Langit telah menguning indah di cakrawala. Angin sejuknya menerpa wajah Ara di ambang jendela. Wanita itu tengah menikmati keindahan sore di kamarnya.Dari sana dapat terpampang nyata dua gunung yang terlihat memesona kala tersorot cahaya mentari. Kabut-kabut tipis berarak mulai menyelimutinya. Dan entah mengapa Ara merasa tenang.Tersadar dari semua, Ara mengelus perutnya. Teringat tawa canda Fery yang setiap waktu mengisi hari-hari Ara. Kelebatan bayangan itu sebenarnya menyiksa, tetapi memikirkan tentang buah hatinya sudah bisa mengontrol diri untuk tak terlalu membenci.“Sebab dia ayah kamu, Nak. Setidaknya sampai saat ini bunda masih berusaha untuk tak membencinya terlalu dalam. Nanti setelah kembali ke kota, bunda janji akan tetap mencari tahu keberadaan mereka,” janjinya yakin. Bibir itu melengkungkan garis tipis penuh makna harap.***“Apa, Ra? Kamu mau kembali ke kota? Kapan?”Selesai makan malam, Ara langsung menyampaikan niatnya yang akan pergi ke Jakarta.“Rencananya besok
Ara menyandarkan diri di sandaran divan ranjang. Ia tengah berpikir apakah harus menghubungi Rangga atau jangan? Ini perihal keberangkatannya ke Jakarta. Ara belum juga memberitahunya, padahal barang-barang sudah dikemas dalam koper.“Ini udah terlalu malem. Enggak enak. Gimanapun, minta tolong ke dia kentara banget kayak manfaatin. Soalnya dia tahu aku enggak punya perasaan cinta sama dia. Ck.”Ara bergumam bingung. Segunduk sesal itu kembali menyerang batin.“Sepertinya enggak baik terus melakukan ini sama mas Rangga. Benar kata warga, kasihan dia harus jadi korbanku,” lenguh Ara tambah bingung.“Tapi, disuruh menjauh dariku juga dia enggak mau. Ngeyel banget.”Kini Ara mengubah posisi duduknya menjadi tiduran. Sambil memikirkan soal Rangga, ia juga memikirkan Fery.“Semua karena dia, aku disiksa lahir batin, sampai enggak bisa buka hati ke orang lain,” rutuknya kesal. Tak seperti biasanya jika setiap ingat pasti menangis, sekarang tidak. Justru yang ada rasanya kesal bukan main.Se
London, sore hari.Vina masih setia menjaga Fery di kamarnya. Pikiran gadis itu menerawang jauh ke negeri asalnya, Indonesia. Tak menyangka bahwa esok dirinya akan berangkat sendirian ke sana.‘Vina, tolong beri aku kabar tentangnya. Aku rindu.’ Fery menatap adiknya penuh harap. Sayang, tatapannya sama sekali tak berbalas. Vina terlalu sibuk melamun sekarang.“Mas, besok aku mau melakukan perjalanan jauh. Mungkin beberapa hari nggak bisa jagain Mas.” Vina memandang bola mata Fery amat sedih.Andai laki-laki itu tahu ke mana Vina akan pergi. Mungkin hatinya akan melambung tinggi, pasti meminta tolong untuk memeriksa kondisi mantan istrinya itu.Namun, Vina dan ibunya telah sepakat untuk tidak memberitahu Fery. Mereka khawatir kakaknya akan kepikiran. Apalagi pergi ke Indonesia.‘Mau ke mana, Vin?’ tanya Fery dalam hati. Matanya mendadak perih. ‘Maaf, kamu harus sering bepergian ke sana ke mari untukku yang tak berguna ini. Maaf.’Air matanya jatuh. Fery tenggelam dalam kesedihan yang t
“Hoeek!”Ara kembali muntah. Posisinya saat itu ia di pinggir jalan. Rangga menepikan mobilnya darurat setelah wanita yang ia cinta berkata mual dan tak tahan ingin mengeluarkan semua makanan yang telah ia cerna sebelumnya.“Hoeek!”Rangga turun dari mobil. Membantu Ara dengan memijat tengkuk wanita itu lembut.“Udah, Mas. Jangan. Jijik, tau.” Ara mengelap sudut bibirnya dengan tisu. Setelah berupaya menahan mual yang menyiksa, akhirnya lumayan lega usai dikeluarkan hampir semua.Persis kata Ara, jijik. Sebab kali ini Ara muntah di tepi jalan, bukan di toilet.“Enggak apa-apa. Lanjutkan. Aku enggak merasa jijik, kok.”Ara ingin menolak lagi karena malu. Rangga belum menjadi suaminya, tetapi sudah memerhatikan sampai seperti ini. Ia merasa tak enak hati.Namun, mual kembali menyerang sebelum mulutnya mengatakan soal penolakan itu. Ara kembali tersiksa.“Yaah, sayang banget itu sup keluar lagi. Padahal rasanya enak,” keluh Ara susah payah mengatur napas.Rangga tersenyum simpul.“Kita bi
Vina telah selesai berkemas. Ia sudah bersiap akan pergi. Sendiri. Ibunya berpesan untuk hati-hati. Ketika sampai, jangan lupa mengabari.Gadia muda itu termenung sedih mengingat kepulangannya adalah untuk menjual satu-satunya harta yang mereka miliki di Jakarta.Jika bukan demi kakaknya, Vina tak akan mau melakukan itu. Tanah warisan sang kakek adalah yang paling berharga untuknya. Vina amat sedih harus melepas tanah itu. Sungguh.“Aku akan kembali, Ma, Mas.” Vina berkaca-kaca. Menggusur kopernya dengan kepala kosong.***Ara tengah tidur nikmat, tetapi mimpi buruk mengganggu. Wanita itu berjalan di atas tebing bebatuan, dan melihat Fery di seberangnya.Demi apa pun, Ara yang rindu setengah mati menangis tersedu. Bahkan air matanya berjatuhan begitu deras walau matanya terpejam rapat.“Mas ... aku kangen,” pilunya menangis lebih keras.Fery masih di tempat sama, berdiri dengan senyumnya yang merekah. Laki-laki itu terkadang melambai tanpa suara. Namun, Ara tahu matanya tetap tertuju
Ara baru saja selesai mandi ketika tiba-tiba bel pintu berbunyi.Tanya besar memenuhi kepalanya. Siapa kira-kira yang bertamu di pagi hari?Gegas wanita itu memakai pakaian seadanya, tanpa melepas lilitan handuk di kepala. Ara turun memeriksa.“Selamat pagi, dengan Ibu Ara?” Lelaki berperawakan sedang dengan kulit sawo matang berdiri dengan sebuh kotak di tangan.Ara mengeryitkan dahi.“Ya, saya sendiri,” sahutnya bingung.Lelaki itu melebarkan senyum yang telah terpatri. Menunjukan smiling eyes yang tampak ramah.“Saya kurir yang bertugas mengantar paket Ibu. Ini, silahkan diterima. Dan mohon izin untuk mengambil foto Ibu sambil pegang paketnya sebagai bukti tanda terima ke kantor.”Oh ... pikir Ara. Wanita itu menerima kotak segi empat yang lumayan berat untuknya pagi itu. Sementara si kurir mengeluarkan ponselnya usai Ara mengangguk tak keberatan.Foto benar-benar diambil.“Terima kasih banyak, Bu. Kalau begitu saya permisi,” izinya.Ara tak banyak bicara. Hanya setuju saja saat it
“Mas, aku mual,” ucap Ara mengadu.Rangga menoleh panik.“Mau muntah di sini?”Rangga tengok kanan dan kiri. Bertanya-tanya apakah Ara mau muntah di tengah keramaian begini?“Aku tahan aja, Mas. Malu,” jawab Ara terpaksa. Wanita itu lebih memilih menyandarkan kepala pada sandaran kursi mobil, mati-matian menahan dorongan di dada dan tenggorokan.Ini menyiksa Ara, tetapi mau bagaimana lagi? Tak mungkin dirinya muntah di pinggir jalan yang begitu ramai pejalan kaki.“Inilah kenapa aku benci macet,” kelur Ara ingin menangis.Rangga mengeluarkan sapu tangan di saku, kemudian memberikannya pada Ara.“Mau pakai plastik aja, Ra? Enggak dikeluarin enggak enak, kan?” Rangga khawatir. Ia segera mencari-cari di sekitaran jok siapa tahu ada plastik nganggur atau apa pun yang bisa dipakai untuk menampung muntahan Ara.“Udah, enggak usah Mas. Sekarang mendingan, kok.” Ara memejamkan mata, berharap rasa mualnya hilang semua.Sayangnya melakukan itu adalah kesia-siaan belaka. Ara tak bisa mengusir ra
Nekad. Hanya kata itu yang mendorong Vina untuk membuntuti Ara. Wanita itu bersumpah kalau melakukan ini telah membuat jantungnya berdentum keras.‘Aduh, kok, rasanya udah kayak penjahat, sih,’ batinnya. Namun ia tetap melanjutkan langkah, masuk ke dalam toilet umum wanita.Saat masuk ke dalam toilet umum, Vina tak melihat Ara di manapun. Matanya memindai teliti ke setiap sudut toilet yang kini terasa sepi.“Pasti ada di salah satu bilik toilet ini,” gumamnya sepelan mungkin. Pandangannya kini mengarah ke dua bilik toilet yang tertutup rapat. Ia yakin ada Ara di antara bilik itu.Ingin hati langsung memanggil Ara, tetapi otaknya langsung mencegah. Itu adalah hal terkonyol yang akan berakhir mengganggu ketenangan orang lain yang juga masih berada di dalam toilet. Akhirnya Vina menahan diri.Tak lama bilik toilet pojok terbuka. Dan orang itu bukanlah Ara. Vina cepat-cepat menghadap cermin, pura-pura mencuci tangan di wastafel.‘Aku tak boleh terlihat kentara, nanti dicurigai orang.’ Ia
Semua yang telah terjadi, seakan menjadi buih lautan yang terombang-ambing sampai akhirnya hilang tak berjejak.Cinta, kasih sayang, penyatuan dua manusia yang berakhir saling berpisah, kemudiaan berjarak dan saling benci karena sebuah kesalah pahaman, akhirnya bisa kembali bicara empat mata dengan waktu yang cukup panjang. Meluruskan segala hal yang salah.Ara tersedu hingga menghabiskan satu pack tisu kecil di tangannya. Setengah hatinya tak percaya karena dia telah ditipu oleh mantan mertua dan adik iparnya, sehingga dia harus menjalani kepahitan selama bertahun-tahun lamanya, setengah hati lainnya masih saja marah karena mengingat tentang perselingkuhannya dengan Ria dulu.Bagian itu, Fery tak dapat membela diri. Sebab namanya memang sudah rusak berkat wanita setan itu. Namun, dia masih berharap Ara akan memaafkan.Dia juga menyesal mengapa semudah itu percaya dengan kata ibunya yang mengatakan Ara sudah menikah dengan Rangga, sehingga dia pun menjadi setengah gila waktu itu. “Ra
“P-Pak Fery?”Mirna begitu terkejut sampai dia hampir saja menjatuhkan ponselnya dari tangan. Beruntung hal buruk itu tak sampai terjadi.“Tantee! Malah ninggalin, sih!” Dinda memburunya, memeluknya, tapi dengan gaya kesal. Sesekali memukul perut Mirna pelan.Ceritanya marah.Namun, Mirna masih mematung sempurna tanpa melepas pandangannya dari Fery. Pun dengan lelaki itu sendiri.“Pak Fery? Ini bener-bener Bapak, kan?” Sambil memangku Dinda agar tak tertinggal lagi karena kecerobohannya, ia mendekat pada Fery yang juga melangkah ke arahnya.Namun, Fery menatapnya dengan berjuta rasa yang menggebu-gebu. Sesekali menatap Dinda dengan berbagai praduga yang tercipta begitu saja dalam rongga otaknya.“Katakan padaku, Mir. Dinda anak siapa?”Dan, yah ... begini jadinya jika seorang Fery sudah curiga berat. Setelah mendengar Dinda berkata jika dia bukan anak kandung Rangga, dia akan langsung mencari jawabannya tak peduli meski tak langsung pada Ara.Seketika mata Mirna terbelalak besar. Dia
Yang Maha Kuasa telah mentakdirkan agar mereka kembali berjumpa. Lantas, sampai kapan, kah, kesalahpahaman antar keduanya terus mengungkung mereka? Kapan sekiranya dua hati yang lukanya tak kering-kering itu sembuh?Entah, tak ada yang tahu. Namun, satu yang pasti, meski tertanam kecewa dan benci atas apa yang terjadi di masa lalu, tetapi rasa rindu juga tak luput menggedor-gedor pintu hati mereka.Ingin keluar, ingin lepas. Sayangnya sesuatu yang bernama gengsi, egois, juga amarah mencegahnya. Rasa yang disebut rindu itu dirantai kuat-kuat, lalu dikubur ke dalam hati terdalamnya.Hasil pertemuan itu tak menjadi apa-apa kecuali menjadi luka yang membuat hati masing-masing berdarah.***Fery terlampau kecewa, ternyata wanita yang sepalu membakar semangatnya untuk kembali pada kondisi semula itu ternyata sudah menikahi laki-laki lain. Bahkan mereka sudah memiliki keturunan.“Sepertinya aku memang terlahir tak normal, tidak sehat, mandul,” gumam Fery frustrasi. Isi kepalanya kini dipenuh
Benarkah yang dilihatnya adalah Fery? Ara terdiam menatap lelaki yang perlahan mendekatinya. Tertegun bahkan hampir tak mengedipkan mata.“Ra, itu kamu?”Tak salah lagi. Lelaki itu memanglah Fery. Sang mantan suami yang kini tampak lebih kurus. Sehingga Ara sedikit syok melihatnya.Sekian tahun berpisah, dan tak pernah saling berhubungan, lalu tiba-tiba bertemu tanpa sengaja begini membuat keduanya merasa sedang bermimpi.Perlahan mata ara berkaca kala Fery telah sampai di hadapanya dengan jarak amat dekat.Lelaki itu sesungguhnya enggan mendekat, tetapi kakinya terus melangkah sejak melihat wajah Ara di tempa ia berdiri tadi. Tanpa bisa diperintah diam, ia terus mendekat.Mungkin rasa rindu yang menggunduk dalam dadanya menjadi sebuah dorongan kuat baginya untuk mendekati Ara.“M-Mas Fery kah?” tanya Ara terbata. Dengan suara paling pelan, tetapi untung lelaki itu masih paham.Bibir Fery tersenyum, kepalanya mengangguk kikuk.‘Sial. Kenapa aku bersikap begini ketika harus berhadapan
Waktu terus bergulir tanpa terasa. Fery mulai bosan tinggal di kamar terus. Semakin lama mendekam di dalam, semakin terbayang wajah sang mantan.“Sepertinya aku harus cari angin. Kalau tidak, bisa mati karena gila memikirkan Ara,” monolog Fery seraya bangkit dari posisi tidurannya.Fery berkaca sebelum benar-benar pergi. Di situ ia menghela napas berat, merasa sedih melihat diri yang masih terlihat kurus. Ya, meski tidak separah sebelumnya, tetapi ia sedih saja.Berjalan keluar, dia disambut oleh tatapan serius dari Vina yang kini sedang selonjoran di atas sofa sambil menonton siaran televisi. Namun Fery cuek saja dan terus melangkah.“Mau ke mana? Ini udah mau magrib, loh Mas.” Gadis muda itu tak segan menegur kala melihat kakaknya berjalan menuju pintu utama.“Sambil nunggu mama balik dan masak, mau keliling-keliling dulu di sekitar kota ini. Sumpek di kamar terus,” jawabnya sambil menarik gagang pintu. Kemudian Fery hilang dari pandangan Vina sebelum dia menyahuti perkataannya.“Hi
Tak akan pernah ada yang tahu tentang takdir akan berjalan bagaimana. Beratkah? Muluskah? Semua hanya Tuhan yang tahu.Mungkin sebagian dari orang menganggapnya sebagai kalimat belaka tanpa arti, tetapi nyatanya takdir memang ada di dunia ini.Takdir yang tak bisa dihindari.Seperti pertemuan kembali Ara dan Fery. Dua manusia yang pernah disatukan dalam ikatan pernikahan, tetapi terpaksa kandas hanya karena sebuah kesalahpahaman dan juga adanya hal lain yang memberatkan sebelah pihak.Sehingga Fery memutuskan untuk menceraikannya lewat surat.Dn dia menyesalinya sepanjang hidup setelah berhasil melewati masa-masa terberatnya dalm hidup.Lantas, akankah semua kesalahpahaman itu akan berakhir?Tak ada yang tahu. Kembali lagi lepada takdir yang sudah menggaris di tangan. Garis yang hanya bisa digambar oleh Sang Pencipta.***Ara masih termenung di meja kerja. Masih mengingat rupa seseotang yang mirip dengan mantan suaminya, Fery.‘Dia mirip sekali. Apakah itu dia? Sungguh?’ Entah untuk k
Saat itu bulan Agustus, waktu di mana Fery dinyatakan pulih hampir seratus persen. Dia sudah bisa kembali menggerakkan seluruh tubuhnya dan mampu bicara, meski sesekali ia merasakan kondisi mati rasa dan juga belum lancar bicara, tetapi itu tak mematahkan semangatnya untuk tetap berusaha kembali pada kondisi normalnya.Hari demi hari dilalui dengan suka cita dan penuh air mata. Fery mencoba melewati masa itu, mencoba membunuh rasa sakit yang terasa tiada ujung. Hingga akhirnya Fery bisa benar-benar kembali pada kondisi normalnya.Dia banyak mengucap syukur dan terima kasihnya yang tak terhingga kepada orang tua serta adiknya yang tetap setia menjaga dan merawat tanpa lelah. Meski sejatinya ia tahu bahwa ada rasa jengah tergaris di wajah mereka di satu waktu.Untuk sementara Fery serta keluarga tinggal di Inggris sebab tak punya pilihan lain setelah habiskan aset dan harta benda demi kesembuhannya.Kondisi ekonomi mereka begitu buruk saat itu, hingga harus merasakan tidur di jalanan us
Ara termenung di jam istirahat. Membuka lembar demi lembar buku album foto Dinda dari ketika dia masih bayi merah hingga kini sudah menjadi gadis mungil yang cantik.Sekarang Dinda tengah tertidur di sofa, di kantor Ara. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dibawa bekerja, sebab di rumah tak ada yang menjaga. Sehingga anak itu tumbuh menjadi gadis baik yang penuh pengertian dan mandiri.Bahkan Dinda selalu menjadi penyemangatnya di saat pekerjaan membuat pening dan memusingkan.“Sebanyak apa pun aku menepis, kamu tetap mirip ayah kamu, Din.” Sofia bergumam sedih.Seminggu lagi dia akan pulang ke rumah untuk merundingkan pernikahannya dengan Rangga, tetapi sejak memutuskan itu, pikirannya kembali dikecoh oleh bayang-bayang Fery sang mantan suami.Entah mengapa, Ara pun tak mengerti.Meski benci mengental mendarah daging, rasa itu tak bisa dibohongi. Nyatanya rindu masih ada untuknya. Rindu yang ada bersamaan dengan benci di hati.“Gimana sekarang dia, ya? Sudah punya anak belum, ya dengan is
Tak peduli bau nasi padang menguar dari mulut, Rangga melamar Ara dengan percaya dirinya. Di sana. Di dalam mobil yang masih diam di tempat.Mata Ara sudah berkaca-kaca. Ingin menangis. Namun, mati-matian menahan sekuatnya. Dia bagai baru saja tersengat oleh aliran listrik. Tak bisa berkata, atau bergerak.“Ra? Kok, malah bengong, sih?” tanya Rangga berhasil mengusir kekagetan Ara.Saat itu juga, ia tersenyum.“Mas serius udah siap nikahin aku?”Kontan Rangga mengangguk.“Serius, dong. Aku sudah memikirkannya dengan matang. Kurasa ini sudah waktunya. Jadi gimana, kamu mau apa engga?” ulangnya bertanya. Rangga tak sabar ingin mendengar jawaban Ara, yakin jika wanita itu akan menerima lamarannya.“Ya mau lah Mas. Aku sudah menunggu begitu lama,” ucap Ara seraya menjatuhkan air mata. Tak tahan lagi. Terharu.Rangga tercenung diam.‘Menunggu lama?’“Kamu menunggu, Ra?” Pertanyaannya bersambut satu anggukkan. Bagi Ara itu adalah kesialan karena bisa-bisanya keceplosan. Kini pipinya semerah