Part 3
Rindu yang sangat menyakitkan adalah merindukan orang yang sudah tiada. Karena kita tak bisa bertemu dengannya lagi, hanya bisa mengingatnya dalam secuil kenangan.***"Mbak, sebaiknya jangan terlalu percaya dengan keluarga suamimu," lirih sebuah suara yang seketika membuatku terhenyak.Aku menoleh ke sumber suara, melihat seorang wanita muda tersenyum ke arahku. Aku bahkan tak mengenali dia siapa. Lupa, lebih tepatnya. Lima tahun berlalu, banyak sekali yang berubah.Tapi, wanita muda itu berbaur akrab dengan mertua juga adik ipar. Lalu pulang bersama mereka mendahuluiku.Ya, aku memang masih ingin di sini. Di makam putriku tercinta. Mencurahkan rasa rindu yang masih tertahan dalam dada. Aku terduduk memandangi pusara Adinda, penuh penyesalan."Mut, sudah yuk, mari kita pulang. Makam sudah sepi. Tinggal kita berdua saja," ujar Mas Herdy seraya menundaku berdiri."Kita lanjut doakan Adinda dari rumah," lanjutnya lagi.Aku menoleh ke kanan dan kiri, memang tak ada orang lain lagi. Hanya tersisa suara gemerisik dedaunan. Cuaca cukup mendung sore ini."Ayo, Mut! Yang sudah pergi tak mungkin kembali. Kita doakan saja yang terbaik untuk Adinda.""Aku tidak tahu kenapa Adinda bisa meninggal, Mas. Aku berhak tahu, apa sebabnya?""Adinda sakit, Mut. Nanti akan kuceritakan kalau hatimu sudah mulai tenang. Aku yakin kamu masih butuh waktu untuk menerima semua ini."Mas Herdy menarik tanganku menjauh dari makam Adinda. Keluar dari area makam tetap menggandeng tanganku.Aku menoleh bersamaan dengan dia menoleh ke arahku hingga tatapan kami bersirobok beberapa saat. Dia tersenyum sejenak."Lama gak ketemu, kamu jadi makin cantik saja, Mut," ujar Mas Herdy. Entah mengapa aku merasa dia sedang menggodaku.Aku hanya diam tak menanggapi apapun darinya. Berjalan lebih cepat agar segera sampai di rumah.Ibu mertua dan saudara-saudara yang lain masih berkumpul di ruang tengah. Termasuk wanita muda yang tadi di makam, ia tampak lengket dengan Fahira, adik iparku.Saat ini sepertinya, mereka hendak mempersiapkan doa dan tahlil putriku ba'da isya nanti."Mut, kamu pulang kenapa gak ngabarin kami? Kalau ngabari kan salah satu bisa dijemput," ujar ibu mertuaku membuka percakapan."Sebenarnya aku ingin membuat kejutan pada kalian tapi justru aku yang dikejutkan oleh kematian Adinda.""Ya sudah, kamu mandi dulu, Mut. Biar segar badanmu, habis itu kita makan sama-sama pasti kamu lapar kan?"Aku mengangguk pelan menanggapi pertanyaan ibu mertua. Aku baru sadar kalau aku belum menyalami mereka semua karena keburu pingsan.Sudah lama tak bertemu ibu mertua, sepertinya beliau berubah jadi baik. Tak seperti dulu saat kami masih menumpang di rumahnya. Aku selalu disindir dan dijelek-jelekkan juga sama ipar-ipar yang lain gegara ekonomi kami yang begitu sulit."Makanya jadi istri itu kerja, jangan bisanya cuma okang-okang kaki saja. Minta duit sama suami, udah gitu boros gak bisa atur keuangan. Gimana mau punya rumah sendiri!" sindir ibu mertua begitu pedas bak sambalado level 15."Numpang terus apa gak malu? Udah 4 tahun nikah loh, gitu-gitu aja. Harusnya bisa nabung dikit-dikit, jangan malah dibanyakin hutang!" timpal Mbak Tantri, kakak ipar pertama."Iya loh, kami ikut malu kalau ibu warung suka bilang ke kita kalau kamu itu ngutang buat pampersnya Adinda, ngutang lagi buat beli susu sachet sama jajannya Dinda. Apa gak malu, Mut? Kami yang malu, Mut, kalau kamu jadi bahan ghibahan para warga saat di warung," sammbung Mbak Fitri."Kamu kan masih sangat muda, Mut. Kamu bisa kerja di luar. Adinda biar diasuh sama kami gantian," lanjutnya lagi.Saat itu aku hanya terdiam, dari anak-anak ibu mertua, memang kamilah yang paling miskin. Ya, meski tinggal satu rumah, tapi aku tak boleh masak bersama di dapur mertua, jadi terpaksa memasak di sisi yang lain, membuat pawon juga mencari kayu bakar di sekitar pekarangan.Anak-anak ibu mertua semuanya ada empat. Tiga orang perempuan dan satu laki-laki. Ya, Mas Herdy adalah satu-satunya anak lelaki ibu. Makanya ibu mertua yang janda terkadang menggantungkan hidupnya pada Mas Herdy.Padahal dua kakak perempuannya bisa dibilang ekonominya lebih baik, Mbak Tantri dan Mbak Fitri sudah berkeluarga. Suami Mbak Tantri adalah seorang pemborong proyek, pulang dua sampai tiga bulan sekali. Sementara suami Mbak Fitri, katanya pekerja kantoran. Mereka LDR, suaminya pulang sebulan sekali.Namun kedua kakak perempuan Mas Herdy memang sudah memiliki rumah sendiri, masih satu desa meskipun beda RT juga RW.Ibu mertua yang melarang Mas Herdy untuk merantau ke kota. Wanita paruh baya itu pernah bilang kalau kerja apa saja asalkan di desa sendiri. Anak laki-laki masih bertanggung jawab pada ibunya. Begitupun adik perempuannya yang bernama Devina, dia begitu manja pada Mas Herdy. Ya memang, sejak kematian bapak mertua, Mas Herdy lah yang menggantikan sosok itu dalam keluarga.Rasanya sudah sangat terpojok. Miskin, dihina, hutang di warung yang makin menumpuk, dan kebutuhan Adinda yang jauh dari kata layak membuatku akhirnta menerima ajakan menjadi TKW. Aku yang mengalah harus bekerja keluar negeri. Dengan janji manis mereka bilang akan menjaga Adinda dengan baik."Bu, Mbak, biar Mutiara istirahat dulu, kok malah diajak ngobrol," ujar Mas Herdy seketika menghilangkan lamunan masa laluku.Mereka hanya tertawa kecil lalu kembali menyuruhku mandi. Aku mengangguk, berjalan ke kamar seraya memperhatikan kondisi rumah. Atap masih belum di plafon, masih terlihat genteng dari bawah. Juga bagian dapur yang tidak menggunakan keramik melainkan lantai dari semen.Aku mengambil baju ganti serta handuk dan berlalu segera ke kamar mandi. Kamar mandi hanya ada satu di rumah ini. Otomatis akan dipakai secara bergantian.Kuhirup udara sembari menikmati segarnya air yang mengguyur tubuh yang begitu penat dan lelah ini. Aroma fruity dari sabun dan shampo yang kupakai setidaknya menambah kesegaran. Cukup lama aku di kamar mandi, bebersih diri sekaligus sejenak menenangkan hati.Adinda, bila memang ini sudah takdirmu, Bunda ikhlas. Tapi bunda tidak ikhlas kalau memang ada yang bersikap buruk padamu. Jujur saja, aku kepikiran ucapan tetangga tadi yang bilang kalau Adinda tak terurus sejak aku bergi. Apakah itu benar? Bagaimana caranya aku mencari tahu?Aku keluar dari kamar mandi. Terkejut saat melihat mereka tengah membongkar isi koperku di ruang televisi. Mereka saling tertawa seraya mencoba baju-baju yang kubawa."Yang ini bagus gak, Mbak?""Iya, bagus, sangat cocok buat kamu, Dev!""Nah ini buat Mbak, pantes 'kan?""Iya, pantes.""Ini kayaknya baju buat Adinda deh, biar buat si Putri aja, mereka kan seumuran.""Waw. Tas ini bagus banget, tasnya biaf buat aku, buat pergi ke arisan bulan depan!" tukas Mbak Fitri seraya mengambil tas pemberian majikanku.Aku berjalan menghampiri mereka."Ehem! Kalian kenapa lancang sekali membuka koperku?"Part 4"Ehem! Kalian kenapa lancang sekali membuka koperku?" tukasku. Gerakan mereka terhenti seketika dan menoleh ke arahku."Ya ampun, Mut, kami ini kan keluargamu. Bukankah ini yang kamu bawa dari luar negeri, pasti ada oleh-oleh untuk kami kan?" ujar Mbak Tantri begitu cuek. Ia masih memilih baju-bajuku yang masih baru, kemarin dapat bonus dari majikan, diberi beberapa setel baju baru dan juga tas serta beberapa lembar uang tunai sebagai tanda ucapan terima kasih sudah bekerja di sana selama ini."Tapi itu baju-bajuku, Mbak!""Ini kan masih pada baru, nih mereknya juga masih ada, pasti harganya mahal. Biar buat kami aja. Kamu kan banyak uang, bisa beli lagi yang lain. Bagi-bagilah buat kami, jangan pelit!""Iya, Mbak Mut, jangan pelit sama saudara sendiri!" timpal Devina dengan gaya centilnya. "Bukannya aku pelit, Mbak! Tapi harusnya kalian izin dulu sama aku.""Heleh, timbang baju ama tas doang perhitungan sekali kau, Mut! Mentang-mentang jadi TKW belagu, lupa apa asalmu dari ma
Part 5"Mas janji akan langsung pulang cepat, semoga gak ada tugas tambahan dari Pak Kades."Aku mengangguk. Sebenarnya banyak sekali yang ingin kutanyakan. Tapi aku memilih bungkam dan akan menanyakannya lain waktu.Aku bangkit dan mengikuti langkahnya dari belakang. Tikar sudah digelar di ruang tamu. Sebentar lagi adzan isya berkumandang. Aku melihat Mas Herdy dan Irdiana menuju mobil yang terparkir di halaman samping rumah ibu mertua. Tak lama mobil itu keluar dari halaman dan melaju di jalanan.Aku kembali masuk menuju dapur, saudara ipar dan ibu mertua tengah berada di sana seraya menyiapkan teh dan juga jamuan orang-orang yang datang nanti."Kalian harus baik di depan Muti, jangan seperti tadi. Dia itu pasti bertanya-tanya tentang kematian anaknya. Janganlah membuat curiga. Kita harus menutup rapat-rapat masalah ini."Deg! Seketika langkahku terhenti mendengar suara itu. Suara dari seorang wanita yang kuhormati."Tantri, kamu juga jangan keterlaluan menghina dia. Bagaimanapun di
Part 6Tapi Santi menahan gerakan tanganku. "Aku ikut sedih atas apa yang menimpa Adinda, Mut.""Apa maksudmu?"Mendadak Santi tersenyum. "Tidak apa-apa, Mut, lain waktu kamu main ke rumah ya!" jawabnya.Aku menoleh ke belakang. Rupanya ada ibu mertuaku yang datang menghampiri."Ini Santi, kan? Santi putrinya Bu Eni? Pangling ya, jadi makin cantik!" puji ibu mertuaku.Santi tersenyum dan menyalami tangan ibu mertua. "Haha makasih ya, Bu. Menantu ibu juga makin cantik, Bu. Maaf baru datang, baru tahu kalau Adinda--""Iya, tidak apa-apa, ayo masuk, San.""Tidak usah, Bu. Sebenarnya aku buru-buru. Nanti siang mau pergi lagi.""Haha ya sudah, ibu tinggal ke warung dulu," ujar ibu mertua.Santi mengangguk. Tapi aku masih menatapnya. Keningku berkerut, apa maksud ucapan Santi tadi."Hei, jangan bengong melulu!" tepuk Santi di pundakku. "Tadi maksudmu apa ya, San?" tanyaku lagi."Tidak, bukan apa-apa kok.""San? Apa kau tahu sesuatu tentang kematian anakku?""Aku sih tidak tahu pasti, kan a
Part 7"Yang masalah pekerjaan. Sekarang ibu nangis. Dia merasa pengorbanannya sebagai ibu tak dihargai," ujar Mas Herdy.Aku memutar bola mata mendengar ucapan Mas Herdy. Sandiwara apa lagi ini?"Maksud ibu, biar uang gajiku tetap untuk biaya kuliah Devi. Dan kalau bisa kamu cari kerja lagi, Mut.""Astaghfirullah, aku gak bermaksud menyinggung seperti itu, Mas. Aku tahu kok, meski sudah menikah, anak lelaki tetap milik ibunya. Tapi kamupun harus ingat kalau kau juga bertanggung jawab menafkahiku bukan hanya keluargamu saja. Aku ini istrimu, Mas. Aku tulang rusuk bukan tulang punggung. Jadi wajar kan kalau misalnya aku minta nafkah dari kamu. Selama lima tahun aku sudah rela berkorban, membantumu, menggantikanmu jadi tulang punggung keluarga, memperbaiki ekonomi keluarga kita.""Kenapa kamu mengungkitnya, apa kamu gak ikhlas?"Braakk, kugebrak meja di hadapanku membuat lelaki itu terkejut."Keterlaluan kamu menilaiku seperti itu, Mas! Kalau aku gak ikhlas, sudah dari dulu aku tak mau
Part 8“Bu, apa ibu tahu sesuatu tentang Adinda selama aku pergi keluar negeri?”Bu Eni memandangiku dengan tatapan iba. Lalu menggenggam tanganku sejenak. Ia menghela nafas dalam-dalam. “Ibu turut berduka dengan kepergian Adinda, Nak. Ibu tahu, pasti ini sangat berat untukmu. Tapi semua sudah terjadi, kamu harus ikhlas, agar Adindamu tenang di surga Allah.”Aku mengangguk, tanpa terasa butiran bening kembali menitik. “Insyaallah aku ikhlas, Bu. Tapi aku ingin tahu penyebab Adinda sampai meninggal. Apa benar Adinda sakit seperti yang suamiku bilang? Atau adakah hal lain yang terjadi?”Bu Eni masih menatapku dan mendengarkan aku bicara.“Apakah selama ini dia tak diurus dengan benar? Beberapa kali aku mendengar selentingan kabar yang membuatku ragu untuk mempercayai suamiku dan keluarganya."“Nak Muti, kalau ibu mengatakan hal yang ibu lihat apa kamu akan percaya? Ibu justru takut kamu akan menilai ibu memfitnah keluargamu,” jawab Bu Eni pelan. Bu Eni menghela nafas dalam-dalam.Aku m
Part 9 Pov Herdy“Mu-mu-tiara, ka-kau pulang?”Sungguh aku tak percaya dengan kepulangan Mutiara yang sangat mendadak. Dia tiba-tiba datang begitu saja tanpa memberitahuku. Apalagi kejadian di rumah tak baik-baik saja. Ia pulang bertepatan dengan kematian Adinda. Gadis kecil yang nakal juga bandel. Itulah laporan yang selalu kuterima dari ibu dan kakak-kakakku. ***Beberapa hari sebelumnya...“Mentang-mentang bukan anakmu jadi gak bisa diatur! Masa Mbak lihat dia lagi ngemis di jalanan. Dih, malu-maluin aja! Suruh diem di tempat Mbak bantu-bantu nyiram tanaman kek malah kagak mau!” sungut Mbak Tantri kesal.Aku menghela nafas berat kala mendengar penuturan Mbak Tantri. Lalu menatap gadis kecil yang tengah ketakutan itu.“Kamu bener kabur dari rumah budhe? Ngapain sampai ngemis di jalan?”“Tidak, Yah, aku disuruh nenek sama budhe,” sahut anak kecil itu dengan gemetaran. Aku hanya mengusap wajah kesal mendengar Adinda justru menuduh neneknya sendiri yang menyuruhnya. Tentu saja ibu d
Part 10“Enggak dong, Sayang. Takkan ada yang berubah kok. Aku akan tetap menyayangi dan mencintaimu.”“Bohong!” pungkasnya dengan bibir cemberut, membuatnya makin terlihat menggemaskan. Ia sedang merajuk rupanya.“Enggak,” sahutku lagi. Kubelai rambutnya sejenak dan merapikannya ke belakang telinga.“Yakin? Kalau begitu buktikan dong!” ketusnya lagi. “Hmmm ... aku harus bagaimana, Sayang?” tanyaku lagi. Dia memandangku seraya menggigit bibir bawahnya. “Jangan pulang dulu, temani aku sampai puas," ujarnya seraya menggelayut manja di lenganku.Aku tampak berpikir, kalau aku tak menuruti permintaannya, ia sudah pasti akan merajuk berhari-hari. Sebenarnya aku bimbang, di rumah ada tahlilan Adinda, tapi demi gadisku tercinta aku mengabaikannya.“Ya, baiklah, aku akan menemanimu. Toh Adinda bukan anak kandungku," jawabku lagi.Dia tersenyum manis dan menggelayut di lenganku. Mobil masih melaju dengan pelan, tujuan yang seharusnya berbelok arah menuju ke rumah Pak Kades, justru aku memacu
Part 11"Maaass, buruaaan!!" Teriakan Irdiana mengagetkanku. Aku tergagap dan langsung memasukkan ponsel ke tas waitsbagku. Aku menoleh, Irdiana dan ketiga temannya sudah berdiri di dekat mobil. Mereka semua membawa tas ransel yang berisi perlengkapan kemping.Aku membuka pintu mobil, mereka semua segera masuk. Aku membantu menaruh ransel mereka di bagasi mobil. Ketiga teman Irdiana terlibat obrolan sendiri."Hey, gak ada yang ketinggalan 'kan?" tanya Irdiana seraya menoleh ke belakang."Tidak ada, Ir, semuanya aman.""Yang lain gimana?""Emmhh ... teman-teman yang lain udah berangkat duluan. Kita akan bertemu di lokasi," sahut salah satu temannya.Irdiana mengangguk mengerti. "Ayo, Mas, jalan!" pungkas Irdiana.Aku mengangguk dan mulai melajukan mobil ke tempat tujuan mereka.Hanya butuh dua setengah jam perjalanan akhirnya sampai di lokasi. Tempat khusus untuk perkemahan sekaligus tempat wisata alam. Karena lokasinya di puncak bukit, udara terasa dingin meski di siang hari. Terben
Part 35"Jadi Irdiana gak izin sama ibu?" tanya Herdi usai pulang kerja dan mendapati rumah kosong dan hanya ada ibundanya.Ia merasa heran karena sang ibunda mengomel tak jelas juntrungannya. Bu Imas menggeleng. "Tidak, Herdi. Ibu gak tau, saat ibu pulang, rumah udah kosong, dia tinggalin gitu aja dalam keadaan begini. Untung aja uang simpanan ibu masih ada gak digondol maling.""Benar-benar ya. Istrimu ceroboh sekali, rumah gak dikunci! Kamu punya istri kok gak ada yang bener sih! Stress ibu lama-lama dibuatnya!"Herdi memijat pelipisnya, penat begitu terasa. Padahal ia merasa senang akan melihat istrinya itu dan memberikan uang yang didapat hari ini. meksi belum banyak, tapi hari ini lebih baik dari kemarin. Ada peningkatan.Herdi mendesah panjang, menghela napasnya yang begitu gusar. "Jadi kau pergi kemana, Irdiana? Arrghh ..."Lelaki itu menoleh ke arah ibunya. "Bener kan ibu gak marahin istriku? Atau jangan-jangan ibu marahin dia, seperti ibu marahin Mutiara? Jadi Irdiana perg
Part 34"Irdiana, cinta boleh, tapi jangan bodoh. suamimu mungkin baik tapi dia kurang bertanggung jawab. Terlebih dia tak membelamu di hadapan ibunya. Kalau aku tangkap dari ceritamu ini, keluarga suamimu itu toxic. Tak perlu dipertahankan lagi. tapi kalau kamu masih mau dengannya, menghabiskan waktu sia-sia ya terserah saja, yang pennting kau harus sabar dan menerima apapun keadaannya. termasuk sikap ibu mertuamu. Itu aja saranku, Ir. Dan ingat ini, kamu itu masih muda, jalanmu masih panjang. kau pun berhak bahagia."Irdiana merenung cukup lama mendengar ucapan sahabatnya itu. "Ir, jangan melamun terus nanti kamu kesambet lho! Ayo sekarang kita makan dulu nih. Makanannya sudah siap."Irdiana mengangguk. Mereka pun menikmati makan bersama. Setelahnya, Risa kembali bertanya pada Irdiana."Kamu mau pulang kemana?""Entahlah. Aku aja sekarang bingung, Ris. Aku gak ingin pulang dulu, rasanya muak sama ibu mertuaku.""Ke rumah orang tua kamu bagaimana?""Pintunya digembok.""Ya sudah pul
part 33Irdiana termangu mendengar penuturan suaminya itu."Mau jual rumah ini, Mas?" tanya Irdiana meyakinkan dirinya sendiriHerdi mengangguk cepat."Emangnya bisa laku kalau surat-suratnya gak ada? Bukannya surat-suratnya ada di koperasi?""Bisa. aku akan cari orang yang ahli dalam hal ini.""Terus kita akan tinggal dimana, Mas?""Emmh, tinggal di rumah ibu atau orang tua kamu.""No, no, itu tidak mungkin.""Kenapa?""Aku ingin kita mandiri, Mas.""Untuk sementara waktu saja, Dek. Sampai ekonomi kita membaik.""Tapi kapan?""Ya bertahap, mungkin butuh waktu agak lama, tapi mas akan berusaha, Dek, demi kita dan bayi yang ada dalam kandunganmu," ujar Herdi lagi, ia berusaha menenangkan sang istri seraya mengelus perutnya yang mulai membuncit itu.Irdiana menghela napas dalam-dalam. Sungguh berat. "Hhh, sekarang aja kau kerjanya serabutan, gimana mau---" Irdiana tak meneruskan ucapannya."Aku tahu ini tahun yang berat bagi kita. tapi kau cukup dukung saja keputusan ini ya. Aku butuh p
Part 32Mutiara terbungkam, pikirannya berkecamuk, semua berputar di kepala. Ia bingung apa yang harus dilakukan, meski perkataan Arya benar, suatu saat, Herdi pasti akan kembali menemuinya karena ia tak puas dengan hari ini."Pindah, tapi kemana? Saya--""Kau tenang saja, aku akan siapkan rumah sewa yang lebih besar untukmu. agar kau tinggal lebih nyaman dan tanpa gangguan. Aku juga akan menjamin keamananmu.""Maaf Pak, tapi saya terlalu banyak merepotkan Anda.""Sama sekali tidak, saya senang melakukannya, atas nama kemanusiaan, bukankah kita seharusnya saling tolong menolong?""Iya, tapi apakah ini tidak berlebihan? anda selalu membantu saya bahkan di saat orang lain meninggalkan saya.""Percayalah, meski ada orang jahat di dunia ini, pasti akan ada orang yang peduli padamu. Kau tidak perlu khawatirkan hal itu. Sebaiknya kau berkemas dulu, aku akan mengantarmu pindah malam ini.""Baiklah, tunggu sebentar ya, Pak. Saya akan siap-siap. Maafkan saya selalu merepotkan bapak.""Ya, itu
Part 31Herdi segera berlalu meninggalkan rumah Santi. "Tak ada gunanya aku datang ke sini. aku harus usaha sendiri mencari Mutiara," gerutunya kesal.Herdi mengenal beberapa tetangganya yang juga bekerja di pabrik pengolahan pisang itu. Hingga akhirya ia mendapatkan jawaban kalau Mutiara tinggal di dekat ruko yang tengah dibangun untuk mini market oleh-oleh, yang juga milik Arya."Rupanya selama ini kau tinggal di situ, apa itu bersama bosmu?"Herdi menggeleng perlahan. 'Padahal belum resmi cerai, tapi kau selingkuh juga! harusya impas 'kan? Kaupun sama sepertiku!' gumamnya lagi penuh kesal. Herdi terus berjalan, jadi cukup lama untuk sampai di lokasi apalagi tempatnya berada di pinggir jalan raya utama alias jalan lintas provinsi.Dari kejauhan ia melihat ada sebuah mobil yang terparkir manis di sebuah bangunan minimarket yang cukup besar, proyek pembangunan sudah 90%, tinggal finishingnya saja. Herdi bersembunyi di balik pohon dan memperhatikan sekitar. seorang lelaki turun dar
Part 30"Kamu ini dasar pembohong ya, Mas! Kamu bilang cuma hutang buat resepsi aja! tapi nyatanya ini ada lagi? Uangnya buat apaan, Mas?!""Tapi, Dek, ini aku benar-benar gak tau. Pasti ini kerjaan si Mutiara.""Terus saja Mbak Muti yang jadi kambing hitam!""Tapi aku ngomong yang sebenarnya, Dek. Aku gak ambil utang apa-apa lagi. Kenapa bisa ada tagihan begini? Aku yakin dia yang melakukannya."Irdiana menggeleng perlahan. "Aku gak nyangka ternyata kamu tukang utang! Terus gimana ini mau nyetorinnya, Mas? Kamu aja kerja gak jelas! Dapat upah gak pasti!"Herdi terbungkam. Kepalanya serasa mau pecah. Kenapa ini bisa terjadi? "Ini pasti kerjaan si Muti, soalnya ktpku juga hilang, Dek! Aku harus cari Mutia untuk memastikan ini semua!""Kamu gak usah beralasan lagi deh, Mas! pusing kepalaku! di sini hutang, di sana hutang, di situ hutang. Semuanya dari hasil berhutang! Capek aku, Mas!"Irdiana berlalu ke belakang, lalu mengambil tasnya dan pergi meninggalkan rumah. Rasanys muak sekali.
Part 29"Lho kok belum ada? Kamu kerja tiap hati, pasti dapat uang 'kan? terus gimana ini? Kamu harus tanggung jawab dong!" pungkas Bu Imas kesal."iya Bu, tapi cuma cukup buat makan, Bu. aku gak bisa nyisihin uang lagi.""Ah dasar, itu mah istrimu aja yang boros! Dikasih uang tiap hari masa gak bisa nyisihin uang sedikitpun!""Bu, kok nyalahin aku, Bu! Yang hutang kan ibu sama Mas Herdi, kenapa malah nyalahin aku?!""Ya iyalah nyalahin kamu, karena semua ini bersumber dari kamu! Kalau saja ayahmu itu gak bersikeras adain pesta mewah, pasti kami gak kelimpungan begini. Udah ngadain pesta, tapi tamu yang dateng gak ada!""Bu, jangan nyalahin aku dong Bu! Itu kan karena cuacanya yang buruk! Mereka gak datang ya wajar!""Ya iya, ini semua karena kamu dan keluargamu yang minta cepat-cepat nikah, asal aja pake tanggal! Harusnya dipikiiirr dulu!""HALAH, BU, BU, KAYAK NGASIH UANG KE KAMI RATUSAN JUTA AJA! CUMA LIMA PULUH DOANG JUGA KURANG BUAT SANA SINI! UDAH BANYAK PROTES!"Kali ini Irdian
Part 28"Huh, segini doang sih kurang, Mas! Buat makan doang, rokok kamu juga. Trs beli skincare aku gimana? Cari yang banyak dong, Mas! Jangan malas!"Mendengar keluhan Irdiana, Herdi hanya mampu menghela napas kesal. "Kurang rajin bagaimana lagi aku, Dek? aku sudah kerja semaksimal mungkin.""Ya kurang rajinlah, buktinya hasil gak memuaskan gini! Huh!""Iya, maaf hasilnya hanya bisa segitu. Kau tahu sendiri cari kerjaan susah, aku bukan orang kuliahan seperti kamu, Dek. Jadi hanya bisa jalani kerja serabutan.""Harusnya kamu kerja di pabrik dong, Mas! Kan mayan tuh bisa dapat gaji setara UMK!""Kamu mau tiap hari aku ketemu Mutiara?""Ck!" Irdiana berdecak kesal. Ia langsung berlalu dari hadapan suaminya. Ucapan Herdi memang benar kalau dia kerja di pabrik, bisa-bisa setiap hari bertemu dengan istri pertamanya itu lalu mereka kembali menjalin cinta. 'Ah, ini gak bisa dibiarkan! Aku gak terima kalau Mas Herdi dan Mbak Muti bersatu lagi!' seru Irdiana dalam hatinya seraya menggeleng
Part 27"Ya udah gak apa-apa, Mas, jangan khawatirin masalah biaya. Aku cuma mau menikah hari ini!" seru Irdiana."Iya, iya, kamu sabar dulu, Irdiana. Kita pasti akan menikah hari ini."Irdiana merajuk dan memohon kepada sang ayah, agar mencarikan penghulu yang lain.Pak Renaldi yang juga pusing akibat omongan orang-orang di belakang, segera bergegas menyuruh anak buahnya mencari penghulu yang lain. Serta mencari tahu apa yang terjadi pada pak penghulu yang akan menikahkan anaknya hari ini."Rombongan pak penghulu mengalami kecelakaan, Pak Bos, tergelincir saat perjalanan mau ke sini. Terus di jalan kecamatan sana ada pohon tumbang menghalangi jalan. Makanya semua juga terhambat," tutur salah satu anak buah Pak Renaldi dengan baju basah kuyup terkena air hujan."Jadi sudah dipastikan kalau mereka tidak bisa datang ya?""Iya, Pak Bos. Tidak bisa datang.""Ya sudah cari penghulu lainnya!""Nah, ini masalahnya Pak Bos, kan beberapa pohon tumbang menghalangi jalan. Meski panggil yang lain