah kamu, Din.” Sofia bergumam sedih.Seminggu lagi dia akan pulang ke rumah untuk merundingkan pernikahannya dengan Rangga, tetapi sejak memutuskan itu, pikirannya kembali dikecoh oleh bayang-bayang Fery sang mantan suami.Entah mengapa, Ara pun tak mengerti.Meski benci mengental mendarah daging, rasa itu tak bisa dibohongi. Nyatanya rindu masih ada untuknya. Rindu yang ada bersamaan dengan benci di hati.“Gimana sekarang dia, ya? Sudah punya anak belum, ya dengan is
Tak peduli bau nasi padang menguar dari mulut, Rangga melamar Ara dengan percaya dirinya. Di sana. Di dalam mobil yang masih diam di tempat.Mata Ara sudah berkaca-kaca. Ingin menangis. Namun, mati-matian menahan sekuatnya. Dia bagai baru saja tersengat oleh aliran listrik. Tak bisa berkata, atau bergerak.“Ra? Kok, malah bengong, sih?” tanya Rangga berhasil mengusir kekagetan Ara.Saat itu juga, ia tersenyum.“Mas serius udah siap nikahin aku?”Kontan Rangga mengangguk.“Serius, dong. Aku sudah memikirkannya dengan matang. Kurasa ini sudah waktunya. Jadi gimana, kamu mau apa engga?” ulangnya bertanya. Rangga tak sabar ingin mendengar jawaban Ara, yakin jika wanita itu akan menerima lamarannya.“Ya mau lah Mas. Aku sudah menunggu begitu lama,” ucap Ara seraya menjatuhkan air mata. Tak tahan lagi. Terharu.Rangga tercenung diam.‘Menunggu lama?’“Kamu menunggu, Ra?” Pertanyaannya bersambut satu anggukkan. Bagi Ara itu adalah kesialan karena bisa-bisanya keceplosan. Kini pipinya semerah