Aluna membisu, bibir kelu, takut untuk berucap.
“Ceritalah, Nak! Ayah ingin dengar langsung penjelasan dari kamu Aluna,” lanjut Marfel masih dengan raut yang sama.
“Ayah, aku-," ucapan Aluna terhenti. Ia menunduk. “Aku tidak tahu apa yang Ayah pikirkan ketika melihat foto itu. Tetapi Ayah harus percaya denganku!” Mata Aluna mulai berkaca.
Marfel tersenyum. “Ayah percaya kamu, Aluna. Ceritalah! Ayah mengajakmu ke sini dan bertanya langsung, agar tidak ada orang lain yang dengarkan pembicaraan kita dan kamu bisa bercerita ke ayah tanpa ada beban.”
Aluna berusaha tenang, ia mulai merangkai kata lewat bibir, “nama lelaki itu Anton. Ia salah satu dosenku di kampus. Awalnya aku hanya di suruh untuk menjadi pengasuh anaknya. Seiring berjalannya waktu, anak itu nyaman. Dia meminta ke Pak Anton untuk menikahiku, agar aku bisa menjadi bundanya. Aku menolak, hingga Pak Anton mengancamku dan aku pun takut jika ku
Tidak ingin Marfel mempertanyakan ia yang seketika berubah, Aluna menetralkan perasaan. Setelah pembicaraan serius itu, Aluna dan Marfel kembali bercerita tentang sesuatu yang membuat keduanya tertawa lepas. “Sebenarnya Ayah tidak ingin kalau jalan-jalan itu, kita membahas hal-hal yang menguras air mata. Tetapi mau bagaimana lagi, takut jika di Rumah ada yang mendengar, mungkin saja Zolan atau para asisten. Kita tidak tahu, karena pembahasan ini sangat sensitiv, jadinya ayah mengajak kamu ke sinisini," ucap Marfel.Mereka pun meninggalkan tempat itu ketika matahari dengan malu-malu mulai menenggelamkan sinar. Aluna berdiri, mengarah ke belakang Marfel untuk mendorong kursi roda. Langkah mereka di temani gemercik mata air yang ada di sisi taman.Seorang supir turun dari mobil ketika melihat Aluna sudah mendekat. Ia membantu Marfel agar masuk dalam mobil. Selama perjalanan pulang Aluna memilih banyak diam, ia tidak seceria di saat mereka pergi. Pikiran di pen
*** Seorang perempuan berambut panjang sedang menata sebuah kamar berukuran kecil. Sudah empat hari berada di Kendari. Baju tanpa lengan menutupi tubuh bagian atas, agar tidak terasa panas. Tidak ada AC pendingin seperti di tempat tinggal sebelumnya, kamar berukuran dua kali tiga meter itu ia pilih sesuai dengan uang yang saat ini masih ada di tangan. Badan di penuhi memar bekas pukulan, ada pula bekas luka bakar di bagian lengan. Di bagian leher terlihat jelas bekas tusukan rokok. Ia selalu keluar rumah menggunakan baju dan celana panjang untuk menutupi keadaan tubuh. Setelah selesai menata, ia berdiri, melihat pantulan wajah di depan cermin. Terdengar suara dari bibir yang mungil, “Mulai hari ini, nama kamu bukan Sindy lagi. Nama itu sudah tertinggal di kota itu. Sejak kamu berada di sini, kamu harus merubah semuanya.” Ia membuka rambut palsu yang ada di kepala. Rambut pendeknya terlihat berantakan. “Mulai hari ini, di mana pun kamu pergi. Kamu haru
Sindy masuk ke jalan setapak yang hanya bisa di lewati oleh dua orang. Ia melihat di sekitaran jalan, berjejeran lima warung makan yang menjadi tempat singgah tukang ojek. Memperlambat langkah, ia berpikir untuk masuk ke salah satu warung, namun kaki tertahan. Sindy hanya berdiri depan warung, hingga seorang ibu bertanya, “Mau makan apa? Sini masuk. Bisa lihat menunya di sini.” Sambil tersenyum, dan menunjuk selembar kertas berisi menu makanan yang tertempel di dinding. “Aku tidak lapar, Bu. Aku ingin melamar pekerjaan di sini. Apakah ibu mencari karyawan untuk bekerja di warung, ibu. Mungkin bisa bantu untuk cuci piring atau masak,” ucap Sindy sambil ke dua tangan meremas-remas baju. Ibu pemilik warung melihat Sindy dari ujung kaki hingga kepala, dengan tatapan iba ia berucap, “Oh, adek lagi cari pekerjaan. Maaf, aku sedang tidak butuh karyawan. Coba tanya di sana, siapa tahu butuh.” Sambil menunjuk beberapa toko yang berjejeran tidak jauh dari warungnya.
***Bertemu Anton di parkiran, membuat pikiran Aluna berubah, ia mengikuti dari jarak yang jauh. Saat melihat Anton menaiki lift, ia berbelok memilih naik tangga, di depan lift banyak mahasiswa yang sedang mengantri.Hanya lantai tiga, bagi Aluna itu mudah. Setelah melewati beberapa tangga, Aluna telah tiba di lantai tiga. Ia tidak ingin menunggu sore, untuk menemui Anton.Saat sudah mendekati ruangan, Aluna melihat Anton keluar. Memperlambat langkah, Aluna heran ketika melihat Anton berlari kecil. Anton melewati Aluna, yang sedang diam mematung.Anton menuju lift, memencet tombol berulang kali, tetapi pintu belum juga terbuka. Aluna menyadari jika Anton sedang berbicara dengan seseorang lewat telepon. Tak kunjung terbuka, Anton berlari cepat ke arah tangga. Semua orang yang menyapa, tidak satu pun di gubris oleh Anton.“Ada apa dengan Pak Anton, kenapa dia terlihat panik sekali?” batin Aluna, yang masih terdiam di tempat.&ldquo
Bola mata Aluna membesar, ia kaget. Terlintas dalam ingatan, saat Anton sedang terburu-buru dengan wajah yang cemas. ‘Aluna’ Suara Anton kembali terdengar. Lilis memegang pundak Aluna. “Kamu kenapa, Al? Itu telepon dari siapa?” Tidak menjawab pertanyaan Lilis. Menarik napas berat, Aluna menghembuskan. Bibir bergerak untuk berucap ‘Iya, Pak! Aku segera ke sana.' Telepon langsung di matikan sepihak oleh Anton. Aluna menoleh ke wajah Lilis yang sedang memandangnya penuh tanya. “Lilis, kamu bisa antar aku ke Rumah Sakit Pelita Indah?” tanya Aluna, mata telah berkaca, air bening berkumpul di kelopak. “Siapa yang sakit, Al?” tanya Lilis. “Kamu bisa antar aku atau tidak? Aku tidak membawa motor, tadi aku ke kampus di antar!” ucap Aluna dengar suara bergetar tanpa menjawab pertanyaan Lilis. Merasa iba melihat wajah rapuh Aluna. “Yuk!” ucap Lilis. Tidak menunggu waktu lama, mereka melangkah beriringan menuju parkiran.&
“Dia selalu menanyakan kamu! Sebelum tidur, saat bangun, bahkan saat bermain pun dia selalu bertanya ketika melihatku. Kapan Bunda pulang? Pertanyaan itu selalu keluar dari bibir munginya,” Anton masih berkata. Ia tidak tahu jika ada orang lain di dalam ruangan.Aluna masih terpaku melihat Angel yang terbaring lemah. Lidah kelu untuk berucap, terlintas ingatan tentang pembicaraan dengan Marfel. Terbersit dalam benak, rasa penyesalan. “Kalau saja waktu itu aku menolak permintaan Pak Anton, semua tidak akan seperti ini. Aku yang salah,” ia membatin.Sambil mengingat, Anton terus berucap,“teman-teman sekolah, kembali mengatakan jika Angel tidak punya bunda. Minggu kemarin ada acara di sekolah Angel. Beberapa orang teman bertanya kepada Angel. Ibumu di mana kenapa tidak mengantar? Angel mengatakan kepada mereka, jika bundanya sedang berada di luar kota. Tidak ingin Angel sedih, aku pun berkata kepada mereka saat itu, jika benar bundanya
Harusnya Aluna senang mendengar ucapan Anton. Ia tidak bersusah payah lagi untuk berkata, belum terpikirkan olehnya, sebuah alasan untuk membuat Anton tidak menyuruhnya lagi menjadi pengasuh Angel. Tetapi saat ini, Aluna terlihat lemah.Pemilik perasaan lembut itu, mulai menggerakan bibir, “Aku akan tetap menjadi pengasuh Angel, Pak! Setidaknya sampai Angel sehat, aku ingin menjaganya!”“Tidak perlu, Aluna! Aku tidak ingin membuat keputusan yang salah lagi. Cepat atau lambat kita akan jujur padanya, jika kita tidak pernah menikah, dan kamu tidak pernah menjadi bundanya. Sudah cukup selama ini kita berbohong. Aku tidak pernah menyesal mengenalkan kalian. Aku juga tidak pernah menyalahkan kamu atas kejadian ini. Tidak perlu khawatir, aku yang menjamin anak aku akan baik-baik saja! Pulanglah!” tutur Anton, dengan tegas.Aluna mengangkat wajah, melihat raut terpuruk Anton. Dengan ragu, ia berucap “Aku izin pamit, Pak!”
***“Fian! Bunga ini mau di antar ke mana? Di sini tidak ada alamatnya, hanya nomor handphone!” teriak Sindy. Membolak-balik kertas yang ada di bunga.“Tidak perlu aku tulis Alamat di situ, Moza! Masa kamu tidak tahu di mana Hotel Sindyolan!” ucap Fian lantang. Sambil memperbaiki bunga sesuai warna.“Aku benaran tidak tahu, Fian!”ujar Sindy, sambil menggeleng pelan. Menampakan wajah penuh tanya.Berbalik melihat Sindy. “Itu hotel terbesar di kota ini. Kamu lahir di mana sih, apa selama ini kamu tidak pernah keluar rumah. Hotel besar dekat stadion itu loh, Moza! Masa kamu tidak tahu?” ucap Fian, gemas melihat Sindy yang seperti orang baru di kota itu.“Oh. Okey!” ujar Sindy, langsung meninggalkan Fian. Tidak ingin membuat Fian marah, dan banyak bertanya tentangnya, karena ia yang terlihat seperti orang baru. Sindy mulai mengendarai sepeda. “Nanti kalau aku tidak tahu, aku akan b