Kirana berjalan ke kantin dengan langkah ragu. Sejujurnya, ia ingin segera menyelesaikan tantangan ini dan kembali menjalani hidupnya seperti biasa. Tapi sayangnya, dengan Revan Pradipta di sampingnya, itu terasa mustahil.
Sementara itu, kantin sudah mulai ramai. Begitu mereka masuk, semua mata langsung tertuju pada mereka. “Hei, itu Kirana dan Revan!” “Mereka beneran ikut Love Contract?” “Wah, pasangan baru nih! Asli nggak nyangka!” Kirana menggigit bibirnya. Ya ampun, ini baru hari pertama, tapi gosipnya sudah menyebar ke seluruh sekolah! Di sampingnya, Revan tetap dengan wajah datarnya, seolah tidak peduli sama sekali. “Kita pesan apa?” tanya Kirana akhirnya. Revan melirik ke arah menu dan berkata santai, “Nasi goreng aja.” Kirana menghela napas. “Ya udah, nasi goreng.” Mereka pun memesan dua porsi nasi goreng dan mencari tempat duduk. Sayangnya, hampir semua meja penuh. Yang tersisa hanya satu meja di tengah kantin, tepat di tempat paling terbuka. “Ya ampun, tempatnya di situ,” gumam Kirana. “Kenapa? Takut?” tanya Revan dengan nada datarnya. Kirana melotot. “Bukan takut, tapi males diliatin.” “Terserah,” jawab Revan sambil berjalan ke meja tersebut. Dengan pasrah, Kirana mengikutinya dan duduk berhadapan. Detik berikutnya, bisik-bisik kembali memenuhi kantin. “Gila! Mereka beneran makan bareng!” “Kayaknya Kirana nggak ikhlas banget, deh.” “Hahaha! Mereka cocok juga sih.” Kirana berusaha mengabaikan semua komentar itu. Ia mengambil sendoknya dan mulai makan, mencoba tidak terlalu memikirkan keberadaan Revan di depannya. Namun, baru dua suapan, Raka tiba-tiba muncul bersama teman-temannya. “Wah, wah, wah! Pasangan baru lagi kencan, nih?” godanya. Kirana menatap tajam. “Raka, kalau lo nggak punya urusan, pergi sana.” “Tapi kan seru lihat lo sama Revan. Udah kayak pasangan beneran!” Sementara Kirana sibuk menghadapi Raka, Revan tetap santai menikmati makanannya tanpa ekspresi. Seolah-olah semua ini bukan urusan penting baginya. “Revan, lo diem aja sih? Nggak mau klarifikasi?” tanya Raka sambil menyeringai. Revan akhirnya mengangkat wajahnya. “Ngapain? Lo yang heboh sendiri.” Raka tertawa. “Gue sih nggak masalah. Cuma penasaran aja, kapan kalian mulai panggil sayang?” Kirana hampir tersedak mendengar itu. “Raka!!” Teman-teman Raka tertawa semakin keras, sementara Kirana ingin segera keluar dari sini. Namun, tiba-tiba, Revan meletakkan sendoknya dan menatap Raka dengan ekspresi dingin. “Lo nggak ada kerjaan lain?” tanyanya datar. Suasana mendadak hening. Meskipun Revan tidak bicara dengan nada tinggi, ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Raka akhirnya mengangkat tangan tanda menyerah. “Oke, oke. Santai, bro.” Ia tertawa kecil lalu pergi bersama teman-temannya. Kirana menatap Revan dengan bingung. “Kenapa lo tiba-tiba nyuruh dia pergi?” Revan mengangkat bahu. “Ribut.” Kirana mendecak kesal. “Hah, jadi tadi lo diem aja karena males nanggepin?” Revan tidak menjawab dan hanya melanjutkan makannya. Kirana menghela napas panjang. Ya Tuhan, kenapa gue harus dijodohin sama cowok yang nyebelin gini? Di luar sana, gosip tentang mereka terus menyebar. Tapi bagi Kirana, satu hal yang pasti—semester ini akan menjadi semester paling melelahkan dalam hidupnya. Setelah insiden di kantin, Kirana dan Revan menyelesaikan makanan mereka dalam diam. Suasana kantin masih dipenuhi bisik-bisik siswa lain, tapi Kirana berusaha mengabaikannya. Yang penting, tantangan pertama ini segera selesai. Begitu mereka meletakkan sendok terakhir, Kirana langsung berdiri. “Oke, kita udah selesai makan. Gue mau pergi.” Namun, sebelum ia bisa melangkah, suara seseorang terdengar dari belakang. “Kirana?” Ia berbalik dan menemukan Rian, teman masa kecilnya, berdiri di sana dengan ekspresi terkejut. “Rian?” Kirana mengerutkan kening. Rian adalah teman SD-nya yang sempat pindah ke luar kota. Ia dulu adalah sahabat dekat Kirana, bahkan hampir seperti kakak baginya. “Akhirnya ketemu lagi! Gue baru pindah ke sini,” ujar Rian dengan senyum lebar. Kirana juga tersenyum, sedikit melupakan kekesalannya terhadap situasi saat ini. “Serius? Lo sekolah di sini sekarang?” “Iya, gue baru masuk hari ini.” Revan yang sejak tadi hanya diam, akhirnya melirik sekilas ke arah Rian. Tidak ada ekspresi khusus di wajahnya, tapi Kirana bisa merasakan atmosfer di antara mereka sedikit berubah. Sementara itu, Rian menatap Revan dengan penuh rasa ingin tahu. “Eh, lo duduk bareng Revan? Kalian deket?” Sebelum Kirana bisa menjawab, suara seseorang tiba-tiba menyela. “Mereka dijodohin, Rian!” Nadine muncul entah dari mana dan langsung menepuk bahu Rian. “Kirana dan Revan lagi ikut program Love Contract.” Rian terdiam sesaat, lalu tertawa kecil. “Oh, gitu ya? Wah, menarik juga.” Kirana menghela napas, merasa topik ini tidak perlu diperpanjang. “Udah ah, gue mau ke kelas.” Tapi sebelum ia pergi, Rian menahan tangannya. “Eh, nanti pulang sekolah kita bisa ngobrol, nggak? Gue pengen cerita banyak hal.” Kirana tersenyum. “Boleh, kita ngobrol nanti.” Setelah itu, ia berjalan pergi tanpa memperhatikan ekspresi Revan yang masih diam di tempatnya. Sepulang Sekolah Seperti janjinya, Kirana bertemu dengan Rian di depan gerbang sekolah. Mereka berbicara banyak hal—tentang masa lalu, tentang kepindahan Rian, dan juga kehidupan sekolah yang baru. “Aku nggak nyangka bisa ketemu lo lagi, Kir,” ujar Rian sambil tersenyum. “Iya, gue juga. Dulu lo pindah tiba-tiba banget,” jawab Kirana. “Tapi sekarang kita bisa sering ketemu lagi.” Kirana mengangguk. Ia merasa nyaman berbicara dengan Rian. Namun, di saat yang bersamaan, entah kenapa ia merasa ada seseorang yang mengawasinya. Ia menoleh ke arah lapangan basket, dan benar saja—Revan sedang duduk di bangku tribun, matanya tertuju pada mereka. Kirana terdiam sesaat. Kenapa dia melihat ke sini? Tapi begitu tatapan mereka bertemu, Revan langsung mengalihkan pandangannya dan berdiri, lalu berjalan pergi begitu saja. Kirana mengernyit. Cowok itu aneh. Namun, ia tidak ingin terlalu memikirkannya. Yang jelas, semester ini akan lebih rumit dari yang ia bayangkan. Setelah berbicara cukup lama dengan Rian, Kirana memutuskan untuk pulang. Namun, sepanjang perjalanan, pikirannya masih tertuju pada satu hal—tatapan Revan tadi. Kenapa dia melihat ke arah gue? Apa dia nggak suka gue ngobrol sama Rian? Tapi kenapa harus peduli? “Kir?” Suara Rian membuyarkan pikirannya. “Hah? Kenapa?” Rian tertawa kecil. “Lo kenapa sih? Dari tadi kayak kepikiran sesuatu.” Kirana menggeleng cepat. “Nggak, cuma… capek aja.” “Kalau capek, jangan lupa istirahat ya,” kata Rian dengan senyum hangatnya yang masih sama seperti dulu. Kirana tersenyum kecil. Rian memang tidak berubah—selalu perhatian. Setelah mengucapkan selamat tinggal, Kirana berjalan pulang dengan perasaan campur aduk. Keesokan Harinya Di sekolah, gosip tentang Kirana dan Revan masih menjadi topik panas. Namun, ada hal baru yang mulai diperbincangkan—kehadiran Rian. “Hei, lo lihat nggak? Kemarin Kirana jalan bareng cowok baru.” “Katanya itu temen masa kecilnya.” “Tapi kok mereka deket banget, ya?” Kirana hanya bisa mendesah mendengar bisik-bisik itu. Ya Tuhan, kapan orang-orang ini bakal berhenti ngegosipin gue? Saat ia masuk kelas, Nadine langsung menyenggolnya dengan tatapan jahil. “Lo beneran jalan bareng Rian kemarin?” tanyanya penuh rasa ingin tahu. Kirana mengangguk malas. “Iya, terus kenapa?” “Terus kenapa katanya Revan ngeliatin lo?” Kirana terdiam sejenak. “Dari mana lo tahu?” “Banyak yang lihat,” jawab Nadine sambil tertawa kecil. “Katanya dia duduk di tribun basket sambil mantau kalian.” Kirana mencibir. “Mungkin dia lagi iseng aja.” Nadine mengangkat alis. “Atau jangan-jangan dia mulai kepo?” Kirana mengibaskan tangan. “Mana mungkin. Kita aja baru pertama kali ngobrol kemarin.” Tapi entah kenapa, kata-kata Nadine membuatnya kembali teringat pada tatapan Revan. Saat Jam Istirahat Kirana pergi ke kantin sendirian karena Nadine ada urusan dengan ketua OSIS. Saat ia baru saja memesan makanan, suara seseorang terdengar di belakangnya. “Nasi goreng lagi?” Kirana menoleh dan mendapati Revan berdiri di sana. Ia sedikit terkejut, mengingat biasanya cowok itu jarang berbicara lebih dulu. “Terus kenapa kalau nasi goreng?” Revan mengangkat bahu. “Nggak ada.” Kirana menatapnya curiga. “Kenapa lo tiba-tiba ngomong sama gue?” Revan diam sebentar sebelum akhirnya berkata, “Gue lihat lo sama cowok kemarin.” Kirana terdiam. Jadi, Revan benar-benar memperhatikannya kemarin? “Terus?” tanyanya akhirnya. Revan tidak langsung menjawab, tapi tatapannya sedikit lebih tajam. “Lo suka dia?” Kirana hampir tersedak. “Hah?! Apa urusan lo?” Revan tetap dengan ekspresinya yang tenang. “Nggak ada. Cuma nanya.” Kirana mendecak kesal. “Lo tuh bener-bener aneh.” Revan tidak membalas, hanya mengambil pesanannya dan pergi begitu saja. Kirana masih berdiri di tempatnya, mencoba memahami maksud dari perkataan Revan. Kenapa dia nanya kayak gitu? Kenapa dia peduli? Dan tanpa ia sadari, perasaannya mulai kacau.Sejak percakapan aneh dengan Revan di kantin kemarin, Kirana jadi kepikiran terus. Kenapa dia tiba-tiba nanya soal Rian? Emangnya dia peduli?“Gue nggak ngerti jalan pikiran cowok itu,” gumamnya saat duduk di bangkunya pagi ini.Nadine yang baru datang langsung nyenggol lengannya. “Ngomongin siapa?”“Siapa lagi kalau bukan Revan,” jawab Kirana malas.Nadine tertawa. “Kenapa lagi? Dia ngelakuin sesuatu?”Kirana menghela napas. “Kemarin dia tiba-tiba nanya, ‘Lo suka Rian?’”Mata Nadine membesar. “HAH?!”“Ssstt! Jangan heboh,” desis Kirana sambil melirik ke sekeliling. Beberapa siswa yang sudah ada di kelas langsung memasang ekspresi kepo.Nadine menurunkan suaranya, tapi tetap bersemangat. “Lo jawab apa?”“Tentu aja gue bilang itu bukan urusan dia.”Nadine mengangguk-angguk. “Tapi tetep aja aneh. Revan nggak pernah peduli sama orang lain, apalagi nanya hal kayak gitu.”“Itulah yang bikin gue bingung,” gumam Kirana.Saat itu, pintu kelas terbuka dan Revan masuk dengan ekspresinya yang se
Sejak obrolannya dengan Rian di taman belakang sekolah, Kirana jadi makin ragu. Apa benar gue nggak boleh terlalu berharap? Tapi kenapa Revan tiba-tiba peduli?Hari-hari berlalu, tapi suasana di sekolah masih ramai dengan gosip soal dirinya dan Revan. Kirana berusaha tidak peduli, tapi dalam hati, ia tahu ada sesuatu yang mulai berubah—terutama dalam dirinya.Pagi Hari – Dalam KelasHari ini, Kirana datang lebih awal dan mendapati kelas masih sepi. Ia duduk di bangkunya sambil mengeluarkan buku catatan, berusaha mengalihkan pikirannya.Namun, baru beberapa menit, seseorang duduk di bangku sebelahnya.Revan.Seperti biasa, ekspresinya datar. Ia menatap Kirana sebentar sebelum berkata, “Lo seriusan nggak sakit lagi?”Kirana menghela napas. “Revan, gue udah bilang, gue baik-baik aja.”Revan diam sebentar sebelum mengangguk. “Bagus.”Kirana mengernyit. “Lo kenapa sih?”Revan menoleh. “Kenapa apa?”Kirana menatapnya tajam. “Kenapa lo tiba-tiba perhatian sama gue?”Revan terdiam. Tatapannya
Sejak percakapannya dengan Revan di koridor, Kirana tidak bisa lagi mengabaikan perasaan aneh yang mulai tumbuh dalam hatinya.Revan tidak main-main. Dia sendiri tidak yakin dengan perasaannya, tapi satu hal yang pasti—dia berubah.Dan perubahan itu terjadi karena Kirana.Namun, Kirana masih belum siap menghadapi kenyataan itu.Pagi Hari – KelasHari ini, Kirana kembali mencoba menjaga jarak dari Revan. Ia fokus pada buku catatannya, berharap bisa mengabaikan semua kebingungan dalam kepalanya.Tapi harapannya sia-sia.“Kir, lo masih marah sama gue?”Kirana tersentak. Ia mendongak dan melihat Revan berdiri di samping mejanya, tatapannya serius.Kirana buru-buru menggeleng. “Gue nggak marah.”Revan menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Oke.”Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, dia berjalan kembali ke tempat duduknya.Kirana menghela napas. Kenapa dia harus sesantai itu? Kenapa dia nggak kelihatan bingung kayak gue?Nadine, yang sejak tadi mengamati mereka, langsung menyenggol Kirana.
Pagi itu, Kirana datang ke sekolah dengan kepala penuh pikiran. Ucapan Revan semalam masih terngiang di telinganya:“Kalau lo butuh satu alasan buat nggak nerima dia, mungkin gue bisa kasih.”Apa maksudnya? Apakah Revan juga mulai merasa hal yang sama kayak gue?Nadine mendekat sambil menyenggol bahu Kirana.“Lo kelihatan kayak orang kurang tidur. Jangan-jangan mikirin Revan?”Kirana langsung menatap Nadine dengan mata melebar.“Bukan! Maksudnya… ya nggak juga sih.”Nadine terkekeh. “Berarti iya.”Kirana menghela napas panjang. “Nad, gue beneran bingung. Revan berubah. Dia nggak kayak dulu yang nyebelin. Sekarang dia… perhatian. Tapi gue takut ini semua cuma bagian dari kontrak.”“Terus kalau bukan?” tanya Nadine serius.Kirana terdiam. Ia tidak punya jawaban.Saat Kirana berjalan menuju kantin, tiba-tiba Rian muncul dan berjalan di sampingnya.“Kir, lo ada waktu nanti sepulang sekolah?”“Ngapain?” tanya Kirana pelan.“Ada yang mau gue omongin. Penting.”Kirana menatap Rian. Tatapan c
Sudah seminggu sejak Kirana dan Revan memutuskan untuk menjalin hubungan tanpa pura-pura. Tidak ada yang berubah secara drastis dari luar—mereka masih duduk di tempat biasa, masih berdebat kecil soal hal-hal receh, dan masih suka saling lempar sindiran. Tapi bagi mereka, semuanya terasa berbeda.Kini, setiap tatapan memiliki makna. Setiap senyuman terasa lebih hangat.“Gue jemput lo nanti sore. Jangan pulang cepet-cepet,” bisik Revan sambil menyerahkan roti coklat ke Kirana.Kirana menatapnya heran. “Ngapain lagi?”“Surprise.”Kirana pura-pura mendengus, tapi pipinya memerah. “Ya udah. Tapi jangan yang aneh-aneh.”Revan mengangkat alis. “Gue? Aneh? Nggak mungkin.”Kirana sudah menunggu di gerbang sekolah ketika Revan datang dengan motornya. Ia mengulurkan helm.“Siap?”Kirana mengangguk. “Siap.”Mereka kembali ke bukit tempat pertama kali Revan mengungkapkan perasaannya. Tapi kali ini, Revan membawa tikar kecil, makanan ringan, dan termos teh hangat.“Seriusan lo bawa beginian semua?”
Langit cerah di atas SMA Grahadi, menandakan hari yang cukup menyenangkan bagi para siswa yang baru memulai tahun ajaran baru. Aula sekolah penuh dengan suara riuh rendah para murid yang sedang berbincang. Beberapa asyik bercanda, sementara yang lain sibuk mencari tempat duduk untuk acara pembukaan tahun ajaran.Di antara mereka, seorang gadis berambut panjang dengan wajah manis tengah duduk sambil menopang dagunya. Kirana Ardiani, siswa kelas 11 yang terkenal cerdas dan mandiri, tampak tidak terlalu tertarik dengan suasana ramai di sekitarnya."Kirana! Lo kenapa diem aja? Harusnya lo semangat, kita udah naik kelas, nih!" ujar Nadine, sahabatnya, sambil menggoyangkan bahunya.Kirana menghela napas. "Nggak tahu, Nad. Kayaknya perasaanku nggak enak dari tadi pagi.""Yah, lo kebanyakan mikir! Udahlah, enjoy aja!" Nadine menepuk pundaknya dan kembali berceloteh tentang murid-murid baru yang masuk tahun ini.Acara pun dimulai dengan sambutan dari kepala sekolah. Namun, Kirana tidak terlalu
Sudah seminggu sejak Kirana dan Revan memutuskan untuk menjalin hubungan tanpa pura-pura. Tidak ada yang berubah secara drastis dari luar—mereka masih duduk di tempat biasa, masih berdebat kecil soal hal-hal receh, dan masih suka saling lempar sindiran. Tapi bagi mereka, semuanya terasa berbeda.Kini, setiap tatapan memiliki makna. Setiap senyuman terasa lebih hangat.“Gue jemput lo nanti sore. Jangan pulang cepet-cepet,” bisik Revan sambil menyerahkan roti coklat ke Kirana.Kirana menatapnya heran. “Ngapain lagi?”“Surprise.”Kirana pura-pura mendengus, tapi pipinya memerah. “Ya udah. Tapi jangan yang aneh-aneh.”Revan mengangkat alis. “Gue? Aneh? Nggak mungkin.”Kirana sudah menunggu di gerbang sekolah ketika Revan datang dengan motornya. Ia mengulurkan helm.“Siap?”Kirana mengangguk. “Siap.”Mereka kembali ke bukit tempat pertama kali Revan mengungkapkan perasaannya. Tapi kali ini, Revan membawa tikar kecil, makanan ringan, dan termos teh hangat.“Seriusan lo bawa beginian semua?”
Pagi itu, Kirana datang ke sekolah dengan kepala penuh pikiran. Ucapan Revan semalam masih terngiang di telinganya:“Kalau lo butuh satu alasan buat nggak nerima dia, mungkin gue bisa kasih.”Apa maksudnya? Apakah Revan juga mulai merasa hal yang sama kayak gue?Nadine mendekat sambil menyenggol bahu Kirana.“Lo kelihatan kayak orang kurang tidur. Jangan-jangan mikirin Revan?”Kirana langsung menatap Nadine dengan mata melebar.“Bukan! Maksudnya… ya nggak juga sih.”Nadine terkekeh. “Berarti iya.”Kirana menghela napas panjang. “Nad, gue beneran bingung. Revan berubah. Dia nggak kayak dulu yang nyebelin. Sekarang dia… perhatian. Tapi gue takut ini semua cuma bagian dari kontrak.”“Terus kalau bukan?” tanya Nadine serius.Kirana terdiam. Ia tidak punya jawaban.Saat Kirana berjalan menuju kantin, tiba-tiba Rian muncul dan berjalan di sampingnya.“Kir, lo ada waktu nanti sepulang sekolah?”“Ngapain?” tanya Kirana pelan.“Ada yang mau gue omongin. Penting.”Kirana menatap Rian. Tatapan c
Sejak percakapannya dengan Revan di koridor, Kirana tidak bisa lagi mengabaikan perasaan aneh yang mulai tumbuh dalam hatinya.Revan tidak main-main. Dia sendiri tidak yakin dengan perasaannya, tapi satu hal yang pasti—dia berubah.Dan perubahan itu terjadi karena Kirana.Namun, Kirana masih belum siap menghadapi kenyataan itu.Pagi Hari – KelasHari ini, Kirana kembali mencoba menjaga jarak dari Revan. Ia fokus pada buku catatannya, berharap bisa mengabaikan semua kebingungan dalam kepalanya.Tapi harapannya sia-sia.“Kir, lo masih marah sama gue?”Kirana tersentak. Ia mendongak dan melihat Revan berdiri di samping mejanya, tatapannya serius.Kirana buru-buru menggeleng. “Gue nggak marah.”Revan menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Oke.”Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, dia berjalan kembali ke tempat duduknya.Kirana menghela napas. Kenapa dia harus sesantai itu? Kenapa dia nggak kelihatan bingung kayak gue?Nadine, yang sejak tadi mengamati mereka, langsung menyenggol Kirana.
Sejak obrolannya dengan Rian di taman belakang sekolah, Kirana jadi makin ragu. Apa benar gue nggak boleh terlalu berharap? Tapi kenapa Revan tiba-tiba peduli?Hari-hari berlalu, tapi suasana di sekolah masih ramai dengan gosip soal dirinya dan Revan. Kirana berusaha tidak peduli, tapi dalam hati, ia tahu ada sesuatu yang mulai berubah—terutama dalam dirinya.Pagi Hari – Dalam KelasHari ini, Kirana datang lebih awal dan mendapati kelas masih sepi. Ia duduk di bangkunya sambil mengeluarkan buku catatan, berusaha mengalihkan pikirannya.Namun, baru beberapa menit, seseorang duduk di bangku sebelahnya.Revan.Seperti biasa, ekspresinya datar. Ia menatap Kirana sebentar sebelum berkata, “Lo seriusan nggak sakit lagi?”Kirana menghela napas. “Revan, gue udah bilang, gue baik-baik aja.”Revan diam sebentar sebelum mengangguk. “Bagus.”Kirana mengernyit. “Lo kenapa sih?”Revan menoleh. “Kenapa apa?”Kirana menatapnya tajam. “Kenapa lo tiba-tiba perhatian sama gue?”Revan terdiam. Tatapannya
Sejak percakapan aneh dengan Revan di kantin kemarin, Kirana jadi kepikiran terus. Kenapa dia tiba-tiba nanya soal Rian? Emangnya dia peduli?“Gue nggak ngerti jalan pikiran cowok itu,” gumamnya saat duduk di bangkunya pagi ini.Nadine yang baru datang langsung nyenggol lengannya. “Ngomongin siapa?”“Siapa lagi kalau bukan Revan,” jawab Kirana malas.Nadine tertawa. “Kenapa lagi? Dia ngelakuin sesuatu?”Kirana menghela napas. “Kemarin dia tiba-tiba nanya, ‘Lo suka Rian?’”Mata Nadine membesar. “HAH?!”“Ssstt! Jangan heboh,” desis Kirana sambil melirik ke sekeliling. Beberapa siswa yang sudah ada di kelas langsung memasang ekspresi kepo.Nadine menurunkan suaranya, tapi tetap bersemangat. “Lo jawab apa?”“Tentu aja gue bilang itu bukan urusan dia.”Nadine mengangguk-angguk. “Tapi tetep aja aneh. Revan nggak pernah peduli sama orang lain, apalagi nanya hal kayak gitu.”“Itulah yang bikin gue bingung,” gumam Kirana.Saat itu, pintu kelas terbuka dan Revan masuk dengan ekspresinya yang se
Kirana berjalan ke kantin dengan langkah ragu. Sejujurnya, ia ingin segera menyelesaikan tantangan ini dan kembali menjalani hidupnya seperti biasa. Tapi sayangnya, dengan Revan Pradipta di sampingnya, itu terasa mustahil.Sementara itu, kantin sudah mulai ramai. Begitu mereka masuk, semua mata langsung tertuju pada mereka.“Hei, itu Kirana dan Revan!”“Mereka beneran ikut Love Contract?”“Wah, pasangan baru nih! Asli nggak nyangka!”Kirana menggigit bibirnya. Ya ampun, ini baru hari pertama, tapi gosipnya sudah menyebar ke seluruh sekolah!Di sampingnya, Revan tetap dengan wajah datarnya, seolah tidak peduli sama sekali.“Kita pesan apa?” tanya Kirana akhirnya.Revan melirik ke arah menu dan berkata santai, “Nasi goreng aja.”Kirana menghela napas. “Ya udah, nasi goreng.”Mereka pun memesan dua porsi nasi goreng dan mencari tempat duduk. Sayangnya, hampir semua meja penuh. Yang tersisa hanya satu meja di tengah kantin, tepat di tempat paling terbuka.“Ya ampun, tempatnya di situ,” gu
Langit cerah di atas SMA Grahadi, menandakan hari yang cukup menyenangkan bagi para siswa yang baru memulai tahun ajaran baru. Aula sekolah penuh dengan suara riuh rendah para murid yang sedang berbincang. Beberapa asyik bercanda, sementara yang lain sibuk mencari tempat duduk untuk acara pembukaan tahun ajaran.Di antara mereka, seorang gadis berambut panjang dengan wajah manis tengah duduk sambil menopang dagunya. Kirana Ardiani, siswa kelas 11 yang terkenal cerdas dan mandiri, tampak tidak terlalu tertarik dengan suasana ramai di sekitarnya."Kirana! Lo kenapa diem aja? Harusnya lo semangat, kita udah naik kelas, nih!" ujar Nadine, sahabatnya, sambil menggoyangkan bahunya.Kirana menghela napas. "Nggak tahu, Nad. Kayaknya perasaanku nggak enak dari tadi pagi.""Yah, lo kebanyakan mikir! Udahlah, enjoy aja!" Nadine menepuk pundaknya dan kembali berceloteh tentang murid-murid baru yang masuk tahun ini.Acara pun dimulai dengan sambutan dari kepala sekolah. Namun, Kirana tidak terlalu