Sejak obrolannya dengan Rian di taman belakang sekolah, Kirana jadi makin ragu. Apa benar gue nggak boleh terlalu berharap? Tapi kenapa Revan tiba-tiba peduli?
Hari-hari berlalu, tapi suasana di sekolah masih ramai dengan gosip soal dirinya dan Revan. Kirana berusaha tidak peduli, tapi dalam hati, ia tahu ada sesuatu yang mulai berubah—terutama dalam dirinya. Pagi Hari – Dalam Kelas Hari ini, Kirana datang lebih awal dan mendapati kelas masih sepi. Ia duduk di bangkunya sambil mengeluarkan buku catatan, berusaha mengalihkan pikirannya. Namun, baru beberapa menit, seseorang duduk di bangku sebelahnya. Revan. Seperti biasa, ekspresinya datar. Ia menatap Kirana sebentar sebelum berkata, “Lo seriusan nggak sakit lagi?” Kirana menghela napas. “Revan, gue udah bilang, gue baik-baik aja.” Revan diam sebentar sebelum mengangguk. “Bagus.” Kirana mengernyit. “Lo kenapa sih?” Revan menoleh. “Kenapa apa?” Kirana menatapnya tajam. “Kenapa lo tiba-tiba perhatian sama gue?” Revan terdiam. Tatapannya tidak berubah, tapi ada sesuatu di matanya yang sulit ditebak. “Apa ini karena Love Contract itu?” tanya Kirana lagi, mencoba memastikan. Revan tidak langsung menjawab. Ia menatap Kirana beberapa detik sebelum berkata pelan, “Mungkin.” Kirana merasa ada yang aneh dengan jawabannya. Seakan… Revan sendiri tidak yakin. Sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, bel masuk berbunyi, dan Revan berdiri. “Gue ke tempat duduk.” Kirana hanya bisa menatap punggungnya yang berjalan menjauh. Kenapa dia selalu bikin gue makin bingung? Jam Istirahat – Lapangan Basket Setelah berjam-jam berkutat dengan pelajaran, Kirana butuh udara segar. Ia memutuskan pergi ke lapangan basket yang sepi, berharap bisa menenangkan pikirannya. Tapi ternyata, ia tidak sendirian. Revan ada di sana, lagi-lagi sedang latihan sendirian. Kirana ragu sejenak, tapi akhirnya duduk di bangku tribun, memperhatikannya. Setiap gerakan Revan selalu penuh fokus. Ia tidak pernah terlihat bermain asal-asalan. Seolah basket adalah satu-satunya hal yang bisa membuatnya lupa dengan dunia sekitar. Namun, tiba-tiba, Revan berhenti bermain dan berjalan ke arahnya. Kirana langsung panik. Astaga, gue ketahuan lagi! “Ngapain di sini?” tanya Revan saat sudah berdiri di depannya. Kirana berusaha bersikap santai. “Cuma cari udara segar.” Revan duduk di sebelahnya, mengambil botol air dan meminumnya. Lalu, tanpa menoleh, ia bertanya, “Lo masih mikirin pertanyaan lo tadi?” Kirana terdiam. “Apa?” “Soal kenapa gue perhatian.” Kirana menggigit bibirnya. “Iya…” Revan terdiam lama sebelum akhirnya berkata, “Gue juga nggak ngerti.” Kirana menoleh cepat. “Hah?” Revan masih menatap ke depan. “Gue juga bingung kenapa gue jadi begini.” Kirana semakin tidak mengerti. “Maksud lo?” Revan menarik napas dalam, lalu menoleh menatap Kirana langsung. “Gue nggak pernah peduli sama urusan orang lain. Tapi entah kenapa, sama lo… rasanya beda.” Deg. Jantung Kirana berdegup lebih kencang. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Apakah itu berarti…? Tapi sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, Revan berdiri. “Gue balik ke kelas dulu.” Ia berjalan pergi, meninggalkan Kirana yang masih diam di tempat, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Apakah Revan mulai menyukainya? Atau ini hanya bagian dari Love Contract mereka? Dan yang lebih penting… bagaimana dengan perasaannya sendiri? Sejak percakapannya dengan Revan di lapangan basket, Kirana jadi semakin gelisah. Kata-kata cowok itu terus terngiang di kepalanya. “Gue nggak pernah peduli sama urusan orang lain. Tapi entah kenapa, sama lo… rasanya beda.” Apa maksudnya? Apa dia serius? Saat ia kembali ke kelas, Nadine langsung menyergapnya dengan penuh antusias. “Kir, lo kemana aja? Gue denger lo barusan sama Revan di lapangan basket?” Kirana terkesiap. “Dari mana lo tahu?” Nadine mengedip jahil. “Ya jelas, gosip di sekolah ini menyebar lebih cepat dari kilat.” Kirana menghela napas. “Gue cuma kebetulan ada di sana.” Nadine mendekat, menatapnya penuh selidik. “Dan? Ada yang terjadi?” Kirana ragu sejenak, lalu menggeleng. “Nggak ada.” Ia tahu Nadine tidak akan puas dengan jawaban itu, tapi ia sendiri belum siap menceritakannya. Bagaimana kalau Revan hanya bercanda? Bagaimana kalau Kirana terlalu berharap? Sore Hari – Perpustakaan Sekolah Kirana memutuskan untuk menghindari keramaian dan menghabiskan waktu di perpustakaan. Ia berharap suasana tenang bisa membuatnya berpikir lebih jernih. Namun, rencana itu langsung gagal ketika seseorang tiba-tiba duduk di depannya. Rian. Kirana menatapnya heran. “Lo ngapain di sini?” Rian tersenyum kecil. “Nyari lo.” Kirana mengerutkan kening. “Kenapa?” Rian menatapnya dengan serius. “Kirana, gue cuma mau bilang satu hal. Gue nggak mau lo terluka.” Kirana menghela napas. “Kenapa semua orang ngomong gitu?” Rian terdiam sejenak sebelum berkata, “Karena gue tahu Revan bukan tipe orang yang gampang terbuka. Kalau dia deketin lo, mungkin itu hanya sementara.” Kirana merasa hatinya mencelos. “Jadi lo pikir dia cuma main-main?” Rian tidak langsung menjawab. “Gue nggak tahu. Tapi yang gue tahu, gue nggak mau lo sakit hati.” Kirana menggigit bibirnya. Ia tahu Rian hanya peduli, tapi kata-katanya malah membuatnya semakin ragu. Apakah Revan benar-benar tulus? Atau ini hanya karena Love Contract mereka? Dan yang lebih penting… apa yang sebenarnya Kirana rasakan? Malam Hari – Rumah Kirana Di kamar, Kirana berbaring di kasurnya, menatap langit-langit dengan pikiran penuh. Ia mengambil cooling gel patch dari meja belajarnya, benda kecil yang Revan berikan tempo hari. Kalau dia memang nggak peduli, kenapa dia melakukan ini? Ponselnya tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan masuk. Revan: Udah tidur? Kirana terkejut. Kenapa dia tiba-tiba chat? Tangannya ragu sebelum akhirnya mengetik balasan. Kirana: Belum. Kenapa? Beberapa detik kemudian, balasan masuk. Revan: Nggak apa-apa. Cuma nanya. Kirana menatap layar ponselnya lama. Sesuatu dalam dirinya mulai berubah. Hatinya berdebar lebih cepat. Apakah ini… yang namanya suka? Setelah membaca pesan dari Revan, Kirana tidak bisa tidur dengan tenang. Hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan yang belum bisa ia jawab. Kenapa Revan tiba-tiba peduli? Apa dia benar-benar tulus? Atau ini hanya karena Love Contract mereka? Keesokan paginya, Kirana memutuskan untuk menjaga jarak dari Revan. Ia butuh waktu untuk berpikir. Pagi Hari – Kelas Saat tiba di sekolah, Kirana langsung menuju bangkunya tanpa menoleh ke arah Revan. Ia berusaha bersikap biasa saja, tapi Nadine dengan cepat menyadarinya. “Kir, lo kenapa sih? Biasanya lo minimal lirik-lirik ke Revan,” goda Nadine sambil tersenyum jahil. Kirana menghela napas. “Gue cuma lagi nggak mau ribet.” Nadine mengerutkan kening. “Lo ada masalah sama Revan?” “Nggak ada.” Nadine menatapnya curiga, tapi sebelum bisa bertanya lebih jauh, suara ketukan meja terdengar. Revan. Kirana terkejut saat melihat cowok itu berdiri di sebelah mejanya. “Kita bisa ngomong sebentar?” tanyanya dengan nada datar, tapi sorot matanya serius. Kirana ragu. Ia ingin menghindari Revan, tapi teman sekelas mereka sudah mulai berbisik-bisik. Akhirnya, ia mengangguk dan mengikuti Revan keluar kelas. Di Koridor Sekolah Kirana berdiri bersandar di dinding, sementara Revan memasukkan kedua tangannya ke saku celana. “Kenapa lo menghindar?” tanya Revan langsung. Kirana terkesiap. “Apa?” Revan menatapnya tajam. “Sejak kemarin, lo nggak mau ngobrol sama gue. Lo bahkan nggak mau lihat ke arah gue.” Kirana menggigit bibirnya. “Gue cuma… butuh waktu buat mikir.” Revan tetap diam, menunggunya melanjutkan. Kirana menarik napas dalam. “Gue nggak ngerti, Revan. Kenapa lo tiba-tiba peduli? Apa ini cuma karena Love Contract?” Revan terdiam beberapa detik sebelum akhirnya berkata, “Awalnya mungkin iya.” Jawaban itu membuat Kirana menahan napas. “Tapi sekarang…” Revan menatapnya, lebih dalam dari sebelumnya. “Gue sendiri nggak yakin.” Jantung Kirana berdebar keras. Ia tidak tahu harus bagaimana menanggapi kata-kata Revan. “Tapi kalau lo nggak nyaman, gue nggak akan maksa,” lanjut Revan. “Gue cuma mau lo tahu, gue nggak main-main.” Setelah mengatakan itu, Revan berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Kirana yang masih terpaku di tempatnya. Hatinya semakin bimbang. Apa yang harus ia lakukan sekarang?Sejak percakapannya dengan Revan di koridor, Kirana tidak bisa lagi mengabaikan perasaan aneh yang mulai tumbuh dalam hatinya.Revan tidak main-main. Dia sendiri tidak yakin dengan perasaannya, tapi satu hal yang pasti—dia berubah.Dan perubahan itu terjadi karena Kirana.Namun, Kirana masih belum siap menghadapi kenyataan itu.Pagi Hari – KelasHari ini, Kirana kembali mencoba menjaga jarak dari Revan. Ia fokus pada buku catatannya, berharap bisa mengabaikan semua kebingungan dalam kepalanya.Tapi harapannya sia-sia.“Kir, lo masih marah sama gue?”Kirana tersentak. Ia mendongak dan melihat Revan berdiri di samping mejanya, tatapannya serius.Kirana buru-buru menggeleng. “Gue nggak marah.”Revan menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Oke.”Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, dia berjalan kembali ke tempat duduknya.Kirana menghela napas. Kenapa dia harus sesantai itu? Kenapa dia nggak kelihatan bingung kayak gue?Nadine, yang sejak tadi mengamati mereka, langsung menyenggol Kirana.
Pagi itu, Kirana datang ke sekolah dengan kepala penuh pikiran. Ucapan Revan semalam masih terngiang di telinganya:“Kalau lo butuh satu alasan buat nggak nerima dia, mungkin gue bisa kasih.”Apa maksudnya? Apakah Revan juga mulai merasa hal yang sama kayak gue?Nadine mendekat sambil menyenggol bahu Kirana.“Lo kelihatan kayak orang kurang tidur. Jangan-jangan mikirin Revan?”Kirana langsung menatap Nadine dengan mata melebar.“Bukan! Maksudnya… ya nggak juga sih.”Nadine terkekeh. “Berarti iya.”Kirana menghela napas panjang. “Nad, gue beneran bingung. Revan berubah. Dia nggak kayak dulu yang nyebelin. Sekarang dia… perhatian. Tapi gue takut ini semua cuma bagian dari kontrak.”“Terus kalau bukan?” tanya Nadine serius.Kirana terdiam. Ia tidak punya jawaban.Saat Kirana berjalan menuju kantin, tiba-tiba Rian muncul dan berjalan di sampingnya.“Kir, lo ada waktu nanti sepulang sekolah?”“Ngapain?” tanya Kirana pelan.“Ada yang mau gue omongin. Penting.”Kirana menatap Rian. Tatapan c
Sudah seminggu sejak Kirana dan Revan memutuskan untuk menjalin hubungan tanpa pura-pura. Tidak ada yang berubah secara drastis dari luar—mereka masih duduk di tempat biasa, masih berdebat kecil soal hal-hal receh, dan masih suka saling lempar sindiran. Tapi bagi mereka, semuanya terasa berbeda.Kini, setiap tatapan memiliki makna. Setiap senyuman terasa lebih hangat.“Gue jemput lo nanti sore. Jangan pulang cepet-cepet,” bisik Revan sambil menyerahkan roti coklat ke Kirana.Kirana menatapnya heran. “Ngapain lagi?”“Surprise.”Kirana pura-pura mendengus, tapi pipinya memerah. “Ya udah. Tapi jangan yang aneh-aneh.”Revan mengangkat alis. “Gue? Aneh? Nggak mungkin.”Kirana sudah menunggu di gerbang sekolah ketika Revan datang dengan motornya. Ia mengulurkan helm.“Siap?”Kirana mengangguk. “Siap.”Mereka kembali ke bukit tempat pertama kali Revan mengungkapkan perasaannya. Tapi kali ini, Revan membawa tikar kecil, makanan ringan, dan termos teh hangat.“Seriusan lo bawa beginian semua?”
Langit cerah di atas SMA Grahadi, menandakan hari yang cukup menyenangkan bagi para siswa yang baru memulai tahun ajaran baru. Aula sekolah penuh dengan suara riuh rendah para murid yang sedang berbincang. Beberapa asyik bercanda, sementara yang lain sibuk mencari tempat duduk untuk acara pembukaan tahun ajaran.Di antara mereka, seorang gadis berambut panjang dengan wajah manis tengah duduk sambil menopang dagunya. Kirana Ardiani, siswa kelas 11 yang terkenal cerdas dan mandiri, tampak tidak terlalu tertarik dengan suasana ramai di sekitarnya."Kirana! Lo kenapa diem aja? Harusnya lo semangat, kita udah naik kelas, nih!" ujar Nadine, sahabatnya, sambil menggoyangkan bahunya.Kirana menghela napas. "Nggak tahu, Nad. Kayaknya perasaanku nggak enak dari tadi pagi.""Yah, lo kebanyakan mikir! Udahlah, enjoy aja!" Nadine menepuk pundaknya dan kembali berceloteh tentang murid-murid baru yang masuk tahun ini.Acara pun dimulai dengan sambutan dari kepala sekolah. Namun, Kirana tidak terlalu
Kirana berjalan ke kantin dengan langkah ragu. Sejujurnya, ia ingin segera menyelesaikan tantangan ini dan kembali menjalani hidupnya seperti biasa. Tapi sayangnya, dengan Revan Pradipta di sampingnya, itu terasa mustahil.Sementara itu, kantin sudah mulai ramai. Begitu mereka masuk, semua mata langsung tertuju pada mereka.“Hei, itu Kirana dan Revan!”“Mereka beneran ikut Love Contract?”“Wah, pasangan baru nih! Asli nggak nyangka!”Kirana menggigit bibirnya. Ya ampun, ini baru hari pertama, tapi gosipnya sudah menyebar ke seluruh sekolah!Di sampingnya, Revan tetap dengan wajah datarnya, seolah tidak peduli sama sekali.“Kita pesan apa?” tanya Kirana akhirnya.Revan melirik ke arah menu dan berkata santai, “Nasi goreng aja.”Kirana menghela napas. “Ya udah, nasi goreng.”Mereka pun memesan dua porsi nasi goreng dan mencari tempat duduk. Sayangnya, hampir semua meja penuh. Yang tersisa hanya satu meja di tengah kantin, tepat di tempat paling terbuka.“Ya ampun, tempatnya di situ,” gu
Sejak percakapan aneh dengan Revan di kantin kemarin, Kirana jadi kepikiran terus. Kenapa dia tiba-tiba nanya soal Rian? Emangnya dia peduli?“Gue nggak ngerti jalan pikiran cowok itu,” gumamnya saat duduk di bangkunya pagi ini.Nadine yang baru datang langsung nyenggol lengannya. “Ngomongin siapa?”“Siapa lagi kalau bukan Revan,” jawab Kirana malas.Nadine tertawa. “Kenapa lagi? Dia ngelakuin sesuatu?”Kirana menghela napas. “Kemarin dia tiba-tiba nanya, ‘Lo suka Rian?’”Mata Nadine membesar. “HAH?!”“Ssstt! Jangan heboh,” desis Kirana sambil melirik ke sekeliling. Beberapa siswa yang sudah ada di kelas langsung memasang ekspresi kepo.Nadine menurunkan suaranya, tapi tetap bersemangat. “Lo jawab apa?”“Tentu aja gue bilang itu bukan urusan dia.”Nadine mengangguk-angguk. “Tapi tetep aja aneh. Revan nggak pernah peduli sama orang lain, apalagi nanya hal kayak gitu.”“Itulah yang bikin gue bingung,” gumam Kirana.Saat itu, pintu kelas terbuka dan Revan masuk dengan ekspresinya yang se
Sudah seminggu sejak Kirana dan Revan memutuskan untuk menjalin hubungan tanpa pura-pura. Tidak ada yang berubah secara drastis dari luar—mereka masih duduk di tempat biasa, masih berdebat kecil soal hal-hal receh, dan masih suka saling lempar sindiran. Tapi bagi mereka, semuanya terasa berbeda.Kini, setiap tatapan memiliki makna. Setiap senyuman terasa lebih hangat.“Gue jemput lo nanti sore. Jangan pulang cepet-cepet,” bisik Revan sambil menyerahkan roti coklat ke Kirana.Kirana menatapnya heran. “Ngapain lagi?”“Surprise.”Kirana pura-pura mendengus, tapi pipinya memerah. “Ya udah. Tapi jangan yang aneh-aneh.”Revan mengangkat alis. “Gue? Aneh? Nggak mungkin.”Kirana sudah menunggu di gerbang sekolah ketika Revan datang dengan motornya. Ia mengulurkan helm.“Siap?”Kirana mengangguk. “Siap.”Mereka kembali ke bukit tempat pertama kali Revan mengungkapkan perasaannya. Tapi kali ini, Revan membawa tikar kecil, makanan ringan, dan termos teh hangat.“Seriusan lo bawa beginian semua?”
Pagi itu, Kirana datang ke sekolah dengan kepala penuh pikiran. Ucapan Revan semalam masih terngiang di telinganya:“Kalau lo butuh satu alasan buat nggak nerima dia, mungkin gue bisa kasih.”Apa maksudnya? Apakah Revan juga mulai merasa hal yang sama kayak gue?Nadine mendekat sambil menyenggol bahu Kirana.“Lo kelihatan kayak orang kurang tidur. Jangan-jangan mikirin Revan?”Kirana langsung menatap Nadine dengan mata melebar.“Bukan! Maksudnya… ya nggak juga sih.”Nadine terkekeh. “Berarti iya.”Kirana menghela napas panjang. “Nad, gue beneran bingung. Revan berubah. Dia nggak kayak dulu yang nyebelin. Sekarang dia… perhatian. Tapi gue takut ini semua cuma bagian dari kontrak.”“Terus kalau bukan?” tanya Nadine serius.Kirana terdiam. Ia tidak punya jawaban.Saat Kirana berjalan menuju kantin, tiba-tiba Rian muncul dan berjalan di sampingnya.“Kir, lo ada waktu nanti sepulang sekolah?”“Ngapain?” tanya Kirana pelan.“Ada yang mau gue omongin. Penting.”Kirana menatap Rian. Tatapan c
Sejak percakapannya dengan Revan di koridor, Kirana tidak bisa lagi mengabaikan perasaan aneh yang mulai tumbuh dalam hatinya.Revan tidak main-main. Dia sendiri tidak yakin dengan perasaannya, tapi satu hal yang pasti—dia berubah.Dan perubahan itu terjadi karena Kirana.Namun, Kirana masih belum siap menghadapi kenyataan itu.Pagi Hari – KelasHari ini, Kirana kembali mencoba menjaga jarak dari Revan. Ia fokus pada buku catatannya, berharap bisa mengabaikan semua kebingungan dalam kepalanya.Tapi harapannya sia-sia.“Kir, lo masih marah sama gue?”Kirana tersentak. Ia mendongak dan melihat Revan berdiri di samping mejanya, tatapannya serius.Kirana buru-buru menggeleng. “Gue nggak marah.”Revan menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Oke.”Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, dia berjalan kembali ke tempat duduknya.Kirana menghela napas. Kenapa dia harus sesantai itu? Kenapa dia nggak kelihatan bingung kayak gue?Nadine, yang sejak tadi mengamati mereka, langsung menyenggol Kirana.
Sejak obrolannya dengan Rian di taman belakang sekolah, Kirana jadi makin ragu. Apa benar gue nggak boleh terlalu berharap? Tapi kenapa Revan tiba-tiba peduli?Hari-hari berlalu, tapi suasana di sekolah masih ramai dengan gosip soal dirinya dan Revan. Kirana berusaha tidak peduli, tapi dalam hati, ia tahu ada sesuatu yang mulai berubah—terutama dalam dirinya.Pagi Hari – Dalam KelasHari ini, Kirana datang lebih awal dan mendapati kelas masih sepi. Ia duduk di bangkunya sambil mengeluarkan buku catatan, berusaha mengalihkan pikirannya.Namun, baru beberapa menit, seseorang duduk di bangku sebelahnya.Revan.Seperti biasa, ekspresinya datar. Ia menatap Kirana sebentar sebelum berkata, “Lo seriusan nggak sakit lagi?”Kirana menghela napas. “Revan, gue udah bilang, gue baik-baik aja.”Revan diam sebentar sebelum mengangguk. “Bagus.”Kirana mengernyit. “Lo kenapa sih?”Revan menoleh. “Kenapa apa?”Kirana menatapnya tajam. “Kenapa lo tiba-tiba perhatian sama gue?”Revan terdiam. Tatapannya
Sejak percakapan aneh dengan Revan di kantin kemarin, Kirana jadi kepikiran terus. Kenapa dia tiba-tiba nanya soal Rian? Emangnya dia peduli?“Gue nggak ngerti jalan pikiran cowok itu,” gumamnya saat duduk di bangkunya pagi ini.Nadine yang baru datang langsung nyenggol lengannya. “Ngomongin siapa?”“Siapa lagi kalau bukan Revan,” jawab Kirana malas.Nadine tertawa. “Kenapa lagi? Dia ngelakuin sesuatu?”Kirana menghela napas. “Kemarin dia tiba-tiba nanya, ‘Lo suka Rian?’”Mata Nadine membesar. “HAH?!”“Ssstt! Jangan heboh,” desis Kirana sambil melirik ke sekeliling. Beberapa siswa yang sudah ada di kelas langsung memasang ekspresi kepo.Nadine menurunkan suaranya, tapi tetap bersemangat. “Lo jawab apa?”“Tentu aja gue bilang itu bukan urusan dia.”Nadine mengangguk-angguk. “Tapi tetep aja aneh. Revan nggak pernah peduli sama orang lain, apalagi nanya hal kayak gitu.”“Itulah yang bikin gue bingung,” gumam Kirana.Saat itu, pintu kelas terbuka dan Revan masuk dengan ekspresinya yang se
Kirana berjalan ke kantin dengan langkah ragu. Sejujurnya, ia ingin segera menyelesaikan tantangan ini dan kembali menjalani hidupnya seperti biasa. Tapi sayangnya, dengan Revan Pradipta di sampingnya, itu terasa mustahil.Sementara itu, kantin sudah mulai ramai. Begitu mereka masuk, semua mata langsung tertuju pada mereka.“Hei, itu Kirana dan Revan!”“Mereka beneran ikut Love Contract?”“Wah, pasangan baru nih! Asli nggak nyangka!”Kirana menggigit bibirnya. Ya ampun, ini baru hari pertama, tapi gosipnya sudah menyebar ke seluruh sekolah!Di sampingnya, Revan tetap dengan wajah datarnya, seolah tidak peduli sama sekali.“Kita pesan apa?” tanya Kirana akhirnya.Revan melirik ke arah menu dan berkata santai, “Nasi goreng aja.”Kirana menghela napas. “Ya udah, nasi goreng.”Mereka pun memesan dua porsi nasi goreng dan mencari tempat duduk. Sayangnya, hampir semua meja penuh. Yang tersisa hanya satu meja di tengah kantin, tepat di tempat paling terbuka.“Ya ampun, tempatnya di situ,” gu
Langit cerah di atas SMA Grahadi, menandakan hari yang cukup menyenangkan bagi para siswa yang baru memulai tahun ajaran baru. Aula sekolah penuh dengan suara riuh rendah para murid yang sedang berbincang. Beberapa asyik bercanda, sementara yang lain sibuk mencari tempat duduk untuk acara pembukaan tahun ajaran.Di antara mereka, seorang gadis berambut panjang dengan wajah manis tengah duduk sambil menopang dagunya. Kirana Ardiani, siswa kelas 11 yang terkenal cerdas dan mandiri, tampak tidak terlalu tertarik dengan suasana ramai di sekitarnya."Kirana! Lo kenapa diem aja? Harusnya lo semangat, kita udah naik kelas, nih!" ujar Nadine, sahabatnya, sambil menggoyangkan bahunya.Kirana menghela napas. "Nggak tahu, Nad. Kayaknya perasaanku nggak enak dari tadi pagi.""Yah, lo kebanyakan mikir! Udahlah, enjoy aja!" Nadine menepuk pundaknya dan kembali berceloteh tentang murid-murid baru yang masuk tahun ini.Acara pun dimulai dengan sambutan dari kepala sekolah. Namun, Kirana tidak terlalu