***
Bertemu Anton di parkiran, membuat pikiran Aluna berubah, ia mengikuti dari jarak yang jauh. Saat melihat Anton menaiki lift, ia berbelok memilih naik tangga, di depan lift banyak mahasiswa yang sedang mengantri.
Hanya lantai tiga, bagi Aluna itu mudah. Setelah melewati beberapa tangga, Aluna telah tiba di lantai tiga. Ia tidak ingin menunggu sore, untuk menemui Anton.
Saat sudah mendekati ruangan, Aluna melihat Anton keluar. Memperlambat langkah, Aluna heran ketika melihat Anton berlari kecil. Anton melewati Aluna, yang sedang diam mematung.
Anton menuju lift, memencet tombol berulang kali, tetapi pintu belum juga terbuka. Aluna menyadari jika Anton sedang berbicara dengan seseorang lewat telepon. Tak kunjung terbuka, Anton berlari cepat ke arah tangga. Semua orang yang menyapa, tidak satu pun di gubris oleh Anton.
“Ada apa dengan Pak Anton, kenapa dia terlihat panik sekali?” batin Aluna, yang masih terdiam di tempat.
&ldquo
Bola mata Aluna membesar, ia kaget. Terlintas dalam ingatan, saat Anton sedang terburu-buru dengan wajah yang cemas. ‘Aluna’ Suara Anton kembali terdengar. Lilis memegang pundak Aluna. “Kamu kenapa, Al? Itu telepon dari siapa?” Tidak menjawab pertanyaan Lilis. Menarik napas berat, Aluna menghembuskan. Bibir bergerak untuk berucap ‘Iya, Pak! Aku segera ke sana.' Telepon langsung di matikan sepihak oleh Anton. Aluna menoleh ke wajah Lilis yang sedang memandangnya penuh tanya. “Lilis, kamu bisa antar aku ke Rumah Sakit Pelita Indah?” tanya Aluna, mata telah berkaca, air bening berkumpul di kelopak. “Siapa yang sakit, Al?” tanya Lilis. “Kamu bisa antar aku atau tidak? Aku tidak membawa motor, tadi aku ke kampus di antar!” ucap Aluna dengar suara bergetar tanpa menjawab pertanyaan Lilis. Merasa iba melihat wajah rapuh Aluna. “Yuk!” ucap Lilis. Tidak menunggu waktu lama, mereka melangkah beriringan menuju parkiran.&
“Dia selalu menanyakan kamu! Sebelum tidur, saat bangun, bahkan saat bermain pun dia selalu bertanya ketika melihatku. Kapan Bunda pulang? Pertanyaan itu selalu keluar dari bibir munginya,” Anton masih berkata. Ia tidak tahu jika ada orang lain di dalam ruangan.Aluna masih terpaku melihat Angel yang terbaring lemah. Lidah kelu untuk berucap, terlintas ingatan tentang pembicaraan dengan Marfel. Terbersit dalam benak, rasa penyesalan. “Kalau saja waktu itu aku menolak permintaan Pak Anton, semua tidak akan seperti ini. Aku yang salah,” ia membatin.Sambil mengingat, Anton terus berucap,“teman-teman sekolah, kembali mengatakan jika Angel tidak punya bunda. Minggu kemarin ada acara di sekolah Angel. Beberapa orang teman bertanya kepada Angel. Ibumu di mana kenapa tidak mengantar? Angel mengatakan kepada mereka, jika bundanya sedang berada di luar kota. Tidak ingin Angel sedih, aku pun berkata kepada mereka saat itu, jika benar bundanya
Harusnya Aluna senang mendengar ucapan Anton. Ia tidak bersusah payah lagi untuk berkata, belum terpikirkan olehnya, sebuah alasan untuk membuat Anton tidak menyuruhnya lagi menjadi pengasuh Angel. Tetapi saat ini, Aluna terlihat lemah.Pemilik perasaan lembut itu, mulai menggerakan bibir, “Aku akan tetap menjadi pengasuh Angel, Pak! Setidaknya sampai Angel sehat, aku ingin menjaganya!”“Tidak perlu, Aluna! Aku tidak ingin membuat keputusan yang salah lagi. Cepat atau lambat kita akan jujur padanya, jika kita tidak pernah menikah, dan kamu tidak pernah menjadi bundanya. Sudah cukup selama ini kita berbohong. Aku tidak pernah menyesal mengenalkan kalian. Aku juga tidak pernah menyalahkan kamu atas kejadian ini. Tidak perlu khawatir, aku yang menjamin anak aku akan baik-baik saja! Pulanglah!” tutur Anton, dengan tegas.Aluna mengangkat wajah, melihat raut terpuruk Anton. Dengan ragu, ia berucap “Aku izin pamit, Pak!”
***“Fian! Bunga ini mau di antar ke mana? Di sini tidak ada alamatnya, hanya nomor handphone!” teriak Sindy. Membolak-balik kertas yang ada di bunga.“Tidak perlu aku tulis Alamat di situ, Moza! Masa kamu tidak tahu di mana Hotel Sindyolan!” ucap Fian lantang. Sambil memperbaiki bunga sesuai warna.“Aku benaran tidak tahu, Fian!”ujar Sindy, sambil menggeleng pelan. Menampakan wajah penuh tanya.Berbalik melihat Sindy. “Itu hotel terbesar di kota ini. Kamu lahir di mana sih, apa selama ini kamu tidak pernah keluar rumah. Hotel besar dekat stadion itu loh, Moza! Masa kamu tidak tahu?” ucap Fian, gemas melihat Sindy yang seperti orang baru di kota itu.“Oh. Okey!” ujar Sindy, langsung meninggalkan Fian. Tidak ingin membuat Fian marah, dan banyak bertanya tentangnya, karena ia yang terlihat seperti orang baru. Sindy mulai mengendarai sepeda. “Nanti kalau aku tidak tahu, aku akan b
Sindy sudah keluar dari gerbang. Sambil mengendarai sepeda, ia masih memikirkan kejadian di dalam hotel. Tidak terpikirkan olehnya, jika akan bertemu Laura. “Kamu harusnya tahu, Sindy. Jika kaburnya di Kendari, resikonya akan begini. Kamu akan bertemu dengan mereka, teman-teman lamamu. Bahkan kamu juga akan bertemu dengan Zolan, jika dia masih ada di kota ini," lirih Sindy menasehati diri.Sambil menggeleng, ia berpikir untuk tetap berada di Kendari. “Setidaknya kota ini yang paling aman, untuk aku bersembunyi. Kalau bukan di sini, di mana lagi aku akan melarikan diri. Aku sudah tahu lika-liku kota ini, meskipun banyak yang telah berubah. Kalau di Kota lain, aku akan menjadi orang asing. Setidaknya aku akan aman, selama tiap keluar rumah, aku selalu berpakaian seperti ini. Di sini banyak tempat untuk bersembunyi,” Sindy membatin, ia lanjut mengayunkan kaki, setelah lampu merah di jalan berganti hijau.Di tempat berbeda, seorang lelaki berbadan kekar s
*** Aluna sedang menatap langit-langit kamar, sudah dua hari ia tidak melihat Anton di kampus. Harusnya senang, aktivitasnya sekarang berkurang. Tetapi, hati tidak bisa berbohong. Aluna merasa kehilangan aktivitas yang selalu membuatnya bahagia. Jika dulu menjaga Angel menjadi pelampiasan dari kejenuhan menjalani hidup, sekarang semua itu sirna. Bahkan mungkin Anton sudah tidak mengizinkan Aluna untuk bertemu Angel. “Kalau saja aku tidak lama berpikir, kalau saja aku tidak egois, kalau saja aku lebih memikirkan Angel, pasti ini semua tidak akan terjadi. Aku yang salah! Anak itu masih terlalu dini, jika harus dibully di sekolah. Aku juga memang di bully oleh teman-teman di kampus, tetapi aku lebih bisa siap, karena aku sudah dewasa dan mentalku bisa berdamai dengan keadaan, meskipun itu sulit dan sakit. Tetapi itu tidak berlaku untuk Angel, dia masih terlalu kecil.” lirih Aluna. “Kamu harusnya lebih memikirkan perasaan anak kecil itu, Aluna. Dia hanya anak yan
“Yuk, tidur! Aku sudah ngantuk!” ucap Aluna, mulut terbuka berpura-pura menguap. Memperbaiki bantal yang menjadi sandaran agar kembali pada posisi awal. Aluna sudah berbaring, memiringkan badan membelakangi Zolan. “Al, kamu benaran ngantuk jam segini?” tanya Zolan, heran, sambil melirik jam yang ada di dinding. Ia mencolek-colek belakang Aluna untuk membangunkan. Merasa terganggu dengan tingkah Zolan, Aluna berucap, “Aku besok bangun subuh, jadi harus tidur cepat!” “Tapi aku belum bisa tidur, Aluna! Masa iya, tidur jam segini. Ini masih jam setengah sembilan!” Zolan berhenti mencolek belakang Aluna. Mengambil beberapa bantal untuk di jadikan pemisah. Zolan pun ikut membaringkan badan. “Kamu tidak bangun cuci muka dulu, baru tidur? Bukankah semua perempuan kalau mau tidur pasti bersih-bersih dulu? Nanti kamu jerawatan loo, Al,” Zolan masih mengajak Aluna berbicara, mencari cara agar Aluna bangun. “Masa iya sih, Al, jam segini kamu sudah n
*** “Kabar Aluna bagaimana, Fatma?” tanya Fahmi. Mereka sedang makan mie goreng ayam, pesanan Fahmi. “Baik!” ujar Fatma, singkat. Mendengar nama Aluna, selera makan Fatma hilang. “Aku sudah selesai makan, mienya nggak enak!” ia langsung berdiri meninggalkan meja makan. “Fatmaaa! Mau ke mana? Ini mie nya di habiskan dulu!” teriak Fahmi dari meja makan. “Anak itu kenapa sih? Ini ‘kan mie kesukaannya, tumben tidak mau di habiskan.” Fahmi menggeleng heran melihat mie di atas meja. Fatma baru memakan tiga sendok. “Apa mungkin dia lagi ada masalah?” batin Fahmi, sambil masukan makanan ke dalam mulut. "Atau mungkin mie nya memang kurang enak!" Ia membawa mangkok mie goreng ayam Fatma ke hadapannya, menyicip sedikit seujung sendok. "Enak!" berucap dengan pelan. Fahmi mempercepat gerakan makan, agar segera ke kamar Fatma. Kurang lebih lima menit. Mangkok Fahmi sudah bersih, ia membawa ke dapur, menaruh begitu saja ke westafel. Mie milik Fatma, ia tutup
“Itu benaran Aluna. Tanpa bedak tebal saja, dia sudah menjadi perempuan paling cantik hari ini. Apalagi jika Aluna, menggunakan jasa perias,” tutur Lilis pelan pada Fatma. Mereka duduk berdampingan. “Aluna punya trauma, dia tidak ingin berdandan seperti layaknya perempuan lain dan akan di puji cantik. Aluna sangat membenci jika ada yang mengagumi kecantikannya,” ucap Fatma, sambil menatap Aluna yang saat ini sedang berbicara di podium. “Trauma … kenapa bisa?” tanya Lilis, menoleh ke Fatma. “Ceritanya panjang. Nanti saja aku ceritakan. Sekarang aku ingin fokus mendegar Aluna bicara,” ucap Fatma, tanpa melihat wajah penasaran Lilis. Ia mendengar Aluna yang sedang berucap, “atas apa yang dapat di raih hari ini, kita patut berterimakasih pada seluruh pihak yang telah mendukung dan membantu semua proses. Untuk itu perkenankanlah saya mewakili wisudawan untuk menyampaikan banyak terimakasih.” Lilis tidak melanjutkan percakapan mereka. Ia pun ikut fokus meny
*** Aluna sedang bersiap-siap, ia menggunakan kebaya berwarna biru nafi, dipadukan dengan rok batik bermotif kupu-kupu kecil. Kemudian ia menutupi dengan baju toga hitam pemberian kampus untuk wisudawan. Aluna tidak menggunakan jasa perias. Dengan kemampuan pas-pasan, ia menempel tipis bedak di wajah. Tidak lupa, Aluna juga memakai lip cream di bibir agar tidak terlihat kering. Kali ini, Aluna tidak akan mengepang dua rambut. Ia sudah membeli pengikat khusus agar bagian kepala terlihat cantik. Ia lalu memakai anting cantik berukuran kecil di telinga. Aluna hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk selesai. Ia lalu memakai high hells. Bercermin kembali, untuk memastikan jika ia sudah selesai. Aluna mengambil toga yang sudah ia siapkan di atas meja belajar. “Kok rasanya, aku malu. Ini pertama kali aku memakai bedak ke kampus,” tutur Aluna, ia memalingkan pandangan pada kacamata. “Sepertinya untuk hari ini, aku tidak memakai kacamata. Hanya untuk hari
Mengikuti kata hati, Sindy akhirnya masuk ke dalam warung untuk memesan makanan yang akan di bawa pulang. Ia bercerita dengan seorang ibu yang juga menunggu pesanan. Lima belas menit keasyika, Sindy menyadari jika lelaki itu sudah tidak ada. Dengan cepat Sindy membayar ketika namanya di panggil. Sambil memperbaiki masker dan topi yang ia pakai, Sindy melangkah lebar menuju rumah kos. Setibanya, sebelum memasuki rumah Sindy menoleh ke kiri dan ke kanan. Ingin memastikan jika tidak ada lagi yang mengikuti. "Sekarang aku harus lebih berhati-hati," Sindy berucap lirih sambil mengusap dada dari balik pintu. Beberapa jam telah berlalu. Waktu menunjukan pukul sepuluh malam, Fahmi masih berada di sebuah kafe menunggu seseorang. Saat ia meneguk kopi, orang yang di tunggu akhirnya datang. “Maaf aku telat, bos,” ucap lelaki yang sedang memakai topi hitam. Ia membuka masker yang ada di wajah dan menarik kursi untuk duduk. “Informasi apa yang sudah kamu dapa
Aluna kembali ke kamar dan memilih berbaring di atas ranjang. Mata menatap langit-langit dan tidak berpindah. “Tidak mengapa Aluna. Sebentar lagi kamu akan koas. Kalian akan jarang bertemu, jadi kamu pasti bisa kuat,” batin Aluna menyemangati diri, "apa aku harus menyerah?" Aluna memiringkan badan ke samping. Menatap tempat Zolan jika tidur di kamarnya. Tangan mengusap bantal yang sering digunakan suaminya, ia berucap lirih, “aku harusnya sadar dari dulu, jika tidak boleh mencintai kamu, Zolan. Ini akibatnya, karena telah lancang berharap dicintai.” Tidak terasa, air mata yang sudah ia tahan sejak berada di kamar Zolan, akhirnya tumpah. “Aku tidak pernah meminta takdir seperti ini. Mengapa harus aku yang merasakan?” Bantal yang digunakan Aluna telah basah. Tangan menutup mulut dan membiarkan air di mata keluar begitu deras.Satu jam lebih ia berbaring di atas kasur, meratapi hati yang di rasa begitu sakit. Aluna akhirnya bangkit menuju meja belajar,
***Hari ini, tepat sepekan Marfel berpulang. Aluna sedang berada di kamar Zolan. Sudah seminggu Zolan tidak keluar rumah, begitupun dengan Aluna.“Aku masih kenyang, Aluna. Kamu saja yang makan,” tutur Zolan, melihat Aluna masih memegang sendok berisi makan, dari tadi Aluna terus memaksa.“Kamu harus makan Zolan! Hari ini kamu belum makan. Tiga sendok saja, terus aku akan keluar dari kamar kamu.” Aluna terus berusaha merayu. Sejak meninggalnya Marfel, Zolan sudah jarang makan. Makanan yang sering di antar ke kamar, selalu di ambil kembali dalam keadaan utuh.Melihat Zolan, yang masih menutup mulut. Aluna berdiri untuk menyimpan piring yang di tangan ke atas meja. Ia lalu kembali duduk di dekat Zolan. “Aku tahu kamu merasa bersalah! Aku tidak tahu sebelumnya apa yang terjadi antara kamu dengan ayah! ... Tetapi, kamu tidak bisa begini terus ... Badan kamu juga punya hak untuk sehat!” Aluna berkata dengan suara sedi
Asisten itu menarik lembut Aluna. Ia langsung memeluk tanpa banyak berkata. Ia tahu bagaimana rapuhnya Aluna. “Ada kami, Non. Non Aluna masih punya kami, tidak sendiri,” ia berbisik pelan di telinga Aluna, berusaha menguatkan.Semua asisten mengetahui hubungan Aluna dan Zolan. Meskipun sudah tidur sekamar, tetapi masih nampak di mata semua asisten, jika Zolan tidak mencintai Aluna. Bukan hanya itu, asisten yang setiap hari membersihkan rumah mengetahui, jika Zolan masih menyimpan semua baju di kamarnya, tidak memindahkan ke kamar Aluna.Di tempat lain, Zolan masih berada di depan sekolah. Setelah bertengkar hebat dengan Marfel, ia tidak bisa fokus untuk bekerja, sehingga ia pergi meninggalkan kantor dan menuju sekolah yang sudah mempertemukannya dengan Sindy. Zolan juga tidak mengaktifkan handphone, ia sedang tidak ingin di ganggu.Zolan memarkir mobil di seberang sekolah. Dari jauh ia melihat anak-anak sekolah keluar dari gerbang. Ada yang jail, ada
Empat puluh menit mengendara motor, ia sudah memasuki gerbang rumah sakit. Tadi setelah tiba di parkiran kampus Aluna menelepon Bi Sarti, menanyakan rumah sakit tempat Marfel dirawat. Aluna mengendara dengan sangat laju, tiga kali ia mendapatkan lampu merah yang macet. Dengan langkah terburu ia masuk, menuju ruang ICU.Di sana ada enam orang asisten yang menunggu di depan pintu. Aluna mempercepat langkah. Setibanya, dengan napas yang masih terengah-engah, Aluna langsung berucap, “apa yang terjadi? .. Tadi pagi ayah masih baik-baik saja. Kami sarapan pagi bersama dan aku juga meminnta doa karena sidang hari ini. Kenapa ini bisa terjadi?”“Kami tidak tahu pasti, apa yang sebenarnya terjadi. Tadi setelah Non Aluna ke kampus. Tuan besar memanggil tuan muda di dalam kamar. Kami tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Bi Sarti menemukan tuan besar pingsan di lantai dekat ranjang,” ucap asisten yang berada di hadapan Aluna.“Zolan sudah tahu
***Setelah tiga tahun lebih menjalani kuliah, hari ini Aluna sidang akhir. Fatma dan Lilis menunggu di luar ruang sidang. Di tangan mereka ada satu buket bunga yang akan di berikan untuk Aluna. Sedangkan di dalam sana, Aluna masih menghadapi rentetan pertanyaan dari penguji.Satu jam lebih berlalu, Aluna di suruh keluar oleh dosen pembimbingnya. Menunggu di luar ruangan.“Alunaa!” Suara cempreng Fatma terdengar, ketika melihat Aluna membuka pintu. Ia dan Lilis berdiri menghampiri.“Bagaimana, kamu di kasih nilai apa?” tanya Fatma ketika mereka sudah berada di samping Aluna.“Ya, belum di tahu lah, Fatma … dosen ‘kan masih rembuk di dalam. Aku di suruh keluar dulu. Nanti masuk lagi kalau sudah ada perintah untuk masuk,” tutur Aluna, sambil berjalan menuju tempat duduk.“Kamu yang sidang, aku yang degdegan, Aluna. Gimana nanti kalau aku yang ujian yah?” Fatma berucap, ketika mereka
Di tempat berbeda, di sebuah rumah sakit. Anton kaget, ia melihat ada pergerakan di tangan Angel. Meskipun masih menutup mata, jari-jari mungil tangan kanan Angel bergerak. Ia memencet tombol untuk memanggil perawat jaga, yang terletak tidak jauh dari hospital bed. Tidak menunggu lama, tiga orang perawat bersama seorang dokter datang dengan membawa beberapa alat yang mereka butuhkan. “Bagaimana keadaanya?” tanya Anton. ketika dokter menempelkan stetoskop di tubuh Angel. Ada sedikit kebahagian terpancar di wajah Anton. “Dokter Anton, bisa ikut aku ke ruangan?” ujar seorang lelaki yang memakai jas putih. “Apa yang terjadi? Aku tidak bisa meninggalkannya sendiri di sini,” ucap Anton tegas, sambil menatap Angel. “Ini juga untuk Angel. Ada yang ingin aku beritahu, dan aku tidak bisa mengatakannya di sini.” Kembali membujuk Anton yang terlihat kukuh dengan keinginan. “Nanti dua orang perawat ini, yang akan menggantikan kamu menjaga Angel,” lanjutnya.