“Wali dari Mr. Fery?” Pria berseragam putih keluar dari ruang ICU. Matanya memindai koridor sekitar. Orang lalu lalang, tetapi dirinya hanya mencari Bu Asti.“Saya adiknya. Ibu saya masih tidak sadarkan diri di bangsal lantai bawah.” Vina yang sedari tadi mondar-mandir berdiri tegap menghadap dokter bernama Vincent itu. Matanya berbinar-binar penuh harap.Dokter Vincent mengangguk. Ia tahu betul bagaimana perasaan keluarga yang teramat cemas. Dan bukan kali ini saja ia menyaksikan masalah serupa. Vincent sudah menangani banyak pasien, terkadang anggota keluarganya sampai stres sampai ikut sakit.“Aku menyesal akan hal itu, Nona. Ini tentang Fery, aku ingin memberikan informasi perkembangannya. Kau tahu, dia beruntung, kondisinya sudah kembali stabil. Sepertinya Tuhan belum berkehendak untuk mengambil nyawanya.” Dokter Vincent mengulas senyum terbaiknya. Sebagai seorang tenaga kesehatan yang menangani Fery, ia sangat senang sekali memberitahukan kabar baik ini kepada anggota keluarga p
Ara menatap langit-langit putih ruang UKS. Ingatan tentang masa lalunya lagi-lagi berputar seperti rekaman film di bioskop.Di sana ia melihat Fery. Sangat jelas. Laki-laki itu membawa buket bunga, memberikannya di depan para karyawannya tanpa malu. Momen ketika datang ke kampung dan melamar, juga tentang hari-hari bahagia yang dijalani setelah berumah tangga.Hal itu membuat air mata Ara bergumul tak kira-kira.‘Aku pikir bisa melupakan kamu dengan mudah, Mas. Ternyata sulit.’Dan air mata itu turun perlahan ke samping, masuk ke sela telinga, memasahi anak-anak rambut di sana.‘Nak, maafkan bunda ya. Sepertinya kamu tidak akan ketemu ayah untuk sementara. Bunda juga tak bisa berjanji akan mempertemukan kalian kapan.’Ara mengelus perutnya penuh kasih sayang. Tenggelam dalam dermaga kesedihan yang membentang luas. Semakin diingat, semakin perih hatinya.‘Aku butuh kamu, Mas. Aku tak bisa membuat anak kita lahir tanpa ayahnya. Aku tak bisa,’ batin Ara menyiksa. ‘Aku harap kamu di sana
Pagi meyambut cerah. Tak seperti kemarin yang terus diguyur hujan. Bahkan sisa-sisa hujan itu masih menggenang di beberapa ruas jalanan.Ara telah siap-siap akan pergi ke dokter kandungan seperti rencana kemarin. Setelah memastikan calon buah hatinya sehat dan ia boleh pulang, Ara akan langsung melakukan perjalanan darat bersama Rangga.“Lucu banget, sih.” Ara tersenyum. Kini di tangannya ada sebuah buku catatan kehamilan yang hanya bisa dimiliki ibu hamil saja. Buku KIA, Ara terus menatap dan mengusapnya seolah itu adalah benda paling berharga saat ini.Ting! Tong!Bel berbunyi.“Itu pasti mas Rangga,” sangkanya berjingkrak senang. Ara turun buru-buru, tetapi tetap memerhatikan langkahnya, takut jatuh.Ketika dirinya menarik gagang pintu, senyum menyambut seperti biasa. Itu sungguh Rangga. Datang tepat waktu sesuai janji. Hari ini ia akan mengantar Ara ke rumah sakit, dan jika memungkinkan akan langsung pulang kampung.“Assalamualaikum, Ra.” Rangga mengucap salam.“Waalaikum-sallam .
Rangga benar-benar ingin melompat setinggi gunung saat ini, berteriak dengan lantang di antara angin-angin. Dengan merentangkan tangan menjatuhkan diri saking bahagianya.Cinta bertepuk sebelah tangannya lumayan ada perkembangan. Ara akan mencoba katanya.“Makasih banyak, Ra. Makasih karena sudah memberi kesempatan ini,” ucap syukur Rangga sembari menggenggam jemari-jemari halus Ara.Wanita itu menatap Rangga dalam diam. Di pikirannya berkecamuk banyak pikiran, terutama tentang keraguan. Apakah keputusannya sudah benar atau salah? Ara merasa terlalu buru-buru dalam memutuskan. Sebab, cintanya masih utuh untuk Fery meski ada secuil benci dalam hati. Dirinya tak tahu apakah suatu saat nanti bisa mencintai Rangga atau tidak.“Iya, Mas. Aku akan berusaha, setidaknya demi anakku. Aku tak bisa melihat dia hidup tanpa seorang ayah.”Perkataan Ara bagaikan sebilah pisau tajam yang menusuk ulu hati Rangga. Baru saja ia dibawa terbang ke awang karena cintanya diterima, ia sudah kembali dihempas
Hujan memang tidak turun, tetapi Ara merasakan dingin menusuk sampai ke tulang saat berhadapan dengan Pak Wahyu, bapaknya. Terutama ketika ia menatap sepasang matanya yang mengilat marah.Pria beruban yang usianya sudah tak muda lagi itu mengepal tangan di atas paha. Mati-matian ia menahan emosinya setelah mendengar Ara hamil anak Fery. Giginya berbunyi gemeretuk begitu jelas, memecah keheningan dan keterdiaman yang melanda.“Kenapa kamu tak bicara jujur dari awal, Ra?” Tak seperti ayah Ara, ibunya masih bicara lembut seperti biasa, meski tak bisa dipungkiri ada rasa kecewa berat dalam dada sebab ia bukan orang pertama yang mengetahui kehamilan Ara.Antara terharu dan juga cemas tak terkira, ibunya menangis. Bukan tak bahagia atas kehadiran calon cucunya, tetapi kecemasan di hatinya kini lebih besar dibandingkan dengan kebahagiaan itu sendiri. Banyak pertanyaan berkecamuk hilir mudik sekarang dalam benaknya. Bagaimana dengan nasib Ara? Lalu, anaknya kelak? Apakah Ara akan sanggup mer
“Heh, Rangga. Kamu itu udah pulang enggak kabar-kabar, pas sampai malah ribut pergi lagi malamnya. Kamu habis dari mana, sih? Coba liat jam berapa ini?” Ibu Rangga mengomel habis-habisan.Wanita yang kini hanya tinggal sendiri itu kesal bukan main melihat tingkah anaknya yang tidak seperti biasa.Rangga mengusap tengkuk yang meremang. Ia baru menyadari kesalahannya sekarang.“Maaf, Bu. Tadi buru-buru banget.” Hanya kata maaf singkat yang bisa dia katakan.Namun apa yang terjadi? Kemarahan sang ibu malah semakin menjadi.“Nggak kamu, nggak Erin, sama-sama jahat. Pada lupain ibu gitu aja!” Ia duduk di kursi bulat menghadap televisi yang mati.“Ih, ngomong apa, sih? Mana mungkin kami lupain Ibu. Jangan ngada-ngada, deh. Aku kerja di kota, Bu. Kan, setiap minggu ngabarin. Terus Erin sekarang sudah bersuami, hidupnya sudah beda lagi. Tapi, dia juga sering berkunjung ke sini, kan?” Rangga memelankan suaranya, berharap sang ibu tak marah lagi.Iya, dalam hati Rangga mengaku salah karena pula
Pagi begitu cerah, tapi tidak dengan keadaan hati Ara. Wanita itu murung sejak membuka mata. Di dapur, ia sudah membantu ibunya masak walau sebenarnya terkadang rasa mual itu kembali datang.“Ra, jangan ngelamun,” tegur ibunya.Ara menoleh. Karena stres dan kurang istirahat, matanya mulai menampakkan lingkaran hitam.“Cuma mikirin bapak, Bu. Kayaknya belum pulang, ya?” lirih ia menjawab.“Enggak usah dipikirin. Bapakmu dari dulu kalau lagi marah suka begitu, kan,” hibur sang ibu. Dirinya tak mau sampai Ara terbebani dengan semua itu.“Iya, tapi tetap aja sekarang rasanya beda.” Ara menunduk. Merasakan kembali kesedihan di hatinya.“Enggak apa-apa, nanti ibu akan bujuk bapakmu, ya. Jangan masukkan hati. Bapakmu mengatakan hal kejam itu juga bukan karena tak menginginkan cucunya. Bapakmu cuma terlalu dalam membenci Fery.”“Bapak juga sepertinya benci Ara karena dulu ngeyel dan tak nurut ke bapak,” lanjut Ara di tengah-tengah kegelisahannya.Sang ibu masih mengiris bawang hati-hati. Sese
Ara masih saja merasa tegang walau berulang kali Rangga menenangkan. Bahkan kedua kakinya sedikit gemetar ketika turun dari kendaraan roda dua milik laki-laki itu.“Ra, kamu baik-baik aja, kan?” tanya Rangga memastikan.Tanpa dipinta, Rangga membantu Ara membuka helm dari kepala. Ia juga membenarkan anak-qnak rambut yang menghalangi pipi. Menyelipkannya ke belakang telinga Ara.“Aku baik-baik aja, Mas. Makasih udah bukain helm-nya,” bual Ara. Tak mungkin dirinya mengatakan jika masih gugup seperti sebelumnya.“Syukurlah, kalau gitu ayo masuk,” ajak Rangga usai membuka helm miliknya.Baru saja melangkah hingga anak tangga yang menuju teras, pintu utama terbuka. Ibu Rangga menyambut kedatangan Ara dengan hangat tanpa ketinggalan senyumnya.“Ara, apa kabar, Sayang?” Wanita yang masih segar awet muda itu merentangkan tangan, lalu memeluk serta cipika-cipiki kepada Ara.“Baik, Tante. Makasih sudah ngundang Ara buat sarapan bersama.” Ara mencoba menepis semua kegugupan yang terasa melebar,
Semua yang telah terjadi, seakan menjadi buih lautan yang terombang-ambing sampai akhirnya hilang tak berjejak.Cinta, kasih sayang, penyatuan dua manusia yang berakhir saling berpisah, kemudiaan berjarak dan saling benci karena sebuah kesalah pahaman, akhirnya bisa kembali bicara empat mata dengan waktu yang cukup panjang. Meluruskan segala hal yang salah.Ara tersedu hingga menghabiskan satu pack tisu kecil di tangannya. Setengah hatinya tak percaya karena dia telah ditipu oleh mantan mertua dan adik iparnya, sehingga dia harus menjalani kepahitan selama bertahun-tahun lamanya, setengah hati lainnya masih saja marah karena mengingat tentang perselingkuhannya dengan Ria dulu.Bagian itu, Fery tak dapat membela diri. Sebab namanya memang sudah rusak berkat wanita setan itu. Namun, dia masih berharap Ara akan memaafkan.Dia juga menyesal mengapa semudah itu percaya dengan kata ibunya yang mengatakan Ara sudah menikah dengan Rangga, sehingga dia pun menjadi setengah gila waktu itu. “Ra
“P-Pak Fery?”Mirna begitu terkejut sampai dia hampir saja menjatuhkan ponselnya dari tangan. Beruntung hal buruk itu tak sampai terjadi.“Tantee! Malah ninggalin, sih!” Dinda memburunya, memeluknya, tapi dengan gaya kesal. Sesekali memukul perut Mirna pelan.Ceritanya marah.Namun, Mirna masih mematung sempurna tanpa melepas pandangannya dari Fery. Pun dengan lelaki itu sendiri.“Pak Fery? Ini bener-bener Bapak, kan?” Sambil memangku Dinda agar tak tertinggal lagi karena kecerobohannya, ia mendekat pada Fery yang juga melangkah ke arahnya.Namun, Fery menatapnya dengan berjuta rasa yang menggebu-gebu. Sesekali menatap Dinda dengan berbagai praduga yang tercipta begitu saja dalam rongga otaknya.“Katakan padaku, Mir. Dinda anak siapa?”Dan, yah ... begini jadinya jika seorang Fery sudah curiga berat. Setelah mendengar Dinda berkata jika dia bukan anak kandung Rangga, dia akan langsung mencari jawabannya tak peduli meski tak langsung pada Ara.Seketika mata Mirna terbelalak besar. Dia
Yang Maha Kuasa telah mentakdirkan agar mereka kembali berjumpa. Lantas, sampai kapan, kah, kesalahpahaman antar keduanya terus mengungkung mereka? Kapan sekiranya dua hati yang lukanya tak kering-kering itu sembuh?Entah, tak ada yang tahu. Namun, satu yang pasti, meski tertanam kecewa dan benci atas apa yang terjadi di masa lalu, tetapi rasa rindu juga tak luput menggedor-gedor pintu hati mereka.Ingin keluar, ingin lepas. Sayangnya sesuatu yang bernama gengsi, egois, juga amarah mencegahnya. Rasa yang disebut rindu itu dirantai kuat-kuat, lalu dikubur ke dalam hati terdalamnya.Hasil pertemuan itu tak menjadi apa-apa kecuali menjadi luka yang membuat hati masing-masing berdarah.***Fery terlampau kecewa, ternyata wanita yang sepalu membakar semangatnya untuk kembali pada kondisi semula itu ternyata sudah menikahi laki-laki lain. Bahkan mereka sudah memiliki keturunan.“Sepertinya aku memang terlahir tak normal, tidak sehat, mandul,” gumam Fery frustrasi. Isi kepalanya kini dipenuh
Benarkah yang dilihatnya adalah Fery? Ara terdiam menatap lelaki yang perlahan mendekatinya. Tertegun bahkan hampir tak mengedipkan mata.“Ra, itu kamu?”Tak salah lagi. Lelaki itu memanglah Fery. Sang mantan suami yang kini tampak lebih kurus. Sehingga Ara sedikit syok melihatnya.Sekian tahun berpisah, dan tak pernah saling berhubungan, lalu tiba-tiba bertemu tanpa sengaja begini membuat keduanya merasa sedang bermimpi.Perlahan mata ara berkaca kala Fery telah sampai di hadapanya dengan jarak amat dekat.Lelaki itu sesungguhnya enggan mendekat, tetapi kakinya terus melangkah sejak melihat wajah Ara di tempa ia berdiri tadi. Tanpa bisa diperintah diam, ia terus mendekat.Mungkin rasa rindu yang menggunduk dalam dadanya menjadi sebuah dorongan kuat baginya untuk mendekati Ara.“M-Mas Fery kah?” tanya Ara terbata. Dengan suara paling pelan, tetapi untung lelaki itu masih paham.Bibir Fery tersenyum, kepalanya mengangguk kikuk.‘Sial. Kenapa aku bersikap begini ketika harus berhadapan
Waktu terus bergulir tanpa terasa. Fery mulai bosan tinggal di kamar terus. Semakin lama mendekam di dalam, semakin terbayang wajah sang mantan.“Sepertinya aku harus cari angin. Kalau tidak, bisa mati karena gila memikirkan Ara,” monolog Fery seraya bangkit dari posisi tidurannya.Fery berkaca sebelum benar-benar pergi. Di situ ia menghela napas berat, merasa sedih melihat diri yang masih terlihat kurus. Ya, meski tidak separah sebelumnya, tetapi ia sedih saja.Berjalan keluar, dia disambut oleh tatapan serius dari Vina yang kini sedang selonjoran di atas sofa sambil menonton siaran televisi. Namun Fery cuek saja dan terus melangkah.“Mau ke mana? Ini udah mau magrib, loh Mas.” Gadis muda itu tak segan menegur kala melihat kakaknya berjalan menuju pintu utama.“Sambil nunggu mama balik dan masak, mau keliling-keliling dulu di sekitar kota ini. Sumpek di kamar terus,” jawabnya sambil menarik gagang pintu. Kemudian Fery hilang dari pandangan Vina sebelum dia menyahuti perkataannya.“Hi
Tak akan pernah ada yang tahu tentang takdir akan berjalan bagaimana. Beratkah? Muluskah? Semua hanya Tuhan yang tahu.Mungkin sebagian dari orang menganggapnya sebagai kalimat belaka tanpa arti, tetapi nyatanya takdir memang ada di dunia ini.Takdir yang tak bisa dihindari.Seperti pertemuan kembali Ara dan Fery. Dua manusia yang pernah disatukan dalam ikatan pernikahan, tetapi terpaksa kandas hanya karena sebuah kesalahpahaman dan juga adanya hal lain yang memberatkan sebelah pihak.Sehingga Fery memutuskan untuk menceraikannya lewat surat.Dn dia menyesalinya sepanjang hidup setelah berhasil melewati masa-masa terberatnya dalm hidup.Lantas, akankah semua kesalahpahaman itu akan berakhir?Tak ada yang tahu. Kembali lagi lepada takdir yang sudah menggaris di tangan. Garis yang hanya bisa digambar oleh Sang Pencipta.***Ara masih termenung di meja kerja. Masih mengingat rupa seseotang yang mirip dengan mantan suaminya, Fery.‘Dia mirip sekali. Apakah itu dia? Sungguh?’ Entah untuk k
Saat itu bulan Agustus, waktu di mana Fery dinyatakan pulih hampir seratus persen. Dia sudah bisa kembali menggerakkan seluruh tubuhnya dan mampu bicara, meski sesekali ia merasakan kondisi mati rasa dan juga belum lancar bicara, tetapi itu tak mematahkan semangatnya untuk tetap berusaha kembali pada kondisi normalnya.Hari demi hari dilalui dengan suka cita dan penuh air mata. Fery mencoba melewati masa itu, mencoba membunuh rasa sakit yang terasa tiada ujung. Hingga akhirnya Fery bisa benar-benar kembali pada kondisi normalnya.Dia banyak mengucap syukur dan terima kasihnya yang tak terhingga kepada orang tua serta adiknya yang tetap setia menjaga dan merawat tanpa lelah. Meski sejatinya ia tahu bahwa ada rasa jengah tergaris di wajah mereka di satu waktu.Untuk sementara Fery serta keluarga tinggal di Inggris sebab tak punya pilihan lain setelah habiskan aset dan harta benda demi kesembuhannya.Kondisi ekonomi mereka begitu buruk saat itu, hingga harus merasakan tidur di jalanan us
Ara termenung di jam istirahat. Membuka lembar demi lembar buku album foto Dinda dari ketika dia masih bayi merah hingga kini sudah menjadi gadis mungil yang cantik.Sekarang Dinda tengah tertidur di sofa, di kantor Ara. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dibawa bekerja, sebab di rumah tak ada yang menjaga. Sehingga anak itu tumbuh menjadi gadis baik yang penuh pengertian dan mandiri.Bahkan Dinda selalu menjadi penyemangatnya di saat pekerjaan membuat pening dan memusingkan.“Sebanyak apa pun aku menepis, kamu tetap mirip ayah kamu, Din.” Sofia bergumam sedih.Seminggu lagi dia akan pulang ke rumah untuk merundingkan pernikahannya dengan Rangga, tetapi sejak memutuskan itu, pikirannya kembali dikecoh oleh bayang-bayang Fery sang mantan suami.Entah mengapa, Ara pun tak mengerti.Meski benci mengental mendarah daging, rasa itu tak bisa dibohongi. Nyatanya rindu masih ada untuknya. Rindu yang ada bersamaan dengan benci di hati.“Gimana sekarang dia, ya? Sudah punya anak belum, ya dengan is
Tak peduli bau nasi padang menguar dari mulut, Rangga melamar Ara dengan percaya dirinya. Di sana. Di dalam mobil yang masih diam di tempat.Mata Ara sudah berkaca-kaca. Ingin menangis. Namun, mati-matian menahan sekuatnya. Dia bagai baru saja tersengat oleh aliran listrik. Tak bisa berkata, atau bergerak.“Ra? Kok, malah bengong, sih?” tanya Rangga berhasil mengusir kekagetan Ara.Saat itu juga, ia tersenyum.“Mas serius udah siap nikahin aku?”Kontan Rangga mengangguk.“Serius, dong. Aku sudah memikirkannya dengan matang. Kurasa ini sudah waktunya. Jadi gimana, kamu mau apa engga?” ulangnya bertanya. Rangga tak sabar ingin mendengar jawaban Ara, yakin jika wanita itu akan menerima lamarannya.“Ya mau lah Mas. Aku sudah menunggu begitu lama,” ucap Ara seraya menjatuhkan air mata. Tak tahan lagi. Terharu.Rangga tercenung diam.‘Menunggu lama?’“Kamu menunggu, Ra?” Pertanyaannya bersambut satu anggukkan. Bagi Ara itu adalah kesialan karena bisa-bisanya keceplosan. Kini pipinya semerah