Part 2
"Mu-mutiara? Ka-kau pu-pulang?" ucap seorang lelaki dengan nada gemetar. Beberapa orang pun menoleh ke arahku yang berdiri di dekat pintu, menatap seolah tak percaya akan kedatanganku.Lelaki yang memakai baju koko, sarung serta peci hitam itu berjalan mendekat ke arahku."Mutiara, kau pulang kenapa tidak memberitahuku?" tanya Mas Herdy lagi. Matanya mengisyaratkan kalau dia terkejut juga takut.Kutatap kedua matanya yang tampak memerah. Lalu kembali memandang tubuh kaku tak berdaya yang berada tak jauh dariku."Maafkan mas, Sayang. Mas gak bisa jagain Adinda dengan baik. Dia, dia--"Mendengar ucapannya yang menjelaskan kalau yang meninggal benar-benar Adindaku, putri mungil yang dulu kutimang-timang, seketika tubuhku lunglai, seolah tulang persendianku tak berfungsi lagi. Tubuh merosot seketika tapi Mas Herdy langsung memelukku dengan erat. Kudengar ia pun menangis tergugu.Pupus sudah harapanku. Bayangan akan disambut keceriaan si kecil dan senyumannya hilang seketika. Bayangan akan dipeluk penuh kehangatan dan kebahagiaannya saat memanggil Bunda sirna sudah. Berganti rasa hancur, patah, yang teramat menyesakkan dada.Aku tak bisa bagaimana mendeskripsikan perasaaku saat ini. Sakiiit, sangat sakit. Dada ini terasa nyeri sampai ke ulu hati. Untuk mengambil nafas pun begitu sulit. Lidah terasa kelu, seolah ada yang tertahan di tenggorokan. Aku tak mampu berucap sepatah kata apapun, hanya air mata yang terus mengalir dari sudut mata.Pandanganku terasa gelap. Kurasakan tubuh yang begitu lemah ini dibopong lalu dibaringkan ke sofa."Kasih minum, Herdy.""Ambilkan minyak kayu putih."Samar kudengar suara mereka. Astaghfirullah hal adzim, astaghfirullah hal adzim. Sekuat tenaga aku ingin bangun dan melihat Adindaku."Mut, bangun sayang. Mutiara, bangun ..."Aku mengerjap pelan setelah menghirup aroma minyak kayu putih di hidung. Seseorang terasa memijat jempol kakiku. Mas Herdy menundaku untuk duduk dan menyodorkan segelas air putih."Minum dulu, Mut," ujarnya.Aku meminum air itu hingga beberapa teguk. Lantas berdiri, dengan langkah gemetar kuhampiri tubuh yang tertutupi kain jarik itu.Kusibak sejenak kain yang menutupinya. Kain kafan membalut tubuh mungilnya, wajahnya pun sudah tertutup kapas.Pak Lebe, pamong desa yang biasa mengurus kematian warga hingga sampai pemakamannya mengizinkanku untuk melihat sejenak wajah Adinda untuk yang terakhir kalinya, tapi ia bilang tak boleh ada air mata yang menetes ke tubuh maupun kain kafan.Dengan tangan gemetar, aku menyingkirkan kapas-kapas yang sudah menutupi seluruh wajahnya.Air mata makin jatuh bercucuran, meski beberapa kali kuseka tetap saja butiran bening yang menetes justru terasa makin deras.Kulihat wajah Adinda yang tampak begitu pucat, kubelai pipinya yang terasa dingin."Nak, ini bunda ... bangun, Sayang. Bunda pulang. Bunda pulang, Nak.""Dinda, kenapa kamu malah pergi? Bangunlah, Nak, Bunda janji tidak akan pergi lagi. Hiks ... hiks ...""Mulai sekarang, Bunda janji akan selalu di sini, nemenin Dinda. Bunda janji akan nganterin Dinda ke sekolah, nemenin Dinda main, masakin makanan yang enak buat Dinda. Bunda janji, Nak, bunda akan selalu lindungi dan sayangi Dinda. Bangunlah, Sayang, banguuuuun ...."Aku tergugu kembali. Tak kuat menahan rasa pedih nan perih di hati."Maafin Bunda, Nak. Selama ini Bunda jauh darimu. Bunda gak nemenin kamu tumbuh dan berkembang. Maafin Bunda, Nak, Bunda gak jagain kamu. Ayo sayang, bangun yuk, bunda sudah di sini. Bunda ada di dekatmu, Sayang.""Adindaaaa jangan pergiiiiii ... jangaaaaannn, tidak Adinda, kamu tidak boleh pergi, Nak! Kembali, sayang! Bangun sayaaang. Adindaaa ....!" Seketika aku berteriak histeris mendapati kenyataan Dinda masih terdiam dalam tidur panjangnya.Mendadak Mas Herdy kembali merangkulku agar menjauh dari Adinda. Mungkin Pak Lebe yang mengisyaratkan kalau waktuku habis."Tidaaak, Adindaaa! Jangaaaan pergiii, Naaak!!""Mut, sadarlah, Mut! Mutiara, sadarlah! Aku tahu kamu pasti terpukul dengan kepergiannya. Tapi aku mohon tenanglah, ikhlaskan Adinda agar dia beristirahat dengan tenang."Aku menggeleng pelan, bagaimana aku bisa tenang. Mungkin mulut bisa berkata ikhlas melepaskan, tapi hati, sangat sulit untuk mengikhlaskannya. Aku pulang dengan tujuan agar bisa memeluknya dengan erat bukan justru kehilangannya seperti ini."Sayang, ayo kamu istirahat dulu. Tenanglah dulu, Sayang. Aku tahu kamu pasti sangat kehilangan. Tapi lihatlah kondisimu saat ini, kamu pasti lelah habis menempuh perjalanan jauh. Duduk dulu yuk, sambil kita doakan Adinda."Aku masih terpaku dengan pandangan yang berkabut."Ikhlaskan Adinda, Dek. Biarkan dia istirahat dengan tenang. Ini semua sudah takdir, kita tak bisa mengubahnya. Kita hanya perlu menerima ini semua meskipun terasa sulit dan berat," ujar Mas Herdy lagi."Apa saja yang kau lakukan hingga mengurus satu anak saja tidak becus, Mas?!"Mas Herdy terdiam dan hanya menatapku."Apa saja yang kau lakukan, Mas? Kenapa Adinda bisa meninggal? Kenapa, Mas?!"Kali ini, aku mempertanyakannya. "Anakku harusnya tak kekurangan apapun. Harusnya dia bisa tumbuh dengan baik. Tapi kenapa bisa seperti ini, Mas?"Mas Herdy diam saja, dia bahkan tak berani menjawab pertanyaanku."Sudah, Bu, sudah. Tentang jodoh, rezeki, dan kematian itu sudah ditakdirkan oleh Allah. Kita tidak tahu kapan waktunya kematian akan datang menghampiri, semua sudah rahasia ilahi, hanya Allah yang tahu, tidak memandang usia, jabatan, paras, dan waktu. Dimohon untuk Bu Mutiara tenang dulu ya, kita doakan yang terbaik untuk Adinda.""Oke bapak-bapak, ibu-ibu karena waktunya sudah sore, kami langsung saja ya untuk proses selanjutnya, Adinda akan segera disholatkan lalu segera dimakamkan. Yang di TPU bagaimana, apa sudah siap?""Siap, Pak Lebe," sahut seseorang.Seseorang menuntunku agar masuk ke dalam, tapi aku menahannya."Pak Lebe mau mengurus pemakamannya. Kamu lebih baik di rumah saja ya, tak perlu ikut ke pemakaman," ucap Mas Herdy."Aku ikut!""Gak usah ikut, nanti kamu pingsan lagi di sana."Aku menggeleng pelan. "Aku ikut, aku harus mengantar Adinda ke peristirahatan terakhirnya. Ini kesempatan terakhirku," jawabku lirih."Apa kau yakin akan baik-baik saja? Mas takut kamu gak kuat lagi, Mut."Aku mengangguk pelan tapi pasti.Mas Herdy tampak menghela nafas dalam-dalam. Lalu berbaur dengan para tetangga yang lain.Aku tahu, suasana kali ini begitu menyedihkan, semua menatapku iba. Beberapa orang tampak bisik-bisik membicarakanku yang tiba-tiba datang.Usai disalatkan, jenzah Adinda segera dimakamkan. Tahlil dan sholawat serta doa mengiringi langkah kami ke peristirahatannya yang terakhir.Salah seorang tetangga ikut menuntun langkahku agar aku tak kembali pingsan. Sementara ibu mertua dan iparku membawa karangan bunga. Sejak kedatanganku, ibu mertua maupun ipar tak banyak bicara.Sampai di TPU, Adinda langsung dikebumikan. Aku termangu menatap pemandangan yang ada di hadapanku. Tubuh mungil Adinda perlahan mulai tertutup oleh tanah hingga menjadi gundukan yang sempurna. Bunga-bunga mulai ditabur di atasnya. Pak Lebe pun kembali menuntun doa.Usai pemakaman, satu persatu pelayat pulang. Hanya beberapa yang tinggal. Mas Herdy pun tampak berbincang lirih dengan yang lainnya.Mataku tak lepas dari pusara Adinda, menatap batu nisan yang bertuliskan namanya. Seketika air mata kembali menetes."Nak, istirahat yang tenang ya. Bunda akan selalu datang kesini menemuimu dan mendoakanmu yang terbaik. Tunggu bunda di surga," ucapku pelan."Mbak, sebaiknya jangan terlalu percaya dengan keluarga suamimu," lirih sebuah suara yang seketika membuatku terhenyak.Part 3Rindu yang sangat menyakitkan adalah merindukan orang yang sudah tiada. Karena kita tak bisa bertemu dengannya lagi, hanya bisa mengingatnya dalam secuil kenangan.***"Mbak, sebaiknya jangan terlalu percaya dengan keluarga suamimu," lirih sebuah suara yang seketika membuatku terhenyak.Aku menoleh ke sumber suara, melihat seorang wanita muda tersenyum ke arahku. Aku bahkan tak mengenali dia siapa. Lupa, lebih tepatnya. Lima tahun berlalu, banyak sekali yang berubah.Tapi, wanita muda itu berbaur akrab dengan mertua juga adik ipar. Lalu pulang bersama mereka mendahuluiku.Ya, aku memang masih ingin di sini. Di makam putriku tercinta. Mencurahkan rasa rindu yang masih tertahan dalam dada. Aku terduduk memandangi pusara Adinda, penuh penyesalan."Mut, sudah yuk, mari kita pulang. Makam sudah sepi. Tinggal kita berdua saja," ujar Mas Herdy seraya menundaku berdiri."Kita lanjut doakan Adinda dari rumah," lanjutnya lagi. Aku menoleh ke kanan dan kiri, memang tak ada orang lain lag
Part 4"Ehem! Kalian kenapa lancang sekali membuka koperku?" tukasku. Gerakan mereka terhenti seketika dan menoleh ke arahku."Ya ampun, Mut, kami ini kan keluargamu. Bukankah ini yang kamu bawa dari luar negeri, pasti ada oleh-oleh untuk kami kan?" ujar Mbak Tantri begitu cuek. Ia masih memilih baju-bajuku yang masih baru, kemarin dapat bonus dari majikan, diberi beberapa setel baju baru dan juga tas serta beberapa lembar uang tunai sebagai tanda ucapan terima kasih sudah bekerja di sana selama ini."Tapi itu baju-bajuku, Mbak!""Ini kan masih pada baru, nih mereknya juga masih ada, pasti harganya mahal. Biar buat kami aja. Kamu kan banyak uang, bisa beli lagi yang lain. Bagi-bagilah buat kami, jangan pelit!""Iya, Mbak Mut, jangan pelit sama saudara sendiri!" timpal Devina dengan gaya centilnya. "Bukannya aku pelit, Mbak! Tapi harusnya kalian izin dulu sama aku.""Heleh, timbang baju ama tas doang perhitungan sekali kau, Mut! Mentang-mentang jadi TKW belagu, lupa apa asalmu dari ma
Part 5"Mas janji akan langsung pulang cepat, semoga gak ada tugas tambahan dari Pak Kades."Aku mengangguk. Sebenarnya banyak sekali yang ingin kutanyakan. Tapi aku memilih bungkam dan akan menanyakannya lain waktu.Aku bangkit dan mengikuti langkahnya dari belakang. Tikar sudah digelar di ruang tamu. Sebentar lagi adzan isya berkumandang. Aku melihat Mas Herdy dan Irdiana menuju mobil yang terparkir di halaman samping rumah ibu mertua. Tak lama mobil itu keluar dari halaman dan melaju di jalanan.Aku kembali masuk menuju dapur, saudara ipar dan ibu mertua tengah berada di sana seraya menyiapkan teh dan juga jamuan orang-orang yang datang nanti."Kalian harus baik di depan Muti, jangan seperti tadi. Dia itu pasti bertanya-tanya tentang kematian anaknya. Janganlah membuat curiga. Kita harus menutup rapat-rapat masalah ini."Deg! Seketika langkahku terhenti mendengar suara itu. Suara dari seorang wanita yang kuhormati."Tantri, kamu juga jangan keterlaluan menghina dia. Bagaimanapun di
Part 6Tapi Santi menahan gerakan tanganku. "Aku ikut sedih atas apa yang menimpa Adinda, Mut.""Apa maksudmu?"Mendadak Santi tersenyum. "Tidak apa-apa, Mut, lain waktu kamu main ke rumah ya!" jawabnya.Aku menoleh ke belakang. Rupanya ada ibu mertuaku yang datang menghampiri."Ini Santi, kan? Santi putrinya Bu Eni? Pangling ya, jadi makin cantik!" puji ibu mertuaku.Santi tersenyum dan menyalami tangan ibu mertua. "Haha makasih ya, Bu. Menantu ibu juga makin cantik, Bu. Maaf baru datang, baru tahu kalau Adinda--""Iya, tidak apa-apa, ayo masuk, San.""Tidak usah, Bu. Sebenarnya aku buru-buru. Nanti siang mau pergi lagi.""Haha ya sudah, ibu tinggal ke warung dulu," ujar ibu mertua.Santi mengangguk. Tapi aku masih menatapnya. Keningku berkerut, apa maksud ucapan Santi tadi."Hei, jangan bengong melulu!" tepuk Santi di pundakku. "Tadi maksudmu apa ya, San?" tanyaku lagi."Tidak, bukan apa-apa kok.""San? Apa kau tahu sesuatu tentang kematian anakku?""Aku sih tidak tahu pasti, kan a
Part 7"Yang masalah pekerjaan. Sekarang ibu nangis. Dia merasa pengorbanannya sebagai ibu tak dihargai," ujar Mas Herdy.Aku memutar bola mata mendengar ucapan Mas Herdy. Sandiwara apa lagi ini?"Maksud ibu, biar uang gajiku tetap untuk biaya kuliah Devi. Dan kalau bisa kamu cari kerja lagi, Mut.""Astaghfirullah, aku gak bermaksud menyinggung seperti itu, Mas. Aku tahu kok, meski sudah menikah, anak lelaki tetap milik ibunya. Tapi kamupun harus ingat kalau kau juga bertanggung jawab menafkahiku bukan hanya keluargamu saja. Aku ini istrimu, Mas. Aku tulang rusuk bukan tulang punggung. Jadi wajar kan kalau misalnya aku minta nafkah dari kamu. Selama lima tahun aku sudah rela berkorban, membantumu, menggantikanmu jadi tulang punggung keluarga, memperbaiki ekonomi keluarga kita.""Kenapa kamu mengungkitnya, apa kamu gak ikhlas?"Braakk, kugebrak meja di hadapanku membuat lelaki itu terkejut."Keterlaluan kamu menilaiku seperti itu, Mas! Kalau aku gak ikhlas, sudah dari dulu aku tak mau
Part 8“Bu, apa ibu tahu sesuatu tentang Adinda selama aku pergi keluar negeri?”Bu Eni memandangiku dengan tatapan iba. Lalu menggenggam tanganku sejenak. Ia menghela nafas dalam-dalam. “Ibu turut berduka dengan kepergian Adinda, Nak. Ibu tahu, pasti ini sangat berat untukmu. Tapi semua sudah terjadi, kamu harus ikhlas, agar Adindamu tenang di surga Allah.”Aku mengangguk, tanpa terasa butiran bening kembali menitik. “Insyaallah aku ikhlas, Bu. Tapi aku ingin tahu penyebab Adinda sampai meninggal. Apa benar Adinda sakit seperti yang suamiku bilang? Atau adakah hal lain yang terjadi?”Bu Eni masih menatapku dan mendengarkan aku bicara.“Apakah selama ini dia tak diurus dengan benar? Beberapa kali aku mendengar selentingan kabar yang membuatku ragu untuk mempercayai suamiku dan keluarganya."“Nak Muti, kalau ibu mengatakan hal yang ibu lihat apa kamu akan percaya? Ibu justru takut kamu akan menilai ibu memfitnah keluargamu,” jawab Bu Eni pelan. Bu Eni menghela nafas dalam-dalam.Aku m
Part 9 Pov Herdy“Mu-mu-tiara, ka-kau pulang?”Sungguh aku tak percaya dengan kepulangan Mutiara yang sangat mendadak. Dia tiba-tiba datang begitu saja tanpa memberitahuku. Apalagi kejadian di rumah tak baik-baik saja. Ia pulang bertepatan dengan kematian Adinda. Gadis kecil yang nakal juga bandel. Itulah laporan yang selalu kuterima dari ibu dan kakak-kakakku. ***Beberapa hari sebelumnya...“Mentang-mentang bukan anakmu jadi gak bisa diatur! Masa Mbak lihat dia lagi ngemis di jalanan. Dih, malu-maluin aja! Suruh diem di tempat Mbak bantu-bantu nyiram tanaman kek malah kagak mau!” sungut Mbak Tantri kesal.Aku menghela nafas berat kala mendengar penuturan Mbak Tantri. Lalu menatap gadis kecil yang tengah ketakutan itu.“Kamu bener kabur dari rumah budhe? Ngapain sampai ngemis di jalan?”“Tidak, Yah, aku disuruh nenek sama budhe,” sahut anak kecil itu dengan gemetaran. Aku hanya mengusap wajah kesal mendengar Adinda justru menuduh neneknya sendiri yang menyuruhnya. Tentu saja ibu d
Part 10“Enggak dong, Sayang. Takkan ada yang berubah kok. Aku akan tetap menyayangi dan mencintaimu.”“Bohong!” pungkasnya dengan bibir cemberut, membuatnya makin terlihat menggemaskan. Ia sedang merajuk rupanya.“Enggak,” sahutku lagi. Kubelai rambutnya sejenak dan merapikannya ke belakang telinga.“Yakin? Kalau begitu buktikan dong!” ketusnya lagi. “Hmmm ... aku harus bagaimana, Sayang?” tanyaku lagi. Dia memandangku seraya menggigit bibir bawahnya. “Jangan pulang dulu, temani aku sampai puas," ujarnya seraya menggelayut manja di lenganku.Aku tampak berpikir, kalau aku tak menuruti permintaannya, ia sudah pasti akan merajuk berhari-hari. Sebenarnya aku bimbang, di rumah ada tahlilan Adinda, tapi demi gadisku tercinta aku mengabaikannya.“Ya, baiklah, aku akan menemanimu. Toh Adinda bukan anak kandungku," jawabku lagi.Dia tersenyum manis dan menggelayut di lenganku. Mobil masih melaju dengan pelan, tujuan yang seharusnya berbelok arah menuju ke rumah Pak Kades, justru aku memacu
Part 35"Jadi Irdiana gak izin sama ibu?" tanya Herdi usai pulang kerja dan mendapati rumah kosong dan hanya ada ibundanya.Ia merasa heran karena sang ibunda mengomel tak jelas juntrungannya. Bu Imas menggeleng. "Tidak, Herdi. Ibu gak tau, saat ibu pulang, rumah udah kosong, dia tinggalin gitu aja dalam keadaan begini. Untung aja uang simpanan ibu masih ada gak digondol maling.""Benar-benar ya. Istrimu ceroboh sekali, rumah gak dikunci! Kamu punya istri kok gak ada yang bener sih! Stress ibu lama-lama dibuatnya!"Herdi memijat pelipisnya, penat begitu terasa. Padahal ia merasa senang akan melihat istrinya itu dan memberikan uang yang didapat hari ini. meksi belum banyak, tapi hari ini lebih baik dari kemarin. Ada peningkatan.Herdi mendesah panjang, menghela napasnya yang begitu gusar. "Jadi kau pergi kemana, Irdiana? Arrghh ..."Lelaki itu menoleh ke arah ibunya. "Bener kan ibu gak marahin istriku? Atau jangan-jangan ibu marahin dia, seperti ibu marahin Mutiara? Jadi Irdiana perg
Part 34"Irdiana, cinta boleh, tapi jangan bodoh. suamimu mungkin baik tapi dia kurang bertanggung jawab. Terlebih dia tak membelamu di hadapan ibunya. Kalau aku tangkap dari ceritamu ini, keluarga suamimu itu toxic. Tak perlu dipertahankan lagi. tapi kalau kamu masih mau dengannya, menghabiskan waktu sia-sia ya terserah saja, yang pennting kau harus sabar dan menerima apapun keadaannya. termasuk sikap ibu mertuamu. Itu aja saranku, Ir. Dan ingat ini, kamu itu masih muda, jalanmu masih panjang. kau pun berhak bahagia."Irdiana merenung cukup lama mendengar ucapan sahabatnya itu. "Ir, jangan melamun terus nanti kamu kesambet lho! Ayo sekarang kita makan dulu nih. Makanannya sudah siap."Irdiana mengangguk. Mereka pun menikmati makan bersama. Setelahnya, Risa kembali bertanya pada Irdiana."Kamu mau pulang kemana?""Entahlah. Aku aja sekarang bingung, Ris. Aku gak ingin pulang dulu, rasanya muak sama ibu mertuaku.""Ke rumah orang tua kamu bagaimana?""Pintunya digembok.""Ya sudah pul
part 33Irdiana termangu mendengar penuturan suaminya itu."Mau jual rumah ini, Mas?" tanya Irdiana meyakinkan dirinya sendiriHerdi mengangguk cepat."Emangnya bisa laku kalau surat-suratnya gak ada? Bukannya surat-suratnya ada di koperasi?""Bisa. aku akan cari orang yang ahli dalam hal ini.""Terus kita akan tinggal dimana, Mas?""Emmh, tinggal di rumah ibu atau orang tua kamu.""No, no, itu tidak mungkin.""Kenapa?""Aku ingin kita mandiri, Mas.""Untuk sementara waktu saja, Dek. Sampai ekonomi kita membaik.""Tapi kapan?""Ya bertahap, mungkin butuh waktu agak lama, tapi mas akan berusaha, Dek, demi kita dan bayi yang ada dalam kandunganmu," ujar Herdi lagi, ia berusaha menenangkan sang istri seraya mengelus perutnya yang mulai membuncit itu.Irdiana menghela napas dalam-dalam. Sungguh berat. "Hhh, sekarang aja kau kerjanya serabutan, gimana mau---" Irdiana tak meneruskan ucapannya."Aku tahu ini tahun yang berat bagi kita. tapi kau cukup dukung saja keputusan ini ya. Aku butuh p
Part 32Mutiara terbungkam, pikirannya berkecamuk, semua berputar di kepala. Ia bingung apa yang harus dilakukan, meski perkataan Arya benar, suatu saat, Herdi pasti akan kembali menemuinya karena ia tak puas dengan hari ini."Pindah, tapi kemana? Saya--""Kau tenang saja, aku akan siapkan rumah sewa yang lebih besar untukmu. agar kau tinggal lebih nyaman dan tanpa gangguan. Aku juga akan menjamin keamananmu.""Maaf Pak, tapi saya terlalu banyak merepotkan Anda.""Sama sekali tidak, saya senang melakukannya, atas nama kemanusiaan, bukankah kita seharusnya saling tolong menolong?""Iya, tapi apakah ini tidak berlebihan? anda selalu membantu saya bahkan di saat orang lain meninggalkan saya.""Percayalah, meski ada orang jahat di dunia ini, pasti akan ada orang yang peduli padamu. Kau tidak perlu khawatirkan hal itu. Sebaiknya kau berkemas dulu, aku akan mengantarmu pindah malam ini.""Baiklah, tunggu sebentar ya, Pak. Saya akan siap-siap. Maafkan saya selalu merepotkan bapak.""Ya, itu
Part 31Herdi segera berlalu meninggalkan rumah Santi. "Tak ada gunanya aku datang ke sini. aku harus usaha sendiri mencari Mutiara," gerutunya kesal.Herdi mengenal beberapa tetangganya yang juga bekerja di pabrik pengolahan pisang itu. Hingga akhirya ia mendapatkan jawaban kalau Mutiara tinggal di dekat ruko yang tengah dibangun untuk mini market oleh-oleh, yang juga milik Arya."Rupanya selama ini kau tinggal di situ, apa itu bersama bosmu?"Herdi menggeleng perlahan. 'Padahal belum resmi cerai, tapi kau selingkuh juga! harusya impas 'kan? Kaupun sama sepertiku!' gumamnya lagi penuh kesal. Herdi terus berjalan, jadi cukup lama untuk sampai di lokasi apalagi tempatnya berada di pinggir jalan raya utama alias jalan lintas provinsi.Dari kejauhan ia melihat ada sebuah mobil yang terparkir manis di sebuah bangunan minimarket yang cukup besar, proyek pembangunan sudah 90%, tinggal finishingnya saja. Herdi bersembunyi di balik pohon dan memperhatikan sekitar. seorang lelaki turun dar
Part 30"Kamu ini dasar pembohong ya, Mas! Kamu bilang cuma hutang buat resepsi aja! tapi nyatanya ini ada lagi? Uangnya buat apaan, Mas?!""Tapi, Dek, ini aku benar-benar gak tau. Pasti ini kerjaan si Mutiara.""Terus saja Mbak Muti yang jadi kambing hitam!""Tapi aku ngomong yang sebenarnya, Dek. Aku gak ambil utang apa-apa lagi. Kenapa bisa ada tagihan begini? Aku yakin dia yang melakukannya."Irdiana menggeleng perlahan. "Aku gak nyangka ternyata kamu tukang utang! Terus gimana ini mau nyetorinnya, Mas? Kamu aja kerja gak jelas! Dapat upah gak pasti!"Herdi terbungkam. Kepalanya serasa mau pecah. Kenapa ini bisa terjadi? "Ini pasti kerjaan si Muti, soalnya ktpku juga hilang, Dek! Aku harus cari Mutia untuk memastikan ini semua!""Kamu gak usah beralasan lagi deh, Mas! pusing kepalaku! di sini hutang, di sana hutang, di situ hutang. Semuanya dari hasil berhutang! Capek aku, Mas!"Irdiana berlalu ke belakang, lalu mengambil tasnya dan pergi meninggalkan rumah. Rasanys muak sekali.
Part 29"Lho kok belum ada? Kamu kerja tiap hati, pasti dapat uang 'kan? terus gimana ini? Kamu harus tanggung jawab dong!" pungkas Bu Imas kesal."iya Bu, tapi cuma cukup buat makan, Bu. aku gak bisa nyisihin uang lagi.""Ah dasar, itu mah istrimu aja yang boros! Dikasih uang tiap hari masa gak bisa nyisihin uang sedikitpun!""Bu, kok nyalahin aku, Bu! Yang hutang kan ibu sama Mas Herdi, kenapa malah nyalahin aku?!""Ya iyalah nyalahin kamu, karena semua ini bersumber dari kamu! Kalau saja ayahmu itu gak bersikeras adain pesta mewah, pasti kami gak kelimpungan begini. Udah ngadain pesta, tapi tamu yang dateng gak ada!""Bu, jangan nyalahin aku dong Bu! Itu kan karena cuacanya yang buruk! Mereka gak datang ya wajar!""Ya iya, ini semua karena kamu dan keluargamu yang minta cepat-cepat nikah, asal aja pake tanggal! Harusnya dipikiiirr dulu!""HALAH, BU, BU, KAYAK NGASIH UANG KE KAMI RATUSAN JUTA AJA! CUMA LIMA PULUH DOANG JUGA KURANG BUAT SANA SINI! UDAH BANYAK PROTES!"Kali ini Irdian
Part 28"Huh, segini doang sih kurang, Mas! Buat makan doang, rokok kamu juga. Trs beli skincare aku gimana? Cari yang banyak dong, Mas! Jangan malas!"Mendengar keluhan Irdiana, Herdi hanya mampu menghela napas kesal. "Kurang rajin bagaimana lagi aku, Dek? aku sudah kerja semaksimal mungkin.""Ya kurang rajinlah, buktinya hasil gak memuaskan gini! Huh!""Iya, maaf hasilnya hanya bisa segitu. Kau tahu sendiri cari kerjaan susah, aku bukan orang kuliahan seperti kamu, Dek. Jadi hanya bisa jalani kerja serabutan.""Harusnya kamu kerja di pabrik dong, Mas! Kan mayan tuh bisa dapat gaji setara UMK!""Kamu mau tiap hari aku ketemu Mutiara?""Ck!" Irdiana berdecak kesal. Ia langsung berlalu dari hadapan suaminya. Ucapan Herdi memang benar kalau dia kerja di pabrik, bisa-bisa setiap hari bertemu dengan istri pertamanya itu lalu mereka kembali menjalin cinta. 'Ah, ini gak bisa dibiarkan! Aku gak terima kalau Mas Herdi dan Mbak Muti bersatu lagi!' seru Irdiana dalam hatinya seraya menggeleng
Part 27"Ya udah gak apa-apa, Mas, jangan khawatirin masalah biaya. Aku cuma mau menikah hari ini!" seru Irdiana."Iya, iya, kamu sabar dulu, Irdiana. Kita pasti akan menikah hari ini."Irdiana merajuk dan memohon kepada sang ayah, agar mencarikan penghulu yang lain.Pak Renaldi yang juga pusing akibat omongan orang-orang di belakang, segera bergegas menyuruh anak buahnya mencari penghulu yang lain. Serta mencari tahu apa yang terjadi pada pak penghulu yang akan menikahkan anaknya hari ini."Rombongan pak penghulu mengalami kecelakaan, Pak Bos, tergelincir saat perjalanan mau ke sini. Terus di jalan kecamatan sana ada pohon tumbang menghalangi jalan. Makanya semua juga terhambat," tutur salah satu anak buah Pak Renaldi dengan baju basah kuyup terkena air hujan."Jadi sudah dipastikan kalau mereka tidak bisa datang ya?""Iya, Pak Bos. Tidak bisa datang.""Ya sudah cari penghulu lainnya!""Nah, ini masalahnya Pak Bos, kan beberapa pohon tumbang menghalangi jalan. Meski panggil yang lain