Part 1
"Akhirnya sampai juga. Welcome Indonesia."Senyumanku mengembang seketika saat keluar dari Bandara. Kembali menghirup udara segar di negeri tercinta. Setelah 5 tahun bekerja di negeri orang menjadi pahlawan devisa.Satu hal yang paling aku rindukan, bertemu dengan putriku yang kini usianya sudah 8 tahun. Kutinggalkan ia saat umurnya masih 3 tahun, semua kulakukan karena ekonomi keluarga morat-marit. Suami yang hanya buruh serabutan tak mampu mencukupi kehidupan kami termasuk orang tuanya. Kami memang masih menumpang di rumah mertua.Terpaksa aku menerima ajakan teman yang sama-sama menjadi TKW di luar negeri. Mengadu nasib di negeri orang. Dengan harapan ekonomi kami bisa terangkat. Karena itu pula, sekarang kami punya rumah mungil di samping rumah mertua. Bukankah itu sudah cukup? Aku akan kembali bersama keluarga. Dan usaha kecil-kecilan di rumah sembari mengurus anak dan juga suami.Aku pernah pulang ke kampung halaman, tapi itu 2 tahun yang lalu, saat aku mendapatkan cuti dari majikan. Setelah itu aku kembali terbang hingga akhir masa kontrakku.Rasanya sudah cukup, menahan rindu dengan orang-orang terkasih dan tercinta. Rasa rindu yang begitu menyesakkan dada karena tak bisa melihatnya leluasa atau merengkuhnya dalam sepiku.Kutarik koperku menuju ke pangkalan taksi. Hari ini aku pulang tanpa memberi tahu keluarga. Aku ingin membuat kejutan pada mereka, terutama Mas Herdy dan juga Adinda.Senyumku mengembang lagi ketika membayangkan wajah mereka yang bahagia bertemu denganku.Untuk menuju ke kampung halaman, memang butuh waktu yang lama. Aku harus menempuh perjalanan lima jam sampai di rumah, dengan tiga kali naik angkutan umum, yang pertama naik taksi menuju ke terminal lalu lanjut naik Bus sampai kota tujuan. Setelah itu bisa naik ojek maupun angkot hingga sampai di rumah.Jam menunjukkan pukul 11.30 siang, aku memang memilih penerbangan pagi, agar sampai di rumah sore hari.Saat ini, aku sudah menaiki taksi. Sepanjang jalan tak henti-hentinya menatap layar ponsel, melihat foto-foto Adinda yang dikirimi Mas Herdy. Tapi dua mingguan ini, suamiku susah sekali dihubungi. Nomornya tak pernah aktif, mungkin memang dia sibuk mengurus anak kami yang katanya begitu aktif."Sayang, bunda sudah gak sabar ketemu dengan kalian," lirihku seraya mengecup foto Adinda.Tak butuh waktu lama, aku sudah sampai di terminal, lantas turun dan membayar tagihan taksi dan memilih menaiki Bus ke kota tujuan.Mendengarkan musik lewat youtube hingga tanpa terasa tertidur di bus. Tak banyak yang kubawa, hanya satu koper serta tas ransel yang kugendong, berisi pakaian dan barang keperluanku saja. Aku bukan termasuk orang yang konsumtif membelanjakan barang yang tak terlalu penting. Atau hanya membeli yang kubutuhkan saja. Karena aku punya targetku sendiri. Menabung untuk biaya pendidikan Adinda. Setidaknya anakku harus sekolah sampai perguruan tinggi. Tak sepertiku yang hanya lulusan SMP, tapi aku sempat ikut kelas kejar paket C yang setara dengan SMA.Selama ini uang gaji aku bagi dua, bila dirupiahkan, 7 juta kukirim untuk Mas Herdy, untuk kebututuhan hidup dan juga nabung bikin rumah. Sementara yang 3,5 juta untuk kebutuhanku sendiri. Tak jarang, uang itu utuh kutabung, karena kebutuhan makan dan lainnya, semua ditanggung oleh majikan.Beberapa bulan terakhir ini Mas Herdy memang sering meminta uang lebih dari biasanya, banyak alasan yang ia bilang, buat bikin kanopi serta pagar rumah. Atau alasan lain lagi.[Sayang, apa kamu gak punya uang simpanan? Mas lagi butuh nih buat bikin kanopi sama pagar rumah] tulisnya dalam pesan saat itu.[Tidak ada, Mas, kan semua sudah kuserahkan padamu. Kalau memang uangnya belum cukup tak perlu dibuat dulu, sabar dulu saja sampai uangnya terkumpul]Aku sengaja membohonginya, karena aku ingin saat pulang nanti punya bekal uang buat modal usaha. Agar nanti tak kerepotan meminjam uang ke orang lain.[Tapi Mas sudah ngomong sama tukangnya][Batalin saja, Mas. Menurutku, rumah sudah berdiri kokoh itupun sudah alhamdulillah. Yang lain pikirkan nanti, Mas]Tak hanya satu pesan itu saja tapi ada pesan-pesan lainnya juga yang mengisyaratkan dia butuh uang.[Kirimi Mas uang lagi, Dek. Adinda sakit, kata dokter harus dirawat. Tapi Mas gak punya pegangan uang][Kalau kamu gak punya uang, pinjem ke majikan dulu. Dek. Ini penting, demi kesembuhan Adinda]Tentu saja hati ibu mana yang tidak kalang kabut mendengar kabar buruk putri tercinta. Rasanya sakit dan pilu, susah diungkapkan lewat kata-kata.[Berapa, Mas?][Sekirar 5-10 juta, Dek]Aku menghela nafas panjang, lebih merasa khawatir pada kondisi Adinda. Saat dia sakit aku justru tak bisa menemaninya, aku tak bisa berada di sampingnya. Air mata menetes tanpa henti, aku bukan ibu yang baik. Demi ekonomi, aku harus rela menggadaikan kebersamaan keluarga, terutama anakku yang haus kasih sayang ibu.Mengenai kabar itu, tentu saja aku sangat percaya pada suamiku. Tak butuh waktu lama, akupun mentransfer sebanyak 10 juta demi kesembuhan Adinda.[Sudah kutransfer, Mas. Tolong rawat dan jaga Adinda dengan baik][Iya, Dek. Kamu gak usah khawatir]Namun setelah aku mengirimkan uang itu, Mas Herdy tak bisa dihubungi selama beberapa hari. Lalu ia pun mengirim pesan balasan padaku meminta maaf bahwa kemarin di Rumah Sakit tak sempat pegang handphone, dan sekarang kondisi Adinda sudah baik-baik saja. Ia pun mengirimkan foto putri kami, membuat hatiku lega. Uang yang kukirim tak sia-sia.Selama ini, suamiku memang tak pernah mengupdate status atau story WA-nya, dari dulu memang begitu, dia terlalu cuek dan tertutup."Mbak, Mbak, sudah sampai!" tukas seorang kernet membuyarkan lamunanku.Setelah 5 jam lebih 10 menit, akhirnya sampai juga di kota tujuan. Turun dari bus, sang kernet membantuku menurunkan koper dari bagasi. Aku langsung menaiki ojek dan menuju ke rumah.Tak sampai 15 menit, sampai di depan rumah minimalis bercat hijau pupus.Aku turun dari motor dan segera membayar ongkos ojeknya. Kupandangi dua rumah yang berdiri berdekatan. Ada bendera kuning yang tertancap di depan pagar dari kayu itu. Tak hanya itu, banyak bangku plastik warna hijau yang berjejer di halaman juga banyak orang yang hadir.Aku termangu sejenak. Siapa yang meninggal? Seketika jantungku berdegup dengan kencang.Salah seorang warga keluar dari rumah itu. Aku memberanikan diri untuk bertanya."Maaf Bu, siapa yang meninggal?" tanyaku.Dia tertegun sejenak, menatapku dari atas ke bawah, tapi sepertinya tak mengenali kalau aku ini Mutiara Suci, istri Mas Herdy yang terpaksa jadi TKW. Mungkin karena penampilanku sedikit berbeda."Oh itu, anaknya Mas Herdy. Adinda yang meninggal, kasihan itu sejak ditinggal ibunya gak keurus udah gitu malah--. Ehem, Mbak ini kerabat Mas Herdy ya?"Aku mengangguk dan langsung berlalu ke dalam. Jantung yang sedari berdebar tak menentu makin berdetak kencang. Tak percaya kabar yang kudengar.Kenapa putriku bisa meninggal? Mas Herdy tak mengabari kalau Adinda sakit.Masuk ke dalam rumah, membuatku makin shock melihat jenazah yang sudah terbungkus kain kaffan dan juga tertutup kain jarik bersiap akan dimakamkan."Mu-mutiara? Ka-kau pu-pulang?"Part 2"Mu-mutiara? Ka-kau pu-pulang?" ucap seorang lelaki dengan nada gemetar. Beberapa orang pun menoleh ke arahku yang berdiri di dekat pintu, menatap seolah tak percaya akan kedatanganku. Lelaki yang memakai baju koko, sarung serta peci hitam itu berjalan mendekat ke arahku. "Mutiara, kau pulang kenapa tidak memberitahuku?" tanya Mas Herdy lagi. Matanya mengisyaratkan kalau dia terkejut juga takut.Kutatap kedua matanya yang tampak memerah. Lalu kembali memandang tubuh kaku tak berdaya yang berada tak jauh dariku."Maafkan mas, Sayang. Mas gak bisa jagain Adinda dengan baik. Dia, dia--"Mendengar ucapannya yang menjelaskan kalau yang meninggal benar-benar Adindaku, putri mungil yang dulu kutimang-timang, seketika tubuhku lunglai, seolah tulang persendianku tak berfungsi lagi. Tubuh merosot seketika tapi Mas Herdy langsung memelukku dengan erat. Kudengar ia pun menangis tergugu.Pupus sudah harapanku. Bayangan akan disambut keceriaan si kecil dan senyumannya hilang seketika. Bay
Part 3Rindu yang sangat menyakitkan adalah merindukan orang yang sudah tiada. Karena kita tak bisa bertemu dengannya lagi, hanya bisa mengingatnya dalam secuil kenangan.***"Mbak, sebaiknya jangan terlalu percaya dengan keluarga suamimu," lirih sebuah suara yang seketika membuatku terhenyak.Aku menoleh ke sumber suara, melihat seorang wanita muda tersenyum ke arahku. Aku bahkan tak mengenali dia siapa. Lupa, lebih tepatnya. Lima tahun berlalu, banyak sekali yang berubah.Tapi, wanita muda itu berbaur akrab dengan mertua juga adik ipar. Lalu pulang bersama mereka mendahuluiku.Ya, aku memang masih ingin di sini. Di makam putriku tercinta. Mencurahkan rasa rindu yang masih tertahan dalam dada. Aku terduduk memandangi pusara Adinda, penuh penyesalan."Mut, sudah yuk, mari kita pulang. Makam sudah sepi. Tinggal kita berdua saja," ujar Mas Herdy seraya menundaku berdiri."Kita lanjut doakan Adinda dari rumah," lanjutnya lagi. Aku menoleh ke kanan dan kiri, memang tak ada orang lain lag
Part 4"Ehem! Kalian kenapa lancang sekali membuka koperku?" tukasku. Gerakan mereka terhenti seketika dan menoleh ke arahku."Ya ampun, Mut, kami ini kan keluargamu. Bukankah ini yang kamu bawa dari luar negeri, pasti ada oleh-oleh untuk kami kan?" ujar Mbak Tantri begitu cuek. Ia masih memilih baju-bajuku yang masih baru, kemarin dapat bonus dari majikan, diberi beberapa setel baju baru dan juga tas serta beberapa lembar uang tunai sebagai tanda ucapan terima kasih sudah bekerja di sana selama ini."Tapi itu baju-bajuku, Mbak!""Ini kan masih pada baru, nih mereknya juga masih ada, pasti harganya mahal. Biar buat kami aja. Kamu kan banyak uang, bisa beli lagi yang lain. Bagi-bagilah buat kami, jangan pelit!""Iya, Mbak Mut, jangan pelit sama saudara sendiri!" timpal Devina dengan gaya centilnya. "Bukannya aku pelit, Mbak! Tapi harusnya kalian izin dulu sama aku.""Heleh, timbang baju ama tas doang perhitungan sekali kau, Mut! Mentang-mentang jadi TKW belagu, lupa apa asalmu dari ma
Part 5"Mas janji akan langsung pulang cepat, semoga gak ada tugas tambahan dari Pak Kades."Aku mengangguk. Sebenarnya banyak sekali yang ingin kutanyakan. Tapi aku memilih bungkam dan akan menanyakannya lain waktu.Aku bangkit dan mengikuti langkahnya dari belakang. Tikar sudah digelar di ruang tamu. Sebentar lagi adzan isya berkumandang. Aku melihat Mas Herdy dan Irdiana menuju mobil yang terparkir di halaman samping rumah ibu mertua. Tak lama mobil itu keluar dari halaman dan melaju di jalanan.Aku kembali masuk menuju dapur, saudara ipar dan ibu mertua tengah berada di sana seraya menyiapkan teh dan juga jamuan orang-orang yang datang nanti."Kalian harus baik di depan Muti, jangan seperti tadi. Dia itu pasti bertanya-tanya tentang kematian anaknya. Janganlah membuat curiga. Kita harus menutup rapat-rapat masalah ini."Deg! Seketika langkahku terhenti mendengar suara itu. Suara dari seorang wanita yang kuhormati."Tantri, kamu juga jangan keterlaluan menghina dia. Bagaimanapun di
Part 6Tapi Santi menahan gerakan tanganku. "Aku ikut sedih atas apa yang menimpa Adinda, Mut.""Apa maksudmu?"Mendadak Santi tersenyum. "Tidak apa-apa, Mut, lain waktu kamu main ke rumah ya!" jawabnya.Aku menoleh ke belakang. Rupanya ada ibu mertuaku yang datang menghampiri."Ini Santi, kan? Santi putrinya Bu Eni? Pangling ya, jadi makin cantik!" puji ibu mertuaku.Santi tersenyum dan menyalami tangan ibu mertua. "Haha makasih ya, Bu. Menantu ibu juga makin cantik, Bu. Maaf baru datang, baru tahu kalau Adinda--""Iya, tidak apa-apa, ayo masuk, San.""Tidak usah, Bu. Sebenarnya aku buru-buru. Nanti siang mau pergi lagi.""Haha ya sudah, ibu tinggal ke warung dulu," ujar ibu mertua.Santi mengangguk. Tapi aku masih menatapnya. Keningku berkerut, apa maksud ucapan Santi tadi."Hei, jangan bengong melulu!" tepuk Santi di pundakku. "Tadi maksudmu apa ya, San?" tanyaku lagi."Tidak, bukan apa-apa kok.""San? Apa kau tahu sesuatu tentang kematian anakku?""Aku sih tidak tahu pasti, kan a
Part 7"Yang masalah pekerjaan. Sekarang ibu nangis. Dia merasa pengorbanannya sebagai ibu tak dihargai," ujar Mas Herdy.Aku memutar bola mata mendengar ucapan Mas Herdy. Sandiwara apa lagi ini?"Maksud ibu, biar uang gajiku tetap untuk biaya kuliah Devi. Dan kalau bisa kamu cari kerja lagi, Mut.""Astaghfirullah, aku gak bermaksud menyinggung seperti itu, Mas. Aku tahu kok, meski sudah menikah, anak lelaki tetap milik ibunya. Tapi kamupun harus ingat kalau kau juga bertanggung jawab menafkahiku bukan hanya keluargamu saja. Aku ini istrimu, Mas. Aku tulang rusuk bukan tulang punggung. Jadi wajar kan kalau misalnya aku minta nafkah dari kamu. Selama lima tahun aku sudah rela berkorban, membantumu, menggantikanmu jadi tulang punggung keluarga, memperbaiki ekonomi keluarga kita.""Kenapa kamu mengungkitnya, apa kamu gak ikhlas?"Braakk, kugebrak meja di hadapanku membuat lelaki itu terkejut."Keterlaluan kamu menilaiku seperti itu, Mas! Kalau aku gak ikhlas, sudah dari dulu aku tak mau
Part 8“Bu, apa ibu tahu sesuatu tentang Adinda selama aku pergi keluar negeri?”Bu Eni memandangiku dengan tatapan iba. Lalu menggenggam tanganku sejenak. Ia menghela nafas dalam-dalam. “Ibu turut berduka dengan kepergian Adinda, Nak. Ibu tahu, pasti ini sangat berat untukmu. Tapi semua sudah terjadi, kamu harus ikhlas, agar Adindamu tenang di surga Allah.”Aku mengangguk, tanpa terasa butiran bening kembali menitik. “Insyaallah aku ikhlas, Bu. Tapi aku ingin tahu penyebab Adinda sampai meninggal. Apa benar Adinda sakit seperti yang suamiku bilang? Atau adakah hal lain yang terjadi?”Bu Eni masih menatapku dan mendengarkan aku bicara.“Apakah selama ini dia tak diurus dengan benar? Beberapa kali aku mendengar selentingan kabar yang membuatku ragu untuk mempercayai suamiku dan keluarganya."“Nak Muti, kalau ibu mengatakan hal yang ibu lihat apa kamu akan percaya? Ibu justru takut kamu akan menilai ibu memfitnah keluargamu,” jawab Bu Eni pelan. Bu Eni menghela nafas dalam-dalam.Aku m
Part 9 Pov Herdy“Mu-mu-tiara, ka-kau pulang?”Sungguh aku tak percaya dengan kepulangan Mutiara yang sangat mendadak. Dia tiba-tiba datang begitu saja tanpa memberitahuku. Apalagi kejadian di rumah tak baik-baik saja. Ia pulang bertepatan dengan kematian Adinda. Gadis kecil yang nakal juga bandel. Itulah laporan yang selalu kuterima dari ibu dan kakak-kakakku. ***Beberapa hari sebelumnya...“Mentang-mentang bukan anakmu jadi gak bisa diatur! Masa Mbak lihat dia lagi ngemis di jalanan. Dih, malu-maluin aja! Suruh diem di tempat Mbak bantu-bantu nyiram tanaman kek malah kagak mau!” sungut Mbak Tantri kesal.Aku menghela nafas berat kala mendengar penuturan Mbak Tantri. Lalu menatap gadis kecil yang tengah ketakutan itu.“Kamu bener kabur dari rumah budhe? Ngapain sampai ngemis di jalan?”“Tidak, Yah, aku disuruh nenek sama budhe,” sahut anak kecil itu dengan gemetaran. Aku hanya mengusap wajah kesal mendengar Adinda justru menuduh neneknya sendiri yang menyuruhnya. Tentu saja ibu d
Part 35"Jadi Irdiana gak izin sama ibu?" tanya Herdi usai pulang kerja dan mendapati rumah kosong dan hanya ada ibundanya.Ia merasa heran karena sang ibunda mengomel tak jelas juntrungannya. Bu Imas menggeleng. "Tidak, Herdi. Ibu gak tau, saat ibu pulang, rumah udah kosong, dia tinggalin gitu aja dalam keadaan begini. Untung aja uang simpanan ibu masih ada gak digondol maling.""Benar-benar ya. Istrimu ceroboh sekali, rumah gak dikunci! Kamu punya istri kok gak ada yang bener sih! Stress ibu lama-lama dibuatnya!"Herdi memijat pelipisnya, penat begitu terasa. Padahal ia merasa senang akan melihat istrinya itu dan memberikan uang yang didapat hari ini. meksi belum banyak, tapi hari ini lebih baik dari kemarin. Ada peningkatan.Herdi mendesah panjang, menghela napasnya yang begitu gusar. "Jadi kau pergi kemana, Irdiana? Arrghh ..."Lelaki itu menoleh ke arah ibunya. "Bener kan ibu gak marahin istriku? Atau jangan-jangan ibu marahin dia, seperti ibu marahin Mutiara? Jadi Irdiana perg
Part 34"Irdiana, cinta boleh, tapi jangan bodoh. suamimu mungkin baik tapi dia kurang bertanggung jawab. Terlebih dia tak membelamu di hadapan ibunya. Kalau aku tangkap dari ceritamu ini, keluarga suamimu itu toxic. Tak perlu dipertahankan lagi. tapi kalau kamu masih mau dengannya, menghabiskan waktu sia-sia ya terserah saja, yang pennting kau harus sabar dan menerima apapun keadaannya. termasuk sikap ibu mertuamu. Itu aja saranku, Ir. Dan ingat ini, kamu itu masih muda, jalanmu masih panjang. kau pun berhak bahagia."Irdiana merenung cukup lama mendengar ucapan sahabatnya itu. "Ir, jangan melamun terus nanti kamu kesambet lho! Ayo sekarang kita makan dulu nih. Makanannya sudah siap."Irdiana mengangguk. Mereka pun menikmati makan bersama. Setelahnya, Risa kembali bertanya pada Irdiana."Kamu mau pulang kemana?""Entahlah. Aku aja sekarang bingung, Ris. Aku gak ingin pulang dulu, rasanya muak sama ibu mertuaku.""Ke rumah orang tua kamu bagaimana?""Pintunya digembok.""Ya sudah pul
part 33Irdiana termangu mendengar penuturan suaminya itu."Mau jual rumah ini, Mas?" tanya Irdiana meyakinkan dirinya sendiriHerdi mengangguk cepat."Emangnya bisa laku kalau surat-suratnya gak ada? Bukannya surat-suratnya ada di koperasi?""Bisa. aku akan cari orang yang ahli dalam hal ini.""Terus kita akan tinggal dimana, Mas?""Emmh, tinggal di rumah ibu atau orang tua kamu.""No, no, itu tidak mungkin.""Kenapa?""Aku ingin kita mandiri, Mas.""Untuk sementara waktu saja, Dek. Sampai ekonomi kita membaik.""Tapi kapan?""Ya bertahap, mungkin butuh waktu agak lama, tapi mas akan berusaha, Dek, demi kita dan bayi yang ada dalam kandunganmu," ujar Herdi lagi, ia berusaha menenangkan sang istri seraya mengelus perutnya yang mulai membuncit itu.Irdiana menghela napas dalam-dalam. Sungguh berat. "Hhh, sekarang aja kau kerjanya serabutan, gimana mau---" Irdiana tak meneruskan ucapannya."Aku tahu ini tahun yang berat bagi kita. tapi kau cukup dukung saja keputusan ini ya. Aku butuh p
Part 32Mutiara terbungkam, pikirannya berkecamuk, semua berputar di kepala. Ia bingung apa yang harus dilakukan, meski perkataan Arya benar, suatu saat, Herdi pasti akan kembali menemuinya karena ia tak puas dengan hari ini."Pindah, tapi kemana? Saya--""Kau tenang saja, aku akan siapkan rumah sewa yang lebih besar untukmu. agar kau tinggal lebih nyaman dan tanpa gangguan. Aku juga akan menjamin keamananmu.""Maaf Pak, tapi saya terlalu banyak merepotkan Anda.""Sama sekali tidak, saya senang melakukannya, atas nama kemanusiaan, bukankah kita seharusnya saling tolong menolong?""Iya, tapi apakah ini tidak berlebihan? anda selalu membantu saya bahkan di saat orang lain meninggalkan saya.""Percayalah, meski ada orang jahat di dunia ini, pasti akan ada orang yang peduli padamu. Kau tidak perlu khawatirkan hal itu. Sebaiknya kau berkemas dulu, aku akan mengantarmu pindah malam ini.""Baiklah, tunggu sebentar ya, Pak. Saya akan siap-siap. Maafkan saya selalu merepotkan bapak.""Ya, itu
Part 31Herdi segera berlalu meninggalkan rumah Santi. "Tak ada gunanya aku datang ke sini. aku harus usaha sendiri mencari Mutiara," gerutunya kesal.Herdi mengenal beberapa tetangganya yang juga bekerja di pabrik pengolahan pisang itu. Hingga akhirya ia mendapatkan jawaban kalau Mutiara tinggal di dekat ruko yang tengah dibangun untuk mini market oleh-oleh, yang juga milik Arya."Rupanya selama ini kau tinggal di situ, apa itu bersama bosmu?"Herdi menggeleng perlahan. 'Padahal belum resmi cerai, tapi kau selingkuh juga! harusya impas 'kan? Kaupun sama sepertiku!' gumamnya lagi penuh kesal. Herdi terus berjalan, jadi cukup lama untuk sampai di lokasi apalagi tempatnya berada di pinggir jalan raya utama alias jalan lintas provinsi.Dari kejauhan ia melihat ada sebuah mobil yang terparkir manis di sebuah bangunan minimarket yang cukup besar, proyek pembangunan sudah 90%, tinggal finishingnya saja. Herdi bersembunyi di balik pohon dan memperhatikan sekitar. seorang lelaki turun dar
Part 30"Kamu ini dasar pembohong ya, Mas! Kamu bilang cuma hutang buat resepsi aja! tapi nyatanya ini ada lagi? Uangnya buat apaan, Mas?!""Tapi, Dek, ini aku benar-benar gak tau. Pasti ini kerjaan si Mutiara.""Terus saja Mbak Muti yang jadi kambing hitam!""Tapi aku ngomong yang sebenarnya, Dek. Aku gak ambil utang apa-apa lagi. Kenapa bisa ada tagihan begini? Aku yakin dia yang melakukannya."Irdiana menggeleng perlahan. "Aku gak nyangka ternyata kamu tukang utang! Terus gimana ini mau nyetorinnya, Mas? Kamu aja kerja gak jelas! Dapat upah gak pasti!"Herdi terbungkam. Kepalanya serasa mau pecah. Kenapa ini bisa terjadi? "Ini pasti kerjaan si Muti, soalnya ktpku juga hilang, Dek! Aku harus cari Mutia untuk memastikan ini semua!""Kamu gak usah beralasan lagi deh, Mas! pusing kepalaku! di sini hutang, di sana hutang, di situ hutang. Semuanya dari hasil berhutang! Capek aku, Mas!"Irdiana berlalu ke belakang, lalu mengambil tasnya dan pergi meninggalkan rumah. Rasanys muak sekali.
Part 29"Lho kok belum ada? Kamu kerja tiap hati, pasti dapat uang 'kan? terus gimana ini? Kamu harus tanggung jawab dong!" pungkas Bu Imas kesal."iya Bu, tapi cuma cukup buat makan, Bu. aku gak bisa nyisihin uang lagi.""Ah dasar, itu mah istrimu aja yang boros! Dikasih uang tiap hari masa gak bisa nyisihin uang sedikitpun!""Bu, kok nyalahin aku, Bu! Yang hutang kan ibu sama Mas Herdi, kenapa malah nyalahin aku?!""Ya iyalah nyalahin kamu, karena semua ini bersumber dari kamu! Kalau saja ayahmu itu gak bersikeras adain pesta mewah, pasti kami gak kelimpungan begini. Udah ngadain pesta, tapi tamu yang dateng gak ada!""Bu, jangan nyalahin aku dong Bu! Itu kan karena cuacanya yang buruk! Mereka gak datang ya wajar!""Ya iya, ini semua karena kamu dan keluargamu yang minta cepat-cepat nikah, asal aja pake tanggal! Harusnya dipikiiirr dulu!""HALAH, BU, BU, KAYAK NGASIH UANG KE KAMI RATUSAN JUTA AJA! CUMA LIMA PULUH DOANG JUGA KURANG BUAT SANA SINI! UDAH BANYAK PROTES!"Kali ini Irdian
Part 28"Huh, segini doang sih kurang, Mas! Buat makan doang, rokok kamu juga. Trs beli skincare aku gimana? Cari yang banyak dong, Mas! Jangan malas!"Mendengar keluhan Irdiana, Herdi hanya mampu menghela napas kesal. "Kurang rajin bagaimana lagi aku, Dek? aku sudah kerja semaksimal mungkin.""Ya kurang rajinlah, buktinya hasil gak memuaskan gini! Huh!""Iya, maaf hasilnya hanya bisa segitu. Kau tahu sendiri cari kerjaan susah, aku bukan orang kuliahan seperti kamu, Dek. Jadi hanya bisa jalani kerja serabutan.""Harusnya kamu kerja di pabrik dong, Mas! Kan mayan tuh bisa dapat gaji setara UMK!""Kamu mau tiap hari aku ketemu Mutiara?""Ck!" Irdiana berdecak kesal. Ia langsung berlalu dari hadapan suaminya. Ucapan Herdi memang benar kalau dia kerja di pabrik, bisa-bisa setiap hari bertemu dengan istri pertamanya itu lalu mereka kembali menjalin cinta. 'Ah, ini gak bisa dibiarkan! Aku gak terima kalau Mas Herdi dan Mbak Muti bersatu lagi!' seru Irdiana dalam hatinya seraya menggeleng
Part 27"Ya udah gak apa-apa, Mas, jangan khawatirin masalah biaya. Aku cuma mau menikah hari ini!" seru Irdiana."Iya, iya, kamu sabar dulu, Irdiana. Kita pasti akan menikah hari ini."Irdiana merajuk dan memohon kepada sang ayah, agar mencarikan penghulu yang lain.Pak Renaldi yang juga pusing akibat omongan orang-orang di belakang, segera bergegas menyuruh anak buahnya mencari penghulu yang lain. Serta mencari tahu apa yang terjadi pada pak penghulu yang akan menikahkan anaknya hari ini."Rombongan pak penghulu mengalami kecelakaan, Pak Bos, tergelincir saat perjalanan mau ke sini. Terus di jalan kecamatan sana ada pohon tumbang menghalangi jalan. Makanya semua juga terhambat," tutur salah satu anak buah Pak Renaldi dengan baju basah kuyup terkena air hujan."Jadi sudah dipastikan kalau mereka tidak bisa datang ya?""Iya, Pak Bos. Tidak bisa datang.""Ya sudah cari penghulu lainnya!""Nah, ini masalahnya Pak Bos, kan beberapa pohon tumbang menghalangi jalan. Meski panggil yang lain