"Stop! Stop! Berhenti di sini. Itu rumahku," ucap Lintang seraya menunjukkan rumah barunya.
Nampak dari dalam mobil pintu gerbang yang unik dan bergaya klasik dengan simbol burung hantu dI antara ke-dua sisinya.
Setelah membuka gerbang, Lintang melambaikan tangannya memberi aba-aba agar Ishan segera membawa mobilnya masuk.Sesampainya di dalam, Ishan berdiri di samping mobilnya. Bermodalkan lampu mobil sebagai penerang, ia memandangi rumah joglo yang menimbulkan kesan klasik dan angker bersamaan."Apa yang kamu lihat?" tegur Lintang membuat Ishan terkesiap."Ah--enggak! I-ini beneran rumah kamu Lin?" tanya Ishan tak percaya jika Lintang membeli rumah yang tampak angker."Yap! Gimana? Bagus 'kan? Nampak estetik ya?" balasnya sembari berusaha membuka pintunya.Ceklek ...."Silahkan masuk," ucapnya. Ragu-ragu Ishan melangkahkan kakinya memasuki rumah yang masih gelMengingat Lintang yang sendirian di rumah barunya, Ishan merasa berat dan enggan meninggalkannya.Terlebih rumah itu nampak suram dengan pencahayaan yang relatif redup.Ishan sendiri saja takut, bagaimana bisa ia mampu meninggalkan Lintang seorang diri?Lalu Ia memutuskan untuk menungguLintang selesai.Namun yang terjadi ...."Lintang? Suaranya merdu juga," gumamnya yang kini berselerak di bangku kayu. Ia menjadikan jasnya sebagai alas untuk kepalanya.Di bawah temaram lampu dan diiringi lantunan ayat suci sebagai pengganti lagu Nina Bobo, Ishan berbaring mengistirahatkan raga yang lelah mengejar dunia.Rasa takutnya berganti menjadi rasa tentram di hatinya."Ah ... kalau begini, ingin rasanya aku menikahinya," gumam Ishan lagi yang kini matanya dipenuhi khayalan tentang indahnya mengarungi bahtera rumah tangga bersama Lintang.Malam semakin larut, kantuk
Ya, mereka adalah Martin dan Melisa. Mereka datang dengan senyuman lebar di ujung sana. Lintang berjalan menghampiri keduanya.Dengan riang Melisa menyapa Lintang sahabatnya. "Hai! Tang, wahh ... suasana rumah barumu beneran seperti dunia lain yah?! Pantas saja Ishan menulis caption isekai," ujar Melisa yang takjub dan heboh sendiri melihat rumah baru Lintang. "Ehem, begitulah. Bagaimana kalian bisa datang bersama? Dan yang paling penting, bagaimana kalian tahu alamat tempat ini?" "Aku menghampirinya," sahut Melisa seraya melirik ke arah Martin. "Seperti kataku tadi, Ishan mengunggah fotonya yang sedang berada di sini dengan menulis caption 'isekai' dan kebetulan kami mengomentari unggahan Ishan bersamaan. Dan Ishan membalasnya melalui chat pribadi, sampailah kami di sini," sambungnya lagi. Mendengar penjelasan Melisa, Lintang melirik tajam ke arah Ishan dengan tatapan membunuh. "Rumah ini rumah ku, apa
"Biasanya, pengidap phobia ini cenderung tertutup, enggan bergaul, bahkan dari cara berpakaian saja bisa terlihat. Seperti selalu mengenakan pakaian tertutup misalnya," lanjut Martin yang tengah fokus menganalisa Lintang."Meski kemarin aku melihat dia yang seharian seperti manusia Eskimo, tapi hal itu nggak setiap hari. Lintang justru lebih sering mengenakan pakaian sexy, dan lagi dia malah pintar bergaul. Tak seperti deskripsimu," sahut Ishan."Apa kamu lupa cara pikir Lintang yang lain dari pada yang lain?" tukas Melisa membuat keduanya menatap dengan tanda tanya ke arah Melisa."Apa? Kenapa kalian menatap ku?" tanyanya yang masih di pelototi oleh dua pria rupawan."Baiklah ... baiklah. Akan ku jelaskan. Singkatnya begini, tempat paling aman bagi tikus bersembunyi dari singa adalah naik di atas punggung singa itu sendiri. Begitulah pola pikir Lintang. Kalian paham maksudku 'kan?""Ah ... dengan kata lain, semakin ia
Setelah mengetahui phobia yang diderita Lintang, Ishan lebih berhati-hati dalam memperlakukan Lintang.Tekad dan ambisinya semakin besar untuk mendapatkan Lintang kembali. Dan di sinilah predikatnya sebagai playboy diuji.Ia harus menemukan cara untuk menyentuh hati seorang dara yang tak bisa ia sentuh raganya.Mengesampingkan deretan para gadis yang menjadi kekasihnya, kini Ishan lebih banyak menghabiskan waktu bersama Lintang.Seperti gerimis di musim kemarau, begitulah cinta Ishan menyapa Lintang.Perlahan, tetesan kasihnya mengikis dinding tebal yang memenjarakan hati Lintang.Detik demi detik hingga bulan berganti, nampak jelas perubahan pada diri Lintang. Ia tak lagi membasuh tangannya setiap kali bersentuhan dengan Ishan.Hingga suatu ketika berhembuslah kabar angin.Gosip tentang percintaan dirinya dan Ishan semakin santer terdengar.Setiap sudut, ada saja karyawan yang berbisik membicarakannya.
Lembutnya kehangatan dari tangan kokoh itu menggelitik hati Lintang.Hingga ia tak bisa melepaskan pandangannya dari pria berwajah ramah itu.'Hangat genggamannya, seolah aku ingin percaya padanya,' gumam Lintang dalam hati.Namun debaran jantung yang luar biasa membuat lidahnya kelu."Ta–tapi ...."Lagi-lagi Lintang menggantung kalimatnya."Anggap ini terapi untukmu. Terlepas dari apa yang membuatmu phobia aneh ini, aku hanya ingin membuatmu merasakan aman bersamaku."'Aku mulai keracunan! Bahkan suaranya kini mampu membuat hatiku ingin tersenyum,' ucap Lintang dalam hati.Setelah hampir sepuluh menit berlalu, keduanya masih menapaki jalanan yang perlahan mulai ramai.Di bawah langit sore bersamaan dengan semburat orangenya, keduanya menikmati perasaan terindah yang dulu pernah mereka rasakan."Bagaimana? Apakah kamu merasa sesak dengan genggamanku?"Lintang hany
Tepat pukul 20.00 Lintang berada di rumah orang yang tak terduga.'situasi macam apa ini? Sial! Bodohnya aku!' batin Lintang mengolok dirinya sendiri.Ia baru menyadari kebodohannya saat ia sudah duduk di kursi ruang makan keluarga Bowo.Tiga pasang mata tengah menatapnya dengan tajam. Membuat Lintang bahkan tak berani untuk sekedar melakukan gerakan kecil."Kenapa tegang begini? Ayo-ayo! Semuanya, dimulai makan malamnya," seru Bowo."Maaf Om, tapi saya kesini bukan untuk ikut makan malam," aku Lintang dengan wajah santai tanpa ada raut tegang atau grogi."Lalu?"Ishan membusungkan dada, ia meletakkan sendok dan garpu yang ada di kedua tangannya."Sebenarnya ...."Ishan menyela dengan menggantung kalimatnya untuk sesaat.Setelah ia menarik napas untuk mengumpulkan nyalinya, bak menghafal sebuah text, Ishan kembali menyampaikan niatnya dengan lancar.Sangking lancarnya sampai-sampai tak ada jeda dalam
"Apa! Mau nginep di rumahku?"Ishan mengangguk mantap. Seolah keputusannya tidak bisa diganggu gugat."Nggak! Nggak bisa!" tolak Lintang mentah-mentah."Kenapa nggak bisa? Pas awal kamu menempati rumah itu, kamu memintaku menginap. Sekarang kenapa nggak?" tanyanya."Sekarang dan kemarin itu beda! Kalau kemarin aku hanya memanfaatkanmu. Dan saat itu kita tidak dalam hubungan apapun. Tapi sekarang, semuanya berbeda," terang Lintang."Bukankah sekarang justru lebih bagus? Kita bisa latihan dulu.""Latihan apa maksudmu? Latihan bikin anak? Nggak perlu! Melakukan hal itu adalah naluri. Jadi nggak perlu di pelajari pun pasti sudah bisa!" sanggah Lintang."Itu untuk orang normal! Untukmu yang punya phobia adalah hal yang berbeda! Apalagi kamu phobia di sentuh. Gimana mau jadi anak? Kamu kira hal itu bisa ditransfer pakai bluetooth?""Pokoknya aku nggak mau kamu nginep di rumahku sekarang! Hubungan dengan para perempuanmu aja pasti bel
Suaranya bergetar mencurahkan jeritan hati yang selama ini ia tahan. Sementara Lintang yang merasa iba, kini tengah duduk di hadapan Ishan mencoba menjadi pendengar yang baik. Mengabaikan bau busuk yang menguar dari tubuh Ishan."Perbuatan orang tuaku menjadi aib tak termaafkan bagiku. Aku merasa aku pantas menerima ganjaran atas perbuatan mereka," sambungnya lagi yang kini dengan sendirinya mulai menceritakan masalahnya.Hening menyelimuti. Tak ada tanggapan dari Lintang, hingga membuat Ishan menoleh untuk melihat reaksi Lintang mengenai ceritanya."Kenapa?" tanya Lintang dengan ekspresi wajah dan nada bicara yang seolah mengajak berkelahi."Ah, tidak. A–aku hanya merasa tak enak padamu," jawab Ishan yang kini salah tingkah sebab tatapan matanya yang bertemu dengan beningnya mata Lintang."Jika kamu punya rasa tak enak padaku yang hanya mendengar ceritamu, lalu kenapa kamu bahkan tak punya rasa malu pada yang Maha memberi hidup? Kamu bahkan