Hujan di luar semakin deras, membuat Ara semakin merasakan dingin hingga menusuk tulang.Dalam situasi itu, hatinya tambah sedih saja. Teringat Fery yang biasanya akan memeluk erat kalau ia sedang kedinginan.Dulu, sebelum kisah mereka hancur berantakan tentunya. Jika saja Ara boleh jujur, ia kini merindukan kembali masa-masa indah itu. Ia ingin semua kembali seperti semula.“Mas, aku akan memaafkan kamu untuk kali ini. Jadi, tolong segera sadarlah. Ayo kita mulai lagi semua dari awal.”Di tengah isakkan tangisnya Ara berkata lirih. Tangannya kiam erat menggenggam tangan Fery penuh harap.Namun, sayangnya harapan Ara belum juga dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Dan ia hanya bisa terus berdoa dan berdoa tanpa henti, meski sejatinya hati begitu lelah menghadapi kenyataan yang amat pahit.“Mas, kumohon ....” Ara mengangkat tangan Fery, menaruhnya di pipi kiri sambil terus mengusap dengan jemari.Semakin Ara berharap, semakin besar pula sakit yang mendera hati. Ara tak bisa menghentikan ta
“Bu, apa masih merasa tak enak badan?” Mirna menanyakan kondisinya usai rapat.Bukan tanpa alasan. Mirna begitu khawatir ketika melihat wajah Ara memucat, bahkan tampak lebih pucat lagi di penghujung acara rapat.“Aku tidak apa-apa, Mirna.” Meski sebenarnya pusing masih berdenyut-denyut di kepala, Ara masih mencoba untuk menguatkan diri dan tak mau merepotkan sekretaris suaminya karena hanya khawatir pada keadaannya.“Ibu Ara yakin? Mau saya antar ke rumah sakit?” tawarnya serius.Ara gegas menggeleng.“Tidak apa-apa, Mir. Aku baik-baik saja. Setelah istirahat sebentar nanti juga akan lebih membaik. Terima kasih sudah memperhatikan. Sudah, ayo kembali bekerja. Pekerjaan kita tidak boleh terhambat karena aku seorang,” ucapnya. “Tapi, Bu ....”Ara menepuk bahunya. Bibir itu tersenyum lebar seakan-akan masalah kesehatannya sama sekali bukan suatu hal serius untuk diperhatikan. Wanita itu lebih memilih pergi menuju ruangan kerjanya dari pada mendengar kekhawatiran sekretarisnya.Akan tet
Baru saja semalam Ara bisa bernapas lega, setelah mendengar kabar bahwa Fery akan segera sadar. Kini, hatinya dilanda kecemasan kembali, bahkan lebih besar daripada sebelumnya.Sosok Fery yang baru terbangun setelah hampir tiga hari koma kini dinyatakan mengalami keadaan LIS (Locked-in Syndrome) oleh dokter yang menanganinya. Pikiran lelaki itu ada dalam kesadaran penuh, tetapi tidak dapat berkomunikasi sama sekali.Seluruh tubuh mati rasa. Meski begitu, indera pendengarannya tetap berfungsi, sehingga otaknya masih bisa merekam memori saat ini lewat indera pendengaran.Bagi sosok Fery, hidupnya kini telah terjebak dalam kematian saja. Meski bernapas dan sadar secara pikiran, lelaki itu kehilangan sensitifitas rasa di tubuhnya. Satu-satunya yang bisa digerakkan hanyalah mengedipkan mata.“Aku ngak tau harus gimana sekarang, Mas. Sekarang, rasa benci pun terkalahkan dengan simpati,” ucap Ara pelan.Fery hanya bisa mendengarkan Ara berbicara tak berdaya. Kelopak matanya saja yang berkedi
“Setelah dilakukan serangkaian tes dan pemeriksaan, hasil sementara menunjukkan tanda-tanda vitalnya membaik. Tapi, saya tidak bisa menjamin atau menjanjikan kesembuhan meski kami selaku tim medis telah melakukan yang terbaik bagi putra Anda.”Sepasang mata wanita separuh baya itu mulai penuh dengan gumpalan air mata yang siap meluncur. Ia pikir bukankah kesadaran Fery adalah suatu berita baik? Lantas, mengapa di hari-hari berikutnya dokter berkata sesuatu yang tak jelas.“Maksudnya, Dok?” Sedikit serak tanya itu keluar dari mulutnya.“Maaf, kami tak bisa berbuat banyak. Untuk membantunya keluar dari masa sulitnya ... itu sangat mustahil. Melihat peralatan medis kami begitu terbatas, dan—”“Langsung saja katakan apa yang harus saya lakukan! Saya tidak mau membuang banyak waktu begini!” Bu Asti teramat emosi.Tak hanya pikirannya yang digrogoti ketertekanan mental, tetapi dirinya sungguh serasa diguncang hebat. Baru saja lepas dari kegelisahan yang terasa tak berkesudahan, ia kembali d
Vina duduk di tepi ranjang tempat Fery kini terbaring. dirinya memijit-mijit kaki kakaknya. Saat ini Ara masih berjaga seperti biasa.“Nanti mama akan ke sini, Mbak. Jadi, Mbak bisa fokus bekerja di kantor. Jangan sampai pikiran Mbak Ara terbebani. Oke? Aku yakin, mas Fery juga pasti nggak mau liat Mbak Ara kecapean.”“Makasih Vin, tapi mama bukannya lagi sakit, Vin?”“Sudah baikan, kok. Lagian kayak enggak tahu mama aja gimana. Mama enggak pernah betahan di rumah dan enggak bisa diam orangnya.”Ara tersenyum. Benar apa kata Vina, ia juga tahu itu.“Jadi Mbak enggak perlu khawatir dan fokus saja seperti kataku tadi. Semangat kerjanya, ya!”“Iya, Vin. Makasih, ya.”Vina hanya tersenyum kala menyahuti perkataan kakak iparnya itu. Setidaknya, sebagai seorang adik yang berbakti, ia bisa merawat Fery meskipun hanya sesekali.“Ya sudah, Mbak. Bukannya mau kerja?” tanya Vina pada Ara. “Iya, tapi udah siang ini. Gak akan sempet mandi, kayaknya.” ujar Ara.Vina menyodorkan tas berisi setelan
Ara masih terpaku, menatap tidak percaya pada pemilik manik coklat terang itu. Lalu, Rangga sendiri juga terdiam, menatap Ara dengan sorot cemas.Beberapa detik kemudian, Ara mendorong Rangga yang terlalu dekat dengannya.“Apa yang kamu lakukan, Mas?!” tanya Ara menuntut penjelasan.Lelaki itu memalingkan wajah sambil mengusapnya secara kasar. Jelas ia kesulitan mencari jawabannya. Dirinya saja tak tahu mengapa melakukan itu.“Maafkan saya, Ra. Sa-saya tidak bisa mengontrol diri,” jawabnya dengan posisi membelakangi Ara.Rangga mungkin menyesal. Dirinya juga merasa malu atas sikap semberononya itu.“Kenapa?!” sentak Ara.Wanita itu kini terlihat marah. Ara sampai memukul lengan Rangga beberapa kali. Namun, terhenti ketika Rangga menangkap tangannya itu. Lelaki itu dan menatap dalam.“Maaf, itu tidak disengaja. Semua terjadi begitu saja, Ra.”Ara menatap sinis. “Mana mungkin semua terjadi begitu saja?”Wanita itu menepis pegangan Rangga, berniat pergi meninggalkannya sendiri. Lelaki it
“Kenapa?””Kenapa jadi begini?””Bukankah kita sudah berbaikan? Lalu, kenapa?”Ara masih tidak bisa menerima keputusan Fery. Wanita itu meraung sedih, nelangsa. Pecahan kaca serta benda mudah pecah lainnya berserakkan di atas ubin putih, tanda dirinya baru saja mengeluarkan kemarahan dalam dada.Dia kecewa. Padahal, beberapa waktu lalu Ara yang memaksa ingin bercerai. Namun, setelah merawat lelaki itu, permintaannya untuk bercerai ia batalkan. Bahkan, dirinya bertekad untuk selalu setia pada Fery. Namun mengapa? Dan tanya itu telah menyerang rongga pikirannya. Memaksa untuk kembali benci.Meski nyatanya kebencian yang pernah tertanam dalam hati sudah hilang, bahkan wanita itu memilih melupakan semua yang pernah dilakukan oleh Fery dan berharap rumah tangganya bisa dimulai dari awal lagi. Namun, semua sudah terlambat. Fery sudah memutuskannya, dan hubungan mereka sudah benar-benar berakhir. Membuat Ara kembali disiram api kebencian.Mahligai cinta yang berusaha Ara jaga ternyata pada
“Lho! Ra?!”Mata Ara menyambut melotot. Ini adalah pertemuan tak disengaja atau direncana, dan ia sama sekali tak menyangka.‘Terakhir kali bertatap muka dengannya saat waktu itu ....’ Ara menerawang kembali potongan ingatan lalu, ketika melihat Rangga berlari di bawah hujan.Tampaknya tak hanya Ara yang terkejut. Laki-laki itu juga sama kagetnya. Terpaku diam menatap lepas.Lama mereka terdiam. Mirna juga sama kagetnya, ia tidak menyangka akan bertemu Rangga. Setelah beberapa menit, akhirnya ketiganya mengobrol bersama. Bertukar cerita. Rangga kini bekerja sebagai guru Bahasa Indonesia di sebuah sekolah ternama di Jakarta. Ia diminta mempersiapkan sebuah acara festival sekolah. Semua dia urus termasuk soal makanan. Rangga sangat kaget ternyata Ara adalah pemilik usaha tersebut.“Ya, ampun enggak sangka bakal ketemu lagi begini,” jelas Ara senang.Rekahan senyumnya bersambut. Rangga membalas hangat.“Iya, semua tak terencana.”Hening sesaat. Keduanya kembali ingat akan kenangan terakh