Di Lobby perpustakaan Aluna melihat Lilis. Ingin berbelok, tetapi ia sudah mendengar suara yang memanggilnya. Aluna tidak menyukai, Lilis terus berusaha merayu untuk menjadi sahabatnya. Namun, tidak ingin membuat Lilis malu, Aluna pun berbalik.
“Kamu mau belajar di perpustakaan juga, Al?” tanya Lilis menyapa Aluna, coba mengakrabkan diri.
“Iya, di kelas ribut!” ucap Aluna singkat.
“Kalau begitu, yuk belajar berdua. Aku juga ingin belajar!” ucap Lilis dengan wajah ceria.
Aluna mengangguk, tidak enak menolak ajakan Lilis. “Ya sudah. Yuk!” Lilis menarik tangan Aluna menuju ruangan yang di gunakan untuk belajar.
Di pintu ruangan tertulis, open, dan di bawahnya terdapat tulisan, di larang ribut. Aluna dan Lilis masuk ke dalam ruangan, ada tiga orang pegawai yang menjaga. Tepat di samping komputer, terdapat tulisan, di larang membawa tas. Ada rak buku dalam ruangan, tidak banyak hanya tiga rak, sehingga siapapun yang masuk ke ruangan itu harus menyi
Terimakasih, jangan lupa tuliskan komentarmu dan beri VOTE yaa. Ikuti terus novel ini yang akan di upload setiap hari pukul 17.00 WIB.
*** “Tadi di kantor, bagaimana?” tanya Aluna, mereka sedang berada di atas tempat tidur. Aluna bertanya sambil berbaring miring menghadap Zolan, memeluk bantal. Di antara mereka ada bantal pemisah yang di letakan di tengah. “Lusa aku akan ke Bali lagi. Kamu mau ikut, Al?” ucap Zolan. Satu tangan ia jadikan bantalan dan satu tangan lagi berada di atas perut. Zolan sedang menatap langit-langit kamar. “Aku nggak bisa, ada ujian! Nanti saja selesai aku koas. Aku ngejar agar bisa wisuda secepatnya, jadi tidak ingin berlibur kemana-mana dulu,” jawab Aluna, mengubah gaya. Mengikuti Zolan melihat langit-langit, kedua tangan Aluna saling genggam di atas perut. Zolan berbalik ke Aluna sejenak, ia tersenyum. “Kalau kamu sudah ada waktu, katakan. Aku akan mengosongkan waktu, untuk menemani kamu berlibur. Jarang-jarang ibu dokter bisa punya waktu.” Tawa Aluna, menggelegar. “Apa sih… jangan katakan aku ini sangat sibuk. Karena yang paling sibuk itu kamu,” t
“Aku kembali ke kamarku dulu ya. Mau mandi. Aku tidak bisa tidur kalau badan penuh lengket keringat,” tutur Zolan, sambil menarik-narik baju bagian dada, agar menghasilkan angin. “Aluna, kenapa setiap aku masuk di kamarmu, rasanya panas, AC tidak di nyalakan. Kamu tidak biasa pake AC?” lanjut Zolan lagi. “Aku tidak bisa pake AC. Yang ada, aku besok akan flu karena terlalu dingin. Aku kalau pake AC, mampu jika volumenya dua puluh enam derajad keatas,” tutur Aluna. Mengambil remot AC. Kasihan melihat Zolan yang kepanasan. “Kalau begitu, mending nggak usah pake AC, Aluna. Nggak usah! AC itu untuk pendingin cuaca. Kamu tahu 'kan fungsi AC apa?” ucap Zolan. “Mau bagaiamana lagi, aku dari kecil tidak terbiasa dengan AC. Aku itu pakenya kipas angin. Kemarin kenapa aku nyalahin AC? Yaa karena kamu. Dari pada kamu yang kepanasan mending aku yang kedinginan. Lagian aku juga bisa pake selimut paling tebal agar tidak kedinginan,” ujar Aluna, sambil terus memperhatikan Zo
Lima jam tertidur, Aluna pun bangun. Melihat Zolan masih nyenyak di sampingnya. Ia membuka selimut yang sudah menghangatkan tubuhnya. Terbangun, mengusap wajah, ia beranjak dari tempat tidur manuju wastafel. Menyentuh air, sangat dingin. Udara kamar sangat dingin dan Aluna berusaha menahan. Aluna membaca buku selama satu jam lebih, Zolan belum juga bangun. Ia meninggalkan Zolan di kamar, menuju dapur. Seperti biasa Aluna akan menyiapkan sarapan. Ia meilhat Bi Sarti dan beberapa asisten yang sedang sibuk memasak. “Lagi masak, apa?” Suara Aluna menghentikan aktivitas mereka. “Eh, Non Aluna. Kami lagi buat nasi kuning. Tuan Marfel ingin sarapan nasi kuning. Sudah lama Tuan tidak memakannya, sejak keluar dari rumah sakit,” ujar Bi Sarti, yang sedang mengaduk santan berwarna kuning berisi beras di dalam wajan. Salah seorang asisten sedang menggoreng ikan, di samping kanan ada yang membuat mie goreng, dan di bagian kiri ada asisten yang sedang menggoreng ke
Beberapa menit berlalu, Aluna sudah menyelesaikan makannya. Ia segera berdiri dan berpamitan, mencium tangan Marfel dan Zolan. Dengan menggunakan motor kesayangan, ia menuju ke kampus. Aluna memilih melewati gang sempit agar lebih cepat tiba di Kampus. Di perjalanannya ia hanya melewati dua lampu merah. Sembilan puluh detik menunggu lampu merah berubah hijau, Aluna mengingat kenangan indah bersama ibu.Aluna baru saja pulang dari sekolah, ia tidak menyadari jika hari itu ulang tahunnya. Aluna sedang mengganti baju, ibunya masuk kamar dan memberi kotak kecil. Diam sejenak, Aluna menyadari jika hari itu umurnya bertambah. Ia membuka, berpikir jika kotak itu berisi coklat harga sepuluh ribu yang sering ia dapatkan, sebagai hadiah ulang tahunnya. “Ibu, ini!” tutur Aluna, kaget melihat isi kotak yang berisi kunci motor. “Iya, sayang! Itu untuk kamu, ibu tidak tega lihat kamu berjalan kaki terus pulang pergi sekolah. Beb
Aluna mempercepat langkah ketika mengingat jika tadi ia berjanji akan menemani Marfel jalan-jalan. Ia mulai mengendarai motor, hanya lima belas menit, Aluna telah tiba di Rumah. Ternyata Marfel sudah menunggu di Ruang tamu.“Ayah sudah siap?” tanya Aluna, melihat Marfel dengan pakaian santai sedang membaca koran. Marfel tersenyum dan mengangguk pada Aluna.“Tunggu ya, Ayah. Aku simpan tas dulu di kamar. Tidak lama,” ucap Aluna, ia langsung berlari kecil agar tidak membuat Marfel menunggu terlalu lama.Dalam waktu yang singkat, kini Aluna sudah berada di ruang tamu. Mendekati Marfel, Aluna berkata, “Yukk, kita jalan, Ayah!” Saat berada di hadapan Marfel. “Hanya kita berdua?” tanya Aluna.“Iya, ayah ingin berduaan dulu dengan anak ayah yang cantik ini,” ucap Marfel di sertai tawa di akhir kata.“Okey, baiklah, Ayahku yang paling ganteng! Yuk kita jalan,” tutur Aluna, wajahnya san
Aluna membisu, bibir kelu, takut untuk berucap.“Ceritalah, Nak! Ayah ingin dengar langsung penjelasan dari kamu Aluna,” lanjut Marfel masih dengan raut yang sama.“Ayah, aku-," ucapan Aluna terhenti. Ia menunduk. “Aku tidak tahu apa yang Ayah pikirkan ketika melihat foto itu. Tetapi Ayah harus percaya denganku!” Mata Aluna mulai berkaca. Marfel tersenyum. “Ayah percaya kamu, Aluna. Ceritalah! Ayah mengajakmu ke sini dan bertanya langsung, agar tidak ada orang lain yang dengarkan pembicaraan kita dan kamu bisa bercerita ke ayah tanpa ada beban.”Aluna berusaha tenang, ia mulai merangkai kata lewat bibir, “nama lelaki itu Anton. Ia salah satu dosenku di kampus. Awalnya aku hanya di suruh untuk menjadi pengasuh anaknya. Seiring berjalannya waktu, anak itu nyaman. Dia meminta ke Pak Anton untuk menikahiku, agar aku bisa menjadi bundanya. Aku menolak, hingga Pak Anton mengancamku dan aku pun takut jika ku
Tidak ingin Marfel mempertanyakan ia yang seketika berubah, Aluna menetralkan perasaan. Setelah pembicaraan serius itu, Aluna dan Marfel kembali bercerita tentang sesuatu yang membuat keduanya tertawa lepas. “Sebenarnya Ayah tidak ingin kalau jalan-jalan itu, kita membahas hal-hal yang menguras air mata. Tetapi mau bagaimana lagi, takut jika di Rumah ada yang mendengar, mungkin saja Zolan atau para asisten. Kita tidak tahu, karena pembahasan ini sangat sensitiv, jadinya ayah mengajak kamu ke sinisini," ucap Marfel.Mereka pun meninggalkan tempat itu ketika matahari dengan malu-malu mulai menenggelamkan sinar. Aluna berdiri, mengarah ke belakang Marfel untuk mendorong kursi roda. Langkah mereka di temani gemercik mata air yang ada di sisi taman.Seorang supir turun dari mobil ketika melihat Aluna sudah mendekat. Ia membantu Marfel agar masuk dalam mobil. Selama perjalanan pulang Aluna memilih banyak diam, ia tidak seceria di saat mereka pergi. Pikiran di pen
*** Seorang perempuan berambut panjang sedang menata sebuah kamar berukuran kecil. Sudah empat hari berada di Kendari. Baju tanpa lengan menutupi tubuh bagian atas, agar tidak terasa panas. Tidak ada AC pendingin seperti di tempat tinggal sebelumnya, kamar berukuran dua kali tiga meter itu ia pilih sesuai dengan uang yang saat ini masih ada di tangan. Badan di penuhi memar bekas pukulan, ada pula bekas luka bakar di bagian lengan. Di bagian leher terlihat jelas bekas tusukan rokok. Ia selalu keluar rumah menggunakan baju dan celana panjang untuk menutupi keadaan tubuh. Setelah selesai menata, ia berdiri, melihat pantulan wajah di depan cermin. Terdengar suara dari bibir yang mungil, “Mulai hari ini, nama kamu bukan Sindy lagi. Nama itu sudah tertinggal di kota itu. Sejak kamu berada di sini, kamu harus merubah semuanya.” Ia membuka rambut palsu yang ada di kepala. Rambut pendeknya terlihat berantakan. “Mulai hari ini, di mana pun kamu pergi. Kamu haru