Ara masih saja merasa tegang walau berulang kali Rangga menenangkan. Bahkan kedua kakinya sedikit gemetar ketika turun dari kendaraan roda dua milik laki-laki itu.“Ra, kamu baik-baik aja, kan?” tanya Rangga memastikan.Tanpa dipinta, Rangga membantu Ara membuka helm dari kepala. Ia juga membenarkan anak-qnak rambut yang menghalangi pipi. Menyelipkannya ke belakang telinga Ara.“Aku baik-baik aja, Mas. Makasih udah bukain helm-nya,” bual Ara. Tak mungkin dirinya mengatakan jika masih gugup seperti sebelumnya.“Syukurlah, kalau gitu ayo masuk,” ajak Rangga usai membuka helm miliknya.Baru saja melangkah hingga anak tangga yang menuju teras, pintu utama terbuka. Ibu Rangga menyambut kedatangan Ara dengan hangat tanpa ketinggalan senyumnya.“Ara, apa kabar, Sayang?” Wanita yang masih segar awet muda itu merentangkan tangan, lalu memeluk serta cipika-cipiki kepada Ara.“Baik, Tante. Makasih sudah ngundang Ara buat sarapan bersama.” Ara mencoba menepis semua kegugupan yang terasa melebar,
Sial, bapaknya pulang ketika Ara masih ada di rumah Rangga. Mengetahui anaknya kukuh untuk melanjutkan rencananya, ia tak akan tinggal diam.“ARAA! Bapak tahu kamu ada di dalam! Cepat keluar!” teriaknya menggila.“Tan, itu bapak. Ara takut,” ucap Ara gemetar. Ia merangkul lengan calon mertuanya erat.Ibu Rangga kaget dengan semua ini. Namun, dirinya mencoba untuk meredam ketakutan yang terasa. Digenggamnya tangan Ara, ibu Rangga bertanya.“Bapakmu kenapa marah begitu, Ra?”Ara semakin mempererat pegangan tangannya, ketakutan yang ia rasa semakin membesar saja.“Bapak enggak setuju Ara melahirkan anak ini, Tan. Mungkin karena tahu Ara setuju untuk menjalin hubungan sama mas Rangga, bapak tahu Ara akan tetap mempertahankan bayi ini.” Mata Ara mendadak memanas. Mengingat betapa kejam kata-kata bapaknya semalam membuat ia tak tahan lagi, gemetar hebat.“Astagfurullah ... bisa-bisanya bapakmu, Ra.”Ibu Rangga yang merasakan ketakutan Ara mencoba menenangkan. Meyakinkannya agar tenang. Mesk
“Bu, Bu! Turunkan parangnya, ya, bahaya!” Rangga mencoba menenangkan ibu Ara yang kini kelihatan sangat marah dan emosi.Sementara Ara sendiri malah diam tak bisa berkutik. Otaknya dipenuhi dengan ketakutan-ketakutan yang menyerang secara bersamaan.“Bu, kamu apa-apaan, sih?!” Bapak Ara mendekat panik.Namun wanita itu justru mendekatkan parang ke lehernya, membuat suasana semakin riuh dan tegang.“Bapak berani menyingkirkan cucu ibu, lihat saja ibu akan ikut mati bersamanya!” tantang ibu Ara dengan linangan air mata. Sesungguhnya wanita separuh baya ini takut, tetapi ia berani nekad begini karena ingin melindungi Ara dan calon buah hatinya.“Bu, Ara mohon jangan!”“Jangan mendekat!”Tak ada yang berani mendekatinya. Dinasehati pun tak membuat ibu Ara menjatuhkan benda tajam itu.“Ara, lihatlah! Ibumu jadi gila begitu karena kamu!” sentak Pak Wisnu masih tak tahu diri. Padahal semua tahu ia akar dari permasalahan ini.“Apa?” tanya Ara lirih. Sesekali ia melirik antara ibunya dan bapak
Berminggu-minggu telah dilewati dengan sabar oleh Bu Asti dan Vina. Namun tidak dengan Fery sendiri. Lelaki yang hanya bisa berbaring tak berdaya itu sesungguhnya tak pernah berhenti gelisah.Jauh dalam jantung hatinya ia meraung meratapi nasib buruk yang menimpa. Hatinya lebih hancur terutama ketika ia melihat orang-orang yang ia cintai sedih dan kesulitan.‘Tuhan, aku tak mengerti mengapa Engkau memberiku cobaan sebesar ini. Jika memang dosaku sangat besar, akan lebih baik bagiku mati dan masuk neraka. Itu lebih jelas merasa tersiksa sendiri. Tapi kalau begini, keluargaku menjadi ikut tersiksa. Aku tak bisa melihat air mata mereka jatuh lagi dan lagi.’Sejak kecelakaan itu terjadi, tak ada semangat yang tersisa dalah jantung hati Fery. Semua seolah hilang tersapu angin. Meninggalkan jejak-jejak nyeri yang tak berkesudahan. Terutama ketika ia memutuskan untuk menalak cerai Ara. Wanita yang ia cintai satu-satunya.‘Di setiap detik yang kulalui setiap waktu adalah hanya berpikir bagaim
‘Andai waktu yang telah berlalu bisa diulangi lagi, aku ingin sekali meminta maaf kepada Ara dan meyakinkannya jika diri ini tak selingkuh dengan Ria. Mendengar Vina mengatakan kehidupan Ara menderita usai ditalak cerai olehku, rasanya hati ini patah. Menimbulkan nyeri yang menusuk ke ulu hati.’Fery kembali menitikkan air mata, tak tahan dengan kesesakan yang mendera.‘Sial. Bahkan untuk menangis saja aku tak bisa berteriak sesuka hati. Mendengar keluargaku membicarakan banyak harapan dan kepedihan serta kesusahannya membuat aku ingin bangun. Sungguh. Tapi teringat lagi betapa aku sangat menyusahkan dan membuat orang-orang yang kucintai terluka, aku lebih memilih untuk mati. Andai saja aku diberi kesempatan untuk menggerakkan sebelah tangan ini, aku ingin mengambil sebilah pisau, mengiris urat nadi di tangan lainnya.’Fery membatin putus asa.Ini baru mendengar Ara menderita. Kalau dia mendengar Ara memiliki anak darinya, apakah Fery akan berubah pikiran? Andai ia tahu Ara rela mengo
Pria tua dengan julukan mantan preman kampung itu berdecak berkali-kali di sepanjang perjalanannya menuju warung Nur yang ada di simpangan gang. Letaknya bersampingan dengan rumah Pak Somad yang tak lain adalah saingannya sejak remaja, dan berlanjut menjadi musuh sampai kini.“Aduh, sial bener nasibku hari ini. Kenapa si Ara mau makan itu buah belimbing, sih? Nyusahin aja. Kan, jadinya harus merancang rencana buat nyolong itu buah.” Pak Wisnu bergumam sendiri sambil garuk-garuk kepala, bingung.Yah, seperti kata Pak Wisnu, ia akan mencuri buah yang Ara inginkan, ta sudi benar kalau harus minta izin untuk memetiknya kepada Pak Somad.“Gila aja disuruh beli buah itu ke si Somad. Yang ada dia ngajak gelut,” gumamnya lagi.Sekarang Pak Wisnu hampir sampai ke warung Bu Nur. Langkahnya semakin pelan. Kepalanya celingukan kanan kiri, memindai ke seketar tempat, takut melihat Pak Somad.“Ogah bener gue harus liat batang hidungnya yang enggak mancung itu,” ucap Pak Wisnu lagi.Setelah memindai
Kondisi hati Ara lebih baik dari hari kemarin dan hari-hari lain yang telah ia lalui. Semua karena bapaknya telah menyerah dan tak lagi menuntutnya untuk menggugurkan bayi dalam perutnya.“Bapak mau-maunya disuruh ibu,” gumamnya sambil tertawa kecil.Setelah bisa mengusir pusing dan mualnya. Ara bangkit dari ranjang, memaksakan diri menyapu teras yang masih kotor.“Kata dokter aku harus banyak gerak biar bayinya sehat. Lagian diam terus di kamar juga enggak enak. Otot-ototku serasa pegal.”“Loh, Ra. Kamu bukannya istirahat, malah nyapu. Nanti pusing lagi, gimana coba?” Ibunya keluar dari dalam rumah. Melihat anaknya menyapu di teras membuat kekhawatiran muncul.Ara mengulas senyum segar. “Ara baik-baik aja, Bu.”“Kamu yakin?” tanyanya memastikan sekali lagi.“Iya, Bu. Makasih udah khawatirin Ara, dan ... makasih juga udah bela Ara sampai bikin bapak bolehin Ara pertahankan bayi ini. Ara nyesel nyeret Ibu ke dalam persoalan Ara. Gara-gara itu, Ibu jadi terluka. Ara minta maaf,” sesal A
Muka Ara merah padam. Antara marah sekaligus malu karena menjadi sumber bahan gosipan tetangganya. Bahkan yang menangkap basah adalah bapaknya sendiri.“Apa? Jadi ... Ibu kira saya hamil anak laki-laki hidung belang?” Tumpah air mata Ara di detik itu juga. Tak menyangka kehamilannya yang diketahui usai perceraian terjadi menjadi buah bibir yang tak mengenakan.“Lah, iya! Mereka sok tahu! Bagian mau bapak laporin ke polisi atas pencemaran nama baik mohon-mohon enggak mau,” sahut bapaknya sambil berkacak pinggang. Matanya masih tak bisa berhenti melotot. “Keterlaluan, kan? Emangnya siapa yang nggak bakal marah kalau anaknya digosipkan begitu!”Semakin kerap air mata Ara berjatuhan, Bu Ratna semakin erat memeluk, berharap pelukannya bisa sedikit menenangkan meski kenyataannya hal itu tak bisa meredakan sakit yang Ara rasa.“Demi Allah, Bu. Saya hamil anak mantan suami saya sebelum pisah. Usia kandungannya sudah menginjak tiga bulan. Kalian sendiri pasti tahu kapan kami bercerai. Dan tolo