"Ide konyol macam apa ini?! Kamu nggak lihat bagaimana kondisiku sekarang? Daripada aku, kenapa nggak kamu pakai sendiri aja?" jawab Lintang yang mengembalikan ide gila Melisa padanya.
"Jangan mengejek! Mana bisa dengan tubuh mungilku ini?" jawab Melisa mengolok dirinya sendiri.
"Lalu, apa kamu pikir aku bisa?"
"Kenapa nggak? Kamu hanya sekarat jika disentuh, bukan dilihat 'kan?" jawab Melisa mematahkan alasan Lintang untuk menolak.
Lintang berpikir keras untuk ide gila Melisa.
"Ah! Sial! Masalahnya sekarang aku sedang sensitif ... coba kamu cari model yang lain."
"Udah nggak ada waktu lagi Lin ... kalau ini bukan acara puncak, aku nggak akan maksa kamu," tukas Melisa memelas. Sementara itu sang pembawa acara tengah mengoceh mengumumkan bahwa gaun fantastis yang akan di lelang akan segera di hadirkan.
"Maksudmu acara puncak?"
"Ya ... seperti yang kamu tau, ini akan menjadi gaun yang di lelang untuk acara puncaknya, dan uang lel
"Cih! Nggak sudi!" Lintang menolak mentah-mentah. "Sekalipun dia orang kaya raya, Lintang tetap nggak sudi jadi anak tirinya. Justru Lintang bersyukur tak memiliki ayah kandung seperti itu!" ujar Lintang menyulut emosi sang bunda."Lintang!" bentaknya seraya kembali mengayunkan tangannya ke udara. Namun kali ini, pipi Lintang selamat dari tamparan sang bunda karena Bowo dengan sigap menangkisnya."Hentikan! Lintang pasti terguncang dengan apa yang baru saja ia lihat, biarkan dia tenang dulu, barulah kita bicara lagi," tutur Bowo menengahi pertengkaran Mayang dan Lintang."Jangan membelanya! Nanti bocah ini makin ngelunjak!" sahut Mayang."Menjijikkan! Nggak perlu untuk anda bersikap sok bijak dan dewasa! Pada dasarnya kelakuan anda sudah seperti binatang!" cacinya pada Bowo."Lintang!" teriak Mayang lagi yang kali ini badannya di tahan Bowo agar tak mengamuk. Sementara itu Lintang melangkahkan kakinya ke kamar dengan meninggalkan tatapan menc
"Tunggu! Teriak Lintang menyeru pada seorang pria di dalam lift.Pria yang berpenampilan kasual dengan Hoodie warna hitam, celana jeans warna senada dan lengkap dengan topi warna putih itu pun membuka kembali pintu lift yang hampir tertutup.Sementara Lintang nampak kepayahan. berlari dengan menyeret kopernya.Lintang terengah-engah saat sampai di dalam lift. Namun ia tetap memakai maskernya."Lepas dulu tuh masker, biar bisa nafas," tegur pria tersebut yang juga mengenakan masker.Lintang tak menggubris teguran pria tersebut."Ck! Dasar keras kepala!" gerutunya."Ngapain minggat tengah malam gini? Berantem masalah pernikahan ibumu?" tanya pria itu yang berhasil membuat Lintang menoleh kaget."Sok tahu!""Kalau aku emang tahu, terus kamu mau apa?"Lintang melotot seolah akan menelan hidup-hidup pria di depannya itu."Hah ... ini aku," tukas pria itu seraya melepaskan masker y
Lintang kira setelah pertengkaran tadi malam ia sudah terbebas dari ibunya, namun sesungguhnya itu adalah awal dari peperangan.Pagi itu ia berencana untuk memanjakan dirinya di hotel mewah itu. Namun sayang, tepat pukul 06.00 pagi Mayang sudah membuat keributan di bagian resepsionis."Heh mbak! Saya bisa menuntut pihak hotel kalau mbaknya masih bersikeras tidak mau memberikan kunci cadangan kamar tempat putri saya menginap dengan tuduhan telah membantu menyembunyikan kriminal!" ancam Mayang yang sedari tadi tidak bisa mendapatkan kunci kamar Lintang."Ta-tapi ini kebijakan hotel Bu, dan lagi kalau ibu melapor dengan tuduhan seperti itu bukannya putri ibu juga akan masuk penjara?""Bebas donk! Dia putri saya! Mau saya jebloskan ke penjara atau ku masukkan ke kandang macan sekalipun itu urusan saya! Pikirkan saja pekerjaan anda! Masih bersikeras? Saya nekat nih ...," ancam Mayang sembari menunjukkan ponselnya.Merasa tertekan dengan ancaman Mayang,
"I-iya! Saya mau mengajukan keluhan!" ucapnya yang kali ini tampak salah tingkah. Bahkan Bintang pun nampak terkejut melihat perilaku Lintang kali ini."Baik nona, akan kami dengarkan," jawabnya tenang tampak bijaksana."Sial! Kenapa harus dia? Makhluk paling sulit di atasi," umpatnya dalam hati.Sejenak Lintang terdiam. Kepalanya celingukan seperti sedang mencari sesuatu."Begini, untuk mempersingkat penjelasan saya, boleh kita ke ruang CCTV?""Kenapa mesti ke ruang CCTV segala? Bukankah anda mau ngutang untuk tagihan kamar yang anda sewa tadi malam?" sahut petugas resepsionis lancang."Pegawai songong! Bukan wewenangmu untuk bertanya!" Gretaknya. Lintang sudah tidak sabar membuat pegawai tersebut mendapat peringatan."Lin! Apa yang akan kamu lakukan? Biarkan aku menyelesaikannya saja, toh nanti kamu bisa mengembalikan uangku setelah dari sini," bujuk Bintang berbisik."Sudah, nggak usah ikut campur. Ayo lihat caraku menyelesa
Sepulangnya Lintang dari hotel, Lintang memutuskan untuk menjual mobilnya. Ia membeli rumah kecil dan sangat sederhana dengan uang hasil jual mobil tersebut.Sementara Mayang gelisah menanti sang putri yang tak kunjung pulang."ATM dan uangnya sudah ku ambil. Seharusnya dia sudah tak punya apa-apa lagi untuk hidup di luar. Kenapa dia masih belum pulang?" gumamnya yang mondar-mandir di teras menunggu sang putri."Ah! Sial! Mobilnya ...," ujarnya yang baru menyadari sesuatu.Sementara itu di lokasi yang berbeda, Lintang tengah bergelut dengan pekerjaan rumahnya.Saat sedang bersih-bersih tiba-tiba ponselnya berdering. 'Ishan' nama itulah yang muncul di layar ponselnya yang berdering."Iya halo, ada apa?""Ada apa' gundulmu! Kamu ini niat kerja nggak sih? Udah tiga hari nggak masuk tanpa keterangan!"Suara bernada tinggi dari seberang sana membuat Lintang spontan memberi jarak antara ponsel dengan telinganya."Iya, sa
"Stop! Stop! Berhenti di sini. Itu rumahku," ucap Lintang seraya menunjukkan rumah barunya.Nampak dari dalam mobil pintu gerbang yang unik dan bergaya klasik dengan simbol burung hantu dI antara ke-dua sisinya.Setelah membuka gerbang, Lintang melambaikan tangannya memberi aba-aba agar Ishan segera membawa mobilnya masuk.Sesampainya di dalam, Ishan berdiri di samping mobilnya. Bermodalkan lampu mobil sebagai penerang, ia memandangi rumah joglo yang menimbulkan kesan klasik dan angker bersamaan."Apa yang kamu lihat?" tegur Lintang membuat Ishan terkesiap."Ah--enggak! I-ini beneran rumah kamu Lin?" tanya Ishan tak percaya jika Lintang membeli rumah yang tampak angker."Yap! Gimana? Bagus 'kan? Nampak estetik ya?" balasnya sembari berusaha membuka pintunya.Ceklek ...."Silahkan masuk," ucapnya.Ragu-ragu Ishan melangkahkan kakinya memasuki rumah yang masih gel
Mengingat Lintang yang sendirian di rumah barunya, Ishan merasa berat dan enggan meninggalkannya.Terlebih rumah itu nampak suram dengan pencahayaan yang relatif redup.Ishan sendiri saja takut, bagaimana bisa ia mampu meninggalkan Lintang seorang diri?Lalu Ia memutuskan untuk menungguLintang selesai.Namun yang terjadi ...."Lintang? Suaranya merdu juga," gumamnya yang kini berselerak di bangku kayu. Ia menjadikan jasnya sebagai alas untuk kepalanya.Di bawah temaram lampu dan diiringi lantunan ayat suci sebagai pengganti lagu Nina Bobo, Ishan berbaring mengistirahatkan raga yang lelah mengejar dunia.Rasa takutnya berganti menjadi rasa tentram di hatinya."Ah ... kalau begini, ingin rasanya aku menikahinya," gumam Ishan lagi yang kini matanya dipenuhi khayalan tentang indahnya mengarungi bahtera rumah tangga bersama Lintang.Malam semakin larut, kantuk
Ya, mereka adalah Martin dan Melisa. Mereka datang dengan senyuman lebar di ujung sana. Lintang berjalan menghampiri keduanya.Dengan riang Melisa menyapa Lintang sahabatnya. "Hai! Tang, wahh ... suasana rumah barumu beneran seperti dunia lain yah?! Pantas saja Ishan menulis caption isekai," ujar Melisa yang takjub dan heboh sendiri melihat rumah baru Lintang. "Ehem, begitulah. Bagaimana kalian bisa datang bersama? Dan yang paling penting, bagaimana kalian tahu alamat tempat ini?" "Aku menghampirinya," sahut Melisa seraya melirik ke arah Martin. "Seperti kataku tadi, Ishan mengunggah fotonya yang sedang berada di sini dengan menulis caption 'isekai' dan kebetulan kami mengomentari unggahan Ishan bersamaan. Dan Ishan membalasnya melalui chat pribadi, sampailah kami di sini," sambungnya lagi. Mendengar penjelasan Melisa, Lintang melirik tajam ke arah Ishan dengan tatapan membunuh. "Rumah ini rumah ku, apa