Beranda / Romansa / Love for Haphephobia / Drama Makan Malam

Share

Drama Makan Malam

"Tang! Mama bilang lima belas menit, bukan lima belas abad!" teriak Mayang sembari menggedor pintu.

Tanpa menyahut, Lintang keluar dengan tampilan memukau. Rambut hitam nan panjang tergerai indah serasi dengan gaun yang ia kenakan. 

Wajah ayunya mampu mengalihkan pandangan para lelaki yang memandangnya.

Namun sangat di sayangkan, wajah masam diiringi langkah kaki yang menghentak jengkel, menutup pesonanya.

"Jangan keluar dengan wajah seperti itu! Atau calon papah barumu akan takut melihatmu," tegur Mayang yang melemparkan kunci mobil pada Lintang.

Lintang menangkapnya dengan refleks yang bagus. kemudian ia membalas teguran sang bunda dengan melemparkan tatapan membunuhnya.

"Kamu tidak akan bisa membunuh mama hanya dengan tatapaan seperti itu! Cepat jalan, kita sudah terlambat!" buru Mayang yang berjalan di depan Lintang. Keduanya menaiki mobil mewah berwarna hitam milik Mayang.

Lintang yang fokus mengemudikan mobilnya nampak jutek dengan wajah diamnya.

"Apa wajahmu tidak kaku? Senyum sedikit kenapa sih?" protes Mayang yang mulai jengkel dengan tingkah putrinya.

Lintang mendengus kesal sebelum akhirnya melontarkan uneg-unegnya.

"Ma, aku bahkan belum pernah melihat sosok ayah kandungku, pantaskah mama seperti ini? Ini udah yang ketiga ma ... aku malu dan lelah ...," rengek Lintang yang tak setuju dengan pernikahan ibunya.

"Mama yang nikah kenapa kamu yang malu?" jawab Mayang enteng.

Kekesalan Lintang semakin menjadi kala melihat ketidak pedulian Mayang.

"Kadang aku bingung, aku ini anaknya mama bukan sih? Mama kok lebih mentingin pria-pria itu daripada anak mama sendiri!"

"Kamu pikir hidungmu yang separo itu mirip punyanya siapa kalo bukan mirip mama?"

"Cih! Hidung pesek doank!" gerutunya ngambek seraya membuang muka.

Beberapa saat kemudian mereka sampai di Grand Palace Hotel.

Mayang menahan Lintang saat Lintang hendak turun dari mobil.

"Tunggu sebentar!" sergah Mayang.

"Apa lagi sih ma?" keluh kesal Lintang.

"Kalau kamu turun duluan, siapa yang parkirin mobilnya?"

"Pelayan hotel!" jawab Lintang dengan ekspresi wajah yang sudah tak dapat di deskripsikan sangking frustasinya dengan sikap sang bunda.

Mayang tersenyum geli melihatnya, lalu meraih wajah ayu putrinya dengan kedua tangannya dan berucap lembut pada sang putri.

"Wajah cantik ini jangan kamu tutupi dengan gelapnya amarahmu. Setidaknya untuk malam ini, mama mohon kerjasamanya. Okey?"

Lintang menatap dalam kedua mata ibunya yang penuh harap itu, kemudian ia menghela nafas panjang dan mengangguk pelan. Dalam sekejap semburat senyum palsu menghiasi wajahnya.

"Ya sudah, mama jalan aja duluan Lintang mau parkir mobil dulu."

Mayang berjalan tegak nan elegan di atas high heelsnya menuju ke arah meja yang sudah di pesan sebelumnya. 

Nampak seorang pria paruh baya dengan setelan jas warna hitam duduk tenang di sana menanti dirinya.

Sementara itu, di tempat parkir Lintang terlibat insiden kecil.

"Woy mas! Bisa parkir nggak sih? Kamu terlalu mepet jadi pintuku nggak bisa di buka!" teriak Lintang pada mobil di sebelahnya yang masih menutup rapat kaca mobilnya..

"Mas! Mbak! Mbak atau mas! Denger nggak sih! Pintuku nggak bisa di buka! Mundur dulu!" teriakan Lintang meninggi bercampur amarah kala si empunya tiada merespon.

"Pria yang berada dalam mobil itu keluar dan melenggang dengan earphone di telinganya. Lintang melihat dari spion mobilnya, dan segera mengejar pria itu. ia memundurkan kembali mobilnya.

TIIINN ....

Pria itu tersungkur hingga earphonenya lepas saking kagetnya mendengar klakson mobil yang hampir menabraknya.

"Woy! Matamu di mana? hah! Lu nggak liat ada orang?" pria itu berteriak penuh amarah yang meledak.

"Bisa tolong geser sedikit mobilnya nggak mas? Saya juga mau parkir. Kebetulan parkiran penuh," pinta halus Lintang dari jendela mobilnya.

Pria yang mengenakan kemeja putih lengkap dengan jas warna hitam bak pengawal presiden itupun berjalan mendekat ke arah Lintang.

Sambil terus mengunyah permen karetnya pria itu mengamati Lintang dengan seksama.

"Lintang? Kamu Arkania Lintang Jagat 'kan?" tanyanya dengan wajah terkejut seolah tak percaya.

"Apakah kejadian Denny waktu lalu masuk media berita ya? Sampai-sampai pria asing ini mengenalku," batin Lintang yang masih dengan wajah stay coolnya. 

"Iya," jawab singkat Lintang yang terkesan judes.

"Dih judesnya belum ilang juga?" umpat terang-terangan pria asing itu yang sedikitpun tak ditanggapi oleh Lintang.

"Sombongnya ... sama temen sendiri nggak inget. Apa kabar kamu tang?"

"Ck!" Lintang berdecak kesal dengan pria yang sok kenal sok akrab itu.

"Maaf, tapi saya nggak kenal situ. Bisa nggak mas jangan berlama-lama? Soalnya saya sedang buru-buru."

"Lhah ... Sombongnya makin akut," umpatnya sembari berjalan menuruti pinta Lintang. Beberapa saat kemudian mobil keduanya terparkir dengan damai dan pria itu menunggui Lintang keluar dari mobilnya.

"Woy ... Tang! Kamu beneran nggak ngenalin aku?" tanyanya sekali lagi yang kali ini bahkan Lintang masih acuh tak acuh. 

"Ini aku! Bintang ... masak nggak inget sih. Itu lho ... Bintang yang paling ganteng, yang dulu suka ngasih kamu contekan itu lho," terangnya berusaha agar Lintang mengingatnya.

"Cih! Sejak kapan aku nyontek saat sekolah? Yang ada malah aku yang sering dipalak dimintai contekan," gerutu Lintang dalam hati.

Lintang terus berjalan mengabaikan ocehan Bintang. Namun saat Lintang mulai jengah dan hendak memberi peringatan pada Bintang,

 Bintang justru beralih dengan ponselnya yang sedari tadi berdering. Hingga membuat Lintang urung meluapkan kekesalannya. 

Terlepas dari pria asing yang mengganggunya, Lintang pun segera memasuki gedung hotel yang megah itu.

Ia menuju restoran mewah dalam gedung yang juga merupakan fasilitas unggulan di hotel Grand Palace.

Sesampainya di lokasi, matanya menyapu seluruh ruangan mencari sosok sang bunda.

Nampak dari tempat Lintang berdiri, sang bunda melambaikan tangannya sebagai isyarat keberadaannya.

Lintang berjalan mendekat ke arah sang bunda tanpa memperdulikan pria paruh baya yang duduk di depan sang bunda.

"Maaf ma, Lintang agak lam ...." 

Lintang tertegun melihat sosok tak asing yang berdiri tepat di depannya menyambut hangat kedatangannya.

"Pak Bowo?" sapa Lintang tersirat tanya sebab terkejut.

"Kalian sudah saling kenal?" tanya Mayang.

"Iya, dia karyawan ... ah, tepatnya mantan karyawanku yang sering kuceritakan padamu.

Mayang menatap dengan alis berkerut penuh tanya pada Bowo dan Lintang bergantian.

"Apakah maksudmu dia karyawan yang selalu kamu sebut 'gadis andalan' itu?" tanya Mayang pada Bowo.

Bowo hanya mengangguk tersenyum bangga dan merasa lucu. Pun Mayang tersenyum lebar karenanya.

"Stop! Lelucon macam apa ini? Sejak kapan kalian saling mengenal? Apakah hubungan kalian serius sejauh ini?" bentak Lintang yang bingung bercampur emosi tak terima dengan kedekatan sang bunda dengan mantan direkturnya.

Belum sempat Bowo ataupun Mayang memberi penjelasan pada Lintang, kedatangan seorang pemuda menjadi penengah kegaduhan di antara ketiganya.

"Maaf Pah. Bintang agak lama tadi," jelasnya sembari menggeser kursi di sebelah ayahnya. Tepatnya berhadapan dengan Lintang.

"Kau?!" serempak Lintang dan Bintang terperanjat lantaran saling bertatap muka kembali bahkan berada dalam satu meja makan yang sama. Belum usai keterkejutan Lintang, disaat yang sama Ishan turut hadir meramaikan suasana bersama seorang gadis yang bergelayut manja pada lengannya.

"Dia?!" batin Lintang dengan ekspresi wajah terkejut. Tak berbeda jauh, Ishan pun sempat menunjukkan ekspresi yang sama seperti Lintang walau beberapa detik. 

"Selamat malam, Om-eh, Pah ...," sapa Ishan yang kadang masih memanggil Bowo dengan panggilan 'Om'.

"... selamat malam Tante," lanjutnya menyapa Mayang dengan mengulurkan tangannya, tak ketinggalan senyuman. ramah yang diragukan keasliannya ia suguhkan untuk menyempurnakan visualnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status