Sejak percakapan aneh dengan Revan di kantin kemarin, Kirana jadi kepikiran terus. Kenapa dia tiba-tiba nanya soal Rian? Emangnya dia peduli?
“Gue nggak ngerti jalan pikiran cowok itu,” gumamnya saat duduk di bangkunya pagi ini. Nadine yang baru datang langsung nyenggol lengannya. “Ngomongin siapa?” “Siapa lagi kalau bukan Revan,” jawab Kirana malas. Nadine tertawa. “Kenapa lagi? Dia ngelakuin sesuatu?” Kirana menghela napas. “Kemarin dia tiba-tiba nanya, ‘Lo suka Rian?’” Mata Nadine membesar. “HAH?!” “Ssstt! Jangan heboh,” desis Kirana sambil melirik ke sekeliling. Beberapa siswa yang sudah ada di kelas langsung memasang ekspresi kepo. Nadine menurunkan suaranya, tapi tetap bersemangat. “Lo jawab apa?” “Tentu aja gue bilang itu bukan urusan dia.” Nadine mengangguk-angguk. “Tapi tetep aja aneh. Revan nggak pernah peduli sama orang lain, apalagi nanya hal kayak gitu.” “Itulah yang bikin gue bingung,” gumam Kirana. Saat itu, pintu kelas terbuka dan Revan masuk dengan ekspresinya yang seperti biasa—datar dan nggak tertarik pada sekelilingnya. Tapi, saat tatapannya dan Kirana bertemu, cowok itu sempat diam sebentar sebelum berjalan ke bangkunya tanpa berkata apa-apa. Nadine melihat itu dan berbisik, “Dia kayaknya nggak santai.” Kirana menoleh. “Hah? Maksud lo?” Nadine tersenyum penuh arti. “Intuisiku bilang dia mulai kepo sama lo.” Kirana mendengus. “Jangan halu.” Tapi entah kenapa, hatinya jadi nggak tenang. Saat Jam Olahraga Hari ini mereka ada pelajaran olahraga, dan sialnya, pelatih menyuruh mereka melakukan permainan voli. Kirana tidak terlalu suka voli karena ia selalu gugup kalau harus menerima bola. “Kirana, jaga belakang!” teriak Nadine. Baru saja Kirana siap, tiba-tiba lawan mereka—yang tidak lain adalah Rian—memukul bola cukup keras. Kirana berusaha menangkapnya, tapi… Bugh! Bola malah mengenai wajahnya. Seketika, semua orang menahan napas. “Kirana!” Nadine langsung berlari mendekatinya. Rian juga buru-buru datang. “Astaga, Kir, lo nggak apa-apa? Maaf, gue nggak sengaja.” Kirana mengusap wajahnya yang agak nyeri. “Gue nggak apa-apa.” Tapi sebelum ada yang sempat berkata lebih jauh, seseorang mendekat. Revan. Tanpa berkata apa-apa, dia langsung menarik pergelangan tangan Kirana dan memeriksa wajahnya dengan ekspresi datar. “Sakit?” Kirana yang masih syok hanya bisa mengangguk pelan. Revan menghela napas, lalu menatap Rian dengan tajam. “Lo bisa lebih hati-hati, kan?” Rian mengangkat tangan tanda menyerah. “Gue udah bilang gue nggak sengaja.” “Tapi tetap aja, lo terlalu keras mukulnya,” balas Revan. Semua orang yang melihat kejadian itu langsung memasang ekspresi kaget. Nggak salah ini? Revan Pradipta marah demi Kirana? Kirana sendiri masih bingung dengan situasi ini. “Revan, gue nggak apa-apa. Udah, jangan diperpanjang.” Revan tetap menatap Rian beberapa detik sebelum akhirnya melepaskan pergelangan tangan Kirana dan pergi tanpa berkata apa-apa. Kirana menghela napas. Apa sih maunya cowok itu? Dan kenapa hatinya berdebar saat Revan tadi menatapnya? Setelah kejadian di lapangan, suasana di antara Kirana, Rian, dan Revan jadi terasa aneh. Apalagi, gosip soal bagaimana Revan “membela” Kirana langsung menyebar ke seluruh sekolah. Di kantin, Nadine tidak berhenti menyenggol Kirana dengan tatapan jahil. “Gila, Kir. Gue nggak nyangka Revan bisa segitunya sama lo.” Kirana mendesah. “Gue juga nggak ngerti. Kenapa dia malah marah ke Rian?” “Ya jelas karena dia peduli!” sahut Nadine antusias. Kirana menatap sahabatnya dengan tajam. “Jangan mulai.” Nadine tertawa. “Tapi serius, Kir. Ini aneh banget. Revan bukan tipe orang yang peduli sama urusan orang lain.” Kirana tahu itu benar. Revan bukan tipe yang suka ikut campur, apalagi sampai terang-terangan membela seseorang di depan banyak orang. Tapi, kenapa dia melakukan itu? Di tengah pikirannya yang kalut, seseorang tiba-tiba duduk di depannya. Revan. Kirana hampir tersedak. “Lo ngapain duduk di sini?” Revan mengangkat bahu santai. “Kantin tempat umum, kan?” Nadine menahan senyum melihat interaksi ini. “Betul sih.” Kirana mendesah. “Terus, ada apa?” Revan menatapnya sebentar sebelum berkata, “Lo masih sakit?” Kirana mengerjap. Sejujurnya, pipinya masih agak nyeri, tapi ia tidak ingin terlihat lemah. “Udah mendingan.” Revan diam sejenak sebelum mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya dan meletakkannya di meja. Sebuah cooling gel patch. Kirana menatap benda itu dengan bingung. “Ini buat apa?” “Buat pipi lo,” jawab Revan datar. Kirana masih terdiam, belum bisa memproses apa yang baru saja terjadi. Nadine yang ada di sampingnya hampir saja meledak karena gemas, tapi ia menahan diri. “Kenapa lo tiba-tiba peduli?” akhirnya Kirana bertanya. Revan tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya sebentar sebelum berkata pelan, “Nggak tahu.” Setelah itu, ia berdiri dan pergi begitu saja. Kirana menatap punggungnya dengan ekspresi bingung. Apa maksudnya ‘nggak tahu’?! Sementara itu, Nadine sudah menahan teriakan excited-nya. “Kir, sumpah… ini mulai menarik.” Kirana hanya bisa menatap cooling gel patch di tangannya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Apa yang sebenarnya Revan rasakan? Dan kenapa hatinya berdetak lebih cepat dari biasanya? Setelah kejadian di kantin, Kirana terus memandangi cooling gel patch yang diberikan Revan. Ia masih tidak percaya cowok itu bisa melakukan hal seperti ini. Saat ia sedang termenung di kelas, Nadine menepuk bahunya pelan. “Kir, lo kenapa sih? Dari tadi diem aja.” Kirana menghela napas. “Gue cuma kepikiran.” Nadine menyengir. “Kepikiran Revan, ya?” Kirana mendelik. “Bukan!” Tapi Nadine hanya tertawa. “Udah jujur aja. Sejak kapan Revan Pradipta perhatian sama orang lain? Gue rasa dia mulai…” “Jangan mulai,” potong Kirana cepat. Nadine mengangkat tangan tanda menyerah, tapi senyumnya tetap jahil. “Oke, oke. Tapi gue yakin bakal ada hal menarik setelah ini.” Kirana hanya bisa mendesah. Sore Hari – Lapangan Basket Sepulang sekolah, Kirana berjalan melewati lapangan basket dan tanpa sengaja melihat Revan sedang bermain sendiri. Cowok itu terlihat fokus, ekspresinya tetap dingin seperti biasa. Ia berpikir untuk langsung pulang, tapi sesuatu membuatnya berhenti. Tanpa sadar, ia memperhatikan gerakan Revan. Setiap lemparannya akurat, setiap langkahnya mantap. Ada sesuatu dalam caranya bermain yang terasa… berbeda. Tiba-tiba, Revan berhenti dan menoleh ke arahnya. Kirana membeku. Astaga, ketahuan! Revan berjalan mendekat, masih dengan ekspresi datarnya. “Ngapain di sini?” Kirana menggaruk kepalanya, berusaha mencari alasan. “Cuma lewat.” Revan menatapnya beberapa detik sebelum mengangguk pelan. “Pipinya masih sakit?” Kirana terkejut dengan pertanyaannya. Kenapa dia masih peduli? “Udah nggak sakit,” jawabnya cepat. Revan diam sebentar sebelum berkata, “Bagus.” Setelah itu, dia berjalan kembali ke lapangan, melanjutkan permainannya tanpa berkata apa-apa lagi. Kirana masih berdiri di tempatnya, hatinya berdetak sedikit lebih cepat. Kenapa dia selalu bikin gue bingung? Setelah pertemuannya dengan Revan di lapangan basket, Kirana terus merasa aneh. Kenapa dia bisa sepeduli itu? Bukankah dia biasanya cuek? Saat ia sampai di rumah, ia langsung membanting tubuhnya ke kasur, menatap langit-langit kamar dengan pikiran penuh. Ia menoleh ke meja belajarnya, di mana cooling gel patch dari Revan masih tergeletak di sana. Ia belum membukanya, tapi entah kenapa, ia juga tidak ingin membuangnya. Kenapa gue jadi kepikiran begini? Kirana menggeleng cepat, mencoba mengusir pikirannya. Mungkin Revan cuma bersikap baik. Mungkin dia hanya merasa bertanggung jawab karena kita ada di program Love Contract ini. Iya, itu pasti alasannya! Tapi, kalau memang begitu, kenapa hatinya tetap berdebar? Keesokan Harinya – Sekolah Pagi ini, Kirana berusaha bersikap biasa saja. Ia datang lebih awal dan duduk di bangkunya sambil memainkan ponsel, berharap bisa mengalihkan pikirannya. Namun, saat ia sedang asyik scroll layar, suara familiar terdengar. “Pipinya beneran udah sembuh?” Kirana mendongak dan mendapati Revan berdiri di samping mejanya. Ia hampir menjatuhkan ponselnya. “Hah?” Revan mengulang pertanyaannya dengan nada yang sama datarnya, tapi ada sedikit nada serius. “Pipi lo masih sakit?” Kirana merasa seluruh kelas tiba-tiba hening. Beberapa siswa mulai berbisik-bisik melihat Revan yang lagi-lagi menunjukkan perhatian padanya. “Udah nggak,” jawab Kirana cepat, berusaha menghindari tatapan kepo teman-temannya. Revan menatapnya sebentar, lalu mengangguk dan berjalan ke tempat duduknya tanpa berkata apa-apa lagi. Begitu Revan pergi, Nadine langsung menyenggol Kirana dengan tatapan penuh arti. “Oh. My. God. Lo liat nggak tadi?!” Kirana mengerang pelan. “Nadine, tolong jangan mulai.” “Tapi sumpah, Kir! Lo nggak sadar apa? Revan tuh jarang banget—nggak, bahkan nggak pernah—kayak gitu ke cewek mana pun!” Kirana berusaha mengabaikan Nadine dan pura-pura fokus ke bukunya, tapi dalam hati, ia tahu sahabatnya itu benar. Revan memang bukan tipe yang mudah peduli. Tapi sekarang? Dia seakan berubah. Dan Kirana tidak tahu apakah itu hal yang baik… atau malah berbahaya. Siang Hari – Taman Belakang Sekolah Karena lelah dengan gosip yang terus menyebar di kelas, Kirana memilih untuk makan siang di taman belakang sekolah, tempat yang lebih sepi. Namun, baru saja ia mulai menikmati makanannya, seseorang datang dan duduk di sebelahnya. Rian. “Gue tau lo pasti ngumpet di sini,” katanya sambil tersenyum. Kirana mendesah. “Gue cuma pengen makan dengan tenang.” Rian tertawa kecil. “Gara-gara Revan, ya?” Kirana terbatuk pelan. “Hah? Apa maksud lo?” Rian menatapnya dengan penuh arti. “Lo sadar nggak sih, dia makin sering deketin lo?” Kirana terdiam. Tentu saja dia sadar. Masalahnya, dia nggak ngerti kenapa. Rian menghela napas, lalu menatapnya serius. “Kir, lo harus hati-hati.” Kirana mengernyit. “Maksud lo?” “Gue nggak tahu apa tujuan Revan, tapi gue cuma nggak mau lo terluka.” Kirana terkejut dengan nada serius Rian. “Rian, lo ngomong seolah-olah Revan itu bahaya.” Rian menatapnya lama sebelum berkata pelan, “Bukan gitu… Gue cuma nggak mau lo berharap terlalu banyak.” Kirana terdiam. Kata-kata Rian membuat hatinya sedikit goyah. Apa mungkin benar, kalau Revan hanya bersikap seperti ini karena perjodohan mereka? Atau ada sesuatu yang lebih dari itu?Sejak obrolannya dengan Rian di taman belakang sekolah, Kirana jadi makin ragu. Apa benar gue nggak boleh terlalu berharap? Tapi kenapa Revan tiba-tiba peduli?Hari-hari berlalu, tapi suasana di sekolah masih ramai dengan gosip soal dirinya dan Revan. Kirana berusaha tidak peduli, tapi dalam hati, ia tahu ada sesuatu yang mulai berubah—terutama dalam dirinya.Pagi Hari – Dalam KelasHari ini, Kirana datang lebih awal dan mendapati kelas masih sepi. Ia duduk di bangkunya sambil mengeluarkan buku catatan, berusaha mengalihkan pikirannya.Namun, baru beberapa menit, seseorang duduk di bangku sebelahnya.Revan.Seperti biasa, ekspresinya datar. Ia menatap Kirana sebentar sebelum berkata, “Lo seriusan nggak sakit lagi?”Kirana menghela napas. “Revan, gue udah bilang, gue baik-baik aja.”Revan diam sebentar sebelum mengangguk. “Bagus.”Kirana mengernyit. “Lo kenapa sih?”Revan menoleh. “Kenapa apa?”Kirana menatapnya tajam. “Kenapa lo tiba-tiba perhatian sama gue?”Revan terdiam. Tatapannya
Sejak percakapannya dengan Revan di koridor, Kirana tidak bisa lagi mengabaikan perasaan aneh yang mulai tumbuh dalam hatinya.Revan tidak main-main. Dia sendiri tidak yakin dengan perasaannya, tapi satu hal yang pasti—dia berubah.Dan perubahan itu terjadi karena Kirana.Namun, Kirana masih belum siap menghadapi kenyataan itu.Pagi Hari – KelasHari ini, Kirana kembali mencoba menjaga jarak dari Revan. Ia fokus pada buku catatannya, berharap bisa mengabaikan semua kebingungan dalam kepalanya.Tapi harapannya sia-sia.“Kir, lo masih marah sama gue?”Kirana tersentak. Ia mendongak dan melihat Revan berdiri di samping mejanya, tatapannya serius.Kirana buru-buru menggeleng. “Gue nggak marah.”Revan menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Oke.”Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, dia berjalan kembali ke tempat duduknya.Kirana menghela napas. Kenapa dia harus sesantai itu? Kenapa dia nggak kelihatan bingung kayak gue?Nadine, yang sejak tadi mengamati mereka, langsung menyenggol Kirana.
Pagi itu, Kirana datang ke sekolah dengan kepala penuh pikiran. Ucapan Revan semalam masih terngiang di telinganya:“Kalau lo butuh satu alasan buat nggak nerima dia, mungkin gue bisa kasih.”Apa maksudnya? Apakah Revan juga mulai merasa hal yang sama kayak gue?Nadine mendekat sambil menyenggol bahu Kirana.“Lo kelihatan kayak orang kurang tidur. Jangan-jangan mikirin Revan?”Kirana langsung menatap Nadine dengan mata melebar.“Bukan! Maksudnya… ya nggak juga sih.”Nadine terkekeh. “Berarti iya.”Kirana menghela napas panjang. “Nad, gue beneran bingung. Revan berubah. Dia nggak kayak dulu yang nyebelin. Sekarang dia… perhatian. Tapi gue takut ini semua cuma bagian dari kontrak.”“Terus kalau bukan?” tanya Nadine serius.Kirana terdiam. Ia tidak punya jawaban.Saat Kirana berjalan menuju kantin, tiba-tiba Rian muncul dan berjalan di sampingnya.“Kir, lo ada waktu nanti sepulang sekolah?”“Ngapain?” tanya Kirana pelan.“Ada yang mau gue omongin. Penting.”Kirana menatap Rian. Tatapan c
Sudah seminggu sejak Kirana dan Revan memutuskan untuk menjalin hubungan tanpa pura-pura. Tidak ada yang berubah secara drastis dari luar—mereka masih duduk di tempat biasa, masih berdebat kecil soal hal-hal receh, dan masih suka saling lempar sindiran. Tapi bagi mereka, semuanya terasa berbeda.Kini, setiap tatapan memiliki makna. Setiap senyuman terasa lebih hangat.“Gue jemput lo nanti sore. Jangan pulang cepet-cepet,” bisik Revan sambil menyerahkan roti coklat ke Kirana.Kirana menatapnya heran. “Ngapain lagi?”“Surprise.”Kirana pura-pura mendengus, tapi pipinya memerah. “Ya udah. Tapi jangan yang aneh-aneh.”Revan mengangkat alis. “Gue? Aneh? Nggak mungkin.”Kirana sudah menunggu di gerbang sekolah ketika Revan datang dengan motornya. Ia mengulurkan helm.“Siap?”Kirana mengangguk. “Siap.”Mereka kembali ke bukit tempat pertama kali Revan mengungkapkan perasaannya. Tapi kali ini, Revan membawa tikar kecil, makanan ringan, dan termos teh hangat.“Seriusan lo bawa beginian semua?”
Langit cerah di atas SMA Grahadi, menandakan hari yang cukup menyenangkan bagi para siswa yang baru memulai tahun ajaran baru. Aula sekolah penuh dengan suara riuh rendah para murid yang sedang berbincang. Beberapa asyik bercanda, sementara yang lain sibuk mencari tempat duduk untuk acara pembukaan tahun ajaran.Di antara mereka, seorang gadis berambut panjang dengan wajah manis tengah duduk sambil menopang dagunya. Kirana Ardiani, siswa kelas 11 yang terkenal cerdas dan mandiri, tampak tidak terlalu tertarik dengan suasana ramai di sekitarnya."Kirana! Lo kenapa diem aja? Harusnya lo semangat, kita udah naik kelas, nih!" ujar Nadine, sahabatnya, sambil menggoyangkan bahunya.Kirana menghela napas. "Nggak tahu, Nad. Kayaknya perasaanku nggak enak dari tadi pagi.""Yah, lo kebanyakan mikir! Udahlah, enjoy aja!" Nadine menepuk pundaknya dan kembali berceloteh tentang murid-murid baru yang masuk tahun ini.Acara pun dimulai dengan sambutan dari kepala sekolah. Namun, Kirana tidak terlalu
Kirana berjalan ke kantin dengan langkah ragu. Sejujurnya, ia ingin segera menyelesaikan tantangan ini dan kembali menjalani hidupnya seperti biasa. Tapi sayangnya, dengan Revan Pradipta di sampingnya, itu terasa mustahil.Sementara itu, kantin sudah mulai ramai. Begitu mereka masuk, semua mata langsung tertuju pada mereka.“Hei, itu Kirana dan Revan!”“Mereka beneran ikut Love Contract?”“Wah, pasangan baru nih! Asli nggak nyangka!”Kirana menggigit bibirnya. Ya ampun, ini baru hari pertama, tapi gosipnya sudah menyebar ke seluruh sekolah!Di sampingnya, Revan tetap dengan wajah datarnya, seolah tidak peduli sama sekali.“Kita pesan apa?” tanya Kirana akhirnya.Revan melirik ke arah menu dan berkata santai, “Nasi goreng aja.”Kirana menghela napas. “Ya udah, nasi goreng.”Mereka pun memesan dua porsi nasi goreng dan mencari tempat duduk. Sayangnya, hampir semua meja penuh. Yang tersisa hanya satu meja di tengah kantin, tepat di tempat paling terbuka.“Ya ampun, tempatnya di situ,” gu
Sudah seminggu sejak Kirana dan Revan memutuskan untuk menjalin hubungan tanpa pura-pura. Tidak ada yang berubah secara drastis dari luar—mereka masih duduk di tempat biasa, masih berdebat kecil soal hal-hal receh, dan masih suka saling lempar sindiran. Tapi bagi mereka, semuanya terasa berbeda.Kini, setiap tatapan memiliki makna. Setiap senyuman terasa lebih hangat.“Gue jemput lo nanti sore. Jangan pulang cepet-cepet,” bisik Revan sambil menyerahkan roti coklat ke Kirana.Kirana menatapnya heran. “Ngapain lagi?”“Surprise.”Kirana pura-pura mendengus, tapi pipinya memerah. “Ya udah. Tapi jangan yang aneh-aneh.”Revan mengangkat alis. “Gue? Aneh? Nggak mungkin.”Kirana sudah menunggu di gerbang sekolah ketika Revan datang dengan motornya. Ia mengulurkan helm.“Siap?”Kirana mengangguk. “Siap.”Mereka kembali ke bukit tempat pertama kali Revan mengungkapkan perasaannya. Tapi kali ini, Revan membawa tikar kecil, makanan ringan, dan termos teh hangat.“Seriusan lo bawa beginian semua?”
Pagi itu, Kirana datang ke sekolah dengan kepala penuh pikiran. Ucapan Revan semalam masih terngiang di telinganya:“Kalau lo butuh satu alasan buat nggak nerima dia, mungkin gue bisa kasih.”Apa maksudnya? Apakah Revan juga mulai merasa hal yang sama kayak gue?Nadine mendekat sambil menyenggol bahu Kirana.“Lo kelihatan kayak orang kurang tidur. Jangan-jangan mikirin Revan?”Kirana langsung menatap Nadine dengan mata melebar.“Bukan! Maksudnya… ya nggak juga sih.”Nadine terkekeh. “Berarti iya.”Kirana menghela napas panjang. “Nad, gue beneran bingung. Revan berubah. Dia nggak kayak dulu yang nyebelin. Sekarang dia… perhatian. Tapi gue takut ini semua cuma bagian dari kontrak.”“Terus kalau bukan?” tanya Nadine serius.Kirana terdiam. Ia tidak punya jawaban.Saat Kirana berjalan menuju kantin, tiba-tiba Rian muncul dan berjalan di sampingnya.“Kir, lo ada waktu nanti sepulang sekolah?”“Ngapain?” tanya Kirana pelan.“Ada yang mau gue omongin. Penting.”Kirana menatap Rian. Tatapan c
Sejak percakapannya dengan Revan di koridor, Kirana tidak bisa lagi mengabaikan perasaan aneh yang mulai tumbuh dalam hatinya.Revan tidak main-main. Dia sendiri tidak yakin dengan perasaannya, tapi satu hal yang pasti—dia berubah.Dan perubahan itu terjadi karena Kirana.Namun, Kirana masih belum siap menghadapi kenyataan itu.Pagi Hari – KelasHari ini, Kirana kembali mencoba menjaga jarak dari Revan. Ia fokus pada buku catatannya, berharap bisa mengabaikan semua kebingungan dalam kepalanya.Tapi harapannya sia-sia.“Kir, lo masih marah sama gue?”Kirana tersentak. Ia mendongak dan melihat Revan berdiri di samping mejanya, tatapannya serius.Kirana buru-buru menggeleng. “Gue nggak marah.”Revan menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Oke.”Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, dia berjalan kembali ke tempat duduknya.Kirana menghela napas. Kenapa dia harus sesantai itu? Kenapa dia nggak kelihatan bingung kayak gue?Nadine, yang sejak tadi mengamati mereka, langsung menyenggol Kirana.
Sejak obrolannya dengan Rian di taman belakang sekolah, Kirana jadi makin ragu. Apa benar gue nggak boleh terlalu berharap? Tapi kenapa Revan tiba-tiba peduli?Hari-hari berlalu, tapi suasana di sekolah masih ramai dengan gosip soal dirinya dan Revan. Kirana berusaha tidak peduli, tapi dalam hati, ia tahu ada sesuatu yang mulai berubah—terutama dalam dirinya.Pagi Hari – Dalam KelasHari ini, Kirana datang lebih awal dan mendapati kelas masih sepi. Ia duduk di bangkunya sambil mengeluarkan buku catatan, berusaha mengalihkan pikirannya.Namun, baru beberapa menit, seseorang duduk di bangku sebelahnya.Revan.Seperti biasa, ekspresinya datar. Ia menatap Kirana sebentar sebelum berkata, “Lo seriusan nggak sakit lagi?”Kirana menghela napas. “Revan, gue udah bilang, gue baik-baik aja.”Revan diam sebentar sebelum mengangguk. “Bagus.”Kirana mengernyit. “Lo kenapa sih?”Revan menoleh. “Kenapa apa?”Kirana menatapnya tajam. “Kenapa lo tiba-tiba perhatian sama gue?”Revan terdiam. Tatapannya
Sejak percakapan aneh dengan Revan di kantin kemarin, Kirana jadi kepikiran terus. Kenapa dia tiba-tiba nanya soal Rian? Emangnya dia peduli?“Gue nggak ngerti jalan pikiran cowok itu,” gumamnya saat duduk di bangkunya pagi ini.Nadine yang baru datang langsung nyenggol lengannya. “Ngomongin siapa?”“Siapa lagi kalau bukan Revan,” jawab Kirana malas.Nadine tertawa. “Kenapa lagi? Dia ngelakuin sesuatu?”Kirana menghela napas. “Kemarin dia tiba-tiba nanya, ‘Lo suka Rian?’”Mata Nadine membesar. “HAH?!”“Ssstt! Jangan heboh,” desis Kirana sambil melirik ke sekeliling. Beberapa siswa yang sudah ada di kelas langsung memasang ekspresi kepo.Nadine menurunkan suaranya, tapi tetap bersemangat. “Lo jawab apa?”“Tentu aja gue bilang itu bukan urusan dia.”Nadine mengangguk-angguk. “Tapi tetep aja aneh. Revan nggak pernah peduli sama orang lain, apalagi nanya hal kayak gitu.”“Itulah yang bikin gue bingung,” gumam Kirana.Saat itu, pintu kelas terbuka dan Revan masuk dengan ekspresinya yang se
Kirana berjalan ke kantin dengan langkah ragu. Sejujurnya, ia ingin segera menyelesaikan tantangan ini dan kembali menjalani hidupnya seperti biasa. Tapi sayangnya, dengan Revan Pradipta di sampingnya, itu terasa mustahil.Sementara itu, kantin sudah mulai ramai. Begitu mereka masuk, semua mata langsung tertuju pada mereka.“Hei, itu Kirana dan Revan!”“Mereka beneran ikut Love Contract?”“Wah, pasangan baru nih! Asli nggak nyangka!”Kirana menggigit bibirnya. Ya ampun, ini baru hari pertama, tapi gosipnya sudah menyebar ke seluruh sekolah!Di sampingnya, Revan tetap dengan wajah datarnya, seolah tidak peduli sama sekali.“Kita pesan apa?” tanya Kirana akhirnya.Revan melirik ke arah menu dan berkata santai, “Nasi goreng aja.”Kirana menghela napas. “Ya udah, nasi goreng.”Mereka pun memesan dua porsi nasi goreng dan mencari tempat duduk. Sayangnya, hampir semua meja penuh. Yang tersisa hanya satu meja di tengah kantin, tepat di tempat paling terbuka.“Ya ampun, tempatnya di situ,” gu
Langit cerah di atas SMA Grahadi, menandakan hari yang cukup menyenangkan bagi para siswa yang baru memulai tahun ajaran baru. Aula sekolah penuh dengan suara riuh rendah para murid yang sedang berbincang. Beberapa asyik bercanda, sementara yang lain sibuk mencari tempat duduk untuk acara pembukaan tahun ajaran.Di antara mereka, seorang gadis berambut panjang dengan wajah manis tengah duduk sambil menopang dagunya. Kirana Ardiani, siswa kelas 11 yang terkenal cerdas dan mandiri, tampak tidak terlalu tertarik dengan suasana ramai di sekitarnya."Kirana! Lo kenapa diem aja? Harusnya lo semangat, kita udah naik kelas, nih!" ujar Nadine, sahabatnya, sambil menggoyangkan bahunya.Kirana menghela napas. "Nggak tahu, Nad. Kayaknya perasaanku nggak enak dari tadi pagi.""Yah, lo kebanyakan mikir! Udahlah, enjoy aja!" Nadine menepuk pundaknya dan kembali berceloteh tentang murid-murid baru yang masuk tahun ini.Acara pun dimulai dengan sambutan dari kepala sekolah. Namun, Kirana tidak terlalu