Pengakuan Vanya masih saja mengiang di telinga Rangga. Bahkan itu sudah terjadi dua minggu yang lalu. Akan tetapi, meski telah diminta untuk melupakannya oleh guru muda itu, dan berharap pengakuannya tak sampai terbawa ke lingkup pekerjaan agar tak sampai terjadi kecanggungan, Rangga sama sekali tak bisa lupa. Mau itu dipaksa sekalipun.Ini akhir pekan. Rangga bersiap untuk pulang kampung, mengantar Ara yang sudah hamil tua mudik ke rumah orang tuanya.Ditepislah semua bayangan yang sebenarnya tak mau dia ingat lagi itu. Tentang Vanya dan pengakuannya. Lantas, dia menyetir mobilnya menuju rumah Ara.Tiiid!Wah, hampir saja Rangga oleng dan berpindah jalur. Alamat celaka kalau tak cepat-cepat sadar.“Astagfirullah ...,” ucapnya.Rangga memilih fokus meski sulit. Dan ini hal yang tidak bagus. Bagaimana kalau nanti dia melakukannya lagi ketika sedang bersama Ara?“Tidak, jangan sampai itu terjadi. Dia sedang hamil besar, aku harus hati-hati.”Rangga menghentikan sejenak kendaraan roda em
“Aduh, Pak! Buruan!” Bu Ratna kesal, sudah berteriak ini dan itu hanya karena lama menunggu suaminya yang ada di toilet, sementara hati dan pikirannya sudah ada di Jakarta, memikirkan Ara yang sedang berjuang di ruang bersalin.Bukan tak panik, bapak Ara tak bisa pergi kalau aktivitas ini belum selesai.Gedoran pintu toilet entah sudah berapa kali diketuk istrinya.Di lain tempat, tepat di rumah Rangga, wanita yang menyendiri itu tengah merapalkan doa-doa untuk keselamatan Ara yang sedang melahirkan. Serta berharap agar proses persalinannya berjalan lancar.Ia menyesal karena tak bisa pergi ke Jakarta sebab urusan di kampung tak bisa ditinggalkan begitu saja. Rangga memaklum, dan laki-laki itu tak menuntut agar ibunya bisa datang. Cukup doakan saya dia sudah dangat bersyukur.Bu Ratna akhirnya bisa pergi setelah suaminya selesaikan aktivitasnya itu. Mereka menaiki pick up putih yang biasa Pak Wisnu pakai kalau sedang mengantar hasil pertanian ke pasar-pasar.“Eling, ya, Pak. Hati-hati
Ponsel Rangga bergetar, pertanda telepon masuk. Saat itu dia sedang berada di warteg untuk membeli makanan. Katanya Ara masih lapar walau tadi sudah makan makanan yang disediakan oleh pihak rumah sakit.Rangga memaklum. Memangnya siapa yang tak akan kelaparan setelah berjuang di antara hidup dan mati dalam ruang bersalin? Setelah mendengar Ara ingin makan lagi, ia segera pamit pergi untuk membelikannya.Bu Ratna. Jelas sekali nama itu tertera di layar utama.“Assalamualakum, Bu.”“Waalaikumsallam. Rangga, sebentar lagi kami sampai ke Jakarta. Di sini masih macet. Gimana Ara? Dia sudah mau keluar ASI-nya?”Itulah hal pertama yang ditanyakan calon mertuanya.“Sudah, Bu katanya tadi sudah bisa,” jawab Rangga sedikit kurang nyaman.Bahas ASI? Rangga tak habis pikir.“Syukurlah. Ibu senang dengarnya. Tolong jaga Ara dan cucu kami, ya, Ga. Jangan ditinggal. Sampaikan pesan maaf kami karena terlambat datang hingga akhirnya nggak bisa menyambut kelahiran si kecil lebih awal.”Rasa sesal itu m
Usaha dibarengi kesabaran tak akan membawa hasil buruk. Setelah berjuang melawan kemacetan dan emosi karena kesalnya, Pak Wisnu serta istri berhasil sampai ke rumah sakit tujuan. Rumah sakit di mana Ara dirawat intensif setelah melahirkan cucu mereka.Rangga menyambut kedangan keluarga Ara. Sedikit antusias karena ia juga lelah. Berharap bisa istirahat sebentar saja kalau ada yang berjaga di sana.“Pak, Bu.” Rangga menyalami kedua orang tua Ara takzim, penuh hormat.“Ara mana, Ga? Cucu kami mana?” Ibu Ara celingukan mencari pintu ruangan mana yang Ara huni. Tak sabar ingin melihat wajah mereka.“Di sini, Bu. Mari,” ajak Rangga menunjuk satu ruangan yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.Ara tengah terlelap menghadap ke kiri. Bayinya juga terlelap dalam box-nya sendiri.Pelan sekali kedua orang tua Ara melangkahkan kaki. Mengendp masuk dengan hati-hati. Takutnya membangunkan Ara.Ditatapnya wajah pucat Ara dengan mata berkaca, bergantian dengan menatap bayi mungil yang terpejam tak
“Adinda Permata Biru. Segalanyaku, nafasku, hidupku. Kehadirannya laksana pengobat sakit yang tak pernah kunjung sembuh, kehadirannya menyejukan hatiku seperti hujan di kekeringan. Jika Mas Rangga inginkan aku, Mas harus menerima anakku dengan setulus hati kamu. Karena dia hidup dan matiku. Ingat, aku tak pernah memaksa Mas melakukan ini, tapi Ms sendiri yang menawarkan diri untuk menjadi ayah anakku. Darah daging orang lain,” ucap Ara lirih. Matanya berkaca, sedih usai mengatakannya.Rangga menatap dalam, menghayati setiap kata yang terucap dari bibir manisnya. Tangan yang berpasangkan selang infus itu disentuh lembut.“Aku tahu. Dan aku sudah bertekad untuk memberikan segala yang kupunya. Termasuk hidupku. Aku akan menyayangi Adinda sepenuh hatiku tanpa melihat dia darah daging siapa.”“Terima kasih, Mas.”***Enam bulan berlalu. Bayi mungil Ara sudah tumbuh lebih besar, cantik, dan menggemaskan. Bahkan kedua pipinya sampai tumpah-tumpah saking gemuknya.“Matamu berkilau, bersih ban
’Mas Rangga ....'Ara termenung memandang layar ponsel yang menampilkan nama kontak lelaki itu serta isi pesannya. Entah mengapa ada segunduk sesal yang menggerayangi dada.Terpikir kembali dengan sikapnya yang seakan memusuhi Rangga sejak berakhirnya percakapan empat mata di pelataran.Wanita yang tengah menemani putrinya tidur ini terus merasa bersalah karena banyak hal. Dan dia dilema, apakah harus membalas pesan Rangga atau jangan setelah ingat apa yang ia lakukan.[Maaf kalau lisanku membuat kamu kesal. Aku tak bermaksud begitu]Satu pesan kembali datang. Ara membacanya dari layar notifikasi. Namun, tak lama pesan itu dihapus oleh si pengirim.“Loh, kenapa dihapus? Hm, dia pikir aku belum membacanya, ya.”Sekali lagi dia mengesah dalam. Bertanya dalam hati, kenapa Rangga tiba-tiba minta maaf?[Kamu tahu, hal yang paling membuatku bahagia adalah di saat aku diizinkan untuk mencintaimu dan juga anakmu. Aku bahagia saat bisa menyentuh lembutnya jemari Dinda dan meng-azaninya beberap
Air muka Ara berubah kecut dan wanita itu tak mau membuang waktu. Ia segera mengemas pakaiannya ke dalam koper.“Ra, kamu mau ke mana? Kok, malah buka lemari dan masukin baju ke koper.” tanya bapaknya yang saat itu sedang menggendong Dinda.“Iya, Ra. Ada apa? Kok, ibu jadi ikutan resah gini.”“Bukan cuma Ibu aja, tapi Dinda juga, nih,“ tunjuk ayah Ara kepada si kecil.Layaknya seorang anak yang memiliki ikatan batin kuat terhadap sang ibu, gadis mungil itu kini tengah rewel, ingin masuk ke dalam pangkuan Ara. Dia menangis seakan ikut merasakan kegelisahan ibunya.“Gedung tempat Ara buka usaha kebakaran, Pak. Sepertinya sudah waktunya bagi Ara kembali ke Jakarta.” Wajahnya mengekspresikan sesal yang amat dalam ketika harus menyampaikan berita buruk itu.Bukan hanya sesal saja yang Ara rasa dalam dada, tetapi segelintir rasa syok yang kini membebani pikirannya juga telah menguasai setengah dari pikirannya.Ibu dan bapaknya saling lempar pandang, sementara Ara masih sibuk mengemas pakaia
Ara mendesah berat kalau kembali diingatkan tentang masa lalu yang satu itu. Setiap kali diingat ulang, sakitnya kembali timbul.“Mas, tolong jangan bahas kepergian kita waktu itu. Aku enggak suka.” Wajah Ara kontan masam. Hal ini membuat perasaan Rangga tak nyaman.“I-iya. Maaf, Ra.” Namun, hanya kata maaf saja yang mampu bibirnya ucapkan. Padahal, jika dia tenang sebentar saja, masih banyak kalimat lain yang mungkin bisa menenangkan Ara. Rangga terlalu refleks.Hening. Sepanjang perjalanan berakhir dengan saling perang diam. Sesekali suara tangis Dinda terdengar saat dia bangun dari tidurnya. Namun, gadis mungil itu akan kembali memejam mata saat Ara memberinya susu dalam botol.Oh, ya. ASI Ara sudah tak keluar lancar lagi sejak Dinda berusia tiga hingga masuk empat bulan. Jadi, kebutuhan ASI-nya dibantu dengan susu formula. Meski sejatinya Ara ingin anaknya murni minum air susunya, tetapi karena keadaan itu yang membuat dia terpaksa memberi Dinda susu formula. Dan semakin parah dar