Pagi hari. Sinar matahari menyeruak masuk menembus kaca. Menyinari wajah bening Helena yang cantik natural tanpa riasan seperti semalam.
Tenang... tidak menyangka kalau tidurnya akan setenang ini. Ia bahkan tersenyum walau mata masih terpejam, mungkin saat ini ia sedang bermimpi, mimpi indah menghabiskan malam pertama dengan pria yang ia cintai. Cinta yang mungkin tak sempat tersampaikan.
Dia terus tersenyum manis, terlarut dalam mimpi indahnya. Tapi sayang mimpi indah Helena tak berlangsung lama. Ia mengerjap terbangun saat mendengar suara bel di depan pintu kamar berbunyi berkali-kali. Ia pun bangkit dari tidurnya, melihat Bastian masih betah berkulum di bawah selimut. Helena tak berani membukakan pintu. Ia teringat akan pesan Bastian semalam.
"Jangan sembarangan membuka pintu! kamu belum mengenal semua anggota keluarga saya," ujarnya.
Patuh. Ia memilih merapihkan selimut dan bantal bekas ia pakai. Tapi seseorang di luar sana terus menekan Bel tanpa henti, sedang pria angkuh itu masih saja tidur, bahkan tak bergerak sedikipun.
"Ini orang tidur apa mati sih?" ujarnya kesal.
"Tuan." Helena memberanikan diri membangunkan suaminya tanpa menyentuhnya sedikitpun.
Tidak ada pergerakan, atau tanda-tada dia akan bangun, tapi suara bel itu terus berbunyi, hingga akhirnya ia memberanikan diri membangunkan Bastian dengan berteriak di dekat telinganya.
"Tuaaan... banguuun...!"
Sontak, teriakan Helena membuat Bastian terbangun dan langsung menarik tangan Helena hingga ia jatuh ke atas tubuhnya yang kekar.
"Berani kamu teriak-teriak, khah?" Bastian merubah posisi menjadi di atas tubuh Helena. Kedua tangannya mencengkram kuat tangan Helena di atas kepalanya.
"Maaf, Tuan. Apa anda tidak dengar?"
"Apa?" bertanya dengan suara membentak.
"Itu, suara bel, mungkin sudah lebih dari seratus kali bel itu berbunyi. Dan sekarang anda masih tidak mendengarnya?"
"Cek..cek..cek.." Helena menggelengkan kepalanya, lalu Bastian pun turun dari atas tubuh Helena.
"Sarapan Tuan. Spesial untuk pengantin baru," ucap pelayan itu ramah, setelah Bastian membukakan pintu
Bastian membiarkan pelayan itu masuk, dan menata semua menu makanan di atas meja dengan sangat rapih. Setelahnya pelayan itu pun pergi setelah mendapatkan tip dari dirinya.
"Lain kali, kalau ada yang datang, liat dulu siapa. Di sana kan ada door view. Kalau cuma pelayan, buka aja sendiri, gak perlu bangunin saya," Bastian mendudukan diri di atas sofa, menatap tak suka pada semua makanan yang disediakan pihak Hotel.
"Makanan spesial? seperti ini? buruk," ujarnya.
"Maaf," kata Helena sambil berdiri di samping Bastian, ia menundukan wajahnya menatap lantai.
"Saya gak suka masakan kayak gini, kita sarapan di luar," ia pun bangkit dari duduknya lalu mengambil handuk di dalam lemari yang sudah tersedia.
"Kamu udah mandi?" tanya Bastian sebelum masuk ke dalam kamar mandi.
Helena menggelengkan kepalanya, "Belum."
"Nanti habis mandi, kita cari sarapan di luar."
"Aku di ajak Tuan?"
"Iya lah, kalau kamu gak ikut, terus ada keluarga saya ke sini, kamu bisa apa? kalau dia nanya aku ke mana, kamu mau jawab apa? kalau mereka curiga kamu gak ikut, apa alasannya?"
"Iiss... pertanyaan satu, jawabannya segambreng," Helena memutar bola matanya jengah.
Tapi yang dikatakan Bastian ada benarnya juga. Gak mungkin kan pengantin baru tapi beraktivitas masing-masing? selesai mandi, dan merapihkan diri, Bastian dan Helena keluar dari Hotel mencari sarapan sesuai dengan moodnya hari ini.
Helena tidak menyangka kalau Bastian akan memarkirkan mobilnya di sebuah warung nasi uduk di pinggiran ibu kota Jakarta. "PUAS HATI IBU TATI," tulisan yang ia baca di depan warung itu.
"Anda yakin tuan?" tanya Helena menatap tak percaya.
"Kenapa? gak suka?" Bastian melepaskan setbelnya, lalu turun dari mobil lebih dulu.
"Turun!" titahnya kasar.
"I...iya," Helenapun turun, lalu mengikuti langkah Bastian masuk ke dalam warung itu. Sederhana, tidak ada kemewahan. Bastian nampak lahap dengan sarapannya, dan menu yang ia pilih saat ini cukup unik, tempe orek, telur dadar, dan yang paling mengejutkan adalah Semur jengkol.
Berapa biji yang dia makan? kalau dihitung dengan jari, mungkin ada sepuluh biji. Dan sungguh, pria muda tampan ini sangat menyukai Jengkol, dan itu diluar nalar Helena.
"Sesuka ini kah Tuan sama jengkol?"
"Hhmm..." jawabnya tanpa berkata. Ia terus melahap semua menu yang tersaji.
"Kamu gak suka?"
Helena menggelengkan kepalanya tidak suka.
"Belagu banget. Cewek cantik aja banyak yang suka jengkol, kamu yang tampang pas-pasan gak suka?"
"Rugi orang kalau gak suka jengkol," selorohnya sambil menuangkan teh hangat ke dalam gelas. Ia meminta air panas lagi pada si ibu pemilik warung, karna dirasa air teh miliknya kurang panas.
"Kurang panas ye?" kata Ibu itu sambil menuangkan air panas ke dalam gelasnya, Bastian pun mengangguk, iya.
Selesai sarapan di warung nasi uduk Ibu Tati, Bastian mengajak Helena mengunjungi butik langganan keluarga Kenan, yang letaknya lumayan jauh dari tempat ia sarapan tadi.
Semahal apapun baju yang ia beli, itu jauh lebih masuk akal dari pada memakan jengkol, sesuatu yang bau, tapi di sukai banyak orang, termasuk seorang CEO seperti Bastian.
Satu kata. Mewah, sangat mewah. Semua menunduk hormat saat Bastian masuk ke dalam. Dia bahkan mendapatkan pelayanan lebih dengan memasuki suatu ruangan khusus, dimana hanya terdapat satu sofa panjang yang menghadap langsung ke depan tirai putih yang menjulang tinggi ke atas.
"Saya mau beberapa gaun pesta, baju santai, dan beberapa baju tidur," pintanya sambil membuka-buka buku majalah yang sudah tersedia di sana.
"Untuk?"
"Istri saya," jawabnya singkat.
"Oh... jadi, gadis ini istri anda, Tuan?"
"Hhmm..."
Suatu kehormatan memang, seorang Bastian mengajak sang istri datang ke butik mereka, mereka melayani Helena dengan sangat baik. Semua baju yang direkomendasikan mendapat acungan jempol dari seorang Haidar Bastian.
"Ini terlalu banyak, Tuan," kata Helena sambil mengangkat betapa banyaknya kantung belanjaan ditangannya.
"Mulai nanti malam dan beberapa hari ke depan, kita akan banyak menghadiri pesta. Kamu punya gaunnya?"
Helena menggelengkan kepalanya, "Tidak."
"Ya udah, gak usah protes. Toh itu juga saya yang beli."
Saat akan pergi meninggalkan Butik, langkah mereka terhenti saat seorang Desainer butik memanggil namanya. Dia bahkan cukup mengenal masa lalu Bastian dengan wanita yang pernah ia bawa ke Butik Valentino.
"Bagaimana kabar anda?" tanyanya sambil mengulurkan tangan.
"Baik," saut Bastian. Mereka berjabat tangan cukup akrab.
"Anda datang dengan siapa?"
"Ini istri saya, Helena," Helena mengangguk ramah.
"Oh... anda sudah menikah? tapi gaun itu? gaun yang anda pesan tidak di ambil, Tuan? katanya gaun itu akan anda ambil di hari pernikahan anda dengan..." ucapannya mengambang saat mengingat nama kekasih Bastian saat itu bukanlah Helena.
"Maaf..."
"Gaun itu sudah saya beli, saya tidak keberatan kalau anda akan menjualnya lagi,"
"Kenapa?"
"Saya sudah tidak membutuhkannya lagi."
"Gaun? gaun pernikahan? dia ternyata sudah memesan gaun pernikhan? untuk siapa?" batin Helena terus bergumam, pikirannya terus bekerja keras mencari tau.
"Iya, aku harus tau," di sela-sela kesempatan, Helena mengirim pesan pada seseorang yang jauh di sebrang sana.
"Banyak hal yang kita tidak tau tentang Bastian."
Pesan terkirim.
Tepat pukul duabelas siang, Bastian dan Helena kembali ke Hotel tempat mereka menginap. Bisa di hitung berapa lama mereka menghabiskan waktu berdua hari ini? masih dalam hitungan jari. Rasanya sangat mustahil kalau dengan waktu sesingkat itu akan tumbuh benih-benih cinta di hati mereka. Jangankan cinta, rasa kasihan pun sepertinya tidak ada. Bastian bahkan tidak perduli saat Helena kesulitan membawa banyaknya kantung belanjaan."Menyebalkan," Ia bejalan di belakang Bastin sambil menghentakan kakinya karna kesal.Namun, ada sedikit kejadian yang cukup menggelitik, saat Bastian bertemu temanya di dalam lift tadi, membuat bibir Helena kembali melengkung membentuk simpul, saat Kantung belanjaan yang dibawanya, langsung diambil alih oleh Bastain."Aku kan udah bilang, biar aku yang bawa, sayang..." ucap Bastian penuh kepalsuan.Awalnya Helena cukup terkejut dengan perubahan sikap suaminya yang tiba-tiba, namun dalam hitungan persekiandetik, Helena langsung tau
Rasanya sangat melelahkan, berada di dalam pesta orang kaya, menurutnya sangat membosankan, karna yang di bahas di sana tidak jauh seputar bisnis, dan bisnis. Walaupun pesta masih berlangsung dengan meriah, Helena meminta Bastian untuk pulang ke aprtemen, beruntunglah ia setuju, karna ia juga merasakan hal yang sama dengannya."Mau ke mana?" tanya Bu Rossa saat Bastian dan Helena hendak pergi."Pulang Mah," saut Bastian.Mendengar kata pulang, Bu Rossa pun ikut berdiri, "Pulang ke rumah mamah ya!" pintanya."Nggak," Bastian langsung menolaknya, "Aku mau pulang ke apartemen. Aku mau istirahat.""Di rumah mamah juga kan bisa istirahat. lagian mamah pengen deket sama menantu mamah, kita kan baru ngobrol beberapa kali aja, iya kan? Mamah janji deh gak akan ganggu privasi kalian."Bastian diam tak menjawab, namun Bu Rossa terus memaksa, hingga akhirnya ia mengiyakan keinginan mamanya. Karna melarangnyapun tidak ada gunanya.Dua puluh menit
Siapa lah Bstian? dia hanya manusia biasa, dia sama dengan pria lain, pria normal yang pasti akan ter***sang saat melihat tubuh mulus tanpa busana di depan mata. "Dan itu milik ku, dia istri ku, seharusnya semalam aku menikmati tubuhnya, tapi apa? kenapa aku harus susah payah mencari kenikmatan di luar sana? Sial, dia membuat ku gila." Ia terus menenggelamkan diri lebih lama di dalam Bathtub, berharap isi kepalanya yang terus mengingat tubuh Helena cepat menghilang. Padahal, setelah kejadian semalam, Bastian pergi ke sebuah Club malam menemui seorang wanita hanya untuk menyalurkan hasratnya saja. Tapi rasanya itu tidak cukup. Dia tetap menginginkan tubuh Helena. tubuh yang ia lihat mulus tanpa noda itu benar-benar sangat mengganggu pikirannya. Saat ini jarum jam berada tepat di angka tujuh. Kini matahari mulai menampakan cahayanya, menyeruak masuk ke dalam melalui celah-celah jendela kamar yang tidak tertutup rapat. Helena menggeliat, mengerja
"Berani kamu mengancam saya?"Tangannya mencengkram kuat rahang Helena, dia salah menduga, ternyata apa yang dikatakan kakaknya adalah benar, dia kejam."Lepaskan saya Tuan!"Kedua tangan Helena berusaha melepaskan tangan Bastian yang malah semakin mengeratkan cengkramannya."Melepaskan mu? jangan harap saya akan melepaskan mu, gadis culun.""Saya ada janji dengan keponakan anda," kata Helena dengan susah payah."Saya tidak perduli. Itu janji kamu dengan Stela.""Lepaskan saya, saya mohon! sakit," wajahnya benar-benar terlihat kesakitan.Bastian memang melepaskannya, tapi sangat kasar ia menghempaskan tubuh Helena ke atas ranjang. Ia memegangi rahangnya yang terasa sakit."Jangan coba-coba bermain dengan ku! apa lagi mengancam ku," setalahnya ia pun keluar dari kamar, meninggalkan Helena dalam kesakitan."Dasar gila," sungutnya memaki, melempar pintu dengan bantal."Pria berwajah dua. Bersikap manis seperti
Terlalu asik memilah-milah jenis mainan yang akan di beli, Mark sampai tidak menyadari kalau sudah hampir lima belas menit Helena tidak ada di sana. Ia disibukan oleh Stela yang keinginannya terus berubah saat melihat jenis mainan yang berbeda. Karna lelah, ia pun memilih duduk dan membiarkan Stela megaduk-aduk semua mainan yang sudah diturunkan si abang penjual itu. Merasa haus, saat akan meminta izin pada Helena untuk membeli minum, ia baru menyadari kalau Helena tidak ada di sana. "Kemana dia?" Mark mengeluarkan benda pipih berwarna hitam dari saku jasnya, lalu menghubungi Helena dalam sambungan telepon. "Tuut. "Tuut. Beberapa kali mencoba, akhirnya Helena merespon panggilan dari Mark. "Nyonya, anda di mana?" tanya Mark sambil memperhatiakan Stela masih asik memilah-milah mainan. "Kak.." suara Helena terdengar seperti merintih kesakitan. "Ada apa dengan anda, Nyonya?" Wajah Mark berubah panik. "Aku di
Helena terkejut dengan kedatangan Bastian yang tiba-tiba. Alasan yang sudah tersusun rapih di dalam otak, hilang menguap begitu saja bersamaan dengan munculnya sosok pria yang menurutnya memiliki kepribadian ganda."Tuan, bisa gak sih ketuk pintu dulu sebelum masuk?""Siapa pria yang kamu bilang memiliki kepribadian ganda itu?" membalas pertanyaan Helena dengan pertanyaan lagi. Ia masuk menghampiri sang istri yang tengah duduk di depan cermin rias, lalu meletakan kedua tangannya di atas meja, seolah sedang memeluknya dari belakang.Tak ingin luka di dahinya terekspos, Helena memalingkan wajahya menatap ke arah lain. Tapi sayang, mata elang pria arogan itu keburu menangkap sesuatu yang berusaha ia tutupi."Ada apa dengan wajah mu?" tanya Bastian saat luka di keningnya terlihat jelas di depan mata."Tidak ada," jawabnya singkat."Hei..." sedikit kasar Bastian menarik dagu Helena, memintanya untuk menatap lurus ke depan, lalu ia menyibakan poni
Hidup satu atap dengan seorang Haidar Bastian buka lah perkara yang mudah. Lihat saja, walaupun sudah memutuskan untuk berteman sejak tadi sore, Bastian tetap tidak mengizinkan Helena tidur di atas ranjang bersama dengan dirinya. Padahal kasur itu memiliki ukuran yang sangat luas. Jangankan dua orang, tiga sampai empat sekalipun masih cukup. Helena yang terus mendapat penolakan, akhirnya pasrah dengan kenyataan kalau malam ini dan seterusnya, tidak akan pernah bisa tidur di tas ranjang. Buka karna mau dekat dengan suaminya. tapi sungguh, semahal apapun sofa, tetap lebih nyaman tidur di atas kasur. Apa lagi kasur itu bernilai fantastis. 200juta? wow. sungguh penasaran dengan kenyamananya. pasti sangat nyaman. "Fix. Dia itu sangat pelit," berucap sambil membetulkan bantal di atas sofa. Hanya bantal, tidak ada selimut. Padahal AC di kamar itu terasa sangat dingin. Bagaimana tidak, ruangan itu bersuhu 16°c? Dia benar-benar gila. "Kita berteman satu kamar, t
Sinar matahari yang masuk melalui kaca jendela kamar, mulai menerpa wajah cantik Helena yang sedang tertidur pulas di samping suaminya, Bastain. Ia mengerjap terbangun, mengucak matanya untuk memastikan sosok yang ada di sebelahnya sedang melingkarkan tangan ke atas perutnya. Begitu sadar kalau pria yang ada di sebelahnya adalah Bastian, Helena langsung beranjak dari tempat tidur sambil tertatih-tatih menjauh menahan rasa sakit di sana. "Apa ini? kenapa sangat perih?" Ia terus merangkak menuju kamar mandi, karna tak ada pilihan lagi selain pergi mengumpat di dalam sana. Gemericik air juga suara tangis Helena membangunkan Bastian yang baru saja tidur sejak dua jam yang lalu. Ia beranjak dari tempat tidur, lalu mengetuk pintu kamar mandi, memastikan kalau Helena baik-baik saja dia dalam. Namun yang di panggil tak menyahut hanya raungan tangisan yang semakin kencang, membuat Bastian semakin khawatir. "Helena. Kamu gak apa-apa kan?"
Sejurus kemudian, Helena mendorong Bastian sampai jatuh ke lantai. "Apa-apaan ini?" ucapnya tanpa merubah posisi, mengangkat kedua kakinya ke atas. "Turunkan kaki anda, Tuan! Anda seperti mau melahirkan," Ha.. ha.. ha.. dia tertawa lepas sambil menutup mulutnya dengan tangan, melihat posisi jatuh suaminya yang lucu, membuat Helena sulit berhenti tertawa. "Berhenti tertawa, atau saya akan menerkam kamu lebih ganas dari semalam." Uuh.. itu sangat mengerikan. Luka bekas semalam saja belum sembuh, bagaimana rasanya senjata Bastian yang berukuran 14,5cm itu kembali masuk ke dalam lubang sempit miliknya? Helena langsung merapatkan kakinya naik ke atas, juga kedua tangan yang ia letakan di atas pangkuan. "Awas saja kalau anda berani!" kata Helena memperingatkan. "Gak jamin ya. Saya kan bisa lakuin kapan aja. Bahkan tanpa sepengetahuan kamu," senyumnya menyeringai. Helena melempari Bastian dengan bantal yang sedang ia pegang. "Pergi! S
Sinar matahari yang masuk melalui kaca jendela kamar, mulai menerpa wajah cantik Helena yang sedang tertidur pulas di samping suaminya, Bastain. Ia mengerjap terbangun, mengucak matanya untuk memastikan sosok yang ada di sebelahnya sedang melingkarkan tangan ke atas perutnya. Begitu sadar kalau pria yang ada di sebelahnya adalah Bastian, Helena langsung beranjak dari tempat tidur sambil tertatih-tatih menjauh menahan rasa sakit di sana. "Apa ini? kenapa sangat perih?" Ia terus merangkak menuju kamar mandi, karna tak ada pilihan lagi selain pergi mengumpat di dalam sana. Gemericik air juga suara tangis Helena membangunkan Bastian yang baru saja tidur sejak dua jam yang lalu. Ia beranjak dari tempat tidur, lalu mengetuk pintu kamar mandi, memastikan kalau Helena baik-baik saja dia dalam. Namun yang di panggil tak menyahut hanya raungan tangisan yang semakin kencang, membuat Bastian semakin khawatir. "Helena. Kamu gak apa-apa kan?"
Hidup satu atap dengan seorang Haidar Bastian buka lah perkara yang mudah. Lihat saja, walaupun sudah memutuskan untuk berteman sejak tadi sore, Bastian tetap tidak mengizinkan Helena tidur di atas ranjang bersama dengan dirinya. Padahal kasur itu memiliki ukuran yang sangat luas. Jangankan dua orang, tiga sampai empat sekalipun masih cukup. Helena yang terus mendapat penolakan, akhirnya pasrah dengan kenyataan kalau malam ini dan seterusnya, tidak akan pernah bisa tidur di tas ranjang. Buka karna mau dekat dengan suaminya. tapi sungguh, semahal apapun sofa, tetap lebih nyaman tidur di atas kasur. Apa lagi kasur itu bernilai fantastis. 200juta? wow. sungguh penasaran dengan kenyamananya. pasti sangat nyaman. "Fix. Dia itu sangat pelit," berucap sambil membetulkan bantal di atas sofa. Hanya bantal, tidak ada selimut. Padahal AC di kamar itu terasa sangat dingin. Bagaimana tidak, ruangan itu bersuhu 16°c? Dia benar-benar gila. "Kita berteman satu kamar, t
Helena terkejut dengan kedatangan Bastian yang tiba-tiba. Alasan yang sudah tersusun rapih di dalam otak, hilang menguap begitu saja bersamaan dengan munculnya sosok pria yang menurutnya memiliki kepribadian ganda."Tuan, bisa gak sih ketuk pintu dulu sebelum masuk?""Siapa pria yang kamu bilang memiliki kepribadian ganda itu?" membalas pertanyaan Helena dengan pertanyaan lagi. Ia masuk menghampiri sang istri yang tengah duduk di depan cermin rias, lalu meletakan kedua tangannya di atas meja, seolah sedang memeluknya dari belakang.Tak ingin luka di dahinya terekspos, Helena memalingkan wajahya menatap ke arah lain. Tapi sayang, mata elang pria arogan itu keburu menangkap sesuatu yang berusaha ia tutupi."Ada apa dengan wajah mu?" tanya Bastian saat luka di keningnya terlihat jelas di depan mata."Tidak ada," jawabnya singkat."Hei..." sedikit kasar Bastian menarik dagu Helena, memintanya untuk menatap lurus ke depan, lalu ia menyibakan poni
Terlalu asik memilah-milah jenis mainan yang akan di beli, Mark sampai tidak menyadari kalau sudah hampir lima belas menit Helena tidak ada di sana. Ia disibukan oleh Stela yang keinginannya terus berubah saat melihat jenis mainan yang berbeda. Karna lelah, ia pun memilih duduk dan membiarkan Stela megaduk-aduk semua mainan yang sudah diturunkan si abang penjual itu. Merasa haus, saat akan meminta izin pada Helena untuk membeli minum, ia baru menyadari kalau Helena tidak ada di sana. "Kemana dia?" Mark mengeluarkan benda pipih berwarna hitam dari saku jasnya, lalu menghubungi Helena dalam sambungan telepon. "Tuut. "Tuut. Beberapa kali mencoba, akhirnya Helena merespon panggilan dari Mark. "Nyonya, anda di mana?" tanya Mark sambil memperhatiakan Stela masih asik memilah-milah mainan. "Kak.." suara Helena terdengar seperti merintih kesakitan. "Ada apa dengan anda, Nyonya?" Wajah Mark berubah panik. "Aku di
"Berani kamu mengancam saya?"Tangannya mencengkram kuat rahang Helena, dia salah menduga, ternyata apa yang dikatakan kakaknya adalah benar, dia kejam."Lepaskan saya Tuan!"Kedua tangan Helena berusaha melepaskan tangan Bastian yang malah semakin mengeratkan cengkramannya."Melepaskan mu? jangan harap saya akan melepaskan mu, gadis culun.""Saya ada janji dengan keponakan anda," kata Helena dengan susah payah."Saya tidak perduli. Itu janji kamu dengan Stela.""Lepaskan saya, saya mohon! sakit," wajahnya benar-benar terlihat kesakitan.Bastian memang melepaskannya, tapi sangat kasar ia menghempaskan tubuh Helena ke atas ranjang. Ia memegangi rahangnya yang terasa sakit."Jangan coba-coba bermain dengan ku! apa lagi mengancam ku," setalahnya ia pun keluar dari kamar, meninggalkan Helena dalam kesakitan."Dasar gila," sungutnya memaki, melempar pintu dengan bantal."Pria berwajah dua. Bersikap manis seperti
Siapa lah Bstian? dia hanya manusia biasa, dia sama dengan pria lain, pria normal yang pasti akan ter***sang saat melihat tubuh mulus tanpa busana di depan mata. "Dan itu milik ku, dia istri ku, seharusnya semalam aku menikmati tubuhnya, tapi apa? kenapa aku harus susah payah mencari kenikmatan di luar sana? Sial, dia membuat ku gila." Ia terus menenggelamkan diri lebih lama di dalam Bathtub, berharap isi kepalanya yang terus mengingat tubuh Helena cepat menghilang. Padahal, setelah kejadian semalam, Bastian pergi ke sebuah Club malam menemui seorang wanita hanya untuk menyalurkan hasratnya saja. Tapi rasanya itu tidak cukup. Dia tetap menginginkan tubuh Helena. tubuh yang ia lihat mulus tanpa noda itu benar-benar sangat mengganggu pikirannya. Saat ini jarum jam berada tepat di angka tujuh. Kini matahari mulai menampakan cahayanya, menyeruak masuk ke dalam melalui celah-celah jendela kamar yang tidak tertutup rapat. Helena menggeliat, mengerja
Rasanya sangat melelahkan, berada di dalam pesta orang kaya, menurutnya sangat membosankan, karna yang di bahas di sana tidak jauh seputar bisnis, dan bisnis. Walaupun pesta masih berlangsung dengan meriah, Helena meminta Bastian untuk pulang ke aprtemen, beruntunglah ia setuju, karna ia juga merasakan hal yang sama dengannya."Mau ke mana?" tanya Bu Rossa saat Bastian dan Helena hendak pergi."Pulang Mah," saut Bastian.Mendengar kata pulang, Bu Rossa pun ikut berdiri, "Pulang ke rumah mamah ya!" pintanya."Nggak," Bastian langsung menolaknya, "Aku mau pulang ke apartemen. Aku mau istirahat.""Di rumah mamah juga kan bisa istirahat. lagian mamah pengen deket sama menantu mamah, kita kan baru ngobrol beberapa kali aja, iya kan? Mamah janji deh gak akan ganggu privasi kalian."Bastian diam tak menjawab, namun Bu Rossa terus memaksa, hingga akhirnya ia mengiyakan keinginan mamanya. Karna melarangnyapun tidak ada gunanya.Dua puluh menit
Tepat pukul duabelas siang, Bastian dan Helena kembali ke Hotel tempat mereka menginap. Bisa di hitung berapa lama mereka menghabiskan waktu berdua hari ini? masih dalam hitungan jari. Rasanya sangat mustahil kalau dengan waktu sesingkat itu akan tumbuh benih-benih cinta di hati mereka. Jangankan cinta, rasa kasihan pun sepertinya tidak ada. Bastian bahkan tidak perduli saat Helena kesulitan membawa banyaknya kantung belanjaan."Menyebalkan," Ia bejalan di belakang Bastin sambil menghentakan kakinya karna kesal.Namun, ada sedikit kejadian yang cukup menggelitik, saat Bastian bertemu temanya di dalam lift tadi, membuat bibir Helena kembali melengkung membentuk simpul, saat Kantung belanjaan yang dibawanya, langsung diambil alih oleh Bastain."Aku kan udah bilang, biar aku yang bawa, sayang..." ucap Bastian penuh kepalsuan.Awalnya Helena cukup terkejut dengan perubahan sikap suaminya yang tiba-tiba, namun dalam hitungan persekiandetik, Helena langsung tau