Lima jam tertidur, Aluna pun bangun. Melihat Zolan masih nyenyak di sampingnya. Ia membuka selimut yang sudah menghangatkan tubuhnya. Terbangun, mengusap wajah, ia beranjak dari tempat tidur manuju wastafel. Menyentuh air, sangat dingin. Udara kamar sangat dingin dan Aluna berusaha menahan.
Aluna membaca buku selama satu jam lebih, Zolan belum juga bangun. Ia meninggalkan Zolan di kamar, menuju dapur. Seperti biasa Aluna akan menyiapkan sarapan. Ia meilhat Bi Sarti dan beberapa asisten yang sedang sibuk memasak.
“Lagi masak, apa?” Suara Aluna menghentikan aktivitas mereka.
“Eh, Non Aluna. Kami lagi buat nasi kuning. Tuan Marfel ingin sarapan nasi kuning. Sudah lama Tuan tidak memakannya, sejak keluar dari rumah sakit,” ujar Bi Sarti, yang sedang mengaduk santan berwarna kuning berisi beras di dalam wajan.
Salah seorang asisten sedang menggoreng ikan, di samping kanan ada yang membuat mie goreng, dan di bagian kiri ada asisten yang sedang menggoreng ke
Terimakasih teman-teman. Jangan lupa Vote dan tuliskan komentar yaa. Ikuti terus Novel LCA yang akan upload setiap hari di jam lima sore.
Beberapa menit berlalu, Aluna sudah menyelesaikan makannya. Ia segera berdiri dan berpamitan, mencium tangan Marfel dan Zolan. Dengan menggunakan motor kesayangan, ia menuju ke kampus. Aluna memilih melewati gang sempit agar lebih cepat tiba di Kampus. Di perjalanannya ia hanya melewati dua lampu merah. Sembilan puluh detik menunggu lampu merah berubah hijau, Aluna mengingat kenangan indah bersama ibu.Aluna baru saja pulang dari sekolah, ia tidak menyadari jika hari itu ulang tahunnya. Aluna sedang mengganti baju, ibunya masuk kamar dan memberi kotak kecil. Diam sejenak, Aluna menyadari jika hari itu umurnya bertambah. Ia membuka, berpikir jika kotak itu berisi coklat harga sepuluh ribu yang sering ia dapatkan, sebagai hadiah ulang tahunnya. “Ibu, ini!” tutur Aluna, kaget melihat isi kotak yang berisi kunci motor. “Iya, sayang! Itu untuk kamu, ibu tidak tega lihat kamu berjalan kaki terus pulang pergi sekolah. Beb
Aluna mempercepat langkah ketika mengingat jika tadi ia berjanji akan menemani Marfel jalan-jalan. Ia mulai mengendarai motor, hanya lima belas menit, Aluna telah tiba di Rumah. Ternyata Marfel sudah menunggu di Ruang tamu.“Ayah sudah siap?” tanya Aluna, melihat Marfel dengan pakaian santai sedang membaca koran. Marfel tersenyum dan mengangguk pada Aluna.“Tunggu ya, Ayah. Aku simpan tas dulu di kamar. Tidak lama,” ucap Aluna, ia langsung berlari kecil agar tidak membuat Marfel menunggu terlalu lama.Dalam waktu yang singkat, kini Aluna sudah berada di ruang tamu. Mendekati Marfel, Aluna berkata, “Yukk, kita jalan, Ayah!” Saat berada di hadapan Marfel. “Hanya kita berdua?” tanya Aluna.“Iya, ayah ingin berduaan dulu dengan anak ayah yang cantik ini,” ucap Marfel di sertai tawa di akhir kata.“Okey, baiklah, Ayahku yang paling ganteng! Yuk kita jalan,” tutur Aluna, wajahnya san
Aluna membisu, bibir kelu, takut untuk berucap.“Ceritalah, Nak! Ayah ingin dengar langsung penjelasan dari kamu Aluna,” lanjut Marfel masih dengan raut yang sama.“Ayah, aku-," ucapan Aluna terhenti. Ia menunduk. “Aku tidak tahu apa yang Ayah pikirkan ketika melihat foto itu. Tetapi Ayah harus percaya denganku!” Mata Aluna mulai berkaca. Marfel tersenyum. “Ayah percaya kamu, Aluna. Ceritalah! Ayah mengajakmu ke sini dan bertanya langsung, agar tidak ada orang lain yang dengarkan pembicaraan kita dan kamu bisa bercerita ke ayah tanpa ada beban.”Aluna berusaha tenang, ia mulai merangkai kata lewat bibir, “nama lelaki itu Anton. Ia salah satu dosenku di kampus. Awalnya aku hanya di suruh untuk menjadi pengasuh anaknya. Seiring berjalannya waktu, anak itu nyaman. Dia meminta ke Pak Anton untuk menikahiku, agar aku bisa menjadi bundanya. Aku menolak, hingga Pak Anton mengancamku dan aku pun takut jika ku
Tidak ingin Marfel mempertanyakan ia yang seketika berubah, Aluna menetralkan perasaan. Setelah pembicaraan serius itu, Aluna dan Marfel kembali bercerita tentang sesuatu yang membuat keduanya tertawa lepas. “Sebenarnya Ayah tidak ingin kalau jalan-jalan itu, kita membahas hal-hal yang menguras air mata. Tetapi mau bagaimana lagi, takut jika di Rumah ada yang mendengar, mungkin saja Zolan atau para asisten. Kita tidak tahu, karena pembahasan ini sangat sensitiv, jadinya ayah mengajak kamu ke sinisini," ucap Marfel.Mereka pun meninggalkan tempat itu ketika matahari dengan malu-malu mulai menenggelamkan sinar. Aluna berdiri, mengarah ke belakang Marfel untuk mendorong kursi roda. Langkah mereka di temani gemercik mata air yang ada di sisi taman.Seorang supir turun dari mobil ketika melihat Aluna sudah mendekat. Ia membantu Marfel agar masuk dalam mobil. Selama perjalanan pulang Aluna memilih banyak diam, ia tidak seceria di saat mereka pergi. Pikiran di pen
*** Seorang perempuan berambut panjang sedang menata sebuah kamar berukuran kecil. Sudah empat hari berada di Kendari. Baju tanpa lengan menutupi tubuh bagian atas, agar tidak terasa panas. Tidak ada AC pendingin seperti di tempat tinggal sebelumnya, kamar berukuran dua kali tiga meter itu ia pilih sesuai dengan uang yang saat ini masih ada di tangan. Badan di penuhi memar bekas pukulan, ada pula bekas luka bakar di bagian lengan. Di bagian leher terlihat jelas bekas tusukan rokok. Ia selalu keluar rumah menggunakan baju dan celana panjang untuk menutupi keadaan tubuh. Setelah selesai menata, ia berdiri, melihat pantulan wajah di depan cermin. Terdengar suara dari bibir yang mungil, “Mulai hari ini, nama kamu bukan Sindy lagi. Nama itu sudah tertinggal di kota itu. Sejak kamu berada di sini, kamu harus merubah semuanya.” Ia membuka rambut palsu yang ada di kepala. Rambut pendeknya terlihat berantakan. “Mulai hari ini, di mana pun kamu pergi. Kamu haru
Sindy masuk ke jalan setapak yang hanya bisa di lewati oleh dua orang. Ia melihat di sekitaran jalan, berjejeran lima warung makan yang menjadi tempat singgah tukang ojek. Memperlambat langkah, ia berpikir untuk masuk ke salah satu warung, namun kaki tertahan. Sindy hanya berdiri depan warung, hingga seorang ibu bertanya, “Mau makan apa? Sini masuk. Bisa lihat menunya di sini.” Sambil tersenyum, dan menunjuk selembar kertas berisi menu makanan yang tertempel di dinding. “Aku tidak lapar, Bu. Aku ingin melamar pekerjaan di sini. Apakah ibu mencari karyawan untuk bekerja di warung, ibu. Mungkin bisa bantu untuk cuci piring atau masak,” ucap Sindy sambil ke dua tangan meremas-remas baju. Ibu pemilik warung melihat Sindy dari ujung kaki hingga kepala, dengan tatapan iba ia berucap, “Oh, adek lagi cari pekerjaan. Maaf, aku sedang tidak butuh karyawan. Coba tanya di sana, siapa tahu butuh.” Sambil menunjuk beberapa toko yang berjejeran tidak jauh dari warungnya.
***Bertemu Anton di parkiran, membuat pikiran Aluna berubah, ia mengikuti dari jarak yang jauh. Saat melihat Anton menaiki lift, ia berbelok memilih naik tangga, di depan lift banyak mahasiswa yang sedang mengantri.Hanya lantai tiga, bagi Aluna itu mudah. Setelah melewati beberapa tangga, Aluna telah tiba di lantai tiga. Ia tidak ingin menunggu sore, untuk menemui Anton.Saat sudah mendekati ruangan, Aluna melihat Anton keluar. Memperlambat langkah, Aluna heran ketika melihat Anton berlari kecil. Anton melewati Aluna, yang sedang diam mematung.Anton menuju lift, memencet tombol berulang kali, tetapi pintu belum juga terbuka. Aluna menyadari jika Anton sedang berbicara dengan seseorang lewat telepon. Tak kunjung terbuka, Anton berlari cepat ke arah tangga. Semua orang yang menyapa, tidak satu pun di gubris oleh Anton.“Ada apa dengan Pak Anton, kenapa dia terlihat panik sekali?” batin Aluna, yang masih terdiam di tempat.&ldquo
Bola mata Aluna membesar, ia kaget. Terlintas dalam ingatan, saat Anton sedang terburu-buru dengan wajah yang cemas. ‘Aluna’ Suara Anton kembali terdengar. Lilis memegang pundak Aluna. “Kamu kenapa, Al? Itu telepon dari siapa?” Tidak menjawab pertanyaan Lilis. Menarik napas berat, Aluna menghembuskan. Bibir bergerak untuk berucap ‘Iya, Pak! Aku segera ke sana.' Telepon langsung di matikan sepihak oleh Anton. Aluna menoleh ke wajah Lilis yang sedang memandangnya penuh tanya. “Lilis, kamu bisa antar aku ke Rumah Sakit Pelita Indah?” tanya Aluna, mata telah berkaca, air bening berkumpul di kelopak. “Siapa yang sakit, Al?” tanya Lilis. “Kamu bisa antar aku atau tidak? Aku tidak membawa motor, tadi aku ke kampus di antar!” ucap Aluna dengar suara bergetar tanpa menjawab pertanyaan Lilis. Merasa iba melihat wajah rapuh Aluna. “Yuk!” ucap Lilis. Tidak menunggu waktu lama, mereka melangkah beriringan menuju parkiran.&