Berminggu-minggu telah dilewati dengan sabar oleh Bu Asti dan Vina. Namun tidak dengan Fery sendiri. Lelaki yang hanya bisa berbaring tak berdaya itu sesungguhnya tak pernah berhenti gelisah.Jauh dalam jantung hatinya ia meraung meratapi nasib buruk yang menimpa. Hatinya lebih hancur terutama ketika ia melihat orang-orang yang ia cintai sedih dan kesulitan.‘Tuhan, aku tak mengerti mengapa Engkau memberiku cobaan sebesar ini. Jika memang dosaku sangat besar, akan lebih baik bagiku mati dan masuk neraka. Itu lebih jelas merasa tersiksa sendiri. Tapi kalau begini, keluargaku menjadi ikut tersiksa. Aku tak bisa melihat air mata mereka jatuh lagi dan lagi.’Sejak kecelakaan itu terjadi, tak ada semangat yang tersisa dalah jantung hati Fery. Semua seolah hilang tersapu angin. Meninggalkan jejak-jejak nyeri yang tak berkesudahan. Terutama ketika ia memutuskan untuk menalak cerai Ara. Wanita yang ia cintai satu-satunya.‘Di setiap detik yang kulalui setiap waktu adalah hanya berpikir bagaim
‘Andai waktu yang telah berlalu bisa diulangi lagi, aku ingin sekali meminta maaf kepada Ara dan meyakinkannya jika diri ini tak selingkuh dengan Ria. Mendengar Vina mengatakan kehidupan Ara menderita usai ditalak cerai olehku, rasanya hati ini patah. Menimbulkan nyeri yang menusuk ke ulu hati.’Fery kembali menitikkan air mata, tak tahan dengan kesesakan yang mendera.‘Sial. Bahkan untuk menangis saja aku tak bisa berteriak sesuka hati. Mendengar keluargaku membicarakan banyak harapan dan kepedihan serta kesusahannya membuat aku ingin bangun. Sungguh. Tapi teringat lagi betapa aku sangat menyusahkan dan membuat orang-orang yang kucintai terluka, aku lebih memilih untuk mati. Andai saja aku diberi kesempatan untuk menggerakkan sebelah tangan ini, aku ingin mengambil sebilah pisau, mengiris urat nadi di tangan lainnya.’Fery membatin putus asa.Ini baru mendengar Ara menderita. Kalau dia mendengar Ara memiliki anak darinya, apakah Fery akan berubah pikiran? Andai ia tahu Ara rela mengo
Pria tua dengan julukan mantan preman kampung itu berdecak berkali-kali di sepanjang perjalanannya menuju warung Nur yang ada di simpangan gang. Letaknya bersampingan dengan rumah Pak Somad yang tak lain adalah saingannya sejak remaja, dan berlanjut menjadi musuh sampai kini.“Aduh, sial bener nasibku hari ini. Kenapa si Ara mau makan itu buah belimbing, sih? Nyusahin aja. Kan, jadinya harus merancang rencana buat nyolong itu buah.” Pak Wisnu bergumam sendiri sambil garuk-garuk kepala, bingung.Yah, seperti kata Pak Wisnu, ia akan mencuri buah yang Ara inginkan, ta sudi benar kalau harus minta izin untuk memetiknya kepada Pak Somad.“Gila aja disuruh beli buah itu ke si Somad. Yang ada dia ngajak gelut,” gumamnya lagi.Sekarang Pak Wisnu hampir sampai ke warung Bu Nur. Langkahnya semakin pelan. Kepalanya celingukan kanan kiri, memindai ke seketar tempat, takut melihat Pak Somad.“Ogah bener gue harus liat batang hidungnya yang enggak mancung itu,” ucap Pak Wisnu lagi.Setelah memindai
Kondisi hati Ara lebih baik dari hari kemarin dan hari-hari lain yang telah ia lalui. Semua karena bapaknya telah menyerah dan tak lagi menuntutnya untuk menggugurkan bayi dalam perutnya.“Bapak mau-maunya disuruh ibu,” gumamnya sambil tertawa kecil.Setelah bisa mengusir pusing dan mualnya. Ara bangkit dari ranjang, memaksakan diri menyapu teras yang masih kotor.“Kata dokter aku harus banyak gerak biar bayinya sehat. Lagian diam terus di kamar juga enggak enak. Otot-ototku serasa pegal.”“Loh, Ra. Kamu bukannya istirahat, malah nyapu. Nanti pusing lagi, gimana coba?” Ibunya keluar dari dalam rumah. Melihat anaknya menyapu di teras membuat kekhawatiran muncul.Ara mengulas senyum segar. “Ara baik-baik aja, Bu.”“Kamu yakin?” tanyanya memastikan sekali lagi.“Iya, Bu. Makasih udah khawatirin Ara, dan ... makasih juga udah bela Ara sampai bikin bapak bolehin Ara pertahankan bayi ini. Ara nyesel nyeret Ibu ke dalam persoalan Ara. Gara-gara itu, Ibu jadi terluka. Ara minta maaf,” sesal A
Muka Ara merah padam. Antara marah sekaligus malu karena menjadi sumber bahan gosipan tetangganya. Bahkan yang menangkap basah adalah bapaknya sendiri.“Apa? Jadi ... Ibu kira saya hamil anak laki-laki hidung belang?” Tumpah air mata Ara di detik itu juga. Tak menyangka kehamilannya yang diketahui usai perceraian terjadi menjadi buah bibir yang tak mengenakan.“Lah, iya! Mereka sok tahu! Bagian mau bapak laporin ke polisi atas pencemaran nama baik mohon-mohon enggak mau,” sahut bapaknya sambil berkacak pinggang. Matanya masih tak bisa berhenti melotot. “Keterlaluan, kan? Emangnya siapa yang nggak bakal marah kalau anaknya digosipkan begitu!”Semakin kerap air mata Ara berjatuhan, Bu Ratna semakin erat memeluk, berharap pelukannya bisa sedikit menenangkan meski kenyataannya hal itu tak bisa meredakan sakit yang Ara rasa.“Demi Allah, Bu. Saya hamil anak mantan suami saya sebelum pisah. Usia kandungannya sudah menginjak tiga bulan. Kalian sendiri pasti tahu kapan kami bercerai. Dan tolo
Langit telah menguning indah di cakrawala. Angin sejuknya menerpa wajah Ara di ambang jendela. Wanita itu tengah menikmati keindahan sore di kamarnya.Dari sana dapat terpampang nyata dua gunung yang terlihat memesona kala tersorot cahaya mentari. Kabut-kabut tipis berarak mulai menyelimutinya. Dan entah mengapa Ara merasa tenang.Tersadar dari semua, Ara mengelus perutnya. Teringat tawa canda Fery yang setiap waktu mengisi hari-hari Ara. Kelebatan bayangan itu sebenarnya menyiksa, tetapi memikirkan tentang buah hatinya sudah bisa mengontrol diri untuk tak terlalu membenci.“Sebab dia ayah kamu, Nak. Setidaknya sampai saat ini bunda masih berusaha untuk tak membencinya terlalu dalam. Nanti setelah kembali ke kota, bunda janji akan tetap mencari tahu keberadaan mereka,” janjinya yakin. Bibir itu melengkungkan garis tipis penuh makna harap.***“Apa, Ra? Kamu mau kembali ke kota? Kapan?”Selesai makan malam, Ara langsung menyampaikan niatnya yang akan pergi ke Jakarta.“Rencananya besok
Ara menyandarkan diri di sandaran divan ranjang. Ia tengah berpikir apakah harus menghubungi Rangga atau jangan? Ini perihal keberangkatannya ke Jakarta. Ara belum juga memberitahunya, padahal barang-barang sudah dikemas dalam koper.“Ini udah terlalu malem. Enggak enak. Gimanapun, minta tolong ke dia kentara banget kayak manfaatin. Soalnya dia tahu aku enggak punya perasaan cinta sama dia. Ck.”Ara bergumam bingung. Segunduk sesal itu kembali menyerang batin.“Sepertinya enggak baik terus melakukan ini sama mas Rangga. Benar kata warga, kasihan dia harus jadi korbanku,” lenguh Ara tambah bingung.“Tapi, disuruh menjauh dariku juga dia enggak mau. Ngeyel banget.”Kini Ara mengubah posisi duduknya menjadi tiduran. Sambil memikirkan soal Rangga, ia juga memikirkan Fery.“Semua karena dia, aku disiksa lahir batin, sampai enggak bisa buka hati ke orang lain,” rutuknya kesal. Tak seperti biasanya jika setiap ingat pasti menangis, sekarang tidak. Justru yang ada rasanya kesal bukan main.Se
London, sore hari.Vina masih setia menjaga Fery di kamarnya. Pikiran gadis itu menerawang jauh ke negeri asalnya, Indonesia. Tak menyangka bahwa esok dirinya akan berangkat sendirian ke sana.‘Vina, tolong beri aku kabar tentangnya. Aku rindu.’ Fery menatap adiknya penuh harap. Sayang, tatapannya sama sekali tak berbalas. Vina terlalu sibuk melamun sekarang.“Mas, besok aku mau melakukan perjalanan jauh. Mungkin beberapa hari nggak bisa jagain Mas.” Vina memandang bola mata Fery amat sedih.Andai laki-laki itu tahu ke mana Vina akan pergi. Mungkin hatinya akan melambung tinggi, pasti meminta tolong untuk memeriksa kondisi mantan istrinya itu.Namun, Vina dan ibunya telah sepakat untuk tidak memberitahu Fery. Mereka khawatir kakaknya akan kepikiran. Apalagi pergi ke Indonesia.‘Mau ke mana, Vin?’ tanya Fery dalam hati. Matanya mendadak perih. ‘Maaf, kamu harus sering bepergian ke sana ke mari untukku yang tak berguna ini. Maaf.’Air matanya jatuh. Fery tenggelam dalam kesedihan yang t
Semua yang telah terjadi, seakan menjadi buih lautan yang terombang-ambing sampai akhirnya hilang tak berjejak.Cinta, kasih sayang, penyatuan dua manusia yang berakhir saling berpisah, kemudiaan berjarak dan saling benci karena sebuah kesalah pahaman, akhirnya bisa kembali bicara empat mata dengan waktu yang cukup panjang. Meluruskan segala hal yang salah.Ara tersedu hingga menghabiskan satu pack tisu kecil di tangannya. Setengah hatinya tak percaya karena dia telah ditipu oleh mantan mertua dan adik iparnya, sehingga dia harus menjalani kepahitan selama bertahun-tahun lamanya, setengah hati lainnya masih saja marah karena mengingat tentang perselingkuhannya dengan Ria dulu.Bagian itu, Fery tak dapat membela diri. Sebab namanya memang sudah rusak berkat wanita setan itu. Namun, dia masih berharap Ara akan memaafkan.Dia juga menyesal mengapa semudah itu percaya dengan kata ibunya yang mengatakan Ara sudah menikah dengan Rangga, sehingga dia pun menjadi setengah gila waktu itu. “Ra
“P-Pak Fery?”Mirna begitu terkejut sampai dia hampir saja menjatuhkan ponselnya dari tangan. Beruntung hal buruk itu tak sampai terjadi.“Tantee! Malah ninggalin, sih!” Dinda memburunya, memeluknya, tapi dengan gaya kesal. Sesekali memukul perut Mirna pelan.Ceritanya marah.Namun, Mirna masih mematung sempurna tanpa melepas pandangannya dari Fery. Pun dengan lelaki itu sendiri.“Pak Fery? Ini bener-bener Bapak, kan?” Sambil memangku Dinda agar tak tertinggal lagi karena kecerobohannya, ia mendekat pada Fery yang juga melangkah ke arahnya.Namun, Fery menatapnya dengan berjuta rasa yang menggebu-gebu. Sesekali menatap Dinda dengan berbagai praduga yang tercipta begitu saja dalam rongga otaknya.“Katakan padaku, Mir. Dinda anak siapa?”Dan, yah ... begini jadinya jika seorang Fery sudah curiga berat. Setelah mendengar Dinda berkata jika dia bukan anak kandung Rangga, dia akan langsung mencari jawabannya tak peduli meski tak langsung pada Ara.Seketika mata Mirna terbelalak besar. Dia
Yang Maha Kuasa telah mentakdirkan agar mereka kembali berjumpa. Lantas, sampai kapan, kah, kesalahpahaman antar keduanya terus mengungkung mereka? Kapan sekiranya dua hati yang lukanya tak kering-kering itu sembuh?Entah, tak ada yang tahu. Namun, satu yang pasti, meski tertanam kecewa dan benci atas apa yang terjadi di masa lalu, tetapi rasa rindu juga tak luput menggedor-gedor pintu hati mereka.Ingin keluar, ingin lepas. Sayangnya sesuatu yang bernama gengsi, egois, juga amarah mencegahnya. Rasa yang disebut rindu itu dirantai kuat-kuat, lalu dikubur ke dalam hati terdalamnya.Hasil pertemuan itu tak menjadi apa-apa kecuali menjadi luka yang membuat hati masing-masing berdarah.***Fery terlampau kecewa, ternyata wanita yang sepalu membakar semangatnya untuk kembali pada kondisi semula itu ternyata sudah menikahi laki-laki lain. Bahkan mereka sudah memiliki keturunan.“Sepertinya aku memang terlahir tak normal, tidak sehat, mandul,” gumam Fery frustrasi. Isi kepalanya kini dipenuh
Benarkah yang dilihatnya adalah Fery? Ara terdiam menatap lelaki yang perlahan mendekatinya. Tertegun bahkan hampir tak mengedipkan mata.“Ra, itu kamu?”Tak salah lagi. Lelaki itu memanglah Fery. Sang mantan suami yang kini tampak lebih kurus. Sehingga Ara sedikit syok melihatnya.Sekian tahun berpisah, dan tak pernah saling berhubungan, lalu tiba-tiba bertemu tanpa sengaja begini membuat keduanya merasa sedang bermimpi.Perlahan mata ara berkaca kala Fery telah sampai di hadapanya dengan jarak amat dekat.Lelaki itu sesungguhnya enggan mendekat, tetapi kakinya terus melangkah sejak melihat wajah Ara di tempa ia berdiri tadi. Tanpa bisa diperintah diam, ia terus mendekat.Mungkin rasa rindu yang menggunduk dalam dadanya menjadi sebuah dorongan kuat baginya untuk mendekati Ara.“M-Mas Fery kah?” tanya Ara terbata. Dengan suara paling pelan, tetapi untung lelaki itu masih paham.Bibir Fery tersenyum, kepalanya mengangguk kikuk.‘Sial. Kenapa aku bersikap begini ketika harus berhadapan
Waktu terus bergulir tanpa terasa. Fery mulai bosan tinggal di kamar terus. Semakin lama mendekam di dalam, semakin terbayang wajah sang mantan.“Sepertinya aku harus cari angin. Kalau tidak, bisa mati karena gila memikirkan Ara,” monolog Fery seraya bangkit dari posisi tidurannya.Fery berkaca sebelum benar-benar pergi. Di situ ia menghela napas berat, merasa sedih melihat diri yang masih terlihat kurus. Ya, meski tidak separah sebelumnya, tetapi ia sedih saja.Berjalan keluar, dia disambut oleh tatapan serius dari Vina yang kini sedang selonjoran di atas sofa sambil menonton siaran televisi. Namun Fery cuek saja dan terus melangkah.“Mau ke mana? Ini udah mau magrib, loh Mas.” Gadis muda itu tak segan menegur kala melihat kakaknya berjalan menuju pintu utama.“Sambil nunggu mama balik dan masak, mau keliling-keliling dulu di sekitar kota ini. Sumpek di kamar terus,” jawabnya sambil menarik gagang pintu. Kemudian Fery hilang dari pandangan Vina sebelum dia menyahuti perkataannya.“Hi
Tak akan pernah ada yang tahu tentang takdir akan berjalan bagaimana. Beratkah? Muluskah? Semua hanya Tuhan yang tahu.Mungkin sebagian dari orang menganggapnya sebagai kalimat belaka tanpa arti, tetapi nyatanya takdir memang ada di dunia ini.Takdir yang tak bisa dihindari.Seperti pertemuan kembali Ara dan Fery. Dua manusia yang pernah disatukan dalam ikatan pernikahan, tetapi terpaksa kandas hanya karena sebuah kesalahpahaman dan juga adanya hal lain yang memberatkan sebelah pihak.Sehingga Fery memutuskan untuk menceraikannya lewat surat.Dn dia menyesalinya sepanjang hidup setelah berhasil melewati masa-masa terberatnya dalm hidup.Lantas, akankah semua kesalahpahaman itu akan berakhir?Tak ada yang tahu. Kembali lagi lepada takdir yang sudah menggaris di tangan. Garis yang hanya bisa digambar oleh Sang Pencipta.***Ara masih termenung di meja kerja. Masih mengingat rupa seseotang yang mirip dengan mantan suaminya, Fery.‘Dia mirip sekali. Apakah itu dia? Sungguh?’ Entah untuk k
Saat itu bulan Agustus, waktu di mana Fery dinyatakan pulih hampir seratus persen. Dia sudah bisa kembali menggerakkan seluruh tubuhnya dan mampu bicara, meski sesekali ia merasakan kondisi mati rasa dan juga belum lancar bicara, tetapi itu tak mematahkan semangatnya untuk tetap berusaha kembali pada kondisi normalnya.Hari demi hari dilalui dengan suka cita dan penuh air mata. Fery mencoba melewati masa itu, mencoba membunuh rasa sakit yang terasa tiada ujung. Hingga akhirnya Fery bisa benar-benar kembali pada kondisi normalnya.Dia banyak mengucap syukur dan terima kasihnya yang tak terhingga kepada orang tua serta adiknya yang tetap setia menjaga dan merawat tanpa lelah. Meski sejatinya ia tahu bahwa ada rasa jengah tergaris di wajah mereka di satu waktu.Untuk sementara Fery serta keluarga tinggal di Inggris sebab tak punya pilihan lain setelah habiskan aset dan harta benda demi kesembuhannya.Kondisi ekonomi mereka begitu buruk saat itu, hingga harus merasakan tidur di jalanan us
Ara termenung di jam istirahat. Membuka lembar demi lembar buku album foto Dinda dari ketika dia masih bayi merah hingga kini sudah menjadi gadis mungil yang cantik.Sekarang Dinda tengah tertidur di sofa, di kantor Ara. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dibawa bekerja, sebab di rumah tak ada yang menjaga. Sehingga anak itu tumbuh menjadi gadis baik yang penuh pengertian dan mandiri.Bahkan Dinda selalu menjadi penyemangatnya di saat pekerjaan membuat pening dan memusingkan.“Sebanyak apa pun aku menepis, kamu tetap mirip ayah kamu, Din.” Sofia bergumam sedih.Seminggu lagi dia akan pulang ke rumah untuk merundingkan pernikahannya dengan Rangga, tetapi sejak memutuskan itu, pikirannya kembali dikecoh oleh bayang-bayang Fery sang mantan suami.Entah mengapa, Ara pun tak mengerti.Meski benci mengental mendarah daging, rasa itu tak bisa dibohongi. Nyatanya rindu masih ada untuknya. Rindu yang ada bersamaan dengan benci di hati.“Gimana sekarang dia, ya? Sudah punya anak belum, ya dengan is
Tak peduli bau nasi padang menguar dari mulut, Rangga melamar Ara dengan percaya dirinya. Di sana. Di dalam mobil yang masih diam di tempat.Mata Ara sudah berkaca-kaca. Ingin menangis. Namun, mati-matian menahan sekuatnya. Dia bagai baru saja tersengat oleh aliran listrik. Tak bisa berkata, atau bergerak.“Ra? Kok, malah bengong, sih?” tanya Rangga berhasil mengusir kekagetan Ara.Saat itu juga, ia tersenyum.“Mas serius udah siap nikahin aku?”Kontan Rangga mengangguk.“Serius, dong. Aku sudah memikirkannya dengan matang. Kurasa ini sudah waktunya. Jadi gimana, kamu mau apa engga?” ulangnya bertanya. Rangga tak sabar ingin mendengar jawaban Ara, yakin jika wanita itu akan menerima lamarannya.“Ya mau lah Mas. Aku sudah menunggu begitu lama,” ucap Ara seraya menjatuhkan air mata. Tak tahan lagi. Terharu.Rangga tercenung diam.‘Menunggu lama?’“Kamu menunggu, Ra?” Pertanyaannya bersambut satu anggukkan. Bagi Ara itu adalah kesialan karena bisa-bisanya keceplosan. Kini pipinya semerah