Ketegangan Britne dan Geena masih terus berlanjut hingga acara pernikahan sepupu mereka berlangsung. Dia sengaja menghindar dari keramaian dan menatap acara pernikahan tersebut dari kejauhan.
“Pernikahan yang sangat indah,” pujinya sedikit iri.
Berusaha mengurangi kegalauan hati, Britne mengambil minuman yang berada di pojok taman. Saat berbalik langkahnya terhenti melihat sosok pria yang dihindarinya selama ini. Jantungnya seketika berdetak sangat cepat dan tubuhnya gemetar tanpa alasan.
“Al-Alvaro ...” ucapnya gagap.
Mata pria itu menatap tajam tak bersahabat ke arahnya, tatapan lembut yang dulu sering Alvaro berikan, kini lenyap tak berbekas. Britne mendapati pria yang berbeda dari sahabatnya dulu, hal itu membuatnya semakin gugup.
“Kemana saja dirimu selama ini?” tanya Alvaro yang sama sekali tidak ingat hal terakhir yang dia lakukan pada Britne.
“Aku menyingkir untuk menenangkan diri,” jawab Britne.
“Menenangkan diri?” ulang Alvaro dengan seringai sinis. “Aku yang gagal menikah, kenapa kamu yang menenangkan diri? Kemana dirimu saat aku membutuhkan seorang sahabat yang aku percayai selama ini?”
“Apakah kamu tidak ingat apa yang terjadi diantara kita?” selidik Britne.
Alvaro memiringkan kepala mendengar pertanyaan Britne. “Apakah kamu ingin mengingatkanku bagaimana kamu menghilang begitu saja dan tidak bisa dihubungi?”
“A-aku …” gagap Britne tak sanggup menjelaskan apa yang terjadi, dia malah melangkah mundur berusaha menghindari Alvaro.
Dadanya terasa sesak menyadari jika pria itu sama sekali tidak mengingat apa yang terjadi diantara mereka. Mungkin bagi Alvaro, percintaan itu hanya sebuah mimpi.
Britne mengepalkan tangan kuat-kuat menahan luka yang kembali menganga. Dia harus menerima kenyataan jika dalam mimpi pria itu, Geena lah yang Alvaro pikirkan.
Bagaimana dirinya bisa berkata jujur tentang Cedric jika di hati Alvaro hanya ada Geena? Pria itu hanya akan menganggap Cedric sebagai sebuah kesalahan.
“Aku menerima perjodohan kita,” ucap Alvaro yang membuat Britne terperangah.
“Apa maksudmu? Bukankah dari dulu sudah aku katakan, aku tidak ingin menjadi pengganti Geena? Apakah kamu mencintaiku sehingga menerima perjodohan orang tua kita?” geram Britne.
Tubuh Alvaro membeku mendengar kata cinta yang terucap dari bibir Britne, namun dia segera mengendalikan diri dan berusaha bersikap normal.
“Cinta? Itu hanya sebuah kata tanpa arti. Pernikahan kita akan menjadi bisnis saling menguntungkan, aku tahu peternakan papamu sedang mengalami kesulitan mencari bibit kuda yang baik dan hanya peternakanku yang bisa menyuplainya. Sedangkan papaku butuh orang untuk mengembangkan bibit kudanya. Mereka berharap perjodohan kita bisa membuat peternakan membaik, serta menjalin kembali persahabatan mereka yang sempat retak.”
“Jangan bodoh Alvaro! Jika kamu menerima perjodohan ini, kita berdua akan sama-sama terluka. Kamu tidak mencintaiku dan hanya akan melihatku sebagai Geena, itu hanya akan membuat hubungan kita akan semakin rusak.”
“Aku tidak peduli, paling tidak kita berdua bisa berguna untuk keluarga.”
“Lalu siapa yang akan kamu lihat sebagai istrimu, aku atau Geena?” ucap Britne penuh emosi.
“Apakah itu penting? Mau dirimu atau Geena, kalian sama-sama putri Hogan.”
“Pikiranmu sangat picik!” geram Britne.
“Picik …? Berkacalah pada dirimu dan tiliklah hatimu! Maka kamu akan temukan jika kita berdua tidak jauh berbeda.”
Britne menghela nafas panjang menahan rasa marah, wajahnya melembut berusaha membujuk Alvaro agar menolak perjodohan yang baginya sangat tidak masuk akal.
“Marilah kita berteman kembali seperti dulu, pernikahan diantara kita hanya akan membuat hubungan kita rusak.”
“Hubungan kita memang sudah rusak ketika kamu pergi begitu saja dan aku tidak bisa berteman lagi denganmu seperti dulu. Namun hubungan papaku dan papamu bisa diperbaiki dengan pernikahan kita, aku ingin mengembalikan hubungan mereka seperti dulu lagi.”
“Aku tidak yakin dengan alasan yang kamu berikan,” sindir Britne dengan senyum sinis.
“Lalu apa yang kamu pikirkan?” pancing Alvaro.
“Kamu hanya mencari pelampiasan atas obsesimu dan hanya aku yang bisa menjadi tempat pelampiasanmu.”
Wajah Alvaro seketika memerah marah mendengar tuduhan Britne, rahangnya mengeras dengan tatapan elang yang membunuh. Alvaro baru akan membuka mulutnya, hendak menanggapi perkataan Britne, tetapi tertahan ketika terdengar suara memanggil Britne.
“Kemana saja dirimu, Britne? Aku mencarimu kemana-mana, Cedric mencarimu. Dia ingin ...”
Perkataan seketika Geena terhenti saat menyadari jika Britne sedang bersama Alvaro, tubuhnya membeku menatap pria itu.
“Maaf, aku tidak tahu jika kamu sedang bersama Alvaro.”
Alvaro hanya diam menatap wanita yang dicintainya yang kini telah menikah dan mendapatkan kebahagiaan. Britne yang melihat tatapan Alvaro semakin terluka karena dia tahu pria itu tidak pernah melupakan saudara kembarnya.
“Aku akan menemui Cedric,” ujar Britne yang kemudian melangkah pergi meninggalkan Alvaro dan Geena.
“Tunggu! Siapa Cedric?” tanya Alvaro mengabaikan perkataan Geena dan menuntut penjelasan dari Britne.
“Dia pria yang aku cintai saat ini.”
Tatapan dingin Alvaro berubah menegang dengan raut wajah tak terbaca, tetapi terlihat jelas jika pria itu tidak menyukai jawaban Britne.
Setelah Britne pergi, Geena berjalan mendekati Alvaro. “Jangan melampiaskan kesalahanku pada saudaraku! Aku yang pantas kamu benci bukan Britne.”
“Kamu dan Britne telah mempermalukan keluargaku.”
“Aku yang mempermalukanmu dan keluargamu, Britne tidak bersalah dalam hal ini.”
“Apakah kamu sedang melindunginya? Hatimu terlalu baik hingga rela mengorbankan pernikahan kita demi Britne karena kamu tahu perasaan Britne padaku.”
Kening Geena mengerut tajam merespon perkataan Alvaro. “Apakah kamu tidak mengerti juga? Aku membatalkan pernikahan kita bukan karena perasaan Britne kepadamu, tetapi tentang pilihanku sendiri. Aku kabur bukan karena berkorban demi Britne, aku pergi karena aku mencintai pria lain dan dia adalah suamiku sekarang.”
“Jika kamu tidak mengetahui Britne menyimpan perasaan padaku, apakah kamu akan kabur dari pernikahan kita? Keadaan akan berubah jika saja …”
“Cukup Alvaro! Jangan berandai-andai tentang keadaan yang tidak bisa kamu kendalikan. Aku harap kamu tidak menghukum Britne karena kesalahanku. Papa dan mama sangat mempercayaimu, mereka berharap kamu bisa membahagiakan Britne.”
Seringai sinis tergambar di wajah Alvaro, dia kembali mengambil minuman dan menenggaknya. “Kita lihat saja nanti,” ucapnya lalu pergi menjauh dari tempat Geena berdiri.
Geena kemudian menyusul Britne masuk ke rumah dan mendapati orang tuanya sedang berbicara pada saudara kembarnya itu. Dia tidak langsung masuk, tetapi memilih berdiri di ambang pintu menguping pembicaraan mereka.
“Alvaro dan papanya datang ke pesta, ini adalah kesempatan bagimu untuk memperbaiki hubunganmu dengan mereka!” suara Axton terdengar mengintimidasi putrinya.
“Bukan aku yang merusak hubungan keluarga kita dengan keluarga Cooper, untuk apa aku memperbaikinya? Suruh saja Geena yang bertanggung jawab atas perbuatannya,” sanggah Britne menahan rasa marah.
“Alvaro dan Geena tak ada urusan lagi, kamu adalah teman Alvaro dan hanya kamu yang mengerti karakternya.”
“Aku sudah bertemu dan bicara dengan Alvaro, dia bukan pria yang aku kenal dulu. Sikapnya dingin dan perkataannya sinis, kini aku sama sekali tak mengenalnya.”
Terlihat keterkejutan di wajah Axton mengetahui jika putrinya sudah bertemu dengan Alvaro. “Papa yakin masih ada kelembutan dan kebaikan dalam diri Alvaro. Dia adalah pria yang paling sopan yang pernah papa kenal dan selama ini hanya dia yang bisa menjagamu.”
“Sudah terlambat papa menyadari hal itu, jika papa menyadarinya dari dulu, papa tidak akan menjodohkan Geena dengan Alvaro. Papa sudah menghancurkan semuanya.”
“Karena itu papa menyesal dan ingin memperbaikinya. Papa ingin kamu dan Alvaro …”
“Aku tidak suka papa terus mendesakku, sudah aku bilang keadaannya sudah berubah. Jika papa terus bersikap seperti ini, aku akan pergi membawa Cedric dan tidak akan pernah kembali lagi,” ancam Britne sebagai langkah terakhir.
“Kamu tidak bisa terus hidup seperti ini karena itu hanya akan menyiksa dirimu sendiri. Bagaimana jika kita membuat kesepakatan?” Axton memberi penawaran yang membuat Britne memiliki sedikit peluang untuk mendapatkan kebebasannya.
“Kesepakatan apa yang papa inginkan?” tanya Britne tertarik.
“Papa memberimu waktu satu minggu untuk kamu mencoba berkencan dengan seorang pria. Jika kamu bisa melakukannya dan punya niat untuk membangun hubungan, maka papa tidak akan memaksamu lagi untuk menikah dengan Alvaro,” terang Axton.
“Satu minggu? Itu terlalu cepat,” protes Britne tidak terima.
“Papa sudah memberimu waktu tiga tahun tetapi kamu tidak memanfaatkan dengan baik. Mau satu minggu, satu bulan, satu tahun atau bahkan 10 tahun jika kamu tidak memiliki niat untuk membangun hubungan dengan seorang pria, hasilnya akan tetap sama saja.”
Britne tampak menimbang-nimbang tawaran papanya. Lebih baik dia menjalin hubungan dengan pria yang tidak dikenal dibanding menjalin hubungan dengan pria yang mencintai wanita lain dan parahnya lagi wanita itu memiliki wajah yang sama persis dengan wajahnya.
“Baiklah, aku akan memanfaatkan satu minggu yang papa berikan dengan baik. Jika aku menemukan pria yang tepat, aku harap papa menepati janji untuk tidak mengusik kehidupanku lagi,” ujar Britne yang kemudian menjauh pergi keluar dari ruangan.
Langkahnya terhenti ketika dia mendapati saudara kembarnya berdiri di ambang pintu. “Apakah kamu menguping pembicaraan kami?” geram Britne.
“Aku tidak sengaja mendengarnya,” balas Geena jujur.
“Apakah kamu senang mendengar pertengkaranku dengan papa?”
“Tentu saja tidak, semua ini adalah salahku dan aku menyadarinya. Jadi, jangan hancurkan dirimu hanya karena ego! Jangan sampai kejadian Cedric terulang kembali!”
“Tahu apa kamu tentang Cedric? tidak ada seorang pun yang tahu tentang masa lalu dan perjuanganku dengan putraku. Asal kamu tahu, aku tidak pernah menyesal telah melahirkan Cedric di dunia ini. Papanya bukan orang brengsek seperti yang kalian pikirkan, jadi jangan pernah menyinggungnya.”
“Bukan itu maksudku,” sanggah Geena.
“Menjauhlah dariku Geena! Lebih baik aku menikah dengan orang asing daripada menikah dengan pria yang mencintaimu.” geram Britne yang kemudian melangkah pergi.
Malam hari, Britne tidur dengan gelisah. Mimpi yang selama ini mengganggu tidurnya, datang kembali. Dia meringis menahan rasa sakit di pangkal paha, rasa nyeri itu masih teringat jelas di alam bawah sadar.“Geena, aku mencintaimu,” racau Alvaro sesaat setelah pria itu meledakkan benih di dalam rahimnya.Telinga Britne berdenging sakit ketika mendengar hal tersebut, dia langsung terbangun dengan nafas terengah, keringat dingin membasahi tubuh, air mata menetes karena rasa sakit yang mencengkram hati, jantungnya berdetak kencang karena kemarahan yang meliputi.Malam itu, tiga tahun yang lalu dia melakukan kesalahan besar, hal tersebut membuatnya trauma untuk menjalin hubungan dengan seorang pria. Alvaro berhasil meruntuhkan kepercayaan dirinya dengan menyebut nama Geena di dalam percintaan mereka.Lebih menyedihkan lagi, pria itu tidak pernah ingat tentang malam yang mereka lewati bersama karena melakukannya dalam keadaan mabuk. Sampai detik ini, hanya dirinya dan Tuhan yang tahu tentan
Alvaro melirik sekilas ke arah Britne lalu melemparkan handuk yang dipakai untuk mengeringkan rambut ke kursi di dekatnya, sengaja mengabaikan keterkejutan wanita itu.“Bagaimana aku bisa bersamamu?” tanya Britne heran.“Memangnya siapa yang kamu harapkan bersamamu saat ini, pria brengsek yang ingin melecehkanmu itu?” sindir Alvaro.“Aku tidak tahu jika dia pria jahat.”“Tentu saja kamu tidak tahu karena kamu begitu bodoh, mudah tergoda oleh bujuk rayu pria,” geram Alvaro menahan kemarahan tanpa memikirkan apa yang dia katakan.“Aku tidak …” Britne seketika terdiam tak melanjutkan perkataannya karena percuma saja dia menyangkal, Alvaro tidak akan percaya dengan apa yang dia katakan.Sambil tertunduk lesu, tangannya meremas bagian depan kemeja yang dipakai. Untuk sekian kali Alvaro meruntuhkan kepercayaan dirinya, membentuk persepsi di alam bawah sadar jika dirinya memang benar-benar bodoh.Bibir Britne gemetar, dadanya terasa sesak, ingin sekali dia menjauh dari pria itu tetapi ada ya
“Kenapa papa belum tidur dan tampak gelisah?” tanya Britne melihat papanya mondar-mandir di ruang tamu padahal malam sudah larut.“Sudah beberapa hari tidak ada kabar dari Alvaro semenjak sarapan kita pagi itu. Jika terus begini, bagaimana dengan nasibmu?” jawab Axton.“Aku tidak terkejut dengan hal tersebut, aku tahu bagaimana sifat keluarganya. Di jaman modern ini, hanya keluarganya yang masih memegang teguh sebuah kehormatan. Aku yakin Alvaro tidak akan menikahiku setelah mengetahui jika aku memiliki putra tanpa seorang ayah.”“Papa akan coba menelponnya untuk mengetahui apa yang terjadi,” balas Axton hendak mengambil ponsel.“Hentikan hal itu Pa! Kenapa papa masih saja mengharapkan Alvaro untuk mau menikahiku? Dia tidak mungkin menerimaku setelah mengetahui kenyataan jika Cedric adalah putraku,” larang Britne.“Jika tidak dengan Alvaro, dengan siapa lagi kamu akan menikah?”Kening Britne mengkerut tidak senang mendengar ucapan papanya. “Serendah itukah papa memandangku sehingga me
Dengan tangan gemetar, Britne menorehkan tanda tangan di atas kertas yang membuat statusnya berubah menjadi Nyonya Cooper.Tidak ada pesta megah atau acara khusus untuk merayakan pernikahan dirinya dan Alvaro, mereka hanya menandatangani surat pernikahan yang disaksikan oleh keluarga dekat, lalu dilanjutkan dengan acara makan keluarga di rumahnya.Hal tersebut sudah menjadi keputusannya karena dia tidak ingin menikah dengan pesta megah sedangkan pernikahan dirinya dan Alvaro lebih seperti pernikahan bisnis.Sebelum acara makan dimulai, Britne duduk kaku di samping Alvaro, dia tidak mengerti dengan sikap pria yang kini sudah menjadi suaminya itu.Bukankah dari awal Alvaro sendiri yang bersikeras untuk menikah dengannya? Tetapi sekarang, pria itu malah terlihat dingin dan cuek, seakan tidak menginginkan pernikahan tersebut.“Apakah kamu menyesal dengan pernikahan ini?” singgung Britne sambil melirik ke arah suaminya.“Tidak ada yang perlu aku sesali,” ucapnya seakan pernikahan mereka bu
Perjalanan menuju peternakan Cooper menjadi perjalanan yang terasa panjang dan lama bagi Britne dan Alvaro. Sepanjang perjalanan mereka sama-sama diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.Britne duduk menjauh dari Alvaro sambil mendekap Cedric yang terlelap, sedangkan Alvaro fokus dengan kemudi mobil, sesekali mencuri pandang ke arah istrinya dengan tatapan yang tak terbaca.Tatapan itu disalah artikan sebagai ancaman bagi Britne sehingga dia semakin menutup diri dan memasang dinding atas keberadaan Alvaro.Mereka sampai di peternakan ketika hari sudah malam, Britne menidurkan Cedric ke kamar yang sudah disediakan Alvaro lalu pergi ke kamar dimana barang-barangnya ditaruh di sana.Saat membuka pintu, dia terkejut mendapati Alvaro sudah berada di kamar tersebut. Bayangan masa lalu mereka saat berada di dalam satu kamar yang sama, membuat Britne merasa sesak dan wajahnya memucat.Perubahan raut wajah Britne membuat Alvaro khawatir. “Apakah kamu baik-baik saja?” tanyanya sambil berjal
Keesokan paginya Britne bangun dan terkejut karena tanpa sadar telah tidur dengan begitu lelap, pertengkarannya dengan Alvaro cukup menguras emosi hingga membuatnya kelelahan.Dia segera beranjak dari tempat tidur dan pergi ke kamar Cedric untuk melihat keadaannya karena biasanya putranya sulit tidur saat berada di tempat yang baru. Butuh beberapa hari untuk Cedric bisa beradaptasi, itulah salah satu alasan kenapa dirinya keberatan ketika Alvaro memaksanya untuk pindah ke peternakan Cooper,Namun betapa heran dirinya saat mendapati Cedric tidur sangat lelap bahkan air liurnya sampai menetes ke bantal, membuat senyum Britne merekah.“Lelap sekali tidur anak mama,” gumamnya senang karena ternyata Cedric bisa beradaptasi dengan cepat di tempat yang baru, dia tidak tahu jika semalam putranya sempat bangun dan Alvaro yang menenangkannya.Dia duduk di ranjang putranya lalu mengusap rambut anak itu. “Sepertinya kita berdua sangat kelelahan hingga tidur sangat lelap.”Tidak ingin mengganggu t
Sebagai seorang wanita yang masih butuh perhatian, Britne berharap Alvaro akan menyusulnya pulang, namun sayangnya apa yang diharapkan tidak terjadi, bahkan sampai larut malam pria itu tak kunjung pulang.Bayangan Alvaro, William dan Dyana makan bersama sambil bercanda dan tawa membuat hati Britne memanas, kecemburuan mengusiknya dan rasa cemas mengganggunya.Setelah Cedric tidur, dia sengaja menunggu kepulangan Alvaro. Penantiannya terasa begitu lama hingga membuatnya mondar-mandir tidak tenang di ruang depan rumahnya. Langkahnya terhenti ketika pintu rumah terbuka dan Alvaro muncul dari sana.Mata mereka saling menatap namun mulut keduanya bungkam. Semua kata yang sudah Britne rangkai sebelumnya, tiba-tiba lenyap hingga tak ada satu kata pun yang mampu dia ingat.“Kamu belum tidur?” tanya Alvaro yang terlihat terkejut mendapati istrinya berdiri di depannya.“Kenapa kamu pulang larut malam? Bahkan untuk makan pun kamu tidak sempat,” Britne balik bertanya.“Ada masalah di peternakan s
Alvaro kembali ke rumah saat hari sudah sangat larut dan Britne sudah tidur lelap hingga tidak tahu jam berapa suaminya pulang. Mereka kembali tidur di tempat terpisah, diam-diam Alvaro tidur bersama Cedric karena anak itu memberinya kedamaian.Dia enggan memberitahu Britne tentang kebiasaan barunya tersebut, khawatir istrinya akan marah sehingga melarangnya mendekati Cedric. Apalagi Britne selalu sensitif jika menyinggung sesuatu yang berkaitan dengan putranya.Keesokan paginya, Britne terkejut mendapati Alvaro masih berada di rumah. Padahal semalam pria itu bilang harus ke peternakan pagi-pagi karena ada masalah.Dengan acuh, Britne berjalan melewati suaminya dan pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Dia mengeluarkan beberapa bahan makanan dari kulkas dan mulai memilih apa yang ingin dia olah terlebih dahulu.Menyadari ada yang datang, Britne menegakkan wajah dan melihat Alvaro diam berdiri di ambang pintu menatapnya.“Apakah kamu mau sarapan di rumah? Aku akan memasak lebih jika
“Auuuw …” rintih Trevor saat Anya mengobati lukanya.Anya melirik selintas menatap wajah pria itu lalu kembali berkonsentrasi dengan luka yang sedang dia obati.“Katanya tergores sedikit, kenapa sekarang jadi manja dan meringis kesakitan,” gumam Anya seolah sedang bicara pada dirinya sendiri.Trevor tersenyum masam menanggapi sindiran Anya. “Jika kamu bersikap sedikit lebih lembut, aku tidak akan merasa kesakitan.”Bukannya bersikap lembut, Anya malah sengaja menekan luka Trevor hingga pria itu berteriak kesakitan, menarik tangannya lalu menghindari Anya.“Ini sangat menyakitkan, aku tahu kamu sengaja melakukannya,” gerutunya tanpa rasa marah.Anya kembali menarik tangan pria itu lalu kini benar-benar mengobatinya dengan hati-hati. “Ini bukan luka ringan dengan sedikit goresan seperti yang kamu katakan. Lukamu cukup parah dan terus mengeluarkan darah, besok kamu harus periksa ke rumah sakit.”Trevor terdiam sambil memperhatikan Anya yang sedang mengobati lukanya. Sebenarnya dokter sud
“Sudah cukup, aku tidak mampu memakan semua ini,” kata Anya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil mengusap perutnya yang kekenyangan, mengabaikan sopan santun di hadapan Trevor.“Kamu harus makan banyak, aku melihatmu terlihat sangat kurus dan kantung matamu tidak bisa kamu sembunyikan dari make up tebal,” ujar Trevor seakan tahu kondisi Anya.Anya kembali menegakkan tubuh dan mengusap wajahnya. “Sekarang kita bisa membahas pekerjaan,” ujarnya lalu mengeluarkan dokumen untuk menghindari Trevor banyak bicara.“Kenapa buru-buru, aku masih ingin bersamamu.”“Cukup, Trevor! Bersikaplah profesional. Kita di sini untuk urusan pekerjaan dan aku tidak ingin terlibat denganmu lebih dari ini.” Anya menekankan hubungan mereka saat ini.Dengan buru-buru Anya membuka dokumen yang dibawa lalu membacakan pasal-pasal yang mereka sepakati. Trevor yang muak dengan sikap Anya, merebut dokumen tersebut lalu menutupnya.“Aku ingin bicara denganmu soal Remy,” terang Trevor.“Aku tidak ada urusan den
“Apa yang kamu dapatkan dari penyelidikan Remy?” tanya Trevor pada Adam.“Ada berita bagus yang bisa membuatmu keluar dari jerat wanita itu?” jawab Adam sambil menyerahkan hasil penemuannya pada Trevor.Trevor menaikkan satu alis dengan senyum sinis terkembang di ujung bibir membaca dokumen yang Adam berikan padanya.“Jadi wanita itu tidak hamil? Selama ini dia sedang bermain-main denganku dan berbohong padaku?” ujar Trevor.“Dia tidak mungkin hamil darimu karena kamu tidak bercinta dengannya,” kata Adam.“Jadi kamu percaya padaku sekarang?” Trevor menyombongkan diri menyindir ketidakpercayaan Adam padanya.“Aku tidak sepenuhnya percaya dengan perkataanmu, aku hanya percaya pada data yang aku dapatkan.” Adam langsung mematahkan kesombongan Trevor.“Data apa yang kamu dapatkan?”“Apakah kamu ingat saat kamu melakukan tes darah saat itu?” Adam mengingatkan.“Ah … ya … sehari setelah aku mabuk aku merasa tidak enak badan sehingga aku memutuskan ke rumah sakit untuk memeriksakan kesehatan
“Apakah aku bisa bertemu dengan papa tirimu?” tanya Trevor pada Remy dengan ekspresi tak terbaca.“Papaku …?” ulang Remy dengan cuping hidung kembang-kempis memperlihatkan kegugupan yang coba disembunyikan, “kenapa kamu ingin bertemu dengan papaku?”Tidak ingin dicurigai atas permintaannya, Trevor memilih kata dengan hati-hati sebelum mengucapkan.“Jika memang bayi yang kamu kandung adalah anakku, bukankah sudah seharusnya aku bertemu papamu? Karena papa kandungmu sudah meninggal, sudah sewajarnya aku bertemu dengan walimu saat ini.”Kecurigaan yang sempat terbesit dalam benak Remy, seketika lenyap ketika sikap Trevor berubah lembut padanya, bahkan pria itu tidak menolaknya lagi. “Aku tidak bisa janji, papaku susah untuk ditemui.”“Sayang sekali, apakah itu berarti tidak ada restu untuk kita?” pancing Trevor.“Re-restu …?” Kata-kata itu membuat mata Remy berbinar senang.“Lupakan saja permintaanku.” Trevor berusaha tarik ulur emosi Remy, dia kemudian beranjak dari tempat duduk hendak
Anya terbelalak mengetahui jika kakaknya yang masuk ke ruangan. Dia langsung berusaha bangun dan merapikan pakaian.“A-aku … ka-kami …” Otak Anya seketika kosong dan tak mampu menjelaskan apa yang terjadi.“Dia jatuh dari kursi dan aku berusaha menolongnya, aku harap kamu tidak salah paham dengan apa yang dilihat tadi,” jelas Trevor dengan santai sambil berdiri dan berjalan mendekati Arlo seolah tidak terjadi apa-apa.“Benarkah begitu?” tanya Arlo memastikan langsung ke Anya dengan tatapan penuh selidik.“Aku sedikit ceroboh hingga terjatuh dari kursi dan beruntung Trevor menolongku,” jelas Anya tak sepenuhnya berbohong.“Lalu bagaimana kamu bisa berada di sini? Bukankah seharusnya kamu menemuiku?” Tatapan curiga Arlo diarahkan pada Trevor.“Aku tersesat dan berakhir di sini.”Arlo terdiam berusaha memahami situasi yang terjadi, dia tipe orang yang tidak mudah percaya hanya dengan mendengar cerita dari orang lain. Banyak peristiwa dan proses dalam hidupnya yang membuat dia begitu hati
“Mereka memundurkan rapatnya karena kamu tidak datang,” ujar Adam yang kembali menemui Trevor.“Biarkan saja, aku masih bisa menanganinya. Apakah kamu sudah menemukan data tentang Remy? Apa yang kamu dapatkan?” cecar Trevor.“Tidak banyak yang bisa ditemukan, aku hanya bisa mengakses data pribadi dan keuangannya. Tidak ada hal yang mencurigakan dengan semua itu,” terang Adam.“Berikan semua data itu padaku dan tinggalkan aku sendiri, aku yang akan mengurusnya.”Adam kemudian menyerahkan sebuah flashdisk pada Trevor, tetapi tidak langsung pergi dari hadapan pria itu. Mengetahui hal tersebut, Trevor menatapnya dengan dingin. “Ada apa lagi?”“Arlo Jackson baru saja menelpon, dia ingin bertemu dan mengundangmu ke kantornya, ada kerjasama yang ingin ditawarkan,” ujar Adam menginformasikan tujuan Arlo.Rahang Trevor mengeras, rasa cemburu mengusik mengingat Anya sangat dekat dengan pria itu.“Bilang saja aku tidak berminat dengan semua yang dia tawarkan,” balas Trevor tanpa pikir panjang.“
“Sudah lama sekali aku tidak membicarakan papaku dan aku tidak berminat,” tolak Trevor enggan mengulik masa lalunya kembali.“Tapi ini berhubungan dengan keluarga Jackson, jika kita tidak menyelesaikannya maka hidup kita sebagai keluarga Smith tidak akan tenang,” terang Mattew.“Apa untungnya bagiku? Nama Smith tidak ada artinya bagiku dan aku tidak punya hubungan apapun dengan keluarga Jackson.” Trevor berusaha menghindar dari masalah yang lebih buruk.“Kamu dan Britne berteman baik, Arlo juga mengenalmu. Pertemananmu dengan Britne akan rusak dan bisnismu akan tersendat jika kita tidak menyelesaikan masalah keluarga kita.”Trevor menghela nafas panjang lalu memijit batang hidungnya. “Sepertinya keputusanku untuk pulang adalah sebuah kesalahan dan seharusnya aku tidak perlu mengenalmu sehingga masalah ini tidak mendatangiku.”Mattew tersenyum penuh pengertian. “Ini adalah kesalahan para orang tua kita yang tidak bisa kita hindari, jadi tugas kita sekarang adalah memutuskan semua kutuk
“Dasar anak pembawa sial! Mati saja kamu!” umpat mamanya sambil memukul dengan keras.Umurnya masih tujuh tahun saat itu tetapi bayangan itu masih sangat jelas di ingatan. Kekerasan, umpatan, pukulan selalu dia dapatkan di masa kecil.Dia sering disalahkan atas kehidupan mamanya yang buruk, papanya meninggalkan mereka dalam kemiskinan dan semenjak saat itu mamanya sering kali kehilangan akal sehat lalu memukul dirinya tanpa alasan.Tetapi bukan itu hal terburuk dalam hidupnya, hal terburuk yang dia alami adalah ketika menemukan mamanya bunuh diri dan meninggalkannya sebatang kara di dunia ini. Dia kemudian dibawa petugas sosial untuk dibesarkan di panti asuhan.Trevor terbangun dengan keringat dingin yang membasahi pakaian, rahangnya mengeras mengingat mimpinya. Hal itulah yang membuatnya begitu membenci papanya dan tidak ingin tahu siapa ayah kandungnya.Seumur hidup, dia membenci pria yang telah menghamili mamanya dan meninggalkannya begitu saja.Mimpi buruk itu membuatnya tidak bis
Trevor mengerang marah karena situasi sulit yang dihadapinya. Keadaan ruyam ketika dia mabuk dan terbangun dengan Remy tidur di sisinya dan sekarang wanita itu mengaku hamil anaknya.“Sudah ku bilang Remy akan menyulitkan hidupmu,” sindir Adam merespon sikap Trevor.“Bisakah kamu diam jika kamu tidak punya solusinya? Jangan membuatku semakin pusing,” geram Trevor.“Benarkah kamu tidak mengingat apapun malam itu?”Trevor menggeleng sambil memijat kepalanya yang berdenyut sakit. “Aku tidak mungkin bercinta dengan Remy, jika aku melakukannya aku pasti mengingatnya meski mungkin tidak secara detail. Itu yang aku rasakan pada Anya sehingga aku yakin jika anak yang Remy kandung bukan anakku, tetapi aku butuh bukti untuk menyanggahnya jika tidak Remy akan membuat media gempar dan nilai sahamku akan turun.”“Jadi kamu bercinta dengan Anya dalam keadaan mabuk? Dasar pria brengsek,” umpat Adam membuat Trevor sadar jika telah bicara terlalu banyak.“Enyahlah dari hadapanku, Adam! Aku sedang ingi