"Berani kamu mengancam saya?"
Tangannya mencengkram kuat rahang Helena, dia salah menduga, ternyata apa yang dikatakan kakaknya adalah benar, dia kejam.
"Lepaskan saya Tuan!"
Kedua tangan Helena berusaha melepaskan tangan Bastian yang malah semakin mengeratkan cengkramannya.
"Melepaskan mu? jangan harap saya akan melepaskan mu, gadis culun."
"Saya ada janji dengan keponakan anda," kata Helena dengan susah payah.
"Saya tidak perduli. Itu janji kamu dengan Stela."
"Lepaskan saya, saya mohon! sakit," wajahnya benar-benar terlihat kesakitan.
Bastian memang melepaskannya, tapi sangat kasar ia menghempaskan tubuh Helena ke atas ranjang. Ia memegangi rahangnya yang terasa sakit.
"Jangan coba-coba bermain dengan ku! apa lagi mengancam ku," setalahnya ia pun keluar dari kamar, meninggalkan Helena dalam kesakitan.
"Dasar gila," sungutnya memaki, melempar pintu dengan bantal.
"Pria berwajah dua. Bersikap manis seperti kucing lapar, padahal kamu buas seperti singa kelaparan. Gue benci sama lo," terus ia melempar makian penuh emosi.
"Kalau bukan karna papah yang minta, gue gak sudi nikah sama lo, Haidar bastian," ucapnya mengumpat dalam hati.
Bastian belum pergi, ia masih berdiri di depan pintu kamar. Dia berjaga-jaga di sana, khawatir saat Helena berteriak, ada sesorang yang melintas, dan mendengar teriakannya. Setelah dirasa aman, juga gadis di dalam kamar tidak lagi berteriak, ia pun pergi meninggalkan rumah menuju suatu tempat.
Tempat yang cukup jauh dari pusat kota Jakarta. Bastian membawa mobilnya memasuki suatu area, melewati gerbang yang memiliki panjang lebih dari sepuluh meter itu secara perlahan.
"Siang Bos," sapa salah satu Security yang sedang berjaga disana.
"Siang," mobilnya berhenti sebentar di depan pos Security.
"Kemana aja, Bos?" Security itu berdiri di sebelah mobil bastian, menyapanya ramah.
"Ada aja Pak. Gak kemana-mana," jawabnya juga ramah. Sikap Bastin dengan orang lain sangat berbeda saat ia bersama Helena. Dia bersikap manis, tapi dalam sekejap ia bisa berubah kasar.
"Saya ke dalam dulu ya pak."
"Silahkan, silahkan."
Bastian kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang cenderung pelan memasuki area pemakaman yang luasnya hampir 50 hektar itu, dengan pemandangan rumput hijau nan luas, membuat udara di sana sangat sejuk juga menenangkan.
SAN DIEGO HILLS.
Pemakaman super mewah yang terletak di kota Karawang, tempat dimana jasad kekasihnya di kebumikan.Bastian memarkirkan mobilnya di bahu jalan dekat dengan makam kekasihnya. Ia turun dari mobil sambil membawa seikat bunga lily putih lalu menaruhnya di atas batu nisan yang terukir indah nama wanitanya.
"Sayang, aku datang. Maaf aku baru mengunjungi mu."
"Aku datang untuk meminta maaf. Maaf karna sekarang aku sudah menikah," Bastian duduk di samping kuburan, sambil mengusap batu nisan seolah sedang mengusap wajah kekasihnya.
"Aku harap kamu tidak marah, sayang."
"Aku melakukan ini demi Samuel, karna dia ingin menikahi kekasihnya. Kamu tau kan dengan keyakinan keluarga ku? Samuel tidak bisa menikah, kalau aku tidak menikah lebih dulu."
Bastian mencium batu nisan, seolah sedang mencium kening sang kekasih.
"Aku mencintai mu. Bahkan sampai sekarang, aku masih sangat mencintai mu."
"Taman bunga Shibazakura yang kamu minta itu, masih bermekaran indah. Apa kamu ada di sana? di taman yang aku buat untuk mu?"
"Aku memelihara taman ini dengan sepenuh hati ku, tidak ada yang bisa masuk ke sana kecuali aku dan kamu. Aku yakin kamu menyukainya, sayang..."
Panjang lebar ia bicara di depan kuburan, seolah sedang bicara langsung pada kekasihnya. Udara yang sejuk juga pepohonan yang rindang, membuat Bastian betah berlama-lama di sana.
PASAR TUMPAH.
Nama asal-asalan saja. Tidak ada Pasar Tumpah. Helena hanya mengarang perihal pasar itu, hanya demi menghentikan tangis Stela tadi, dan memang usahanya berhasil. Yang jadi masalah sekarang, Stela menagih janji pada Helena perihal pasar itu.Masih dalam perjalanan, Helena bingung harus mengajak gadis kecil ini ke mana, Tanah Abang? pasar yang dipadati oleh lautan manusia? membayangknnya saja Helena merasa pusing, apa lagi benar-benar ada di sana.
"Kemana dong, Kak?" bertanya pada Mark yang tengah fokus pada jalanan. Ia melajukan mobil dengan kecepatan sedang.
"Saya gak tau Nyonya," jawabnya. Sekilas ia melirik ke arah Helena yang duduk tepat di sebelahnya, sedang Stela duduk di jok penumpang tengah asik mengobrol dengan boneka yang ia bawa.
"Mangkannya jangan ngarang cerita, Ditagih kan sekarang?" ucapnya sambil menyunggingkan senyum di sudut bibirnya.
"Ish.. Kakak nih."
"Bukannya bantu cari jalan keluar, malah nyalahin."
"Loh, iya kan? sekarang yang repot siapa coba?" ucapnya tanpa mengalihkan pandangan karna kondisi jalan yang ramai.
"Iya, iya."
Helena bersandar sambil menatap ke luar jendela seraya berfikir, "Kemana coba?" terus berfikir keras, sampai akhirnya ia melihat bangunan klasik bertuliskan MUSEUM SEJARAH JAKARTA. Bangunan bergaya kolonial dengan dominasi warna putih, memberi jalan keluar kemana Helena harus membawa Stela.
"Ini kota tua kan kak?" tanya Helena dengan mata berbinar.
Mark mengangguk, "Iya."
Di depan belok kanan, di sana ada pasar tumpah yang sebenarnya," kata Helena antusias.
Mark mengikuti perintah Helena, ia memarkirkan mobilnya di depan ruko yang tutup, karna tidak di sediakan parkiran di pasar tersebut. Terpaksa mereka harus berjalan cukup jauh, menuju tempat yang di maksud.
"Ini Pasar Tumpah itu Tante?" tanya Stela yang terlihat bingung saat melihat begitu ramainya pengunjung. Ini kali pertama Stela main ke pasar, di bawah terik matahari, juga polusi yang ikut memadati ribuan manusia di PASAR ASEMKA Yang ia sebut sebagai Pasar Tumpah.
"Iya, ini pasar Tumpah itu," ucapnya dengan senyum meyakinkan. Sedang Mark cuma bisa geleng-geleng kepala dengan ide konyol dari istri tuannya.
"Mau masuk? kita menjelajah di dalam. Banyak yang jual mainan juga loh."
Stela mendongakan kepalanya menatap wajah Helena yang terlihat sangat meyakinkan, yakin kalau ia akan sangat menyukai kalau sudah berada di dalam.
Stela mengangguk setuju, "Baiklah."
Merka menyebrangi jalan saling bergandengan tangan, bahkan Mark terlihat seperti suami Helena menjaganya dari rasa tidak aman.
Terus menyusuri kepadatan Pasar Asemka dengan berjalan pelan. Berkali-kali Stela mengutarakan rasa senangnya berada di sana, terutama karna banyaknya penjual mainan yang membuat Stela terus membeli beberapa mainan sesuai yang di inginkah
"Tante aku mau itu," pintanya sambil menunjuk pada salah satu mainan yang tersimpan di atas lemari si penjual.
"Kitchen set?" tanya Helen untuk memastikan.
"Iya, Tante..."
"Om yang ambilin ya," Mark masuk ke dalam untuk mengambil mainanan yang ditunjuk oleh Stela.
Sudah mendapatkan apa yang ia mau. Mereka kembali berjalan, menyusuri pasar dengan rianganya. Terlalu padat dengan pengunjung, tiba-tiba seseorang menarik tangan Helena, membawa ia ke sebuah gudang kosong yang letaknya tak jauh dari lokasi pasar.
"Brukk..." pria itu menghempaskan tubuh Helena hingga tersungkur ke lantai, bahkan pelipisnya membentur ujung meja yang tajam.
"Kak Gema?" Helena menatap ketakutan, bahkan ia tidak sadar kalau pelipisnya mengeluarkan darah segar.
"Apa yang lo lakuin di sini? khak..?" ucapnya membentak.
"Lo lupa apa tugas lo di rumah itu?"
"Cari berkas, bakar, hanguskan sampai tidak bersisa," terus Gema berkata dengan membentak. Tidak ada yang bisa Helena lakukan selain diam dan mendengar makian darinya.
Terlalu asik memilah-milah jenis mainan yang akan di beli, Mark sampai tidak menyadari kalau sudah hampir lima belas menit Helena tidak ada di sana. Ia disibukan oleh Stela yang keinginannya terus berubah saat melihat jenis mainan yang berbeda. Karna lelah, ia pun memilih duduk dan membiarkan Stela megaduk-aduk semua mainan yang sudah diturunkan si abang penjual itu. Merasa haus, saat akan meminta izin pada Helena untuk membeli minum, ia baru menyadari kalau Helena tidak ada di sana. "Kemana dia?" Mark mengeluarkan benda pipih berwarna hitam dari saku jasnya, lalu menghubungi Helena dalam sambungan telepon. "Tuut. "Tuut. Beberapa kali mencoba, akhirnya Helena merespon panggilan dari Mark. "Nyonya, anda di mana?" tanya Mark sambil memperhatiakan Stela masih asik memilah-milah mainan. "Kak.." suara Helena terdengar seperti merintih kesakitan. "Ada apa dengan anda, Nyonya?" Wajah Mark berubah panik. "Aku di
Helena terkejut dengan kedatangan Bastian yang tiba-tiba. Alasan yang sudah tersusun rapih di dalam otak, hilang menguap begitu saja bersamaan dengan munculnya sosok pria yang menurutnya memiliki kepribadian ganda."Tuan, bisa gak sih ketuk pintu dulu sebelum masuk?""Siapa pria yang kamu bilang memiliki kepribadian ganda itu?" membalas pertanyaan Helena dengan pertanyaan lagi. Ia masuk menghampiri sang istri yang tengah duduk di depan cermin rias, lalu meletakan kedua tangannya di atas meja, seolah sedang memeluknya dari belakang.Tak ingin luka di dahinya terekspos, Helena memalingkan wajahya menatap ke arah lain. Tapi sayang, mata elang pria arogan itu keburu menangkap sesuatu yang berusaha ia tutupi."Ada apa dengan wajah mu?" tanya Bastian saat luka di keningnya terlihat jelas di depan mata."Tidak ada," jawabnya singkat."Hei..." sedikit kasar Bastian menarik dagu Helena, memintanya untuk menatap lurus ke depan, lalu ia menyibakan poni
Hidup satu atap dengan seorang Haidar Bastian buka lah perkara yang mudah. Lihat saja, walaupun sudah memutuskan untuk berteman sejak tadi sore, Bastian tetap tidak mengizinkan Helena tidur di atas ranjang bersama dengan dirinya. Padahal kasur itu memiliki ukuran yang sangat luas. Jangankan dua orang, tiga sampai empat sekalipun masih cukup. Helena yang terus mendapat penolakan, akhirnya pasrah dengan kenyataan kalau malam ini dan seterusnya, tidak akan pernah bisa tidur di tas ranjang. Buka karna mau dekat dengan suaminya. tapi sungguh, semahal apapun sofa, tetap lebih nyaman tidur di atas kasur. Apa lagi kasur itu bernilai fantastis. 200juta? wow. sungguh penasaran dengan kenyamananya. pasti sangat nyaman. "Fix. Dia itu sangat pelit," berucap sambil membetulkan bantal di atas sofa. Hanya bantal, tidak ada selimut. Padahal AC di kamar itu terasa sangat dingin. Bagaimana tidak, ruangan itu bersuhu 16°c? Dia benar-benar gila. "Kita berteman satu kamar, t
Sinar matahari yang masuk melalui kaca jendela kamar, mulai menerpa wajah cantik Helena yang sedang tertidur pulas di samping suaminya, Bastain. Ia mengerjap terbangun, mengucak matanya untuk memastikan sosok yang ada di sebelahnya sedang melingkarkan tangan ke atas perutnya. Begitu sadar kalau pria yang ada di sebelahnya adalah Bastian, Helena langsung beranjak dari tempat tidur sambil tertatih-tatih menjauh menahan rasa sakit di sana. "Apa ini? kenapa sangat perih?" Ia terus merangkak menuju kamar mandi, karna tak ada pilihan lagi selain pergi mengumpat di dalam sana. Gemericik air juga suara tangis Helena membangunkan Bastian yang baru saja tidur sejak dua jam yang lalu. Ia beranjak dari tempat tidur, lalu mengetuk pintu kamar mandi, memastikan kalau Helena baik-baik saja dia dalam. Namun yang di panggil tak menyahut hanya raungan tangisan yang semakin kencang, membuat Bastian semakin khawatir. "Helena. Kamu gak apa-apa kan?"
Sejurus kemudian, Helena mendorong Bastian sampai jatuh ke lantai. "Apa-apaan ini?" ucapnya tanpa merubah posisi, mengangkat kedua kakinya ke atas. "Turunkan kaki anda, Tuan! Anda seperti mau melahirkan," Ha.. ha.. ha.. dia tertawa lepas sambil menutup mulutnya dengan tangan, melihat posisi jatuh suaminya yang lucu, membuat Helena sulit berhenti tertawa. "Berhenti tertawa, atau saya akan menerkam kamu lebih ganas dari semalam." Uuh.. itu sangat mengerikan. Luka bekas semalam saja belum sembuh, bagaimana rasanya senjata Bastian yang berukuran 14,5cm itu kembali masuk ke dalam lubang sempit miliknya? Helena langsung merapatkan kakinya naik ke atas, juga kedua tangan yang ia letakan di atas pangkuan. "Awas saja kalau anda berani!" kata Helena memperingatkan. "Gak jamin ya. Saya kan bisa lakuin kapan aja. Bahkan tanpa sepengetahuan kamu," senyumnya menyeringai. Helena melempari Bastian dengan bantal yang sedang ia pegang. "Pergi! S
Pernikahan. Adalah sesuatu hal yang sangat sakral dan sangat di harapkan oleh dua insan yang saling mencinta. Suatu pembuktian atas nama cinta yang disatukan oleh sebuah ikatan yang bernama PERNIKAHAN. Haidar Bastian dan Helena Quirin baru saja melangsungkan pernikahan super megah di salah satu Hotel ternama kota Jakarta. "Culun, bagaimanapun dia tetap culun dan jelek," gumam pengantin pria. Tak sedikitpun dia memuji kecantikan Helena yang berdiri tegap di sampingnya. Kecantikan yang terpancar sangat natural. Ia terlihat sangat anggun dengan mengenakan gaun berwarna putih yang menjuntai panjang, dengan seikat bunga mawar putih di genggaman, menambah kadar kecantikan Helena mendekati kata sempurna. "Kamu beruntung mendapatkan gadis secantik dia, Bastian," kata salah satu tamu undangan yang terkagum-kagum. "Sangat beruntung," Bastian merangkul Helena sangat kasar, hingga ia meringis kesakitan namun ia tahan karna tak ingin pernikahan paksanya diketahui banyak orang. "Kalau aku bero
Pagi hari. Sinar matahari menyeruak masuk menembus kaca. Menyinari wajah bening Helena yang cantik natural tanpa riasan seperti semalam.Tenang... tidak menyangka kalau tidurnya akan setenang ini. Ia bahkan tersenyum walau mata masih terpejam, mungkin saat ini ia sedang bermimpi, mimpi indah menghabiskan malam pertama dengan pria yang ia cintai. Cinta yang mungkin tak sempat tersampaikan.Dia terus tersenyum manis, terlarut dalam mimpi indahnya. Tapi sayang mimpi indah Helena tak berlangsung lama. Ia mengerjap terbangun saat mendengar suara bel di depan pintu kamar berbunyi berkali-kali. Ia pun bangkit dari tidurnya, melihat Bastian masih betah berkulum di bawah selimut. Helena tak berani membukakan pintu. Ia teringat akan pesan Bastian semalam."Jangan sembarangan membuka pintu! kamu belum mengenal semua anggota keluarga saya," ujarnya.Patuh. Ia memilih merapihkan selimut dan bantal bekas ia pakai. Tapi seseorang di luar sana terus menekan Bel tanpa hen
Tepat pukul duabelas siang, Bastian dan Helena kembali ke Hotel tempat mereka menginap. Bisa di hitung berapa lama mereka menghabiskan waktu berdua hari ini? masih dalam hitungan jari. Rasanya sangat mustahil kalau dengan waktu sesingkat itu akan tumbuh benih-benih cinta di hati mereka. Jangankan cinta, rasa kasihan pun sepertinya tidak ada. Bastian bahkan tidak perduli saat Helena kesulitan membawa banyaknya kantung belanjaan."Menyebalkan," Ia bejalan di belakang Bastin sambil menghentakan kakinya karna kesal.Namun, ada sedikit kejadian yang cukup menggelitik, saat Bastian bertemu temanya di dalam lift tadi, membuat bibir Helena kembali melengkung membentuk simpul, saat Kantung belanjaan yang dibawanya, langsung diambil alih oleh Bastain."Aku kan udah bilang, biar aku yang bawa, sayang..." ucap Bastian penuh kepalsuan.Awalnya Helena cukup terkejut dengan perubahan sikap suaminya yang tiba-tiba, namun dalam hitungan persekiandetik, Helena langsung tau
Sejurus kemudian, Helena mendorong Bastian sampai jatuh ke lantai. "Apa-apaan ini?" ucapnya tanpa merubah posisi, mengangkat kedua kakinya ke atas. "Turunkan kaki anda, Tuan! Anda seperti mau melahirkan," Ha.. ha.. ha.. dia tertawa lepas sambil menutup mulutnya dengan tangan, melihat posisi jatuh suaminya yang lucu, membuat Helena sulit berhenti tertawa. "Berhenti tertawa, atau saya akan menerkam kamu lebih ganas dari semalam." Uuh.. itu sangat mengerikan. Luka bekas semalam saja belum sembuh, bagaimana rasanya senjata Bastian yang berukuran 14,5cm itu kembali masuk ke dalam lubang sempit miliknya? Helena langsung merapatkan kakinya naik ke atas, juga kedua tangan yang ia letakan di atas pangkuan. "Awas saja kalau anda berani!" kata Helena memperingatkan. "Gak jamin ya. Saya kan bisa lakuin kapan aja. Bahkan tanpa sepengetahuan kamu," senyumnya menyeringai. Helena melempari Bastian dengan bantal yang sedang ia pegang. "Pergi! S
Sinar matahari yang masuk melalui kaca jendela kamar, mulai menerpa wajah cantik Helena yang sedang tertidur pulas di samping suaminya, Bastain. Ia mengerjap terbangun, mengucak matanya untuk memastikan sosok yang ada di sebelahnya sedang melingkarkan tangan ke atas perutnya. Begitu sadar kalau pria yang ada di sebelahnya adalah Bastian, Helena langsung beranjak dari tempat tidur sambil tertatih-tatih menjauh menahan rasa sakit di sana. "Apa ini? kenapa sangat perih?" Ia terus merangkak menuju kamar mandi, karna tak ada pilihan lagi selain pergi mengumpat di dalam sana. Gemericik air juga suara tangis Helena membangunkan Bastian yang baru saja tidur sejak dua jam yang lalu. Ia beranjak dari tempat tidur, lalu mengetuk pintu kamar mandi, memastikan kalau Helena baik-baik saja dia dalam. Namun yang di panggil tak menyahut hanya raungan tangisan yang semakin kencang, membuat Bastian semakin khawatir. "Helena. Kamu gak apa-apa kan?"
Hidup satu atap dengan seorang Haidar Bastian buka lah perkara yang mudah. Lihat saja, walaupun sudah memutuskan untuk berteman sejak tadi sore, Bastian tetap tidak mengizinkan Helena tidur di atas ranjang bersama dengan dirinya. Padahal kasur itu memiliki ukuran yang sangat luas. Jangankan dua orang, tiga sampai empat sekalipun masih cukup. Helena yang terus mendapat penolakan, akhirnya pasrah dengan kenyataan kalau malam ini dan seterusnya, tidak akan pernah bisa tidur di tas ranjang. Buka karna mau dekat dengan suaminya. tapi sungguh, semahal apapun sofa, tetap lebih nyaman tidur di atas kasur. Apa lagi kasur itu bernilai fantastis. 200juta? wow. sungguh penasaran dengan kenyamananya. pasti sangat nyaman. "Fix. Dia itu sangat pelit," berucap sambil membetulkan bantal di atas sofa. Hanya bantal, tidak ada selimut. Padahal AC di kamar itu terasa sangat dingin. Bagaimana tidak, ruangan itu bersuhu 16°c? Dia benar-benar gila. "Kita berteman satu kamar, t
Helena terkejut dengan kedatangan Bastian yang tiba-tiba. Alasan yang sudah tersusun rapih di dalam otak, hilang menguap begitu saja bersamaan dengan munculnya sosok pria yang menurutnya memiliki kepribadian ganda."Tuan, bisa gak sih ketuk pintu dulu sebelum masuk?""Siapa pria yang kamu bilang memiliki kepribadian ganda itu?" membalas pertanyaan Helena dengan pertanyaan lagi. Ia masuk menghampiri sang istri yang tengah duduk di depan cermin rias, lalu meletakan kedua tangannya di atas meja, seolah sedang memeluknya dari belakang.Tak ingin luka di dahinya terekspos, Helena memalingkan wajahya menatap ke arah lain. Tapi sayang, mata elang pria arogan itu keburu menangkap sesuatu yang berusaha ia tutupi."Ada apa dengan wajah mu?" tanya Bastian saat luka di keningnya terlihat jelas di depan mata."Tidak ada," jawabnya singkat."Hei..." sedikit kasar Bastian menarik dagu Helena, memintanya untuk menatap lurus ke depan, lalu ia menyibakan poni
Terlalu asik memilah-milah jenis mainan yang akan di beli, Mark sampai tidak menyadari kalau sudah hampir lima belas menit Helena tidak ada di sana. Ia disibukan oleh Stela yang keinginannya terus berubah saat melihat jenis mainan yang berbeda. Karna lelah, ia pun memilih duduk dan membiarkan Stela megaduk-aduk semua mainan yang sudah diturunkan si abang penjual itu. Merasa haus, saat akan meminta izin pada Helena untuk membeli minum, ia baru menyadari kalau Helena tidak ada di sana. "Kemana dia?" Mark mengeluarkan benda pipih berwarna hitam dari saku jasnya, lalu menghubungi Helena dalam sambungan telepon. "Tuut. "Tuut. Beberapa kali mencoba, akhirnya Helena merespon panggilan dari Mark. "Nyonya, anda di mana?" tanya Mark sambil memperhatiakan Stela masih asik memilah-milah mainan. "Kak.." suara Helena terdengar seperti merintih kesakitan. "Ada apa dengan anda, Nyonya?" Wajah Mark berubah panik. "Aku di
"Berani kamu mengancam saya?"Tangannya mencengkram kuat rahang Helena, dia salah menduga, ternyata apa yang dikatakan kakaknya adalah benar, dia kejam."Lepaskan saya Tuan!"Kedua tangan Helena berusaha melepaskan tangan Bastian yang malah semakin mengeratkan cengkramannya."Melepaskan mu? jangan harap saya akan melepaskan mu, gadis culun.""Saya ada janji dengan keponakan anda," kata Helena dengan susah payah."Saya tidak perduli. Itu janji kamu dengan Stela.""Lepaskan saya, saya mohon! sakit," wajahnya benar-benar terlihat kesakitan.Bastian memang melepaskannya, tapi sangat kasar ia menghempaskan tubuh Helena ke atas ranjang. Ia memegangi rahangnya yang terasa sakit."Jangan coba-coba bermain dengan ku! apa lagi mengancam ku," setalahnya ia pun keluar dari kamar, meninggalkan Helena dalam kesakitan."Dasar gila," sungutnya memaki, melempar pintu dengan bantal."Pria berwajah dua. Bersikap manis seperti
Siapa lah Bstian? dia hanya manusia biasa, dia sama dengan pria lain, pria normal yang pasti akan ter***sang saat melihat tubuh mulus tanpa busana di depan mata. "Dan itu milik ku, dia istri ku, seharusnya semalam aku menikmati tubuhnya, tapi apa? kenapa aku harus susah payah mencari kenikmatan di luar sana? Sial, dia membuat ku gila." Ia terus menenggelamkan diri lebih lama di dalam Bathtub, berharap isi kepalanya yang terus mengingat tubuh Helena cepat menghilang. Padahal, setelah kejadian semalam, Bastian pergi ke sebuah Club malam menemui seorang wanita hanya untuk menyalurkan hasratnya saja. Tapi rasanya itu tidak cukup. Dia tetap menginginkan tubuh Helena. tubuh yang ia lihat mulus tanpa noda itu benar-benar sangat mengganggu pikirannya. Saat ini jarum jam berada tepat di angka tujuh. Kini matahari mulai menampakan cahayanya, menyeruak masuk ke dalam melalui celah-celah jendela kamar yang tidak tertutup rapat. Helena menggeliat, mengerja
Rasanya sangat melelahkan, berada di dalam pesta orang kaya, menurutnya sangat membosankan, karna yang di bahas di sana tidak jauh seputar bisnis, dan bisnis. Walaupun pesta masih berlangsung dengan meriah, Helena meminta Bastian untuk pulang ke aprtemen, beruntunglah ia setuju, karna ia juga merasakan hal yang sama dengannya."Mau ke mana?" tanya Bu Rossa saat Bastian dan Helena hendak pergi."Pulang Mah," saut Bastian.Mendengar kata pulang, Bu Rossa pun ikut berdiri, "Pulang ke rumah mamah ya!" pintanya."Nggak," Bastian langsung menolaknya, "Aku mau pulang ke apartemen. Aku mau istirahat.""Di rumah mamah juga kan bisa istirahat. lagian mamah pengen deket sama menantu mamah, kita kan baru ngobrol beberapa kali aja, iya kan? Mamah janji deh gak akan ganggu privasi kalian."Bastian diam tak menjawab, namun Bu Rossa terus memaksa, hingga akhirnya ia mengiyakan keinginan mamanya. Karna melarangnyapun tidak ada gunanya.Dua puluh menit
Tepat pukul duabelas siang, Bastian dan Helena kembali ke Hotel tempat mereka menginap. Bisa di hitung berapa lama mereka menghabiskan waktu berdua hari ini? masih dalam hitungan jari. Rasanya sangat mustahil kalau dengan waktu sesingkat itu akan tumbuh benih-benih cinta di hati mereka. Jangankan cinta, rasa kasihan pun sepertinya tidak ada. Bastian bahkan tidak perduli saat Helena kesulitan membawa banyaknya kantung belanjaan."Menyebalkan," Ia bejalan di belakang Bastin sambil menghentakan kakinya karna kesal.Namun, ada sedikit kejadian yang cukup menggelitik, saat Bastian bertemu temanya di dalam lift tadi, membuat bibir Helena kembali melengkung membentuk simpul, saat Kantung belanjaan yang dibawanya, langsung diambil alih oleh Bastain."Aku kan udah bilang, biar aku yang bawa, sayang..." ucap Bastian penuh kepalsuan.Awalnya Helena cukup terkejut dengan perubahan sikap suaminya yang tiba-tiba, namun dalam hitungan persekiandetik, Helena langsung tau