Sudah seharian ini Rangga tak menghubungi. Bahkan dia tak datang di pagi hari. Biasanya selalu datang dengan membawa menu sarapan.Lihatlah, karena kebiasaan itu, Ara kelaparan. Menunggu Rangga membawakan menu makanan lezat seharian membuat dia kesal dan berpikir apakah laki-laki itu lupa atau bagaimana?“Sebaiknya aku pergi ke dapur dulu buat bikin makanan. Bisa pingsan kalau nungguin mas Rangga yang enggak datang-datang. Heran, deh.”Ara bangun dari pembaringannya. Saat itu ia merebahkan diri di sofa sambil menonton serial televisi kesukaannya. Kapan lagi bisa bersantai seperti itu? Biasanya setiap hari Ara selalu disibukan dengan pekerjaan yang tak ada habisnya. Namun, sejak hamil ia sering ada di rumah, urusan kerjaan Mirna yang kerjakan.Dibukanya kulkas, kosong. Hanya mendapati dinginnya hawa yang menguar keluar. Wajah Ara seketika kecewa.‘Ah, ya ampun. Lupa belum beli stok kebutuhan dapur,’ ucapnya dalam hati.Seketika kedua kakinya serasa lemas. Ara terduduk di lantai. Akan t
Vina bertemu dengan seorang eksekutif perusahaan komunikasi di sebuah kafe. Orang itu bernama Yosep. Dialah orang yang ingin membeli tanah milik mendiang kakek Vina.Gadis itu mendesah lesu. Berdebar tak karuan setelah menunggu di sana. Ini adalah kali pertama ia melakukan ini. Ibunya berpesan jika bisa tawarkan harga paling tinggi, dan dapatkan uangnya.“Gimana kalau aku enggak bisa? Gimana kalau gagal dan malah bikin kacau?”Ketakutan itu menyerang ganas pada pikiran Vina. Membuat tubuhnya banjir keringat.Orang penting itu datang. Berdua dengan asistennya.Vina semakin canggung di tempat.“Halo, Vina. Lama tak berjumpa dengan kakakmu. Kalau boleh tahu, bagaimana kondisinya sekarang?” Yosep tak canggung bertanya.Sebenarnya Vina risih ditanya soal kakaknya ini. Namun, demi lancarnya bisnis jual beli tanah itu, ia terpaksa harus menjawabnya.“Alhamdulillah, lebih baik,” bohongnya. Vina tak mungkin mengatakan kalau kondisi Fery memprihatinkan.“Syukurlah. Saya harap Fery segera pulih
“Deal!”Vina dan Yosep berjabat tangan usai menyepakati perjual-belian tanah luas itu.Akhirnya, setelah berdiskusi mengenai banyak hal, ini dan itu, semua berakhir lancar. Vina mendapatkan harga bagus, bahkan melebihi dari yang ibunya harapkan.“Terima kasih, Pak, atas waktunya.”“Heem. Saya juga berterima kasih. Semoga uangnya bermanfaat. Kalau begitu kami pergi lebih dulu.” Laki-laki itu akhirnya pergi dari hadapan Vina.Sepeninggal Yosep, senyumnya seketika pudar. Vina menghela napas berat, menatap pada bungkus coklat berisi gepokan uang di dalamnya.“Semua selesai, Mas. Semua habis. Kita tidak punya apa-apa lagi di sini. Maafkan aku, ini juga demi kebaikan kamu. Kami ingin kamu sembuh,” sesal Vina memejam mata.Gadis itu akhirnya kembali ke London dengan membawa hasil. Meski hatinya sedih sebab baru saja melepas aset berharga itu, Vina tetap berusaha tegar. Seperti katanya, semua demi Fery.“Aku akan datang, tapi maaf ... sepertinya soal mbak Ara aku enggak akan mengatakan apa pu
Hening sesaat setelah Ara mengatakan keberaniannya tentang keinginannya pergi ke London.“Untuk apa, Ra?” lirih Rangga bertanya.Ia bertanya bukan karena tak tahu mau apa dan ke mana tujuannya, tetapi dengan bodoh ia berharap Ara menjawab hanya ingin pergi liburan.Berharap jika Ara hanya sedang bosan atau memang ngidam ingin ke luar negeri. Yah, itu semua pikiran bodohnya yang ia sendiri tahu hanya mustahil.“Aku mau ... cari mas Fery. Maafkan aku, Mas. Aku hanya ....”“Aku akan ke sana sekarang. Tunggu, jangan pernah berniat pergi keluar malam-malam. Paham?”Rangga tak menggubris ucapan Ara yang baginya terdengar konyol. Ia cepat-cepat bergegas menuju rumah Ara. Dari banyaknya hal yang ia cemaskan, hanya satu yang tak bisa pergi dari pikiran, yaitu Rangga takut jika tiba-tiba Ara nekad pergi di tengah malam begini.“Mana hujan sudah mulai turun,” gumamnya seraya menyalakan mesin mobil.Rangga menyetir setengah gila. Bahkan lebih gila lagi daripada saat menyusul Ara di rumah bidan wa
“Hm?” Ara tercenung. Matanya menatap wajah Rangga yang basah keringat lamat-lamat.Apa? Pergi bersama? Hati Ara bertanya. Kenapa dia sekeras kepala ini, sih?“Mas, aku merasakan ketulusanmu, sungguh. Tapi, kamu tidak perlu melakukan itu sampai sejauh ini. Karena pada akhirnya aku cuma akan menyakiti hati kamu, Mas.” Ara sudah letih menghadapi kebaikan Rangga. Tak pernah berhenti menyakiti diri sendiri.Laki-laki itu menatap dalam dengan bola mata yang masih memerah, bekas menangis. Bahkan rasa hangatnya masih terasa di sekitar mata. Sejenak ia hanya diam memperdalam pandangannya. Lalu, beberapa detik selanjutnya ia menghela napas berat. Mengembuskan pelan.“Aku tahu kamu pasti sudah bosan menghadapiku. Tapi, Ra ... aku akan tetap pada pendirianku. Sebelum kamu bisa mendapatkan kebahagiaanmu, aku akan tetap mengikuti kamu ke manapun. Karena janjiku adalah untuk menjaga kamu, melihat kamu bahagia. Jadi, jangan larang aku, paham?”Ara tercenung di tempat. Ia mengesah jengah.‘Mengapa? Me
‘Aku tak mengerti mengapa mencintai itu bisa sesakit ini. Kupikir cinta akan selalu semanis persis namanya, nyatanya lebih pahit dari apa pun.’Ara membatin kala matanya terbuka perlahan. Mata rapat dipenuhi kotoran kecil. Ia baru bangun, dan Rangga tak ada di sisinya.Posisi Ara kini terbaring di atas ranjang, berselimut hangat. Dia menepuk jidat mengesah.“Dia pasti yang pindahin ke sini,” gumamnya buru-buru bangkit dari ranjang.Ara langsung menuju ambang pintu kamar. Membukanya, lalu memanggil Rangga setengah gila. Demi apa pun, Ara sangat takut kalau laki-laki itu ingkar janji dan malah pulang atau pergi entah ke mana.“Mas Rangaaa!”KLONTRANG! PRAAK!Suara barang jatuh yang menyahut penggilannya pertama kali. Ada suara pecah juga. Kemungkinan itu adalah benda beling kaca.“Apa, Ra?!” Lalu menyusul suara Rangga.Saat itu juga rasa lega menguasai hati Ara. Wanita itu sungguh bersyukur jika Rangga tak mengingkari janjinya.Ara gegas menuruni anak tangga. Tergesa. Ia menuju ke ruang
Tumben. London diguyur hujan deras. Padahal, biasanya tidak. Bahkan udara masuk membawa bau tanah kering yang menusuk hidung.Namun, hal itu tak membuat semangat Fery untuk pulih hilang. Ia bahkan terus melatih otot ibu jarinya yang sudah lumayan bertenaga.Jangan tanya sebahagia apa dia, sudah pasti hatinya melambung tinggi. Sejak ia bisa menggerakan ibu jarinya walau terkadang nyeri karena terlalu sering menggerakannya, Fery tak pernah lagi menangis.“Mas, aku senang kamu sudah ada perkembangan baik begini,” ucap Vina terharu. Gadis yang baru saja kembali dari Jakarta itu sangat bahagia dengan kemajuan pada kakaknya.Fery masih saja menggerakan ibu jarinya, tak peduli meski sekarang ada Vina. Namun, tak lama ia berhenti karena merasa pegal.“Jangan terlalu dipaksakan, Mas. Pelan-pelan saja,” saran Vina seraya menggemggam tangan Fery.Fery mengarahkan pandangan matanya kepada sang adik. Ia baru ingat kalau gadis itu habis dari Indonesia untuk menjual aset terakhir yang mereka punya.
“Uwaah ....”Speechless. Yang Ara lakukan ketika sampai di London adalah membuka lebar mulutnya, memandang sekeliling kagum.Sudah lama sekali semenjak dirinya tak pergi ke luar negeri seperti ini. Dan kota London sudah berubah banyak sejak terakhir kali ia datang.Kota cantik yang dulu ia kunjungi bersama Fery saat bulan madu. Dan itu adalah kali pertama dan terakhir ia datang ke sini.Bibir Ara yang tersenyum penuh kemaguman itu perlahan pudar. Pikirannya diseret jauh ke dalam kenangan lama yang memuakan, tetapi dirindukan olehnya. Dan Ara sungguh bersedih hati sekarang.Ara ingat betul ketika mereka melaksanakan malam pertama dengan begitu romantis di salah satu hotel berkelas di sekitar sini. Melihat letusan-letusan kembang api yang indah di antara gedung-gedung nan tinggi ini di balik selimut yang basah oleh keringat.Dan suasana itu tak akan pernah terlupakan ileh dirinya sedikitpun.Pelukannya, ciuman hangatnya, sentuhan lembutnya, serta bisikan penuh canda itu juga. Ara tak ak
Semua yang telah terjadi, seakan menjadi buih lautan yang terombang-ambing sampai akhirnya hilang tak berjejak.Cinta, kasih sayang, penyatuan dua manusia yang berakhir saling berpisah, kemudiaan berjarak dan saling benci karena sebuah kesalah pahaman, akhirnya bisa kembali bicara empat mata dengan waktu yang cukup panjang. Meluruskan segala hal yang salah.Ara tersedu hingga menghabiskan satu pack tisu kecil di tangannya. Setengah hatinya tak percaya karena dia telah ditipu oleh mantan mertua dan adik iparnya, sehingga dia harus menjalani kepahitan selama bertahun-tahun lamanya, setengah hati lainnya masih saja marah karena mengingat tentang perselingkuhannya dengan Ria dulu.Bagian itu, Fery tak dapat membela diri. Sebab namanya memang sudah rusak berkat wanita setan itu. Namun, dia masih berharap Ara akan memaafkan.Dia juga menyesal mengapa semudah itu percaya dengan kata ibunya yang mengatakan Ara sudah menikah dengan Rangga, sehingga dia pun menjadi setengah gila waktu itu. “Ra
“P-Pak Fery?”Mirna begitu terkejut sampai dia hampir saja menjatuhkan ponselnya dari tangan. Beruntung hal buruk itu tak sampai terjadi.“Tantee! Malah ninggalin, sih!” Dinda memburunya, memeluknya, tapi dengan gaya kesal. Sesekali memukul perut Mirna pelan.Ceritanya marah.Namun, Mirna masih mematung sempurna tanpa melepas pandangannya dari Fery. Pun dengan lelaki itu sendiri.“Pak Fery? Ini bener-bener Bapak, kan?” Sambil memangku Dinda agar tak tertinggal lagi karena kecerobohannya, ia mendekat pada Fery yang juga melangkah ke arahnya.Namun, Fery menatapnya dengan berjuta rasa yang menggebu-gebu. Sesekali menatap Dinda dengan berbagai praduga yang tercipta begitu saja dalam rongga otaknya.“Katakan padaku, Mir. Dinda anak siapa?”Dan, yah ... begini jadinya jika seorang Fery sudah curiga berat. Setelah mendengar Dinda berkata jika dia bukan anak kandung Rangga, dia akan langsung mencari jawabannya tak peduli meski tak langsung pada Ara.Seketika mata Mirna terbelalak besar. Dia
Yang Maha Kuasa telah mentakdirkan agar mereka kembali berjumpa. Lantas, sampai kapan, kah, kesalahpahaman antar keduanya terus mengungkung mereka? Kapan sekiranya dua hati yang lukanya tak kering-kering itu sembuh?Entah, tak ada yang tahu. Namun, satu yang pasti, meski tertanam kecewa dan benci atas apa yang terjadi di masa lalu, tetapi rasa rindu juga tak luput menggedor-gedor pintu hati mereka.Ingin keluar, ingin lepas. Sayangnya sesuatu yang bernama gengsi, egois, juga amarah mencegahnya. Rasa yang disebut rindu itu dirantai kuat-kuat, lalu dikubur ke dalam hati terdalamnya.Hasil pertemuan itu tak menjadi apa-apa kecuali menjadi luka yang membuat hati masing-masing berdarah.***Fery terlampau kecewa, ternyata wanita yang sepalu membakar semangatnya untuk kembali pada kondisi semula itu ternyata sudah menikahi laki-laki lain. Bahkan mereka sudah memiliki keturunan.“Sepertinya aku memang terlahir tak normal, tidak sehat, mandul,” gumam Fery frustrasi. Isi kepalanya kini dipenuh
Benarkah yang dilihatnya adalah Fery? Ara terdiam menatap lelaki yang perlahan mendekatinya. Tertegun bahkan hampir tak mengedipkan mata.“Ra, itu kamu?”Tak salah lagi. Lelaki itu memanglah Fery. Sang mantan suami yang kini tampak lebih kurus. Sehingga Ara sedikit syok melihatnya.Sekian tahun berpisah, dan tak pernah saling berhubungan, lalu tiba-tiba bertemu tanpa sengaja begini membuat keduanya merasa sedang bermimpi.Perlahan mata ara berkaca kala Fery telah sampai di hadapanya dengan jarak amat dekat.Lelaki itu sesungguhnya enggan mendekat, tetapi kakinya terus melangkah sejak melihat wajah Ara di tempa ia berdiri tadi. Tanpa bisa diperintah diam, ia terus mendekat.Mungkin rasa rindu yang menggunduk dalam dadanya menjadi sebuah dorongan kuat baginya untuk mendekati Ara.“M-Mas Fery kah?” tanya Ara terbata. Dengan suara paling pelan, tetapi untung lelaki itu masih paham.Bibir Fery tersenyum, kepalanya mengangguk kikuk.‘Sial. Kenapa aku bersikap begini ketika harus berhadapan
Waktu terus bergulir tanpa terasa. Fery mulai bosan tinggal di kamar terus. Semakin lama mendekam di dalam, semakin terbayang wajah sang mantan.“Sepertinya aku harus cari angin. Kalau tidak, bisa mati karena gila memikirkan Ara,” monolog Fery seraya bangkit dari posisi tidurannya.Fery berkaca sebelum benar-benar pergi. Di situ ia menghela napas berat, merasa sedih melihat diri yang masih terlihat kurus. Ya, meski tidak separah sebelumnya, tetapi ia sedih saja.Berjalan keluar, dia disambut oleh tatapan serius dari Vina yang kini sedang selonjoran di atas sofa sambil menonton siaran televisi. Namun Fery cuek saja dan terus melangkah.“Mau ke mana? Ini udah mau magrib, loh Mas.” Gadis muda itu tak segan menegur kala melihat kakaknya berjalan menuju pintu utama.“Sambil nunggu mama balik dan masak, mau keliling-keliling dulu di sekitar kota ini. Sumpek di kamar terus,” jawabnya sambil menarik gagang pintu. Kemudian Fery hilang dari pandangan Vina sebelum dia menyahuti perkataannya.“Hi
Tak akan pernah ada yang tahu tentang takdir akan berjalan bagaimana. Beratkah? Muluskah? Semua hanya Tuhan yang tahu.Mungkin sebagian dari orang menganggapnya sebagai kalimat belaka tanpa arti, tetapi nyatanya takdir memang ada di dunia ini.Takdir yang tak bisa dihindari.Seperti pertemuan kembali Ara dan Fery. Dua manusia yang pernah disatukan dalam ikatan pernikahan, tetapi terpaksa kandas hanya karena sebuah kesalahpahaman dan juga adanya hal lain yang memberatkan sebelah pihak.Sehingga Fery memutuskan untuk menceraikannya lewat surat.Dn dia menyesalinya sepanjang hidup setelah berhasil melewati masa-masa terberatnya dalm hidup.Lantas, akankah semua kesalahpahaman itu akan berakhir?Tak ada yang tahu. Kembali lagi lepada takdir yang sudah menggaris di tangan. Garis yang hanya bisa digambar oleh Sang Pencipta.***Ara masih termenung di meja kerja. Masih mengingat rupa seseotang yang mirip dengan mantan suaminya, Fery.‘Dia mirip sekali. Apakah itu dia? Sungguh?’ Entah untuk k
Saat itu bulan Agustus, waktu di mana Fery dinyatakan pulih hampir seratus persen. Dia sudah bisa kembali menggerakkan seluruh tubuhnya dan mampu bicara, meski sesekali ia merasakan kondisi mati rasa dan juga belum lancar bicara, tetapi itu tak mematahkan semangatnya untuk tetap berusaha kembali pada kondisi normalnya.Hari demi hari dilalui dengan suka cita dan penuh air mata. Fery mencoba melewati masa itu, mencoba membunuh rasa sakit yang terasa tiada ujung. Hingga akhirnya Fery bisa benar-benar kembali pada kondisi normalnya.Dia banyak mengucap syukur dan terima kasihnya yang tak terhingga kepada orang tua serta adiknya yang tetap setia menjaga dan merawat tanpa lelah. Meski sejatinya ia tahu bahwa ada rasa jengah tergaris di wajah mereka di satu waktu.Untuk sementara Fery serta keluarga tinggal di Inggris sebab tak punya pilihan lain setelah habiskan aset dan harta benda demi kesembuhannya.Kondisi ekonomi mereka begitu buruk saat itu, hingga harus merasakan tidur di jalanan us
Ara termenung di jam istirahat. Membuka lembar demi lembar buku album foto Dinda dari ketika dia masih bayi merah hingga kini sudah menjadi gadis mungil yang cantik.Sekarang Dinda tengah tertidur di sofa, di kantor Ara. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dibawa bekerja, sebab di rumah tak ada yang menjaga. Sehingga anak itu tumbuh menjadi gadis baik yang penuh pengertian dan mandiri.Bahkan Dinda selalu menjadi penyemangatnya di saat pekerjaan membuat pening dan memusingkan.“Sebanyak apa pun aku menepis, kamu tetap mirip ayah kamu, Din.” Sofia bergumam sedih.Seminggu lagi dia akan pulang ke rumah untuk merundingkan pernikahannya dengan Rangga, tetapi sejak memutuskan itu, pikirannya kembali dikecoh oleh bayang-bayang Fery sang mantan suami.Entah mengapa, Ara pun tak mengerti.Meski benci mengental mendarah daging, rasa itu tak bisa dibohongi. Nyatanya rindu masih ada untuknya. Rindu yang ada bersamaan dengan benci di hati.“Gimana sekarang dia, ya? Sudah punya anak belum, ya dengan is
Tak peduli bau nasi padang menguar dari mulut, Rangga melamar Ara dengan percaya dirinya. Di sana. Di dalam mobil yang masih diam di tempat.Mata Ara sudah berkaca-kaca. Ingin menangis. Namun, mati-matian menahan sekuatnya. Dia bagai baru saja tersengat oleh aliran listrik. Tak bisa berkata, atau bergerak.“Ra? Kok, malah bengong, sih?” tanya Rangga berhasil mengusir kekagetan Ara.Saat itu juga, ia tersenyum.“Mas serius udah siap nikahin aku?”Kontan Rangga mengangguk.“Serius, dong. Aku sudah memikirkannya dengan matang. Kurasa ini sudah waktunya. Jadi gimana, kamu mau apa engga?” ulangnya bertanya. Rangga tak sabar ingin mendengar jawaban Ara, yakin jika wanita itu akan menerima lamarannya.“Ya mau lah Mas. Aku sudah menunggu begitu lama,” ucap Ara seraya menjatuhkan air mata. Tak tahan lagi. Terharu.Rangga tercenung diam.‘Menunggu lama?’“Kamu menunggu, Ra?” Pertanyaannya bersambut satu anggukkan. Bagi Ara itu adalah kesialan karena bisa-bisanya keceplosan. Kini pipinya semerah