Sepulang kerja, Fery memutuskan membeli makanan favorit Ara di restoran kesukaan istrinya sebagai tanda permintaan maaf karena sempat membuat hatinya sedikit terluka.
“Mudah-mudahan dia belum tidur,” gumamnya seraya tersenyum, membayangkan wajah Ara. Ia memang sangat mencintai istrinya dengan sepenuh hati. Meskipun pernikahan sudah berjalan 2 tahun lamanya, tetapi perasaan cinta masih sangat menggebu bagai pengantin baru.“Fery?” sapa seseorang memanggilnya.Ia pun menoleh dan mendapati Ria tengah duduk di antara para tamu yang singgah untuk makan malam di sana. Fery pun menghampiri setelah Ria melambaikan tangannya seolah memberi kode untuk ikut duduk.“Disini juga? Ngapain?”“Ini, lagi beli makanan buat di bawa kerumah, inget Ara.” sengaja Fery katakan untuk menekankan bahwa sekarang dirinya sudah menikah.“Emh, jadi inget waktu dulu, kamu juga perhatian ke aku.”Ya, sesungguhnya Fery dan Ria pernah menjadi sepasang kekasih. Terjadi empat tahun yang lalu dan hanya bertahan satu setengah tahun saja, sebab Ria meninggalkannya untuk menikahi laki-laki lain waktu itu.Fery mengeryitkan dahi. Sebenarnya ia tak suka masa lalunya dengan Ria di ungkit, mengingat dirinya kini sudah menikah.“Sekarang aku sudah punya istri, tolong jaga bicara kamu!” Fery terlihat risi dengan Ria.Bagaimana tidak? Ria malah membicarakan hal yang tidak ingin ia dengar lagi.“Kenapa? Jangan-jangan, istri kamu enggak tahu, ya kalau kita pernah pacaran?” Pertanyaannya berhasil membuat Fery terpancing emosi.Lelaki itu menatap tajam tidak suka.“Dia memang enggak tahu dan enggak perlu tahu!” jawan Fery.Lelaki itu kini terlihat jengkel, bagaimana pun, sekarang mereka sudah memiliki kehidupan pribadi masing-masing dan Fery sungguh tidak ingin kehidupan rumah tangganya terganggu.Kalau bukan karena kejadian kemarin, Fery tidak akan mau mempedulikan Ria. Fery berdiri berniat untuk pergi, tetapi Ria malah memegangi tangan Fery erat.“Fery, tunggu! Sebenarnya, aku menyesal sudah meninggalkan kamu cuma buat menikah dengan Erik, plis! Aku menyadari kesalahan yang aku perbuat dan enggak bisa lupain kamu. Sekarang, aku sudah cerai, aku harap kamu, mau memaafkan meski sulit, tolong maafkan aku,” paparnya tidak tahu malu.Fery memandang geli setelah mendengarkan pernyataan Ria yang blak-blakan kepdanya. Ia sempat berpikir bahwa ternyata perkataan Ara kemarin ada benarnya bahwa insiden waktu itu adalah memang kesengajaan yang direncanakan Ria agar dapat mendekatinya lagi. Ia menggeleng pergi. Lupa, sudah, dengan makanan yang akan dipesannya untuk Ara.Ketika Fery berlalu dan masuk ke dalam kendaraannya, Ria tanpa permisi ikut masuk ke dalam. Fery heran juga tambah kesal dibuatnya.“Ria! Keluar!” perintah Fery penuh penekanan.Namun, Ria malah melakukan hal di luar dugaan. Ia malah mencuri kesempatan untuk mencium Fery di sana. Sontak Fery mendorong secara kasar.“Apa-apaan kamu?!”“Aku tahu, aku salah. Aku sengaja datang untuk minta maaf. Bahkan, aku sengaja pindah ke lingkungan tempat kamu tinggal!”‘Ternyata perkataan Ara kemarin benar. Ah, aku tidak percaya ini,’ batin Fery.“Di antara kita sudah selesai. Aku sudah punya Ara dan sangat mencintai dia! Jangan cari gara-gara, apalagi sampai melakukan ini lagi, paham?!” jelas Fery penuh ancaman“Cinta? Kamu yakin itu disebut cinta? Kamu menikahi perempuan itu tanpa dasar cinta, kan? Aku tahu, dia cuma pelampiasan saja kan?”Fery mendengus kesal, lelaki itu terpaksa keluar dari kendaraannya, lalu menarik keluar Ria dengan paksa. Setelahnya, ia langsung melajukan kendaraan tanpa melirik sedikit pun.Ria mengepalkan tangan, mengumpulkan amarah yang memuncak di hati dan di otak.“Awas aja! Pasti akan kudapatkan kamu lagi, Fer!“***“Mas, kok baru pulang,” tanya Ara menyambut kepulangan Fery.“Iya, Sayang. Jalanan macet,” jawabnya yerpaksa berbohong sembari menyunggingkan senyum.“Aku siapkan air hangat buat mandi, ya?”Fery hanya mengangguk pelan. Ia sangat merasa bersalah kepada Ara. Dalam keadaan sadar dirinya telah bermesraan dengan mantan kekasihnya, Ria. Ya, meskipun itu hanya ketidaksengajaan, tetap saja rasa bersalah menggelayut di relung hati.Ria, ya, sosok yang pernah mengisi hatinya selama satu tahun setengah lalu berpisah sebab Ria memutuskan untuk menikah dengan Laki-laki lain. Kala itu, Ria memberikan rasa sakit di hatinya yang amat dalam. Bagaimana tidak? Ria yang sangat Fery cintai lebih memilih Erik—pria setengah bule, dibandingkan dirinya waktu itu.Namun, rasa sakit itu tidak berlangsung lama. Perlahan terobati berkat hadirnya sosok Ara yang datang tiba-tiba.Fery jadi teringat akan masa lalu ketika pertama kali bertemu dengan Ara.Saat itu Ara berlarian dengan CV lamaran kerja ditangannya. Saking Terburu-buru, dirinya sampai menabrak Fery waktu itu.CV yang dibawa Ara berserakan di lantai.“Tolong lebih hati-hati kalau jalan!” tegur Fery. Lelaki itu sibuk merapikan jas-nya.“Maaf, saya tidak sengaja,” ucap Ara tanpa menoleh. Dirinya sibuk membereskan CV yang berserakan.“Minta maaf, kok, terdengar memaksakan diri,” ujar Fery, sontak membuat Ara melihat ke arahnya.“Maaf, saya sedang buru-buru. Hari ini ada wawancara kerja takut telat, Maaf! Lain kali saya akan meminta maaf dengan pantas,” paparnya seraya berlari meninggalkan Fery. Fery dibuat bingung dengan wanita satu itu.“Wawancara, ya?” gumamnya sembari tersenyum.Ara yang tengah sibuk merapikan diri tidak menyadari bahwa orang yang akan mewawancarainya sudah tiba dan masuk ke ruangan.“Zahra Mulan, silakan masuk,” perintah karyawati berstatus sekretaris itu.Ara pun masuk dengan percaya diri. Meski belum ada pengalaman bekerja karena memang baru lulus kuliah, Ara tetap semangat dan yakin akan performanya.“Selamat pagi, Pak,” sapanya.Bola matanya mendadak terbelalak kala melihat Fery ada di ruangan itu.“Ka-kamu, ngapain di situ?!”Fery tersenyum simpul, “Lah, ini memang kantor saya, kenapa saya enggak boleh ada di sini?”“Hah?” Ara celingukan, kemudian menarik tangannya dengan cepat. “Jangan main-main, kamu! Nanti ketahuan sama bos-nya!”“Eh, Apa, sih? Saya bos-nya di sini!”Ara mendelik tidak percaya, lalu memindai dari ujung kepala hingga kaki.“Ah, kamu pasti model, di sini! Tau lah dari penampilannya!”“Hahaha, dasar ini perempuan! Enggak percaya banget!” Fery mencoba menarik tangan Ara.Namun, yang terjadi malah tangan Fery dipelintir olehnya sehingga Fery meringis sambil menepis kuat. Alhasil, mereka terjatuh bersama di lantai dengan posisi Ara tertindih.Sekretaris Fery bernama Mirna itu tiba-tiba masuk ke ruangan. Melihat kejadian itu, ia malu dan malah salah paham.“Maaf, Pak. Saya dengar ada keributan, jadi saya masuk,” ucapnya merasa tidak enak karena salah paham.Sontak Ara mendorong Fery. Sebaliknya, Fery pun langsung berdiri tegak, lalu merapikan pakaiannya.“Jngan salah sangka! Semua enggak seperti yang kamu pikiran!” sanggah Fery setengah teriak.“Saya enggak bilang apa-apa, Pak,” ucap sekretarisnya tersenyum.“Pokoknya! Enggak terjadi apa-apa. Ingat! Jangan sampai ada gosip tentang ini, mengerti?” sambung Fery mempertegas dan di balas dengan anggukan.Ara akhirnya menyadari bahwa memang Fery adalah Bos dari perusahaan tersebut, dengan wajah memerah sebab malu, ditambah rasa bersalah perihal pelintiran yang dilakukan tadi, Ara meminta maaf hingga membungkuk. Bukannya marah, Fery hanya tertawa menyahuti.“Aduh, cocok deh kalau kamu kerja buat jadi bodyguard saya,” ujarnya sambil tertawa lepas.Tampaknya Ara agak kesal.“Pak, saya melamar untuk bagian sekretaris pribadi, bukan untuk yang lain.”Fery menghentikan tawanya ketika menyadari ekspresi Ara yang tegang.“Ehem! Oke, sorry. Ya sudah, mulai besok kamu sudah mulai bisa kerja sama saya.”Pernyataan Fery membuat Ara terdiam sejenak.“Saya, diterima?” Ara tampak bingung.“Iya, diterima.““Wawancara aja belum. Ini, CV-nya juga masih ....” Ara menggantung ucapannya.“Saya suka sifat kamu, saya mau kamu kerja buat saya.”“Saya belum ada pengalaman dan ....”“Pokoknya, saya terima!“ tegas Fery meyakinkan.Spontan Ara memeluk Fery saking senangnya. Semenjak itu, Fery tanpa sadar sudah menaruh hati pada Ara. Perlahan, Fery juga mulai bisa melupakan Ria. Selama hampir setengah tahun bekerja dengan Ara, dirinya semakin menyadari ada perasaan lain yang dirasa, bukan perasaan antara atasan dan bawahan, tapi perasaan lelaki pada perempuan. Hatinya yang kosong perlahan terisi kembali oleh sosok Ara, hingga ketika sudah yakin dengan perasaannya, Fery akhirnya menyatakan cinta pada Ara. Wanita itu sempat ragu. Namun, Fery terus meyakinkan dan membuat Ara pun jatuh hati kepadanya.Hubungan mereka akhirnya berlanjut hingga pernikahan, tidak butuh waktu lama, hanya setengah bulan berpacaran, mereka melangsungkan ijab kobul di kampung halaman Ara, wanita itu akhirnya resign dari pekerjaannya dan menjalani kehidupan baru sebagai istri Fery.***Ya, semua kenangan itu masih tergambar jelas dalam pikiran Fery. Kini, ia sangat takut akan kehadiran Ria yang mungkin bisa saja menghancurkan kebahagiaannya bersama Ara.“Mas, airnya udah siap, tuh,” ucap Ara berhasil membuyarkan lamunan suaminya.“Eh, iya. Bentar lagi, deh. Pengen disayang-sayang dulu sama kamu,” ujarnya seraya menarik Ara kepelukannya.Perlahan, Fery mengecup mesra istriya itu dengan lembut.“Mas ....” Ara melepaskan kecupan Fery.“Kenapa, Sayang? Kamu enggak mau, ya, gara-gara mas belum mandi?" tanya Fery.Lelaki itu tampak heran dengan penolakan sang istri. Biasanya, Ara tidak pernah menolak kapan pun Fery mengajaknya bermesraan.“Bukan nggak mau Mas,” jawab Ara.Wanita itupun membisik ke telinga Fery.“Aku sekarang lagi ada tamu bulanan,”Seketika Fery menghempaskan tubuhnya ke ranjang.“Ah, gagal. Mana nanggung, lagi,” keluh Fery membuat Ara gemas saja.Lelaki itu berguling-guling di atas ranjang manja, Ara hanya tertawa melihat tingkah Fery yang seperti anak kecil itu. Bahkan, dirinya malah menyuruh Fery untuk bersabar.Tringg! Suara gelas dipukul sendok. Ara tengah mempersiapkan makan malam untuk menyambut kepulangan Fery sehabis kerja. Rasa gembira terpancar dari raut wajahnya.“Ini hari anniversary pernikahanku dan mas Fery yang ke-2, semoga aja dia suka,” ucapnya seraya mengecek kembali semua persiapan supaya tak ada yang kurang mengingat bahwa ini adalah acara makan malam spesial.Akhir pekan biasanya Fery sudah pulang lebih awal, mungkin sekitar pukul delapan malam suaminya akan segera tiba. Makanan tersaji dengan rapih di meja, terlihat nuansa romantis yang tercipta dari lilin yang berjejer.“Tiga puluh menit lagi Mas Fery pulang, sebaiknya aku mandi dulu biar wangi,” gumamnya sembari berlari ke kamar.Setelah selesai mandi, sengaja ara hanya memakai nightdress tanpa lengan setinggi lutut. Karena pakaian seksi itu, tercetak bulat bagian dadanya membusung. Farfum pun disemprot ke sekujur tubuh.Dengan santai, Ara menyetel televisi menunggu kedatangan Fery disana.***Hari ini Fery memang pula
Taksi yang dikendarai Fery dan Ria telah sampai di depan halaman rumah Ria. Setelah membayar si sopir, keduanya turun.“Sampe sini saja, ya,” ucap Fery celingukan takut ada yang melihat, nanti malah jadi bahan gosip lagi seperti sebelumnya.Namun, Ria malah menggelayut di lengan Fery. Dengan adanya kejadian tadi, Ria memiliki kesempatan untuk mendekati Fery kembali, wanita itu tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini, Ria pun kini bersiasat lain.“Fery, sebentar saja, kumohon ....” Ria memohon.“Jangan begini! Nanti di lihat orang gimana?” Fery berusaha melepaskan tangan Ria.“Aku takut sendirian.”Fery terdiam.“Maaf gak bisa, istriku sudah menunggu di rumah,” ucap Fery menekankan.“Aku gak bisa sendirian sekarang, Fery.” Ria malah memeluk Fery tanpa rasa malu.Fery melihat sekeliling lagi, lau dirinya berusaha melepaskan pelukan Ria, tetapi sulit.“Ya sudah! Cuma 5 menit, sekarang lepas!” dengkus Fery kesal. Terpaksa ia menuruti permintaan Ria agar bisa lepas dari pelukan Ria.Benar
Ara terbangun di pagi hari, hidungnya mencium aroma enak menyeruak menggugah selera, ia melirik ke samping tidak mendapati Fery.“Pasti dia lagi masak,” gumamnya seraya mengulum senyum.Setelah mengenakan cardigan yang diambil dari lemari, Ara pun turun ke lantai bawah menuju area dapur.“Emhh, imutnya suamiku pake celemek kayak gini.” Ara memeluk Fery yang tengah sibuk mempersiapkan makanan.“Udah bangun? Cuci muka belum, nih?” Fery sejenak menghentikan aktivitasnya. Ia memandang ke samping tepat pada wajah Ara yang menggantung di bahu kekarnya.“Belum, mau liat kamu dulu.” Ara makin erat memeluk Fery. Entah mengapa, pagi itu Ara terasa ingin terus bermanja-manja pada Fery.“Eiihh jorok, cuci muka dulu, gih! Nanti kita sarapan bareng. Ayo cepetan. Ini udah selesai kok.”“Hmm, iya sebentar.” Ara masih enggan melepas pelukan.Hangat terasa pada tubuhnya membuat Ara nyaman dan masih ingin memeluk Fery, bahkan sesekali Ara menghirup aroma khas suaminya itu.“Emh, ayo. Tadi malam, kan sud
Ara menekuk lutut di sofa ruang tamu. Ia tak berani membuka pintu karena takut dengan kiriman menyeramkan itu.Tak lama terdengar deru mobil di halaman. Itu pasti Fery! Ara pun berdiri, melangkah cepat menuju jendela. Saat mengintip di celah gorden, ternyata iya itu adalah mobil suaminya.“Mas Fery, akhirnya kamu pulang juga,” gumamnya pelan. Bibir Ara semringah, hatinya merasa lega.Setidaknya ketakutan itu berkurang sekarang.“Sayang.” Fery turun dari mobil dengan Vina terburu-buru.Mata mereka langsung tertuju pada kotak di teras, juga kelopak bunga yang berserakan di lantai tak jauh dari kain kumal, persis seperti apa yang Ara laporkan.“Mas!” Ara membuka pintu dan menunjuk ke lantai.Vina menganga di tempat usai melihatnya dengan mata kepala sendiri.“Ini cuma orang jahil aja, Ra. Lihat, deh. Yang kata kamu darah, bukan kok. Cuma pewarna aja,” jelas Fery sambil meraih kain itu.Bibirnya tersenyum simpul. Sedangkan Ara memiringkan bibir, merasa jijik melihat suaminya main pegang-p
Ara setengah kaget dengan kedatangan Fery ke kamar secara tiba-tiba tanpa suara. Ia terlonjak.“Maaf, Sayang. Kamu kaget, ya?” Fery melompat naik ke atas ranjang sembari tertawa.“Kamu dari mana, sih, Mas? Lama banget.” Bibir Ara mengerucut lucu. Membuat Fery gemas bukan main.“Habis buang yang tadi. Jauh,” jawabnya singkat. Fery mendekat pada Ara.Cup!Fery pun malah mencium bibir ranum Ara tanpa izin dari pemiliknya. Membuat pipi wanita itu memanas merah muda.“Dih, Mas. Main cium dadakan aja.” Ara merasa geli, tapi ia suka dengan perlakuan hangat Fery.Fery menyunggingkan senyum lebar, ia menarik Ara ke tengah ranjang.“Mas, ngapain ih, geli,” cegah Ara menarik diri.“Kamu kira ngapain lagi, ya mau bikin anak, lah. Siapa tahu kali ini berhasil,” bisik Fery mengedip mata nakal.“Ini baru jam berapa, Mas. Kalau ada orang bertamu gimana?” Ara meringsut mundur, tetapi ia masih belum bisa menghentikan kenakalan suaminya.“Siapa emangnya yang bakal datang ke sini jam segini, hm?”Fery ta
Ara masih melamun di atas bed besar yang ada di kamarnya. Matanya sesekali melirik foto yang sebelumnya sudah ia remas-remas. Keraguan tumbuh di hatinya pada Fery yang begitu ia cintai.Inginnya menghubungi Fery dan menanyakan perihal foto itu, tetapi ia akhirnya berusaha menenangkan diri dan akan menanyakan langsung nanti sepulang kerja.“Apa iya kamu mengkhianati aku, mas?” tanyanya yang entah untuk keberapa kalinya itu. Ara menatap bingkai foto pernikahannya kosong. Seketika gambar pada bingkai seolah berubah menjadi foto Fery bersama Ria.Prank ...!Ara membanting foto tersebut hingga pecah menjadi beberapa bagian. Tampak berserakan di dekat nakas samping bed. Sesaat di mata Ara, foto itu kembali menjadi wajah dirinya dan fery, Ara mengapit kepala dengan kedua tangannya. Ia terlihat frustrasi.Tring ...!Ponsel yang ada di atas ranjang pun berdering singkat, tanda notifikasi pesan masuk. Ara melirik kaget seakan baru disadarkan dari pikirannya yang kalut. Ia pun segera meraih bend
Fery memijat pelipis dengan jari, merasakan pusing sebab banyaknya pekerjaan yang belum juga selesai. Tiba-tiba saja sekretarisnya mengabarkan informasi tentang adanya masalah dalam proyek baru Fery dan mengharuskannyamengurus semua saat itu juga.“Padahal kepengen cepet pulang. Ampun, deh!”Sesaat teringat Ara, ia pun mengambil ponsel berniat menghubunginya sekadar melepas kangen. Lelaki itu benar-benar kasmaran pada istrinya. Seolah masih pengantin baru saja.‘Panggilan di alihkan ....’Fery heran, tidak biasanya Ara mengalihkan panggilan.“Pak, ada wanita yang ingin bertemu,” ucap sekretaris Fery setelah mengetuk pintu ruangan dan masuk.“striku?” tanya Fery seraya bangkit dari kursi. Bibirnya sudah semringah saja.“Bukan, Pak. Tapi ....” Ucapannya terpotong kala seseorang menerobos masuk tanpa permisi.Senyum Fery langsung pudar begitu saja.“Hai, Fery ... duh, sekretarismu ini rese! Mau masuk nggak boleh, biasanya juga aku sering kesini, kan?” cerocosnya.Ria yang datang ternyata
‘Beginikah rasanya dikhianati?’ batin Ara. Air matanya terus jatuh dan sulit sekali untuk dihentikan.Setelah memergoki suaminya tengah bermesraan dengan Ria yang ia sebut sebagai perusak rumah tangga orang, hatinya bagai dihujam ribuan jarum tajam. Sangat menyakitkan.Wanita itu kini sibuk memasukkan pakaian dan barang-barang pribadinya ke dalam koper tanpa mempedulikan gedoran pintu disertai panggilan Fery dari luar kamar.“Ara! Buka dulu, kita bisa bicarakan baik-baik,” bujuk Fery penuh sesal.“Ra ...!”“Maaf, mas khilaf. Ara, tolong maafkan sekali saja,” pinta Fery. Gedoran di pintu pun mulai melemah.“Sayang, mas sangat menyesal. Tolong, bicaralah. Tidak apa kalau kamu tidak mau melihat mas, tapi setidaknya bicaralah, sayang.”Fery masih membujuk istrinya dengan putus asa. Ia tahu, meski semua terasa sia-sia, setidaknya dengan terus mencoba bicara dari hati akan sedikit didengar Ara walau wanita itu tak menyahuti barang sedikit saja.“Mas tidak pernah berniat mengkhianati kamu, S
Semua yang telah terjadi, seakan menjadi buih lautan yang terombang-ambing sampai akhirnya hilang tak berjejak.Cinta, kasih sayang, penyatuan dua manusia yang berakhir saling berpisah, kemudiaan berjarak dan saling benci karena sebuah kesalah pahaman, akhirnya bisa kembali bicara empat mata dengan waktu yang cukup panjang. Meluruskan segala hal yang salah.Ara tersedu hingga menghabiskan satu pack tisu kecil di tangannya. Setengah hatinya tak percaya karena dia telah ditipu oleh mantan mertua dan adik iparnya, sehingga dia harus menjalani kepahitan selama bertahun-tahun lamanya, setengah hati lainnya masih saja marah karena mengingat tentang perselingkuhannya dengan Ria dulu.Bagian itu, Fery tak dapat membela diri. Sebab namanya memang sudah rusak berkat wanita setan itu. Namun, dia masih berharap Ara akan memaafkan.Dia juga menyesal mengapa semudah itu percaya dengan kata ibunya yang mengatakan Ara sudah menikah dengan Rangga, sehingga dia pun menjadi setengah gila waktu itu. “Ra
“P-Pak Fery?”Mirna begitu terkejut sampai dia hampir saja menjatuhkan ponselnya dari tangan. Beruntung hal buruk itu tak sampai terjadi.“Tantee! Malah ninggalin, sih!” Dinda memburunya, memeluknya, tapi dengan gaya kesal. Sesekali memukul perut Mirna pelan.Ceritanya marah.Namun, Mirna masih mematung sempurna tanpa melepas pandangannya dari Fery. Pun dengan lelaki itu sendiri.“Pak Fery? Ini bener-bener Bapak, kan?” Sambil memangku Dinda agar tak tertinggal lagi karena kecerobohannya, ia mendekat pada Fery yang juga melangkah ke arahnya.Namun, Fery menatapnya dengan berjuta rasa yang menggebu-gebu. Sesekali menatap Dinda dengan berbagai praduga yang tercipta begitu saja dalam rongga otaknya.“Katakan padaku, Mir. Dinda anak siapa?”Dan, yah ... begini jadinya jika seorang Fery sudah curiga berat. Setelah mendengar Dinda berkata jika dia bukan anak kandung Rangga, dia akan langsung mencari jawabannya tak peduli meski tak langsung pada Ara.Seketika mata Mirna terbelalak besar. Dia
Yang Maha Kuasa telah mentakdirkan agar mereka kembali berjumpa. Lantas, sampai kapan, kah, kesalahpahaman antar keduanya terus mengungkung mereka? Kapan sekiranya dua hati yang lukanya tak kering-kering itu sembuh?Entah, tak ada yang tahu. Namun, satu yang pasti, meski tertanam kecewa dan benci atas apa yang terjadi di masa lalu, tetapi rasa rindu juga tak luput menggedor-gedor pintu hati mereka.Ingin keluar, ingin lepas. Sayangnya sesuatu yang bernama gengsi, egois, juga amarah mencegahnya. Rasa yang disebut rindu itu dirantai kuat-kuat, lalu dikubur ke dalam hati terdalamnya.Hasil pertemuan itu tak menjadi apa-apa kecuali menjadi luka yang membuat hati masing-masing berdarah.***Fery terlampau kecewa, ternyata wanita yang sepalu membakar semangatnya untuk kembali pada kondisi semula itu ternyata sudah menikahi laki-laki lain. Bahkan mereka sudah memiliki keturunan.“Sepertinya aku memang terlahir tak normal, tidak sehat, mandul,” gumam Fery frustrasi. Isi kepalanya kini dipenuh
Benarkah yang dilihatnya adalah Fery? Ara terdiam menatap lelaki yang perlahan mendekatinya. Tertegun bahkan hampir tak mengedipkan mata.“Ra, itu kamu?”Tak salah lagi. Lelaki itu memanglah Fery. Sang mantan suami yang kini tampak lebih kurus. Sehingga Ara sedikit syok melihatnya.Sekian tahun berpisah, dan tak pernah saling berhubungan, lalu tiba-tiba bertemu tanpa sengaja begini membuat keduanya merasa sedang bermimpi.Perlahan mata ara berkaca kala Fery telah sampai di hadapanya dengan jarak amat dekat.Lelaki itu sesungguhnya enggan mendekat, tetapi kakinya terus melangkah sejak melihat wajah Ara di tempa ia berdiri tadi. Tanpa bisa diperintah diam, ia terus mendekat.Mungkin rasa rindu yang menggunduk dalam dadanya menjadi sebuah dorongan kuat baginya untuk mendekati Ara.“M-Mas Fery kah?” tanya Ara terbata. Dengan suara paling pelan, tetapi untung lelaki itu masih paham.Bibir Fery tersenyum, kepalanya mengangguk kikuk.‘Sial. Kenapa aku bersikap begini ketika harus berhadapan
Waktu terus bergulir tanpa terasa. Fery mulai bosan tinggal di kamar terus. Semakin lama mendekam di dalam, semakin terbayang wajah sang mantan.“Sepertinya aku harus cari angin. Kalau tidak, bisa mati karena gila memikirkan Ara,” monolog Fery seraya bangkit dari posisi tidurannya.Fery berkaca sebelum benar-benar pergi. Di situ ia menghela napas berat, merasa sedih melihat diri yang masih terlihat kurus. Ya, meski tidak separah sebelumnya, tetapi ia sedih saja.Berjalan keluar, dia disambut oleh tatapan serius dari Vina yang kini sedang selonjoran di atas sofa sambil menonton siaran televisi. Namun Fery cuek saja dan terus melangkah.“Mau ke mana? Ini udah mau magrib, loh Mas.” Gadis muda itu tak segan menegur kala melihat kakaknya berjalan menuju pintu utama.“Sambil nunggu mama balik dan masak, mau keliling-keliling dulu di sekitar kota ini. Sumpek di kamar terus,” jawabnya sambil menarik gagang pintu. Kemudian Fery hilang dari pandangan Vina sebelum dia menyahuti perkataannya.“Hi
Tak akan pernah ada yang tahu tentang takdir akan berjalan bagaimana. Beratkah? Muluskah? Semua hanya Tuhan yang tahu.Mungkin sebagian dari orang menganggapnya sebagai kalimat belaka tanpa arti, tetapi nyatanya takdir memang ada di dunia ini.Takdir yang tak bisa dihindari.Seperti pertemuan kembali Ara dan Fery. Dua manusia yang pernah disatukan dalam ikatan pernikahan, tetapi terpaksa kandas hanya karena sebuah kesalahpahaman dan juga adanya hal lain yang memberatkan sebelah pihak.Sehingga Fery memutuskan untuk menceraikannya lewat surat.Dn dia menyesalinya sepanjang hidup setelah berhasil melewati masa-masa terberatnya dalm hidup.Lantas, akankah semua kesalahpahaman itu akan berakhir?Tak ada yang tahu. Kembali lagi lepada takdir yang sudah menggaris di tangan. Garis yang hanya bisa digambar oleh Sang Pencipta.***Ara masih termenung di meja kerja. Masih mengingat rupa seseotang yang mirip dengan mantan suaminya, Fery.‘Dia mirip sekali. Apakah itu dia? Sungguh?’ Entah untuk k
Saat itu bulan Agustus, waktu di mana Fery dinyatakan pulih hampir seratus persen. Dia sudah bisa kembali menggerakkan seluruh tubuhnya dan mampu bicara, meski sesekali ia merasakan kondisi mati rasa dan juga belum lancar bicara, tetapi itu tak mematahkan semangatnya untuk tetap berusaha kembali pada kondisi normalnya.Hari demi hari dilalui dengan suka cita dan penuh air mata. Fery mencoba melewati masa itu, mencoba membunuh rasa sakit yang terasa tiada ujung. Hingga akhirnya Fery bisa benar-benar kembali pada kondisi normalnya.Dia banyak mengucap syukur dan terima kasihnya yang tak terhingga kepada orang tua serta adiknya yang tetap setia menjaga dan merawat tanpa lelah. Meski sejatinya ia tahu bahwa ada rasa jengah tergaris di wajah mereka di satu waktu.Untuk sementara Fery serta keluarga tinggal di Inggris sebab tak punya pilihan lain setelah habiskan aset dan harta benda demi kesembuhannya.Kondisi ekonomi mereka begitu buruk saat itu, hingga harus merasakan tidur di jalanan us
Ara termenung di jam istirahat. Membuka lembar demi lembar buku album foto Dinda dari ketika dia masih bayi merah hingga kini sudah menjadi gadis mungil yang cantik.Sekarang Dinda tengah tertidur di sofa, di kantor Ara. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dibawa bekerja, sebab di rumah tak ada yang menjaga. Sehingga anak itu tumbuh menjadi gadis baik yang penuh pengertian dan mandiri.Bahkan Dinda selalu menjadi penyemangatnya di saat pekerjaan membuat pening dan memusingkan.“Sebanyak apa pun aku menepis, kamu tetap mirip ayah kamu, Din.” Sofia bergumam sedih.Seminggu lagi dia akan pulang ke rumah untuk merundingkan pernikahannya dengan Rangga, tetapi sejak memutuskan itu, pikirannya kembali dikecoh oleh bayang-bayang Fery sang mantan suami.Entah mengapa, Ara pun tak mengerti.Meski benci mengental mendarah daging, rasa itu tak bisa dibohongi. Nyatanya rindu masih ada untuknya. Rindu yang ada bersamaan dengan benci di hati.“Gimana sekarang dia, ya? Sudah punya anak belum, ya dengan is
Tak peduli bau nasi padang menguar dari mulut, Rangga melamar Ara dengan percaya dirinya. Di sana. Di dalam mobil yang masih diam di tempat.Mata Ara sudah berkaca-kaca. Ingin menangis. Namun, mati-matian menahan sekuatnya. Dia bagai baru saja tersengat oleh aliran listrik. Tak bisa berkata, atau bergerak.“Ra? Kok, malah bengong, sih?” tanya Rangga berhasil mengusir kekagetan Ara.Saat itu juga, ia tersenyum.“Mas serius udah siap nikahin aku?”Kontan Rangga mengangguk.“Serius, dong. Aku sudah memikirkannya dengan matang. Kurasa ini sudah waktunya. Jadi gimana, kamu mau apa engga?” ulangnya bertanya. Rangga tak sabar ingin mendengar jawaban Ara, yakin jika wanita itu akan menerima lamarannya.“Ya mau lah Mas. Aku sudah menunggu begitu lama,” ucap Ara seraya menjatuhkan air mata. Tak tahan lagi. Terharu.Rangga tercenung diam.‘Menunggu lama?’“Kamu menunggu, Ra?” Pertanyaannya bersambut satu anggukkan. Bagi Ara itu adalah kesialan karena bisa-bisanya keceplosan. Kini pipinya semerah