Part 5
"Mas janji akan langsung pulang cepat, semoga gak ada tugas tambahan dari Pak Kades."Aku mengangguk. Sebenarnya banyak sekali yang ingin kutanyakan. Tapi aku memilih bungkam dan akan menanyakannya lain waktu.Aku bangkit dan mengikuti langkahnya dari belakang. Tikar sudah digelar di ruang tamu. Sebentar lagi adzan isya berkumandang. Aku melihat Mas Herdy dan Irdiana menuju mobil yang terparkir di halaman samping rumah ibu mertua. Tak lama mobil itu keluar dari halaman dan melaju di jalanan.Aku kembali masuk menuju dapur, saudara ipar dan ibu mertua tengah berada di sana seraya menyiapkan teh dan juga jamuan orang-orang yang datang nanti."Kalian harus baik di depan Muti, jangan seperti tadi. Dia itu pasti bertanya-tanya tentang kematian anaknya. Janganlah membuat curiga. Kita harus menutup rapat-rapat masalah ini."Deg! Seketika langkahku terhenti mendengar suara itu. Suara dari seorang wanita yang kuhormati."Tantri, kamu juga jangan keterlaluan menghina dia. Bagaimanapun dia menantu ibu yang bisa diandalkan.""Lumbung padi yang subur!" timpal Mbak Tantri.Terdengar suara tawa dari mereka semua, entah itu cibiran atau ejekan untukku."Mut, ngapain berdiri disitu, ayo sini bantuin!" ajak Mbak Fitri yang menyadari kehadiranku.Mereka tampak canggung saat menyadari aku berada di sana."Kalian ngomongin apa, kok ada lumbung padi segala?" tanyaku pura-pura."Hahah, ini sebenarnya cita-cita ibu pengin punya lumbung padi yang besar, kalau bisa sekalian buka usaha penggilingan padi, ya kan Bu?"Ibu mertuaku hanya tersenyum menanggapi ucapan anak sulungnya.Acara tahlil pun dimulai. Tapi tak ada tanda-tanda Mas Herdy pulang di malam pertama kematian anak kami. Apakah jadi sopir Pak Kades sesibuk itu? Bahkan dia tak menemani maupun menghiburku yang baru balik dari luar negeri."Bu, Mut, kami balik dulu ya. Semua sudah selesai, gampang besok kami bantuin lagi," pamit Mbak Tantri dan juga Mbak Fitri. Mereka bersama anak-anaknya pulang membawa bungkusan kresek berisi sisa-sisa cemilan menu hidangan tadi dan juga kresek yang lain berisi baju-bajuku yang mereka pilih. Ke empat anak saudara iparku pun tampak begitu riang gembira, pulang bersama berjalan kaki."Ya, besok kalian kesini lagi ya," sahut ibu.Jam yang bertengger di dinding menunjukkan pukul 10 malam, aku menunggu di ruang tengah kepulangan suamiku. Sementara di luar, para tetangga sudah bubar, hanya lampu yang masih menyala benderang."Mut, kamu istirahat saja. Biar ibu yang nunggu Herdy pulang," ucap ibu mertuaku dengan manis."Memangnya Mas Herdy biasa pulang malam ya, Bu?""Kadang-kadang kalau ada pekerjaan dari Pak Kades.""Pak Kades padahal tahu kan anak kami sedang meninggal, kenapa tega sekali menyuruh Mas Herdy kerja, bahkan sampai tak ikut tahlilan malam ini?""Mungkin kerjaannya penting, Mut. Pak Kades bukan ngurusi kemajuan desa ini saja, soalnya beliau juga punya usaha lain. Herdy mungkin disuruh antar barang kesana," sahut ibu lagi dengan santai. Tak seperti aku yang begitu gelisah."Sudah, kamu tidur saja sana, kamu pasti capek, habis menempuh perjalanan jauh. Sisa-sisa ini biar ibu yang beresin.""Baik, Bu. Aku ke kamar dulu."Kurebahkan diri di atas kasur. Ingin memejamkan mata tapi tidak terasa kantuk. Justru beban pikiran makin menjadi. Banyak sekali pertanyaan yang berjejalan di kepala.Kenapa dengan Adinda?Ada apa dengan Mas Herdy?Ada apa dengan keluarga suamiku?Semua masih menjadi teka-teki. Bagaimana aku tahu tentang mereka? Haruskah aku bertanya pada tetangga? Tapi siapa yang bisa dipercaya?Semakin dipikirkan membuat kepala ini terasa semakin pusing dan berdenyut.Pukul 23.00 WIB, terdengar suara langkah kaki mendekati kamar. Gagang pintu bergerak naik turun lalu diketuk."Mut, kau sudah tidur?" tanya Mas Herdy. "Mut, buka pintunya."Aku beranjak bangkit dan membuka pintu. Menatap wajah lelaki yang sudah menikahiku dengan kecewa. Dia lebih mementingkan pekerjaan dan orang lain dari pada berkirim doa untuk anak kami."Maafin aku, Dek. Tadi dikasih kerjaan sama Pak Kades suruh anterin beliau ke lokasi usahanya," jelas Mas Herdy tanpa kuminta. Entah dia sedang membela diri agar tak disalahkan atau entahlah."Apa Pak Kades tidak tahu kalau anak kita meninggal, Mas? Harusnya kan--""Beliau tahu kok, makanya dia minta maaf dan meminta waktuku sebentar. Katanya ini sangat penting. Oh iya ini, Pak Kades menitipkan ini buat kita," ujar Mas Herdy seraya menyerahkan amplop cokelat."Katanya uang bela sungkawa atas kematian anak kita, beliau belum bisa kesini karena ada urusan penting."Aku masih diam, rasanya ingin sekali protes, tapi Mas Herdy lebih dulu menyanggahnya."Kenapa gak dibuka amplopnya?" ujarnya lagi.Aku menggeleng. Justru dia yang berinisiatif membuka amplop itu, ia menghitungny, amplop itu berisi lembaran biru sebanyak 20 lembar."Lumayan, Mut, ini ada satu juta dari Pak Kades saja," ujar Mas Herdy. "Tadi aku sudah bilang. Kalau besok izin dulu tidak kerja, syukurlah beliau mengizinkan," lanjutnya."Ya sudah kamu tidur saja, Mut. Kamu pasti lelah sekali kan?" tanya Mas Herdy."Aku tidak bisa tidur, Mas, meski badan ini begitu lelah. Tapi pikiran tak bisa dikompromi.""Kenapa? Masih memikirkan Adinda?""Iya. Kelihatannya kamu tak bersedih sama sekali ya, Mas?"Mas Herdy menatapku. "Bukan tak bersedih, Mut. Orang tua mana yang tak bersedih kalau anaknya meninggal. Pasti semua orangpun merasakannya. Hanya saja aku berusaha menutupinya dan bersikap biasa saja. Sudahlah, kamu gak perlu berpikir yang tidak-tidak, kenapa pikiranmu jadi sensitif seperti ini?""Baik, kalau begitu katakan, kenapa Adinda bisa meninggal?"Mas Herdy menghirup udara dalam-dalam. "Adinda sakit, Mut.""Sakit karena kau tak mengurusnya?" tanyaku.Mas Herdy kembali menatapku."Kau boleh marah padaku sepuasnya. Aku memang tidak becus sebagai ayah untuk menjaganya. Maafkan aku."Lelaki itu kemudian memilih berbaring dan meninggalkanku yang diam terpaku. Mas Herdy sudah berbeda. Ya, kini dia berbeda tak seperti dulu lagi.***Pagi-pagi sekali, aku menyapu halaman yang kotor akibat sisa sampah semalam."Mut!" panggil sebuah suara. Aku tersenyum saat menyadari wanita itu adalah Santi, temanku yang juga pernah menjadi TKW pada waktu yang bersamaan. Rupanya dia juga sudah pulang juga ke Indonesia, mungkin masa kontrak kerjanya habis, sama sepertiku."Kamu apa kabar, Mut? Aku baru tahu kalau kamu pulang, Mut. Aku juga baru tahu kalau anakmu meninggal. Maafin aku ya, Mut. Aku ikut berduka cita atas kepergian Adinda. Kuatkan hatimu ya," ucapnya. Dia langsung memelukku memberi kekuatan."Are you okey, Mut?" tanya Santi. Dia menoleh ke kanan dan kiri.Aku mengangguk dan tersenyum kecil. "Seperti yang kamu lihat, San. Sejak kapan kamu balik, San?" tanyaku."Baru 10 hari yang lalu aku pulang. Tapi dua hari kemarin aku main ke tempat saudara, tadi malam baru pulang.""Ya sudah, ayo masuk! Kita ngobrol di dalam!" ajakku.Tapi Santi menahan gerakan tanganku. "Aku ikut sedih atas apa yang menimpa Adinda, Mut.""Apa maksudmu?"Part 6Tapi Santi menahan gerakan tanganku. "Aku ikut sedih atas apa yang menimpa Adinda, Mut.""Apa maksudmu?"Mendadak Santi tersenyum. "Tidak apa-apa, Mut, lain waktu kamu main ke rumah ya!" jawabnya.Aku menoleh ke belakang. Rupanya ada ibu mertuaku yang datang menghampiri."Ini Santi, kan? Santi putrinya Bu Eni? Pangling ya, jadi makin cantik!" puji ibu mertuaku.Santi tersenyum dan menyalami tangan ibu mertua. "Haha makasih ya, Bu. Menantu ibu juga makin cantik, Bu. Maaf baru datang, baru tahu kalau Adinda--""Iya, tidak apa-apa, ayo masuk, San.""Tidak usah, Bu. Sebenarnya aku buru-buru. Nanti siang mau pergi lagi.""Haha ya sudah, ibu tinggal ke warung dulu," ujar ibu mertua.Santi mengangguk. Tapi aku masih menatapnya. Keningku berkerut, apa maksud ucapan Santi tadi."Hei, jangan bengong melulu!" tepuk Santi di pundakku. "Tadi maksudmu apa ya, San?" tanyaku lagi."Tidak, bukan apa-apa kok.""San? Apa kau tahu sesuatu tentang kematian anakku?""Aku sih tidak tahu pasti, kan a
Part 7"Yang masalah pekerjaan. Sekarang ibu nangis. Dia merasa pengorbanannya sebagai ibu tak dihargai," ujar Mas Herdy.Aku memutar bola mata mendengar ucapan Mas Herdy. Sandiwara apa lagi ini?"Maksud ibu, biar uang gajiku tetap untuk biaya kuliah Devi. Dan kalau bisa kamu cari kerja lagi, Mut.""Astaghfirullah, aku gak bermaksud menyinggung seperti itu, Mas. Aku tahu kok, meski sudah menikah, anak lelaki tetap milik ibunya. Tapi kamupun harus ingat kalau kau juga bertanggung jawab menafkahiku bukan hanya keluargamu saja. Aku ini istrimu, Mas. Aku tulang rusuk bukan tulang punggung. Jadi wajar kan kalau misalnya aku minta nafkah dari kamu. Selama lima tahun aku sudah rela berkorban, membantumu, menggantikanmu jadi tulang punggung keluarga, memperbaiki ekonomi keluarga kita.""Kenapa kamu mengungkitnya, apa kamu gak ikhlas?"Braakk, kugebrak meja di hadapanku membuat lelaki itu terkejut."Keterlaluan kamu menilaiku seperti itu, Mas! Kalau aku gak ikhlas, sudah dari dulu aku tak mau
Part 8“Bu, apa ibu tahu sesuatu tentang Adinda selama aku pergi keluar negeri?”Bu Eni memandangiku dengan tatapan iba. Lalu menggenggam tanganku sejenak. Ia menghela nafas dalam-dalam. “Ibu turut berduka dengan kepergian Adinda, Nak. Ibu tahu, pasti ini sangat berat untukmu. Tapi semua sudah terjadi, kamu harus ikhlas, agar Adindamu tenang di surga Allah.”Aku mengangguk, tanpa terasa butiran bening kembali menitik. “Insyaallah aku ikhlas, Bu. Tapi aku ingin tahu penyebab Adinda sampai meninggal. Apa benar Adinda sakit seperti yang suamiku bilang? Atau adakah hal lain yang terjadi?”Bu Eni masih menatapku dan mendengarkan aku bicara.“Apakah selama ini dia tak diurus dengan benar? Beberapa kali aku mendengar selentingan kabar yang membuatku ragu untuk mempercayai suamiku dan keluarganya."“Nak Muti, kalau ibu mengatakan hal yang ibu lihat apa kamu akan percaya? Ibu justru takut kamu akan menilai ibu memfitnah keluargamu,” jawab Bu Eni pelan. Bu Eni menghela nafas dalam-dalam.Aku m
Part 9 Pov Herdy“Mu-mu-tiara, ka-kau pulang?”Sungguh aku tak percaya dengan kepulangan Mutiara yang sangat mendadak. Dia tiba-tiba datang begitu saja tanpa memberitahuku. Apalagi kejadian di rumah tak baik-baik saja. Ia pulang bertepatan dengan kematian Adinda. Gadis kecil yang nakal juga bandel. Itulah laporan yang selalu kuterima dari ibu dan kakak-kakakku. ***Beberapa hari sebelumnya...“Mentang-mentang bukan anakmu jadi gak bisa diatur! Masa Mbak lihat dia lagi ngemis di jalanan. Dih, malu-maluin aja! Suruh diem di tempat Mbak bantu-bantu nyiram tanaman kek malah kagak mau!” sungut Mbak Tantri kesal.Aku menghela nafas berat kala mendengar penuturan Mbak Tantri. Lalu menatap gadis kecil yang tengah ketakutan itu.“Kamu bener kabur dari rumah budhe? Ngapain sampai ngemis di jalan?”“Tidak, Yah, aku disuruh nenek sama budhe,” sahut anak kecil itu dengan gemetaran. Aku hanya mengusap wajah kesal mendengar Adinda justru menuduh neneknya sendiri yang menyuruhnya. Tentu saja ibu d
Part 10“Enggak dong, Sayang. Takkan ada yang berubah kok. Aku akan tetap menyayangi dan mencintaimu.”“Bohong!” pungkasnya dengan bibir cemberut, membuatnya makin terlihat menggemaskan. Ia sedang merajuk rupanya.“Enggak,” sahutku lagi. Kubelai rambutnya sejenak dan merapikannya ke belakang telinga.“Yakin? Kalau begitu buktikan dong!” ketusnya lagi. “Hmmm ... aku harus bagaimana, Sayang?” tanyaku lagi. Dia memandangku seraya menggigit bibir bawahnya. “Jangan pulang dulu, temani aku sampai puas," ujarnya seraya menggelayut manja di lenganku.Aku tampak berpikir, kalau aku tak menuruti permintaannya, ia sudah pasti akan merajuk berhari-hari. Sebenarnya aku bimbang, di rumah ada tahlilan Adinda, tapi demi gadisku tercinta aku mengabaikannya.“Ya, baiklah, aku akan menemanimu. Toh Adinda bukan anak kandungku," jawabku lagi.Dia tersenyum manis dan menggelayut di lenganku. Mobil masih melaju dengan pelan, tujuan yang seharusnya berbelok arah menuju ke rumah Pak Kades, justru aku memacu
Part 11"Maaass, buruaaan!!" Teriakan Irdiana mengagetkanku. Aku tergagap dan langsung memasukkan ponsel ke tas waitsbagku. Aku menoleh, Irdiana dan ketiga temannya sudah berdiri di dekat mobil. Mereka semua membawa tas ransel yang berisi perlengkapan kemping.Aku membuka pintu mobil, mereka semua segera masuk. Aku membantu menaruh ransel mereka di bagasi mobil. Ketiga teman Irdiana terlibat obrolan sendiri."Hey, gak ada yang ketinggalan 'kan?" tanya Irdiana seraya menoleh ke belakang."Tidak ada, Ir, semuanya aman.""Yang lain gimana?""Emmhh ... teman-teman yang lain udah berangkat duluan. Kita akan bertemu di lokasi," sahut salah satu temannya.Irdiana mengangguk mengerti. "Ayo, Mas, jalan!" pungkas Irdiana.Aku mengangguk dan mulai melajukan mobil ke tempat tujuan mereka.Hanya butuh dua setengah jam perjalanan akhirnya sampai di lokasi. Tempat khusus untuk perkemahan sekaligus tempat wisata alam. Karena lokasinya di puncak bukit, udara terasa dingin meski di siang hari. Terben
Part 12“Ternyata kamu di sini, Mut!” seru seseorang mengagetkanku. Wanita itu berjalan menghampiriku dan ikut duduk bersimpuh di samping pusara Adinda. “Kata ibu kamu habis dari rumah? Aku baru saja pulang dan langsung mencarimu.”“Iya, San. Ibu sudah cerita semuanya, aku sudah tahu yang keluargaku lakukan pada Adinda. Ah, aku tak habis pikir kenapa mereka jahat sekali. Tapi gimana ya cari bukti biar bisa jeblosin mereka ke penjara? Aku ingin Mbak Tantri dan Mbak Fitri kena sanksi, lalu Mas Herdy juga ibu mertuaku, si Imas. Aku sakit hati, San. Sakit ...”Santi mengelus pundakku pelan. “Tenangkan hatimu dulu. Tak baik bila hati penuh amarah dan dendam. Kita perlu berpikir jernih untuk menyusun rencana. Kamu tak boleh gegabah. Yang kau hadapi adalah keluarga ular. Sangat berbisa, mereka bisa memutarbalikkan fakta. Bahkan mereka tega menyakiti darah daging sendiri, apalagi kamu yang hanya orang lain?”“Kau benar, Santi. Lalu apa yang harus kulakukan?”“Saranku, untuk sementara ini be
Part 13“Dasar wanita murahan!”Deg! Jantungku berpacu dengan cepat, bisa-bisanya Mas Herdy menghinaku serendah ini. Apalagi di depan ibunya. Benar-benar tak punya hati.“Apa maksudmu mengatakan hal itu, Mas? Kenapa kau berpikir kalau Adinda bukan anakmu? Kenapa? Padahal jelas-jelas hanya kamu satu-satunya pria yang berhubungan denganku!”“Halaah, jangan bohong kau, Mut! Mana ada maling ngaku, ketahuan aja baru mengelak!”“Fitnah apalagi yang kau tujukan padaku, Mas?”“Ini bukan fitnah, tapi kenyataannya begitu! Ada buktinya kenapa aku bilang begini!”“Bukti? Bukti apa?”Dan ... tanpa dinyana, Mas Herdy membeberkan semuanya, bahwa ia mendapatkan berita itu dari saudara-saudara iparnya. Katanya dulu saat aku masih hamil Adinda, aku sering dibonceng pria. Hampir setiap hari. Padahal lelaki itu hanya tukang ojek saat aku jadi buruh cuci di pasar. Aku jadi mengingat Kang Naim, ia selalu mengantarku tanpa mau dibayar, alasannya kasihan karena sama-sama orang susah, ia kasihan melihatku se
Part 35"Jadi Irdiana gak izin sama ibu?" tanya Herdi usai pulang kerja dan mendapati rumah kosong dan hanya ada ibundanya.Ia merasa heran karena sang ibunda mengomel tak jelas juntrungannya. Bu Imas menggeleng. "Tidak, Herdi. Ibu gak tau, saat ibu pulang, rumah udah kosong, dia tinggalin gitu aja dalam keadaan begini. Untung aja uang simpanan ibu masih ada gak digondol maling.""Benar-benar ya. Istrimu ceroboh sekali, rumah gak dikunci! Kamu punya istri kok gak ada yang bener sih! Stress ibu lama-lama dibuatnya!"Herdi memijat pelipisnya, penat begitu terasa. Padahal ia merasa senang akan melihat istrinya itu dan memberikan uang yang didapat hari ini. meksi belum banyak, tapi hari ini lebih baik dari kemarin. Ada peningkatan.Herdi mendesah panjang, menghela napasnya yang begitu gusar. "Jadi kau pergi kemana, Irdiana? Arrghh ..."Lelaki itu menoleh ke arah ibunya. "Bener kan ibu gak marahin istriku? Atau jangan-jangan ibu marahin dia, seperti ibu marahin Mutiara? Jadi Irdiana perg
Part 34"Irdiana, cinta boleh, tapi jangan bodoh. suamimu mungkin baik tapi dia kurang bertanggung jawab. Terlebih dia tak membelamu di hadapan ibunya. Kalau aku tangkap dari ceritamu ini, keluarga suamimu itu toxic. Tak perlu dipertahankan lagi. tapi kalau kamu masih mau dengannya, menghabiskan waktu sia-sia ya terserah saja, yang pennting kau harus sabar dan menerima apapun keadaannya. termasuk sikap ibu mertuamu. Itu aja saranku, Ir. Dan ingat ini, kamu itu masih muda, jalanmu masih panjang. kau pun berhak bahagia."Irdiana merenung cukup lama mendengar ucapan sahabatnya itu. "Ir, jangan melamun terus nanti kamu kesambet lho! Ayo sekarang kita makan dulu nih. Makanannya sudah siap."Irdiana mengangguk. Mereka pun menikmati makan bersama. Setelahnya, Risa kembali bertanya pada Irdiana."Kamu mau pulang kemana?""Entahlah. Aku aja sekarang bingung, Ris. Aku gak ingin pulang dulu, rasanya muak sama ibu mertuaku.""Ke rumah orang tua kamu bagaimana?""Pintunya digembok.""Ya sudah pul
part 33Irdiana termangu mendengar penuturan suaminya itu."Mau jual rumah ini, Mas?" tanya Irdiana meyakinkan dirinya sendiriHerdi mengangguk cepat."Emangnya bisa laku kalau surat-suratnya gak ada? Bukannya surat-suratnya ada di koperasi?""Bisa. aku akan cari orang yang ahli dalam hal ini.""Terus kita akan tinggal dimana, Mas?""Emmh, tinggal di rumah ibu atau orang tua kamu.""No, no, itu tidak mungkin.""Kenapa?""Aku ingin kita mandiri, Mas.""Untuk sementara waktu saja, Dek. Sampai ekonomi kita membaik.""Tapi kapan?""Ya bertahap, mungkin butuh waktu agak lama, tapi mas akan berusaha, Dek, demi kita dan bayi yang ada dalam kandunganmu," ujar Herdi lagi, ia berusaha menenangkan sang istri seraya mengelus perutnya yang mulai membuncit itu.Irdiana menghela napas dalam-dalam. Sungguh berat. "Hhh, sekarang aja kau kerjanya serabutan, gimana mau---" Irdiana tak meneruskan ucapannya."Aku tahu ini tahun yang berat bagi kita. tapi kau cukup dukung saja keputusan ini ya. Aku butuh p
Part 32Mutiara terbungkam, pikirannya berkecamuk, semua berputar di kepala. Ia bingung apa yang harus dilakukan, meski perkataan Arya benar, suatu saat, Herdi pasti akan kembali menemuinya karena ia tak puas dengan hari ini."Pindah, tapi kemana? Saya--""Kau tenang saja, aku akan siapkan rumah sewa yang lebih besar untukmu. agar kau tinggal lebih nyaman dan tanpa gangguan. Aku juga akan menjamin keamananmu.""Maaf Pak, tapi saya terlalu banyak merepotkan Anda.""Sama sekali tidak, saya senang melakukannya, atas nama kemanusiaan, bukankah kita seharusnya saling tolong menolong?""Iya, tapi apakah ini tidak berlebihan? anda selalu membantu saya bahkan di saat orang lain meninggalkan saya.""Percayalah, meski ada orang jahat di dunia ini, pasti akan ada orang yang peduli padamu. Kau tidak perlu khawatirkan hal itu. Sebaiknya kau berkemas dulu, aku akan mengantarmu pindah malam ini.""Baiklah, tunggu sebentar ya, Pak. Saya akan siap-siap. Maafkan saya selalu merepotkan bapak.""Ya, itu
Part 31Herdi segera berlalu meninggalkan rumah Santi. "Tak ada gunanya aku datang ke sini. aku harus usaha sendiri mencari Mutiara," gerutunya kesal.Herdi mengenal beberapa tetangganya yang juga bekerja di pabrik pengolahan pisang itu. Hingga akhirya ia mendapatkan jawaban kalau Mutiara tinggal di dekat ruko yang tengah dibangun untuk mini market oleh-oleh, yang juga milik Arya."Rupanya selama ini kau tinggal di situ, apa itu bersama bosmu?"Herdi menggeleng perlahan. 'Padahal belum resmi cerai, tapi kau selingkuh juga! harusya impas 'kan? Kaupun sama sepertiku!' gumamnya lagi penuh kesal. Herdi terus berjalan, jadi cukup lama untuk sampai di lokasi apalagi tempatnya berada di pinggir jalan raya utama alias jalan lintas provinsi.Dari kejauhan ia melihat ada sebuah mobil yang terparkir manis di sebuah bangunan minimarket yang cukup besar, proyek pembangunan sudah 90%, tinggal finishingnya saja. Herdi bersembunyi di balik pohon dan memperhatikan sekitar. seorang lelaki turun dar
Part 30"Kamu ini dasar pembohong ya, Mas! Kamu bilang cuma hutang buat resepsi aja! tapi nyatanya ini ada lagi? Uangnya buat apaan, Mas?!""Tapi, Dek, ini aku benar-benar gak tau. Pasti ini kerjaan si Mutiara.""Terus saja Mbak Muti yang jadi kambing hitam!""Tapi aku ngomong yang sebenarnya, Dek. Aku gak ambil utang apa-apa lagi. Kenapa bisa ada tagihan begini? Aku yakin dia yang melakukannya."Irdiana menggeleng perlahan. "Aku gak nyangka ternyata kamu tukang utang! Terus gimana ini mau nyetorinnya, Mas? Kamu aja kerja gak jelas! Dapat upah gak pasti!"Herdi terbungkam. Kepalanya serasa mau pecah. Kenapa ini bisa terjadi? "Ini pasti kerjaan si Muti, soalnya ktpku juga hilang, Dek! Aku harus cari Mutia untuk memastikan ini semua!""Kamu gak usah beralasan lagi deh, Mas! pusing kepalaku! di sini hutang, di sana hutang, di situ hutang. Semuanya dari hasil berhutang! Capek aku, Mas!"Irdiana berlalu ke belakang, lalu mengambil tasnya dan pergi meninggalkan rumah. Rasanys muak sekali.
Part 29"Lho kok belum ada? Kamu kerja tiap hati, pasti dapat uang 'kan? terus gimana ini? Kamu harus tanggung jawab dong!" pungkas Bu Imas kesal."iya Bu, tapi cuma cukup buat makan, Bu. aku gak bisa nyisihin uang lagi.""Ah dasar, itu mah istrimu aja yang boros! Dikasih uang tiap hari masa gak bisa nyisihin uang sedikitpun!""Bu, kok nyalahin aku, Bu! Yang hutang kan ibu sama Mas Herdi, kenapa malah nyalahin aku?!""Ya iyalah nyalahin kamu, karena semua ini bersumber dari kamu! Kalau saja ayahmu itu gak bersikeras adain pesta mewah, pasti kami gak kelimpungan begini. Udah ngadain pesta, tapi tamu yang dateng gak ada!""Bu, jangan nyalahin aku dong Bu! Itu kan karena cuacanya yang buruk! Mereka gak datang ya wajar!""Ya iya, ini semua karena kamu dan keluargamu yang minta cepat-cepat nikah, asal aja pake tanggal! Harusnya dipikiiirr dulu!""HALAH, BU, BU, KAYAK NGASIH UANG KE KAMI RATUSAN JUTA AJA! CUMA LIMA PULUH DOANG JUGA KURANG BUAT SANA SINI! UDAH BANYAK PROTES!"Kali ini Irdian
Part 28"Huh, segini doang sih kurang, Mas! Buat makan doang, rokok kamu juga. Trs beli skincare aku gimana? Cari yang banyak dong, Mas! Jangan malas!"Mendengar keluhan Irdiana, Herdi hanya mampu menghela napas kesal. "Kurang rajin bagaimana lagi aku, Dek? aku sudah kerja semaksimal mungkin.""Ya kurang rajinlah, buktinya hasil gak memuaskan gini! Huh!""Iya, maaf hasilnya hanya bisa segitu. Kau tahu sendiri cari kerjaan susah, aku bukan orang kuliahan seperti kamu, Dek. Jadi hanya bisa jalani kerja serabutan.""Harusnya kamu kerja di pabrik dong, Mas! Kan mayan tuh bisa dapat gaji setara UMK!""Kamu mau tiap hari aku ketemu Mutiara?""Ck!" Irdiana berdecak kesal. Ia langsung berlalu dari hadapan suaminya. Ucapan Herdi memang benar kalau dia kerja di pabrik, bisa-bisa setiap hari bertemu dengan istri pertamanya itu lalu mereka kembali menjalin cinta. 'Ah, ini gak bisa dibiarkan! Aku gak terima kalau Mas Herdi dan Mbak Muti bersatu lagi!' seru Irdiana dalam hatinya seraya menggeleng
Part 27"Ya udah gak apa-apa, Mas, jangan khawatirin masalah biaya. Aku cuma mau menikah hari ini!" seru Irdiana."Iya, iya, kamu sabar dulu, Irdiana. Kita pasti akan menikah hari ini."Irdiana merajuk dan memohon kepada sang ayah, agar mencarikan penghulu yang lain.Pak Renaldi yang juga pusing akibat omongan orang-orang di belakang, segera bergegas menyuruh anak buahnya mencari penghulu yang lain. Serta mencari tahu apa yang terjadi pada pak penghulu yang akan menikahkan anaknya hari ini."Rombongan pak penghulu mengalami kecelakaan, Pak Bos, tergelincir saat perjalanan mau ke sini. Terus di jalan kecamatan sana ada pohon tumbang menghalangi jalan. Makanya semua juga terhambat," tutur salah satu anak buah Pak Renaldi dengan baju basah kuyup terkena air hujan."Jadi sudah dipastikan kalau mereka tidak bisa datang ya?""Iya, Pak Bos. Tidak bisa datang.""Ya sudah cari penghulu lainnya!""Nah, ini masalahnya Pak Bos, kan beberapa pohon tumbang menghalangi jalan. Meski panggil yang lain