“Kenapa?””Kenapa jadi begini?””Bukankah kita sudah berbaikan? Lalu, kenapa?”Ara masih tidak bisa menerima keputusan Fery. Wanita itu meraung sedih, nelangsa. Pecahan kaca serta benda mudah pecah lainnya berserakkan di atas ubin putih, tanda dirinya baru saja mengeluarkan kemarahan dalam dada.Dia kecewa. Padahal, beberapa waktu lalu Ara yang memaksa ingin bercerai. Namun, setelah merawat lelaki itu, permintaannya untuk bercerai ia batalkan. Bahkan, dirinya bertekad untuk selalu setia pada Fery. Namun mengapa? Dan tanya itu telah menyerang rongga pikirannya. Memaksa untuk kembali benci.Meski nyatanya kebencian yang pernah tertanam dalam hati sudah hilang, bahkan wanita itu memilih melupakan semua yang pernah dilakukan oleh Fery dan berharap rumah tangganya bisa dimulai dari awal lagi. Namun, semua sudah terlambat. Fery sudah memutuskannya, dan hubungan mereka sudah benar-benar berakhir. Membuat Ara kembali disiram api kebencian.Mahligai cinta yang berusaha Ara jaga ternyata pada
“Lho! Ra?!”Mata Ara menyambut melotot. Ini adalah pertemuan tak disengaja atau direncana, dan ia sama sekali tak menyangka.‘Terakhir kali bertatap muka dengannya saat waktu itu ....’ Ara menerawang kembali potongan ingatan lalu, ketika melihat Rangga berlari di bawah hujan.Tampaknya tak hanya Ara yang terkejut. Laki-laki itu juga sama kagetnya. Terpaku diam menatap lepas.Lama mereka terdiam. Mirna juga sama kagetnya, ia tidak menyangka akan bertemu Rangga. Setelah beberapa menit, akhirnya ketiganya mengobrol bersama. Bertukar cerita. Rangga kini bekerja sebagai guru Bahasa Indonesia di sebuah sekolah ternama di Jakarta. Ia diminta mempersiapkan sebuah acara festival sekolah. Semua dia urus termasuk soal makanan. Rangga sangat kaget ternyata Ara adalah pemilik usaha tersebut.“Ya, ampun enggak sangka bakal ketemu lagi begini,” jelas Ara senang.Rekahan senyumnya bersambut. Rangga membalas hangat.“Iya, semua tak terencana.”Hening sesaat. Keduanya kembali ingat akan kenangan terakh
Pagi kembali menyapa seperti hari-hari yang telah berlalu. Namun, Ara sudah kelelahan bukan main setelah bolak-balik ke kamar mandi hanya untuk muntah.“Aduh, kamu maunya bunda makan apa, Sayang? Rasa-rasanya apa pun yang masuk ke perut bunda pasti keluar lagi,” ucap Ara susah payah. Tangannya mengelus perut yang masih rata itu hati-hati.Sejak kehadiran calon buah hatinya, ia selalu sering bicara sendiri. Mengelus kulit perutnya lembut seolah kedua tangan itu tengah membelai bayi sungguhan.“Kamu mau buah-buahan?” Bahkan wanita itu sudah mempersiapkan panggilan si calon bayi kepadanya.Bunda. Ara senang dengan panggilan itu. Dalam satu kesempatan dia juga sudah membayangkan buah cintanya yang mungil memanggil demikian. Membuat Ara tak pernah bisa menghentikan senyumnya di saat sedang asyik membayangkannya.“Oke, nanti bunda akan beli beberapa buah-buahan, ya.”Ara berdiri sedikit terhuyung saking pusing kepala. Tangannya meraba tembok demi bisa segera sampai ke atas ranjang.“Tidak,
‘Satu-satunya hal yang mampu membuat bibirku tersenyum tulus hanyalah ketika aku membayangkan bisa menyentuh lembut kaki-kaki mungilmu, Nak. Selain itu, rasanya dunia bunda sudah hambar, tak ada hal baik yang mampu membuat hati ini bahagia.’Kasihan sekali wanita itu. Setelah ditinggalkan oleh cinta yang ia anggap sejati dulunya, sekarang beginilah kehidupan yang ia jalani. Hambar seperti katanya.Meski sesungguhnya Ara dikelilingi banyak orang-orang baik, itu tak membuat kebekuan hatinya berhenti. Dan satu-satunya yang bisa sedikit mencairkan hati beku itu hanyalah sang calon buah hati.“Ra, hey?”Suara Rangga menyadarkannya dari lamunan, jiwanya yang berkelanan dalam alam bawah pikiran diseret keluar ke dunia nyata. Ara terhenyak kaget.“Oh, a-apa?” sahutnya refleks.“Itu makananmu keburu dingin, ayo habiskan,” suruh laki-laki bermata teduh itu sambil menunjuk piring.Ara nyengir kuda. Tentu saja itu hanya kepalsuan yang berusaha dia tunjukkan di depan Rangga. Pura-pura kuat dan bah
Untuk seperersekian detik Ara diam seribu bahasa. Tenggelam dalam terkaan-terkaan yang ia ciptakan sendiri. Apakah Rangga memang masih menyimpan rasa untuknya? Apakah laki-laki itu tulus ingin membantu dan menjaganya serta calon buah hatinya?Ara tak tahu jawaban pastinya. Dan ia sungguh tak ingin menanyakan itu secara langsung. Belum siap mendapat jawaban yang tak ia harapkan dari Rangga.“Kenapa jadi bahas masa lalu, Mas? Itu sudah lama sekali.” Setelah berusaha menenangkan diri, Ara meloloskan tanya itu. Namun, ia menghindari tatapan mata Rangga sekarang.Jika boleh jujur, Rangga agak malu karena begitu percaya diri sekali sebelumnya. Dia pikir dengan berkata manis akan membuat hati Ara sedikit meleleh, tetapi nyatanya tidak.Mobil terhenti ketika lampu merah menyala. Di kesempatan itu Rangga terus mencuri pandang, membuat Ara tak nyaman bukan main.“Ra ....” Dengan suara paling lembut Rangga memanggil.“Hm?” Wanita itu menyahut tanpa mau membalas tatapan mata dalam sang mantan.“S
Hujan kembali turun mengguyur jantung kota Jakarta. Membuat gersang semakin terasa, apalagi di dalam mobil Rangga.“Maaf, ya, Ra. Masuk mobilku pasti kepanasan,” ucap Rangga tak enak hati.Ara mati-matian menahan mual yang telah menjadi sejak tadi. Akan tetapi, masih berusaha ia tahan sekuat hati.‘Aku tak boleh muntah di mobil orang.’“Aku sudah biasa dengan udara Jakarta, Mas. Enggak masalah,” jawab Ara. “Makasih, loh, sudah mau jemput.”“Iya, sama-sama. Lagian saya tidak akan biarkan kamu pulang sendirian, jadi sengaja menjemput karena khawatir.”Ara menatap wajah laki-laki itu dalam. Baginya kebaikkan Rangga tak ada bandingannya. Ini membuat Ara semakin yakin untuk menjauh dari Rangga. Itu demi kebaikkan laki-laki itu sendiri.“Mas, makasih karena sudah menjaga aku selama ini. Menemani hari-hari hambarku, selalu aku repotkan setiap waktu. Itu sangat aku hargai. Tapi, sepertinya kamu enggak perlu melakukannya lagi. Kamu harus mencari masa depanmu, aku serius.”Rangga terhenyak, ham
“Wali dari Mr. Fery?” Pria berseragam putih keluar dari ruang ICU. Matanya memindai koridor sekitar. Orang lalu lalang, tetapi dirinya hanya mencari Bu Asti.“Saya adiknya. Ibu saya masih tidak sadarkan diri di bangsal lantai bawah.” Vina yang sedari tadi mondar-mandir berdiri tegap menghadap dokter bernama Vincent itu. Matanya berbinar-binar penuh harap.Dokter Vincent mengangguk. Ia tahu betul bagaimana perasaan keluarga yang teramat cemas. Dan bukan kali ini saja ia menyaksikan masalah serupa. Vincent sudah menangani banyak pasien, terkadang anggota keluarganya sampai stres sampai ikut sakit.“Aku menyesal akan hal itu, Nona. Ini tentang Fery, aku ingin memberikan informasi perkembangannya. Kau tahu, dia beruntung, kondisinya sudah kembali stabil. Sepertinya Tuhan belum berkehendak untuk mengambil nyawanya.” Dokter Vincent mengulas senyum terbaiknya. Sebagai seorang tenaga kesehatan yang menangani Fery, ia sangat senang sekali memberitahukan kabar baik ini kepada anggota keluarga p
Ara menatap langit-langit putih ruang UKS. Ingatan tentang masa lalunya lagi-lagi berputar seperti rekaman film di bioskop.Di sana ia melihat Fery. Sangat jelas. Laki-laki itu membawa buket bunga, memberikannya di depan para karyawannya tanpa malu. Momen ketika datang ke kampung dan melamar, juga tentang hari-hari bahagia yang dijalani setelah berumah tangga.Hal itu membuat air mata Ara bergumul tak kira-kira.‘Aku pikir bisa melupakan kamu dengan mudah, Mas. Ternyata sulit.’Dan air mata itu turun perlahan ke samping, masuk ke sela telinga, memasahi anak-anak rambut di sana.‘Nak, maafkan bunda ya. Sepertinya kamu tidak akan ketemu ayah untuk sementara. Bunda juga tak bisa berjanji akan mempertemukan kalian kapan.’Ara mengelus perutnya penuh kasih sayang. Tenggelam dalam dermaga kesedihan yang membentang luas. Semakin diingat, semakin perih hatinya.‘Aku butuh kamu, Mas. Aku tak bisa membuat anak kita lahir tanpa ayahnya. Aku tak bisa,’ batin Ara menyiksa. ‘Aku harap kamu di sana