Pagi itu, Kirana datang ke sekolah dengan kepala penuh pikiran. Ucapan Revan semalam masih terngiang di telinganya:
“Kalau lo butuh satu alasan buat nggak nerima dia, mungkin gue bisa kasih.” Apa maksudnya? Apakah Revan juga mulai merasa hal yang sama kayak gue? Nadine mendekat sambil menyenggol bahu Kirana. “Lo kelihatan kayak orang kurang tidur. Jangan-jangan mikirin Revan?” Kirana langsung menatap Nadine dengan mata melebar. “Bukan! Maksudnya… ya nggak juga sih.” Nadine terkekeh. “Berarti iya.” Kirana menghela napas panjang. “Nad, gue beneran bingung. Revan berubah. Dia nggak kayak dulu yang nyebelin. Sekarang dia… perhatian. Tapi gue takut ini semua cuma bagian dari kontrak.” “Terus kalau bukan?” tanya Nadine serius. Kirana terdiam. Ia tidak punya jawaban. Saat Kirana berjalan menuju kantin, tiba-tiba Rian muncul dan berjalan di sampingnya. “Kir, lo ada waktu nanti sepulang sekolah?” “Ngapain?” tanya Kirana pelan. “Ada yang mau gue omongin. Penting.” Kirana menatap Rian. Tatapan cowok itu terlalu jujur, terlalu dalam. Dia mengangguk pelan. “Oke.” Tapi dari kejauhan, Revan melihat mereka. Ia tidak mengatakan apa pun, tapi jemarinya mengepal di bawah meja. Rian duduk di bangku taman bersama Kirana. Angin sore berembus lembut, tapi suasana di antara mereka terasa tegang. “Apa yang mau lo omongin, Rian?” tanya Kirana pelan. Rian menatapnya lurus-lurus. “Gue suka sama lo, Kir. Dari dulu.” Kirana terdiam. Ia tidak terkejut—sejujurnya ia sudah menduganya. Tapi mendengarnya langsung dari mulut Rian membuat hatinya tercekat. “Gue tahu lo lagi ‘deket’ sama Revan. Tapi gue juga tahu, itu semua cuma akal-akalan kalian.” Kirana menggigit bibirnya. “Rian, gue—” “Tolong jangan jawab sekarang,” potong Rian. “Gue cuma pengen lo tahu. Dan gue akan tetap ada di sini, meskipun jawaban lo nanti bukan gue.” Kirana menatapnya. “Makasih, Rian.” Kirana menatap ponselnya. Ada pesan dari Revan. Revan: Lo sibuk? Kirana: Baru nyampe rumah. Kenapa? Revan: Besok sore ikut gue, ya. Ada tempat yang pengen gue tunjukin. Kirana menatap layar ponselnya lama, lalu mengetik pelan. Kirana: Oke. Dan entah kenapa, malam itu Kirana tidak bisa tidur. Bukan karena bingung harus memilih siapa, Tapi karena hatinya mulai tahu ke mana harus berlabuh. Keesokan harinya, langit mendung saat Kirana melangkah keluar dari rumah. Perasaannya campur aduk. Ia sudah berjanji ke Revan untuk ikut sore ini, tapi pikiran tentang Rian semalam masih membayangi. "Gue suka sama lo, Kir..." Ucapan itu terus terulang di kepalanya. Revan menunggu di depan gerbang sekolah, mengenakan hoodie abu-abu dengan ransel di punggung. Kirana mendekat pelan, lalu menyapa, “Lo ngajak gue ke mana?” Revan cuma tersenyum tipis. “Naik motor aja dulu, nanti lo tahu.” Tanpa banyak tanya, Kirana naik ke jok belakang. Di sepanjang perjalanan, ia hanya diam, tapi hatinya berdebar. Setelah sekitar 20 menit, mereka sampai di sebuah tempat tinggi—bukit kecil di pinggiran kota yang memperlihatkan pemandangan kota dari kejauhan. Langit mulai jingga. Matahari hampir tenggelam. Revan duduk di atas batu besar, menatap horizon. Kirana ikut duduk di sebelahnya, berjarak beberapa senti. “Tempat ini udah lama jadi tempat favorit gue,” kata Revan tiba-tiba. “Gue ke sini kalau lagi bingung.” Kirana menatapnya. “Lo bingung?” Revan mengangguk. “Tentang banyak hal. Tentang keluarga gue. Tentang perjodohan ini. Tentang lo.” Kirana menunduk. “Revan, kemarin lo bilang… lo bisa kasih satu alasan buat gue nggak nerima Rian.” Revan menoleh, menatapnya langsung. “Iya. Dan sekarang gue bakal kasih alasannya.” Deg. Hati Kirana berdetak lebih keras. Ia bahkan tak sadar napasnya menahan. “Alesannya… karena gue beneran suka sama lo, Kir. Nggak ada kontrak. Nggak ada sandiwara. Ini semua udah jadi nyata buat gue.” Kirana terpaku. Ia tidak menyangka Revan akan mengaku secepat ini. Tapi yang lebih mengejutkan lagi… ia merasa senang mendengarnya. “Gue nggak tahu lo bakal jawab apa. Tapi yang jelas, mulai hari ini gue nggak akan sembunyi lagi.” Kirana tersenyum kecil, meskipun hatinya penuh badai. Ia ingin menjawab, tapi terlalu banyak emosi yang belum bisa ia urai. Revan berdiri, menatap langit yang mulai gelap. “Ayo pulang. Gue nggak pengen lo sakit cuma gara-gara sunset.” Kirana ikut berdiri. Tapi sebelum mereka pergi, ia berkata pelan, “Revan…” Revan menoleh. “Gue juga… mulai ngerasain yang sama.” Revan tersenyum. Senyum yang berbeda dari biasanya—tulus dan hangat. Setelah momen singkat dan menghangatkan itu di bukit, suasana di antara Revan dan Kirana berubah. Mereka tak lagi bicara soal kontrak, tak lagi pura-pura. Kini, keheningan di antara mereka terasa nyaman—bukan lagi kikuk seperti dulu. Di atas motor dalam perjalanan pulang, Kirana menyandarkan kepalanya pelan di punggung Revan. Itu bukan bagian dari akting. Itu keinginan hatinya sendiri. Dan Revan tak berkata apa-apa. Tapi dari cara ia mengemudi dengan lebih pelan, Kirana tahu… Revan juga merasakan hal yang sama. Kirana duduk di tempat tidur sambil memeluk bantal. Matanya menatap langit-langit. Hatinya masih berdebar, namun kali ini bukan karena bingung—melainkan karena bahagia. Ia membuka ponselnya, membuka pesan dari Rian yang belum dibalas: Rian: Gue seneng bisa bilang langsung ke lo, Kir. Apapun jawaban lo nanti, makasih udah dengerin. Kirana menatap layar lama. Jari-jarinya menyentuh keyboard, tapi ia urungkan. Belum saatnya. Ia belum siap menyakiti sahabatnya yang selama ini selalu ada. Tapi satu hal pasti, hatinya sudah condong. Perlahan tapi pasti, Kirana mulai yakin… bahwa perasaan yang tumbuh untuk Revan bukan kebetulan. Revan berdiri di balkon kamarnya, menatap langit malam. Pikirannya penuh oleh sosok Kirana. Senyum manisnya. Tatapan bingungnya. Ucapannya di bukit barusan. “Gue juga… mulai ngerasain yang sama.” Ucapan itu terus berputar di kepala Revan, membuatnya tersenyum sendiri. Untuk pertama kalinya, ia merasa ingin hubungan ini berjalan tanpa akhir kontrak. “Kirana…” bisiknya pelan, “Mulai sekarang, gue nggak mau pura-pura lagi.” Malam semakin larut. Di kamarnya yang temaram, Kirana menatap ponsel yang ia letakkan di atas meja. Jantungnya masih berdegup pelan—efek dari kalimat Revan yang belum juga reda. “Gue beneran suka sama lo, Kir.” “Nggak ada kontrak. Nggak ada sandiwara.” Ia mengingat lagi bagaimana Revan menatapnya sore tadi. Bukan tatapan biasa. Itu tatapan seseorang yang benar-benar jujur. Dan Kirana bisa merasakannya—itu bukan sekadar ucapan. Itu rasa. Perlahan, ia menulis pesan. Kirana: Makasih udah bawa aku ke tempat itu tadi. Aku suka. Tak sampai semenit, balasan datang. Revan: Kalau kamu suka, besok kita ke sana lagi. Kirana tersenyum sendiri. Pipinya hangat. Dadanya sesak oleh bahagia yang tak berlebihan, tapi justru mengalir pelan dan menyenangkan. Pagi di sekolah seperti biasa. Tapi kali ini, Kirana merasa semuanya berbeda. Seperti langit terlihat lebih biru, dan angin lebih sejuk dari biasanya. Saat ia melangkah ke kelas, Revan sudah duduk di bangkunya, dan saat matanya bertemu dengan mata Kirana, mereka tersenyum. Bukan senyum pura-pura. “Pagi,” kata Revan pelan. “Pagi,” jawab Kirana, menunduk malu. Nadine yang memperhatikan dari belakang cuma bisa terkekeh pelan. “Akhirnya,” gumamnya. Mereka duduk berdua di bawah pohon besar. Tak banyak bicara. Hanya duduk bersebelahan dengan sebotol teh kotak di tangan masing-masing. “Kir,” kata Revan tiba-tiba. “Hm?” “Mulai hari ini… boleh nggak kita berhenti pura-pura?” Kirana menoleh. “Berhenti gimana maksudnya?” “Ya… kita jalanin ini karena kita mau. Bukan karena orang tua, bukan karena kontrak. Tapi karena kita saling suka.” Kirana terdiam. Lalu perlahan, ia tersenyum dan mengangguk. “Iya. Kita mulai dari awal, tapi kali ini… tanpa kebohongan.” Revan mengulurkan tangan pelan ke arah Kirana. Kirana memandangnya sejenak, lalu menggenggamnya dengan mantap. Dan di bawah pohon itu, di tengah kebisingan sekolah, mereka berdua memulai sesuatu yang baru—tanpa tekanan, tanpa kontrak, hanya hati yang saling percaya.Sudah seminggu sejak Kirana dan Revan memutuskan untuk menjalin hubungan tanpa pura-pura. Tidak ada yang berubah secara drastis dari luar—mereka masih duduk di tempat biasa, masih berdebat kecil soal hal-hal receh, dan masih suka saling lempar sindiran. Tapi bagi mereka, semuanya terasa berbeda.Kini, setiap tatapan memiliki makna. Setiap senyuman terasa lebih hangat.“Gue jemput lo nanti sore. Jangan pulang cepet-cepet,” bisik Revan sambil menyerahkan roti coklat ke Kirana.Kirana menatapnya heran. “Ngapain lagi?”“Surprise.”Kirana pura-pura mendengus, tapi pipinya memerah. “Ya udah. Tapi jangan yang aneh-aneh.”Revan mengangkat alis. “Gue? Aneh? Nggak mungkin.”Kirana sudah menunggu di gerbang sekolah ketika Revan datang dengan motornya. Ia mengulurkan helm.“Siap?”Kirana mengangguk. “Siap.”Mereka kembali ke bukit tempat pertama kali Revan mengungkapkan perasaannya. Tapi kali ini, Revan membawa tikar kecil, makanan ringan, dan termos teh hangat.“Seriusan lo bawa beginian semua?”
Langit cerah di atas SMA Grahadi, menandakan hari yang cukup menyenangkan bagi para siswa yang baru memulai tahun ajaran baru. Aula sekolah penuh dengan suara riuh rendah para murid yang sedang berbincang. Beberapa asyik bercanda, sementara yang lain sibuk mencari tempat duduk untuk acara pembukaan tahun ajaran.Di antara mereka, seorang gadis berambut panjang dengan wajah manis tengah duduk sambil menopang dagunya. Kirana Ardiani, siswa kelas 11 yang terkenal cerdas dan mandiri, tampak tidak terlalu tertarik dengan suasana ramai di sekitarnya."Kirana! Lo kenapa diem aja? Harusnya lo semangat, kita udah naik kelas, nih!" ujar Nadine, sahabatnya, sambil menggoyangkan bahunya.Kirana menghela napas. "Nggak tahu, Nad. Kayaknya perasaanku nggak enak dari tadi pagi.""Yah, lo kebanyakan mikir! Udahlah, enjoy aja!" Nadine menepuk pundaknya dan kembali berceloteh tentang murid-murid baru yang masuk tahun ini.Acara pun dimulai dengan sambutan dari kepala sekolah. Namun, Kirana tidak terlalu
Kirana berjalan ke kantin dengan langkah ragu. Sejujurnya, ia ingin segera menyelesaikan tantangan ini dan kembali menjalani hidupnya seperti biasa. Tapi sayangnya, dengan Revan Pradipta di sampingnya, itu terasa mustahil.Sementara itu, kantin sudah mulai ramai. Begitu mereka masuk, semua mata langsung tertuju pada mereka.“Hei, itu Kirana dan Revan!”“Mereka beneran ikut Love Contract?”“Wah, pasangan baru nih! Asli nggak nyangka!”Kirana menggigit bibirnya. Ya ampun, ini baru hari pertama, tapi gosipnya sudah menyebar ke seluruh sekolah!Di sampingnya, Revan tetap dengan wajah datarnya, seolah tidak peduli sama sekali.“Kita pesan apa?” tanya Kirana akhirnya.Revan melirik ke arah menu dan berkata santai, “Nasi goreng aja.”Kirana menghela napas. “Ya udah, nasi goreng.”Mereka pun memesan dua porsi nasi goreng dan mencari tempat duduk. Sayangnya, hampir semua meja penuh. Yang tersisa hanya satu meja di tengah kantin, tepat di tempat paling terbuka.“Ya ampun, tempatnya di situ,” gu
Sejak percakapan aneh dengan Revan di kantin kemarin, Kirana jadi kepikiran terus. Kenapa dia tiba-tiba nanya soal Rian? Emangnya dia peduli?“Gue nggak ngerti jalan pikiran cowok itu,” gumamnya saat duduk di bangkunya pagi ini.Nadine yang baru datang langsung nyenggol lengannya. “Ngomongin siapa?”“Siapa lagi kalau bukan Revan,” jawab Kirana malas.Nadine tertawa. “Kenapa lagi? Dia ngelakuin sesuatu?”Kirana menghela napas. “Kemarin dia tiba-tiba nanya, ‘Lo suka Rian?’”Mata Nadine membesar. “HAH?!”“Ssstt! Jangan heboh,” desis Kirana sambil melirik ke sekeliling. Beberapa siswa yang sudah ada di kelas langsung memasang ekspresi kepo.Nadine menurunkan suaranya, tapi tetap bersemangat. “Lo jawab apa?”“Tentu aja gue bilang itu bukan urusan dia.”Nadine mengangguk-angguk. “Tapi tetep aja aneh. Revan nggak pernah peduli sama orang lain, apalagi nanya hal kayak gitu.”“Itulah yang bikin gue bingung,” gumam Kirana.Saat itu, pintu kelas terbuka dan Revan masuk dengan ekspresinya yang se
Sejak obrolannya dengan Rian di taman belakang sekolah, Kirana jadi makin ragu. Apa benar gue nggak boleh terlalu berharap? Tapi kenapa Revan tiba-tiba peduli?Hari-hari berlalu, tapi suasana di sekolah masih ramai dengan gosip soal dirinya dan Revan. Kirana berusaha tidak peduli, tapi dalam hati, ia tahu ada sesuatu yang mulai berubah—terutama dalam dirinya.Pagi Hari – Dalam KelasHari ini, Kirana datang lebih awal dan mendapati kelas masih sepi. Ia duduk di bangkunya sambil mengeluarkan buku catatan, berusaha mengalihkan pikirannya.Namun, baru beberapa menit, seseorang duduk di bangku sebelahnya.Revan.Seperti biasa, ekspresinya datar. Ia menatap Kirana sebentar sebelum berkata, “Lo seriusan nggak sakit lagi?”Kirana menghela napas. “Revan, gue udah bilang, gue baik-baik aja.”Revan diam sebentar sebelum mengangguk. “Bagus.”Kirana mengernyit. “Lo kenapa sih?”Revan menoleh. “Kenapa apa?”Kirana menatapnya tajam. “Kenapa lo tiba-tiba perhatian sama gue?”Revan terdiam. Tatapannya
Sejak percakapannya dengan Revan di koridor, Kirana tidak bisa lagi mengabaikan perasaan aneh yang mulai tumbuh dalam hatinya.Revan tidak main-main. Dia sendiri tidak yakin dengan perasaannya, tapi satu hal yang pasti—dia berubah.Dan perubahan itu terjadi karena Kirana.Namun, Kirana masih belum siap menghadapi kenyataan itu.Pagi Hari – KelasHari ini, Kirana kembali mencoba menjaga jarak dari Revan. Ia fokus pada buku catatannya, berharap bisa mengabaikan semua kebingungan dalam kepalanya.Tapi harapannya sia-sia.“Kir, lo masih marah sama gue?”Kirana tersentak. Ia mendongak dan melihat Revan berdiri di samping mejanya, tatapannya serius.Kirana buru-buru menggeleng. “Gue nggak marah.”Revan menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Oke.”Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, dia berjalan kembali ke tempat duduknya.Kirana menghela napas. Kenapa dia harus sesantai itu? Kenapa dia nggak kelihatan bingung kayak gue?Nadine, yang sejak tadi mengamati mereka, langsung menyenggol Kirana.
Sudah seminggu sejak Kirana dan Revan memutuskan untuk menjalin hubungan tanpa pura-pura. Tidak ada yang berubah secara drastis dari luar—mereka masih duduk di tempat biasa, masih berdebat kecil soal hal-hal receh, dan masih suka saling lempar sindiran. Tapi bagi mereka, semuanya terasa berbeda.Kini, setiap tatapan memiliki makna. Setiap senyuman terasa lebih hangat.“Gue jemput lo nanti sore. Jangan pulang cepet-cepet,” bisik Revan sambil menyerahkan roti coklat ke Kirana.Kirana menatapnya heran. “Ngapain lagi?”“Surprise.”Kirana pura-pura mendengus, tapi pipinya memerah. “Ya udah. Tapi jangan yang aneh-aneh.”Revan mengangkat alis. “Gue? Aneh? Nggak mungkin.”Kirana sudah menunggu di gerbang sekolah ketika Revan datang dengan motornya. Ia mengulurkan helm.“Siap?”Kirana mengangguk. “Siap.”Mereka kembali ke bukit tempat pertama kali Revan mengungkapkan perasaannya. Tapi kali ini, Revan membawa tikar kecil, makanan ringan, dan termos teh hangat.“Seriusan lo bawa beginian semua?”
Pagi itu, Kirana datang ke sekolah dengan kepala penuh pikiran. Ucapan Revan semalam masih terngiang di telinganya:“Kalau lo butuh satu alasan buat nggak nerima dia, mungkin gue bisa kasih.”Apa maksudnya? Apakah Revan juga mulai merasa hal yang sama kayak gue?Nadine mendekat sambil menyenggol bahu Kirana.“Lo kelihatan kayak orang kurang tidur. Jangan-jangan mikirin Revan?”Kirana langsung menatap Nadine dengan mata melebar.“Bukan! Maksudnya… ya nggak juga sih.”Nadine terkekeh. “Berarti iya.”Kirana menghela napas panjang. “Nad, gue beneran bingung. Revan berubah. Dia nggak kayak dulu yang nyebelin. Sekarang dia… perhatian. Tapi gue takut ini semua cuma bagian dari kontrak.”“Terus kalau bukan?” tanya Nadine serius.Kirana terdiam. Ia tidak punya jawaban.Saat Kirana berjalan menuju kantin, tiba-tiba Rian muncul dan berjalan di sampingnya.“Kir, lo ada waktu nanti sepulang sekolah?”“Ngapain?” tanya Kirana pelan.“Ada yang mau gue omongin. Penting.”Kirana menatap Rian. Tatapan c
Sejak percakapannya dengan Revan di koridor, Kirana tidak bisa lagi mengabaikan perasaan aneh yang mulai tumbuh dalam hatinya.Revan tidak main-main. Dia sendiri tidak yakin dengan perasaannya, tapi satu hal yang pasti—dia berubah.Dan perubahan itu terjadi karena Kirana.Namun, Kirana masih belum siap menghadapi kenyataan itu.Pagi Hari – KelasHari ini, Kirana kembali mencoba menjaga jarak dari Revan. Ia fokus pada buku catatannya, berharap bisa mengabaikan semua kebingungan dalam kepalanya.Tapi harapannya sia-sia.“Kir, lo masih marah sama gue?”Kirana tersentak. Ia mendongak dan melihat Revan berdiri di samping mejanya, tatapannya serius.Kirana buru-buru menggeleng. “Gue nggak marah.”Revan menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Oke.”Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, dia berjalan kembali ke tempat duduknya.Kirana menghela napas. Kenapa dia harus sesantai itu? Kenapa dia nggak kelihatan bingung kayak gue?Nadine, yang sejak tadi mengamati mereka, langsung menyenggol Kirana.
Sejak obrolannya dengan Rian di taman belakang sekolah, Kirana jadi makin ragu. Apa benar gue nggak boleh terlalu berharap? Tapi kenapa Revan tiba-tiba peduli?Hari-hari berlalu, tapi suasana di sekolah masih ramai dengan gosip soal dirinya dan Revan. Kirana berusaha tidak peduli, tapi dalam hati, ia tahu ada sesuatu yang mulai berubah—terutama dalam dirinya.Pagi Hari – Dalam KelasHari ini, Kirana datang lebih awal dan mendapati kelas masih sepi. Ia duduk di bangkunya sambil mengeluarkan buku catatan, berusaha mengalihkan pikirannya.Namun, baru beberapa menit, seseorang duduk di bangku sebelahnya.Revan.Seperti biasa, ekspresinya datar. Ia menatap Kirana sebentar sebelum berkata, “Lo seriusan nggak sakit lagi?”Kirana menghela napas. “Revan, gue udah bilang, gue baik-baik aja.”Revan diam sebentar sebelum mengangguk. “Bagus.”Kirana mengernyit. “Lo kenapa sih?”Revan menoleh. “Kenapa apa?”Kirana menatapnya tajam. “Kenapa lo tiba-tiba perhatian sama gue?”Revan terdiam. Tatapannya
Sejak percakapan aneh dengan Revan di kantin kemarin, Kirana jadi kepikiran terus. Kenapa dia tiba-tiba nanya soal Rian? Emangnya dia peduli?“Gue nggak ngerti jalan pikiran cowok itu,” gumamnya saat duduk di bangkunya pagi ini.Nadine yang baru datang langsung nyenggol lengannya. “Ngomongin siapa?”“Siapa lagi kalau bukan Revan,” jawab Kirana malas.Nadine tertawa. “Kenapa lagi? Dia ngelakuin sesuatu?”Kirana menghela napas. “Kemarin dia tiba-tiba nanya, ‘Lo suka Rian?’”Mata Nadine membesar. “HAH?!”“Ssstt! Jangan heboh,” desis Kirana sambil melirik ke sekeliling. Beberapa siswa yang sudah ada di kelas langsung memasang ekspresi kepo.Nadine menurunkan suaranya, tapi tetap bersemangat. “Lo jawab apa?”“Tentu aja gue bilang itu bukan urusan dia.”Nadine mengangguk-angguk. “Tapi tetep aja aneh. Revan nggak pernah peduli sama orang lain, apalagi nanya hal kayak gitu.”“Itulah yang bikin gue bingung,” gumam Kirana.Saat itu, pintu kelas terbuka dan Revan masuk dengan ekspresinya yang se
Kirana berjalan ke kantin dengan langkah ragu. Sejujurnya, ia ingin segera menyelesaikan tantangan ini dan kembali menjalani hidupnya seperti biasa. Tapi sayangnya, dengan Revan Pradipta di sampingnya, itu terasa mustahil.Sementara itu, kantin sudah mulai ramai. Begitu mereka masuk, semua mata langsung tertuju pada mereka.“Hei, itu Kirana dan Revan!”“Mereka beneran ikut Love Contract?”“Wah, pasangan baru nih! Asli nggak nyangka!”Kirana menggigit bibirnya. Ya ampun, ini baru hari pertama, tapi gosipnya sudah menyebar ke seluruh sekolah!Di sampingnya, Revan tetap dengan wajah datarnya, seolah tidak peduli sama sekali.“Kita pesan apa?” tanya Kirana akhirnya.Revan melirik ke arah menu dan berkata santai, “Nasi goreng aja.”Kirana menghela napas. “Ya udah, nasi goreng.”Mereka pun memesan dua porsi nasi goreng dan mencari tempat duduk. Sayangnya, hampir semua meja penuh. Yang tersisa hanya satu meja di tengah kantin, tepat di tempat paling terbuka.“Ya ampun, tempatnya di situ,” gu
Langit cerah di atas SMA Grahadi, menandakan hari yang cukup menyenangkan bagi para siswa yang baru memulai tahun ajaran baru. Aula sekolah penuh dengan suara riuh rendah para murid yang sedang berbincang. Beberapa asyik bercanda, sementara yang lain sibuk mencari tempat duduk untuk acara pembukaan tahun ajaran.Di antara mereka, seorang gadis berambut panjang dengan wajah manis tengah duduk sambil menopang dagunya. Kirana Ardiani, siswa kelas 11 yang terkenal cerdas dan mandiri, tampak tidak terlalu tertarik dengan suasana ramai di sekitarnya."Kirana! Lo kenapa diem aja? Harusnya lo semangat, kita udah naik kelas, nih!" ujar Nadine, sahabatnya, sambil menggoyangkan bahunya.Kirana menghela napas. "Nggak tahu, Nad. Kayaknya perasaanku nggak enak dari tadi pagi.""Yah, lo kebanyakan mikir! Udahlah, enjoy aja!" Nadine menepuk pundaknya dan kembali berceloteh tentang murid-murid baru yang masuk tahun ini.Acara pun dimulai dengan sambutan dari kepala sekolah. Namun, Kirana tidak terlalu