Terlalu asik memilah-milah jenis mainan yang akan di beli, Mark sampai tidak menyadari kalau sudah hampir lima belas menit Helena tidak ada di sana. Ia disibukan oleh Stela yang keinginannya terus berubah saat melihat jenis mainan yang berbeda. Karna lelah, ia pun memilih duduk dan membiarkan Stela megaduk-aduk semua mainan yang sudah diturunkan si abang penjual itu.
Merasa haus, saat akan meminta izin pada Helena untuk membeli minum, ia baru menyadari kalau Helena tidak ada di sana.
"Kemana dia?"
Mark mengeluarkan benda pipih berwarna hitam dari saku jasnya, lalu menghubungi Helena dalam sambungan telepon.
"Tuut.
"Tuut.
Beberapa kali mencoba, akhirnya Helena merespon panggilan dari Mark.
"Nyonya, anda di mana?" tanya Mark sambil memperhatiakan Stela masih asik memilah-milah mainan.
"Kak.." suara Helena terdengar seperti merintih kesakitan.
"Ada apa dengan anda, Nyonya?" Wajah Mark berubah panik.
"Aku di mobil. Udah selesai beli mainannya?"
"Om, aku mau yang ini?" ucap Stela sambil mengacungkan satu mainan sejenis lego berlogo Barby dengan rambut panjang menjuntai ke bawah menara.
Stela sudah mendapatkan mainan yang ia suka. Setelah melakukan pembayaran, dengan susah payah Mark langsung menggendong Stela lalu membawanya keluar dari pasar, dengan menerobos ribuan manusia yang memadati.
Ia berlari sangat cepat, bahkan ia hampir tertabrak saat menyebrang jalan karna tidak menoleh kanan dan kiri. Stela pun sampai mengeratkan pelukannya agar tidak jatuh karna Mark benar-benar berlari sangat cepat. Begitu sampai di sana, wajah Mark semakin panik saat melihat gadis berusia 20 tahun itu terduduk lemah di samping mobil.
"Nyonya...?"
Mark menurunkan Stela dari gendongannya, lalu membawa kepala helena ke dalam dekapannya.
"Nyonya, apa yang terjadi?"
"Kak.." suara Helena semakin lirih, tubuhnya semakin lemah, tatapan matanya pun menjadi kosong, membuat kepanikan Mark semakin menjadi.
"Om, Kakak kenapa?" tanya Stela yang juga ikut ketakutan.
"Stela bantu Om bukakan pintu!" titahnya pada Stela. Beruntung anak kecil itu cepat tanggap, ia membuka pintu jok belakang, lalu Mark membawa Helena masuk ke dalam, dan merebahkan Helena di jok penumpang. Sedangkan Stela kali ini duduk di samping kemudi sambil memeluk mainan yang ia beli tadi.
Tanpa berfikir panjang lagi, Mark langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumahsakit terdekat
Sepanjang perjalanan ia memikirkan kondisi Helena yang semakin lemah. Ia juga melihat darah segar mengalir di pelipis matanya. Bisa dipastikan kalau Helena tengah terluka karna benturan benda tumpul. Bukan cuma itu, ia bahkan melihat Helena meremas perutnya menahan sakit. Entahlah ada apa dengan perut gadia itu, yang ada di pikirannya saat ini adalah membawa Helena ke rumah sakit.
Begitu sampai di rumah sakit, ia langsung dilarikan ke ruang UGD untuk penanganan awal. Karna ia datang bersama gadis dibawah umur, suster yang berjaga di sana, melarang Mark masuk ke dalam, dan akhirnya ia bersama Stela menunggu di ruang tunggu, sementara Helena berada di dalam, dalam penangana dokter.
"Om, tante kenapa?" tanya Stela pada Mark yang duduk di sebelahnya. Mark terus diam sambil memijat-mijat keningnya, seraya berfikir.
"Apa yang akan aku katakan pada tuan? Aku tau dia tidak mencintai gadis ini. Tapi, apa itu bisa menjamin kalau Tuan tidak marah?"
Mark terus bergelut dengan pikirannya, sampai tidak sadar kalau Stela sudah mengajukan pertanyaan berkali-kali sampai kesal.
"Om, denger gak sih?" Bibir anak kecil itu mengerucut kesal.
"Maaf, maaf. Stela tadi tanya apa?"
"Tante Helena kenapa?" Stela kembali mengulang pertanyaannya.
"Om gak tau, mungkin tante kecapean."
Stela diam setelah Mark menjawab pertanyaannya. Kurang dari dua puluh menit mereka menunggu, akhirnya dokter yang menangani Helena keluar dari ruangan.
Mark langsung berdiri menghampiri dokter itu sambil menggandeng tangan Stela, "Dok, bagaimana keadaan pasien?" tanyanya khawatir.
"Gak apa-apa. Lukanya masih tergolong ringan, dan sakit di perutnya mungkin karna dia sedang datang bulan." kata Dokter itu coba menjelaskan.
"Ringan?" Mark mengerutkan keningnya.
"Kalau ringan, kenapa dia sampai pingsan? apa datang bulan membuat dia sampai hilang kesadaran, dan apa datang bulan semenyakitkan itu? lalu bagaimana dengan keningnya yang berdarah, apa masih bisa dikatakan tingan?" Mark mengajukan pertanyaan berkali-kali, bahkan pertanyaan pertama saja belum mendapat jawaban.
"Tenang anak muda. Luka di dahinya hanya sedikit, hanya membutuhkan tiga jahitan. Dan yang membuat dia pingsan bersumber dari kram di perutnya. Itu biasa terjadi pada wanita yang sedang datang bulan." Dokter itu menjelaskan secara garis besarnya, supaya mudah di pahami oleh Mark yang terlalu panik.
Mark mengangguk paham, " Baiklah. Kalau begitu boleh saya menemuinya?"
"Silahkan. Dia bahkan bisa dibawa pulang kalau air infusannya sudah habis.
"Baik Dok."
Setelah dokter itu pergi, Mark dan Stela masuk ke dalam melihat kondisi Helena yang masih terbaring di tas ranjang besi khas rumahsakit.
Saat berada di dalam, Mark melihat Helena berbaring menatap kosong langit-langit rumahsakit dengan infus d tangan kanan yang sudah hampir habis. Dia bahkan tidak menyadari kalau saat ini Mark sudah berdiri di sampingnya.
"Nyonya...!" suara Mark menyadarkan gadis itu dari lamunannya.
"I...iya Kak?" sautnya tergugup. Gugup karna belum punya alasan yang tepat kalau Mark bertanya penyebab kenapa dirinya sampai bisa ada dalam kondisi seperti ini.
"Apa yang terjadi, Nyonya?"
Benar kan? dia pasti menanyakan hal itu, Helena kembali gugup, entah apa yang akan dia katakan, alasan apa yang tepat untuk menjawab pertanyaan Mark? Mark bukan orang biasa, dia pria kepercayaan Bastian, dan seorang Bastian tidak mungkin memilih Mark sebagai asisten pribadinyan, kalau Mark tidak memiliki sesuatu yang special.
"Nyonya, katakan apa yang terjadi? mungkin saya bisa membantu anda?" ucapnya lagi.
"Kalau mau bantu, tolong bilang sama suster untuk mencabut jarum infus! karna aku mau pulang," ucapnya mengalihkan pembicaraan.
"Tunggu sebentar, Nyonya. Infusannya belum habis, dokter membolehkan anda pulang, kalau sudah habis satu kantung air infus."
"Tapi aku sudah merasa baikan. Ayolah, aku mau pulang, aku mau istirahat sebelum Bastian sampai dirumah. kakak tau kan, kalau ada dia bagaimana? aku gak bakal bisa istirahat," pintanya sedikit memaksa.
Mark sangat tau bagaimana sifat tuannya, dan yang dikatakan Helena benar. Karna kasihan, akhirnya Mark menuruti keinginannya untuk cepat pulang, bahkan air infusan belum sempat habis.
Mark melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia mengejar waktu sampai di rumah lebih dulu sebelum Bastian. Helena yang terlihat masih lemas, duduk bersandar menatap ke depan dengan tatapan kosong, sama seperti tadi saat di rumahsakit. Sedang Stela tertidur di jok penumpang karna kelelahan.
Begitu sampai dirumah, Helena langsung masuk ke dalam kamar tanpa menjawab pertanyaan Mark yang lagi-lagi ia lontarkan saat keluar dari mobil. Sedang Stela langsung bermain bersama pengasuhnya di halamam belakang.
"Apa yang terjadi dengan dirinya? apa dia menyembunyikan sesuatu?"
Mark menatap kebingungan, melihat Helena menaiki anak tangga dengan langkah gontainya, juga tangan yang terus meremas perutnya yang masih terasa sakit, walaupun tidak sesakit seperti pertama.
Beruntung rumah dalam kedaan sepi, Helena tidak perlu memberi penjelasan apapun pada siapapun perihal kondisi dirinya saat ini.
Sampai di dalam kamar, Helena langsung membersihkan diri, lalu mengoles luka di pelipis matanya dengan salep yang diresepkan oleh dokter saat pulang. Ia membiarka lukanya terbuka agar lebih cepat kering.
"Untung aja pria dengan kepribadian ganda itu belum pulang. Kalau pulang, habis aku."
"Jglek.."
"Siapa pria yang kamu sebut berkepribadian ganda itu?"
"Tuan...?"
Helena terkejut dengan kedatangan Bastian yang tiba-tiba. Alasan yang sudah tersusun rapih di dalam otak, hilang menguap begitu saja bersamaan dengan munculnya sosok pria yang menurutnya memiliki kepribadian ganda."Tuan, bisa gak sih ketuk pintu dulu sebelum masuk?""Siapa pria yang kamu bilang memiliki kepribadian ganda itu?" membalas pertanyaan Helena dengan pertanyaan lagi. Ia masuk menghampiri sang istri yang tengah duduk di depan cermin rias, lalu meletakan kedua tangannya di atas meja, seolah sedang memeluknya dari belakang.Tak ingin luka di dahinya terekspos, Helena memalingkan wajahya menatap ke arah lain. Tapi sayang, mata elang pria arogan itu keburu menangkap sesuatu yang berusaha ia tutupi."Ada apa dengan wajah mu?" tanya Bastian saat luka di keningnya terlihat jelas di depan mata."Tidak ada," jawabnya singkat."Hei..." sedikit kasar Bastian menarik dagu Helena, memintanya untuk menatap lurus ke depan, lalu ia menyibakan poni
Hidup satu atap dengan seorang Haidar Bastian buka lah perkara yang mudah. Lihat saja, walaupun sudah memutuskan untuk berteman sejak tadi sore, Bastian tetap tidak mengizinkan Helena tidur di atas ranjang bersama dengan dirinya. Padahal kasur itu memiliki ukuran yang sangat luas. Jangankan dua orang, tiga sampai empat sekalipun masih cukup. Helena yang terus mendapat penolakan, akhirnya pasrah dengan kenyataan kalau malam ini dan seterusnya, tidak akan pernah bisa tidur di tas ranjang. Buka karna mau dekat dengan suaminya. tapi sungguh, semahal apapun sofa, tetap lebih nyaman tidur di atas kasur. Apa lagi kasur itu bernilai fantastis. 200juta? wow. sungguh penasaran dengan kenyamananya. pasti sangat nyaman. "Fix. Dia itu sangat pelit," berucap sambil membetulkan bantal di atas sofa. Hanya bantal, tidak ada selimut. Padahal AC di kamar itu terasa sangat dingin. Bagaimana tidak, ruangan itu bersuhu 16°c? Dia benar-benar gila. "Kita berteman satu kamar, t
Sinar matahari yang masuk melalui kaca jendela kamar, mulai menerpa wajah cantik Helena yang sedang tertidur pulas di samping suaminya, Bastain. Ia mengerjap terbangun, mengucak matanya untuk memastikan sosok yang ada di sebelahnya sedang melingkarkan tangan ke atas perutnya. Begitu sadar kalau pria yang ada di sebelahnya adalah Bastian, Helena langsung beranjak dari tempat tidur sambil tertatih-tatih menjauh menahan rasa sakit di sana. "Apa ini? kenapa sangat perih?" Ia terus merangkak menuju kamar mandi, karna tak ada pilihan lagi selain pergi mengumpat di dalam sana. Gemericik air juga suara tangis Helena membangunkan Bastian yang baru saja tidur sejak dua jam yang lalu. Ia beranjak dari tempat tidur, lalu mengetuk pintu kamar mandi, memastikan kalau Helena baik-baik saja dia dalam. Namun yang di panggil tak menyahut hanya raungan tangisan yang semakin kencang, membuat Bastian semakin khawatir. "Helena. Kamu gak apa-apa kan?"
Sejurus kemudian, Helena mendorong Bastian sampai jatuh ke lantai. "Apa-apaan ini?" ucapnya tanpa merubah posisi, mengangkat kedua kakinya ke atas. "Turunkan kaki anda, Tuan! Anda seperti mau melahirkan," Ha.. ha.. ha.. dia tertawa lepas sambil menutup mulutnya dengan tangan, melihat posisi jatuh suaminya yang lucu, membuat Helena sulit berhenti tertawa. "Berhenti tertawa, atau saya akan menerkam kamu lebih ganas dari semalam." Uuh.. itu sangat mengerikan. Luka bekas semalam saja belum sembuh, bagaimana rasanya senjata Bastian yang berukuran 14,5cm itu kembali masuk ke dalam lubang sempit miliknya? Helena langsung merapatkan kakinya naik ke atas, juga kedua tangan yang ia letakan di atas pangkuan. "Awas saja kalau anda berani!" kata Helena memperingatkan. "Gak jamin ya. Saya kan bisa lakuin kapan aja. Bahkan tanpa sepengetahuan kamu," senyumnya menyeringai. Helena melempari Bastian dengan bantal yang sedang ia pegang. "Pergi! S
Pernikahan. Adalah sesuatu hal yang sangat sakral dan sangat di harapkan oleh dua insan yang saling mencinta. Suatu pembuktian atas nama cinta yang disatukan oleh sebuah ikatan yang bernama PERNIKAHAN. Haidar Bastian dan Helena Quirin baru saja melangsungkan pernikahan super megah di salah satu Hotel ternama kota Jakarta. "Culun, bagaimanapun dia tetap culun dan jelek," gumam pengantin pria. Tak sedikitpun dia memuji kecantikan Helena yang berdiri tegap di sampingnya. Kecantikan yang terpancar sangat natural. Ia terlihat sangat anggun dengan mengenakan gaun berwarna putih yang menjuntai panjang, dengan seikat bunga mawar putih di genggaman, menambah kadar kecantikan Helena mendekati kata sempurna. "Kamu beruntung mendapatkan gadis secantik dia, Bastian," kata salah satu tamu undangan yang terkagum-kagum. "Sangat beruntung," Bastian merangkul Helena sangat kasar, hingga ia meringis kesakitan namun ia tahan karna tak ingin pernikahan paksanya diketahui banyak orang. "Kalau aku bero
Pagi hari. Sinar matahari menyeruak masuk menembus kaca. Menyinari wajah bening Helena yang cantik natural tanpa riasan seperti semalam.Tenang... tidak menyangka kalau tidurnya akan setenang ini. Ia bahkan tersenyum walau mata masih terpejam, mungkin saat ini ia sedang bermimpi, mimpi indah menghabiskan malam pertama dengan pria yang ia cintai. Cinta yang mungkin tak sempat tersampaikan.Dia terus tersenyum manis, terlarut dalam mimpi indahnya. Tapi sayang mimpi indah Helena tak berlangsung lama. Ia mengerjap terbangun saat mendengar suara bel di depan pintu kamar berbunyi berkali-kali. Ia pun bangkit dari tidurnya, melihat Bastian masih betah berkulum di bawah selimut. Helena tak berani membukakan pintu. Ia teringat akan pesan Bastian semalam."Jangan sembarangan membuka pintu! kamu belum mengenal semua anggota keluarga saya," ujarnya.Patuh. Ia memilih merapihkan selimut dan bantal bekas ia pakai. Tapi seseorang di luar sana terus menekan Bel tanpa hen
Tepat pukul duabelas siang, Bastian dan Helena kembali ke Hotel tempat mereka menginap. Bisa di hitung berapa lama mereka menghabiskan waktu berdua hari ini? masih dalam hitungan jari. Rasanya sangat mustahil kalau dengan waktu sesingkat itu akan tumbuh benih-benih cinta di hati mereka. Jangankan cinta, rasa kasihan pun sepertinya tidak ada. Bastian bahkan tidak perduli saat Helena kesulitan membawa banyaknya kantung belanjaan."Menyebalkan," Ia bejalan di belakang Bastin sambil menghentakan kakinya karna kesal.Namun, ada sedikit kejadian yang cukup menggelitik, saat Bastian bertemu temanya di dalam lift tadi, membuat bibir Helena kembali melengkung membentuk simpul, saat Kantung belanjaan yang dibawanya, langsung diambil alih oleh Bastain."Aku kan udah bilang, biar aku yang bawa, sayang..." ucap Bastian penuh kepalsuan.Awalnya Helena cukup terkejut dengan perubahan sikap suaminya yang tiba-tiba, namun dalam hitungan persekiandetik, Helena langsung tau
Rasanya sangat melelahkan, berada di dalam pesta orang kaya, menurutnya sangat membosankan, karna yang di bahas di sana tidak jauh seputar bisnis, dan bisnis. Walaupun pesta masih berlangsung dengan meriah, Helena meminta Bastian untuk pulang ke aprtemen, beruntunglah ia setuju, karna ia juga merasakan hal yang sama dengannya."Mau ke mana?" tanya Bu Rossa saat Bastian dan Helena hendak pergi."Pulang Mah," saut Bastian.Mendengar kata pulang, Bu Rossa pun ikut berdiri, "Pulang ke rumah mamah ya!" pintanya."Nggak," Bastian langsung menolaknya, "Aku mau pulang ke apartemen. Aku mau istirahat.""Di rumah mamah juga kan bisa istirahat. lagian mamah pengen deket sama menantu mamah, kita kan baru ngobrol beberapa kali aja, iya kan? Mamah janji deh gak akan ganggu privasi kalian."Bastian diam tak menjawab, namun Bu Rossa terus memaksa, hingga akhirnya ia mengiyakan keinginan mamanya. Karna melarangnyapun tidak ada gunanya.Dua puluh menit
Sejurus kemudian, Helena mendorong Bastian sampai jatuh ke lantai. "Apa-apaan ini?" ucapnya tanpa merubah posisi, mengangkat kedua kakinya ke atas. "Turunkan kaki anda, Tuan! Anda seperti mau melahirkan," Ha.. ha.. ha.. dia tertawa lepas sambil menutup mulutnya dengan tangan, melihat posisi jatuh suaminya yang lucu, membuat Helena sulit berhenti tertawa. "Berhenti tertawa, atau saya akan menerkam kamu lebih ganas dari semalam." Uuh.. itu sangat mengerikan. Luka bekas semalam saja belum sembuh, bagaimana rasanya senjata Bastian yang berukuran 14,5cm itu kembali masuk ke dalam lubang sempit miliknya? Helena langsung merapatkan kakinya naik ke atas, juga kedua tangan yang ia letakan di atas pangkuan. "Awas saja kalau anda berani!" kata Helena memperingatkan. "Gak jamin ya. Saya kan bisa lakuin kapan aja. Bahkan tanpa sepengetahuan kamu," senyumnya menyeringai. Helena melempari Bastian dengan bantal yang sedang ia pegang. "Pergi! S
Sinar matahari yang masuk melalui kaca jendela kamar, mulai menerpa wajah cantik Helena yang sedang tertidur pulas di samping suaminya, Bastain. Ia mengerjap terbangun, mengucak matanya untuk memastikan sosok yang ada di sebelahnya sedang melingkarkan tangan ke atas perutnya. Begitu sadar kalau pria yang ada di sebelahnya adalah Bastian, Helena langsung beranjak dari tempat tidur sambil tertatih-tatih menjauh menahan rasa sakit di sana. "Apa ini? kenapa sangat perih?" Ia terus merangkak menuju kamar mandi, karna tak ada pilihan lagi selain pergi mengumpat di dalam sana. Gemericik air juga suara tangis Helena membangunkan Bastian yang baru saja tidur sejak dua jam yang lalu. Ia beranjak dari tempat tidur, lalu mengetuk pintu kamar mandi, memastikan kalau Helena baik-baik saja dia dalam. Namun yang di panggil tak menyahut hanya raungan tangisan yang semakin kencang, membuat Bastian semakin khawatir. "Helena. Kamu gak apa-apa kan?"
Hidup satu atap dengan seorang Haidar Bastian buka lah perkara yang mudah. Lihat saja, walaupun sudah memutuskan untuk berteman sejak tadi sore, Bastian tetap tidak mengizinkan Helena tidur di atas ranjang bersama dengan dirinya. Padahal kasur itu memiliki ukuran yang sangat luas. Jangankan dua orang, tiga sampai empat sekalipun masih cukup. Helena yang terus mendapat penolakan, akhirnya pasrah dengan kenyataan kalau malam ini dan seterusnya, tidak akan pernah bisa tidur di tas ranjang. Buka karna mau dekat dengan suaminya. tapi sungguh, semahal apapun sofa, tetap lebih nyaman tidur di atas kasur. Apa lagi kasur itu bernilai fantastis. 200juta? wow. sungguh penasaran dengan kenyamananya. pasti sangat nyaman. "Fix. Dia itu sangat pelit," berucap sambil membetulkan bantal di atas sofa. Hanya bantal, tidak ada selimut. Padahal AC di kamar itu terasa sangat dingin. Bagaimana tidak, ruangan itu bersuhu 16°c? Dia benar-benar gila. "Kita berteman satu kamar, t
Helena terkejut dengan kedatangan Bastian yang tiba-tiba. Alasan yang sudah tersusun rapih di dalam otak, hilang menguap begitu saja bersamaan dengan munculnya sosok pria yang menurutnya memiliki kepribadian ganda."Tuan, bisa gak sih ketuk pintu dulu sebelum masuk?""Siapa pria yang kamu bilang memiliki kepribadian ganda itu?" membalas pertanyaan Helena dengan pertanyaan lagi. Ia masuk menghampiri sang istri yang tengah duduk di depan cermin rias, lalu meletakan kedua tangannya di atas meja, seolah sedang memeluknya dari belakang.Tak ingin luka di dahinya terekspos, Helena memalingkan wajahya menatap ke arah lain. Tapi sayang, mata elang pria arogan itu keburu menangkap sesuatu yang berusaha ia tutupi."Ada apa dengan wajah mu?" tanya Bastian saat luka di keningnya terlihat jelas di depan mata."Tidak ada," jawabnya singkat."Hei..." sedikit kasar Bastian menarik dagu Helena, memintanya untuk menatap lurus ke depan, lalu ia menyibakan poni
Terlalu asik memilah-milah jenis mainan yang akan di beli, Mark sampai tidak menyadari kalau sudah hampir lima belas menit Helena tidak ada di sana. Ia disibukan oleh Stela yang keinginannya terus berubah saat melihat jenis mainan yang berbeda. Karna lelah, ia pun memilih duduk dan membiarkan Stela megaduk-aduk semua mainan yang sudah diturunkan si abang penjual itu. Merasa haus, saat akan meminta izin pada Helena untuk membeli minum, ia baru menyadari kalau Helena tidak ada di sana. "Kemana dia?" Mark mengeluarkan benda pipih berwarna hitam dari saku jasnya, lalu menghubungi Helena dalam sambungan telepon. "Tuut. "Tuut. Beberapa kali mencoba, akhirnya Helena merespon panggilan dari Mark. "Nyonya, anda di mana?" tanya Mark sambil memperhatiakan Stela masih asik memilah-milah mainan. "Kak.." suara Helena terdengar seperti merintih kesakitan. "Ada apa dengan anda, Nyonya?" Wajah Mark berubah panik. "Aku di
"Berani kamu mengancam saya?"Tangannya mencengkram kuat rahang Helena, dia salah menduga, ternyata apa yang dikatakan kakaknya adalah benar, dia kejam."Lepaskan saya Tuan!"Kedua tangan Helena berusaha melepaskan tangan Bastian yang malah semakin mengeratkan cengkramannya."Melepaskan mu? jangan harap saya akan melepaskan mu, gadis culun.""Saya ada janji dengan keponakan anda," kata Helena dengan susah payah."Saya tidak perduli. Itu janji kamu dengan Stela.""Lepaskan saya, saya mohon! sakit," wajahnya benar-benar terlihat kesakitan.Bastian memang melepaskannya, tapi sangat kasar ia menghempaskan tubuh Helena ke atas ranjang. Ia memegangi rahangnya yang terasa sakit."Jangan coba-coba bermain dengan ku! apa lagi mengancam ku," setalahnya ia pun keluar dari kamar, meninggalkan Helena dalam kesakitan."Dasar gila," sungutnya memaki, melempar pintu dengan bantal."Pria berwajah dua. Bersikap manis seperti
Siapa lah Bstian? dia hanya manusia biasa, dia sama dengan pria lain, pria normal yang pasti akan ter***sang saat melihat tubuh mulus tanpa busana di depan mata. "Dan itu milik ku, dia istri ku, seharusnya semalam aku menikmati tubuhnya, tapi apa? kenapa aku harus susah payah mencari kenikmatan di luar sana? Sial, dia membuat ku gila." Ia terus menenggelamkan diri lebih lama di dalam Bathtub, berharap isi kepalanya yang terus mengingat tubuh Helena cepat menghilang. Padahal, setelah kejadian semalam, Bastian pergi ke sebuah Club malam menemui seorang wanita hanya untuk menyalurkan hasratnya saja. Tapi rasanya itu tidak cukup. Dia tetap menginginkan tubuh Helena. tubuh yang ia lihat mulus tanpa noda itu benar-benar sangat mengganggu pikirannya. Saat ini jarum jam berada tepat di angka tujuh. Kini matahari mulai menampakan cahayanya, menyeruak masuk ke dalam melalui celah-celah jendela kamar yang tidak tertutup rapat. Helena menggeliat, mengerja
Rasanya sangat melelahkan, berada di dalam pesta orang kaya, menurutnya sangat membosankan, karna yang di bahas di sana tidak jauh seputar bisnis, dan bisnis. Walaupun pesta masih berlangsung dengan meriah, Helena meminta Bastian untuk pulang ke aprtemen, beruntunglah ia setuju, karna ia juga merasakan hal yang sama dengannya."Mau ke mana?" tanya Bu Rossa saat Bastian dan Helena hendak pergi."Pulang Mah," saut Bastian.Mendengar kata pulang, Bu Rossa pun ikut berdiri, "Pulang ke rumah mamah ya!" pintanya."Nggak," Bastian langsung menolaknya, "Aku mau pulang ke apartemen. Aku mau istirahat.""Di rumah mamah juga kan bisa istirahat. lagian mamah pengen deket sama menantu mamah, kita kan baru ngobrol beberapa kali aja, iya kan? Mamah janji deh gak akan ganggu privasi kalian."Bastian diam tak menjawab, namun Bu Rossa terus memaksa, hingga akhirnya ia mengiyakan keinginan mamanya. Karna melarangnyapun tidak ada gunanya.Dua puluh menit
Tepat pukul duabelas siang, Bastian dan Helena kembali ke Hotel tempat mereka menginap. Bisa di hitung berapa lama mereka menghabiskan waktu berdua hari ini? masih dalam hitungan jari. Rasanya sangat mustahil kalau dengan waktu sesingkat itu akan tumbuh benih-benih cinta di hati mereka. Jangankan cinta, rasa kasihan pun sepertinya tidak ada. Bastian bahkan tidak perduli saat Helena kesulitan membawa banyaknya kantung belanjaan."Menyebalkan," Ia bejalan di belakang Bastin sambil menghentakan kakinya karna kesal.Namun, ada sedikit kejadian yang cukup menggelitik, saat Bastian bertemu temanya di dalam lift tadi, membuat bibir Helena kembali melengkung membentuk simpul, saat Kantung belanjaan yang dibawanya, langsung diambil alih oleh Bastain."Aku kan udah bilang, biar aku yang bawa, sayang..." ucap Bastian penuh kepalsuan.Awalnya Helena cukup terkejut dengan perubahan sikap suaminya yang tiba-tiba, namun dalam hitungan persekiandetik, Helena langsung tau