“Kenapa papa belum tidur dan tampak gelisah?” tanya Britne melihat papanya mondar-mandir di ruang tamu padahal malam sudah larut.
“Sudah beberapa hari tidak ada kabar dari Alvaro semenjak sarapan kita pagi itu. Jika terus begini, bagaimana dengan nasibmu?” jawab Axton.
“Aku tidak terkejut dengan hal tersebut, aku tahu bagaimana sifat keluarganya. Di jaman modern ini, hanya keluarganya yang masih memegang teguh sebuah kehormatan. Aku yakin Alvaro tidak akan menikahiku setelah mengetahui jika aku memiliki putra tanpa seorang ayah.”
“Papa akan coba menelponnya untuk mengetahui apa yang terjadi,” balas Axton hendak mengambil ponsel.
“Hentikan hal itu Pa! Kenapa papa masih saja mengharapkan Alvaro untuk mau menikahiku? Dia tidak mungkin menerimaku setelah mengetahui kenyataan jika Cedric adalah putraku,” larang Britne.
“Jika tidak dengan Alvaro, dengan siapa lagi kamu akan menikah?”
Kening Britne mengkerut tidak senang mendengar ucapan papanya. “Serendah itukah papa memandangku sehingga mengira tidak ada pria yang menginginkanku?”
Axton yang menyadari kesalahannya menatap Britne dengan perasaan bersalah. “Bukan seperti itu yang papa maksud. Sejak kecil, kamu tidak banyak bergaul dan teman-temanmu bisa dihitung dengan jari. Hanya Alvaro teman terdekatmu dan papa percaya padanya.”
“Aku tahu papa sangat percaya pada Alvaro dan sangat menginginkannya sebagai menantu, hingga papa menjodohkannya pada Geena dan saat rencana papa gagal, papa menjodohkannya denganku,” sindir Britne.
“Papa tidak mengerti dengan apa yang kamu katakan,” ucap Axton tersinggung dengan perkataan putrinya.
“Meski selama ini aku jauh dari keluarga ini, aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sampai saat ini, papa belum sepenuhnya menerima Mattew sebagai menantu papa bukan? Padahal dia pria yang baik dan bisa membahagiakan Geena.”
“Jangan mengalihkan pembicaraan, kita sedang membicarakanmu dan Alvaro, bukan Geena dan Mattew.”
“Tapi apa yang aku katakan benar bukan? Papa sangat menginginkan Alvaro menjadi menantu papa hingga rela memaksaku menikahinya, mengorbankan perasaanku dan menutup mata atas kepedihan hatiku. Apakah karena Alvaro adalah putra dari sahabat papa, itukah alasannya?”
“Cukup Britne! Jangan menyalahkan papa karena kebodohan yang kamu lakukan di masa lalu!” balas Axton tersulut kemarahan.
“Ya, aku memang bodoh hingga tidur dengan pria sembarangan, hingga aku melahirkan Cedric tanpa tahu siapa papanya. Itukah yang ingin papa katakan padaku?” seru Britne dengan nada tinggi.
“Ada apa ini?” suara Inggrid mengagetkan Britne dan Axton, menghentikan pertengkaran mereka..
“Papa sedang jatuh cinta pada Alvaro, kenapa tidak dia saja yang menikah dengan pria itu,” ucap Britne sinis, lalu pergi ke kamar meninggalkan orang tuanya.
Sepanjang malam, Britne mengunci diri di dalam kamar, sengaja tidak mengajak bicara papa dan mamanya. Meski sudah berbaring cukup lama, namun matanya tak kunjung terpejam. Rasa kantuknya lenyap entah hilang kemana.
Menjelang dini hari, Britne masuk ke alam mimpi. Dirinya kembali ke malam tiga tahun yang lalu, merasakan sentuhan Alvaro yang awalnya terasa begitu menyenangkan. Pria itu membuatnya melayang, memberikan sensasi yang seumur hidup belum pernah dia rasakan.
Suara nafas terdengar saling memburu, jantungnya berdetak kencang apalagi saat Alvaro menciumnya untuk pertama kali.
“Sudah lama aku menginginkanmu, tapi aku menahan diri untuk menjaga kehormatanmu,” perkataan Alvaro masih teringat jelas di kepalanya.
“Jika kamu melakukannya maka kita berdua akan tercemar, kehormatan kita berdua akan hilang.”
“Persetan dengan kehormatan, karena hal itu aku kehilanganmu. Aku menjadi pria pengecut yang tak bisa mengungkapkan perasaanku karena terlalu khawatir dengan kehormatan. Tak bisakah aku memilikimu saat ini? akan aku serahkan tubuh dan hatiku padamu.”
Perkataan itu membuat hati Britne luluh, sehingga dengan penuh kepasrahan dia menyerahkan kehormatannya.
Mimpi indah itu menjadi mimpi buruk ketika Alvaro berkata, “Geena, aku mencintaimu.”
Untuk sekian kali rasa sakit itu menghentakkan dirinya dan membuatnya terbangun dari mimpi. Tubuhnya gemetar dan keringat dingin membasahi pakaiannya. Entah sampai kapan dia akan terus hidup dalam rasa bersalah tersebut.
Isak tangis menggema di kamar, dia terduduk sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan, air mata pun terus mengalir tak bisa dihentikan sama persis seperti yang dia alami di dalam mimpi.
Semenjak malam yang dia lewati bersama Alvaro, semua menjadi berubah, hidupnya, keceriaannya, mimpinya dan juga sikapnya.
Dia tidak bisa lagi menjadi wanita normal, kini hanya ada rasa sesal yang tersisa karena dia telah menyerahkan kehormatan pada pria yang mencintai wanita lain dan hanya menjadi pelampiasan dari obsesi pria tersebut.
Seandainya saja dia tidak terlambat menyadari jika Alvaro hanya mencintai saudara kembarnya, maka hari ini mungkin dia telah menemukan pria lain yang bisa mencintainya dengan tulus.
Setelah puas menangis, Britne menghapus air matanya lalu pergi ke kamar mandi, mengunci diri di sana untuk waktu yang cukup lama.
Dia menyalakan air hangat untuk mengguyur tubuhnya, mencari rasa nyaman. Namun yang diperoleh hanya rasa jijik pada dirinya sendiri karena itu dia mengambil banyak sabun lalu menggosokkan pada tubuhnya dengan kuat dan kasar hingga kulitnya memerah.
Sayangnya, hal itu tidak berhasil membersihkan rasa jijik yang dirasakan. Bukan karena sabunnya tidak bagus, tetapi pikirannyalah yang bermasalah sehingga meski selama tiga tahun terakhir setiap kali mandi dia menggosok tubuhnya dengan kuat, tetapi rasa jijik itu tidak pernah bisa hilang.
Selesai mandi, Britne pergi ke kamar Cedric untuk memeriksa putranya. Sepertinya tidur anak itu tidak terlalu nyenyak karena tubuhnya terus bergerak, berguling ke kanan dan ke kiri.
“Ssstttt … ada apa Sayang?” ucapnya pelan lalu membawa Cedric dalam gendongannya.
“Mama, aku mimpi buruk,” gumam Cedric pelan sambil mengucek matanya.
“Kamu baik-baik saja Nak, ada mama disini,” Britne berusaha menenangkan putranya lalu mengayunnya dalam gendongan, berusaha membuat Cedric tidur kembali.
Meski tubuh Cedric sudah berat, tetapi dia tidak pernah merasa lelah menggendong anak itu. Aroma tubuh Cedric selalu bisa membuat dirinya tenang dan kehadiran Cedric memberinya kekuatan baru.
Cedric-lah alasan yang membuatnya bisa bertahan sampai detik ini.
Ayunan pelan Britne berhasil membuat Cedric tidur kembali, anak itu menyembunyikan wajahnya di ceruk leher mamanya yang nyaman dan terlelap.
Masih terus mengayun putranya dalam gendongan, Britne menatap keluar jendela, menatap langit yang begitu cerah dan ladang rumput yang hijau menyegarkan.
“Dulu pemandangan ini begitu indah bagiku, tetapi kenapa sekarang semua tampak membosankan,” batinnya.
Perhatiannya teralihkan ketika matanya menangkap sebuah mobil yang bergerak mendekati rumah. Penasaran dengan tamu yang berkunjung begitu pagi, Britne mendekati jendela untuk mengetahui siapa tamunya.
Dirinya terkejut melihat Alvaro keluar dari mobil yang berhenti di depan teras rumahnya. Raut wajah pria itu begitu dingin dan tak bisa diartikan, seperti ada kemarahan dan rasa cemburu.
“Cemburu …?” gumam Britne sambil menggelengkan kepala menolak pikiran tersebut karena Alvaro tidak memiliki alasan untuk cemburu.
“Untuk apa Alvaro datang ke sini?” Rasa penasaran Britne semakin besar.
Ingin tahu apa yang terjadi, Britne meletakkan Cedric ke atas ranjang dan menidurkannya. Setelah itu dia keluar dari kamar dan berjalan ke ruang tamu.
Dari jauh tawa keras papanya menggema sampai di telinga, semenjak Geena membatalkan pernikahannya, belum pernah papanya tertawa sesenang ini. Hal tersebut menimbulkan kecurigaan dalam diri Britne.
“Apakah ada yang aku lewatkan?” tanya Britne yang membuat tawa Axton seketika berhenti.
“Kemarilah Sayang,” ujar Axton sambil melambaikan tangan mengajak putrinya mendekat.
Dengan patuh Britne berjalan mendekati papanya, sekaligus memperpendek jarak antara dirinya dengan Alvaro yang duduk di depan papanya.
“Apa yang terjadi?” rasa penasaran mencengkram hati Britne.
“Kamu tidak perlu khawatir lagi. Alvaro bersedia menikah denganmu dan akan menerima Cedric seperti putranya sendiri. Dia berjanji pada papa jika akan menyayangi Cedric dengan tulus.”
Tubuh Britne seketika membeku, wajahnya memucat mendengar hal tersebut. Bagaimana papanya bisa bilang untuk tidak khawatir, sedangkan menikah dengan Alvaro adalah kekhawatiran terbesar dalam hidupnya.
“Bukankah kita sudah membicarakannya jika aku tidak ingin …”
“Hanya Alvaro yang papa percaya untuk bisa membahagiakanmu. Papa tidak menerima penolakan lagi darimu karena papa sudah sangat bersabar padamu selama tiga tahun ini. Oh ya satu hal lagi, kalian akan menikah akhir bulan ini,” ujar Axton memotong perkataan putrinya dan tidak ingin didebat lagi terkait keputusannya.
Tubuh Britne seketika merasa lemas, seakan dirinya baru saja menerima hukuman mati. Pernikahan yang dia hindari itu sekarang ada di depan mata dan dirinya tak bisa lagi melarikan diri seperti yang sudah dia lakukan sebelumnya.
Tatapan nanar yang tertuju pada papanya, tak mampu meluluhkan hati pria paruh baya itu. Mimpi buruknya semalam, seketika menjadi kenyataan hingga membuat tubuhnya menggigil dan gemetar.
Dengan tangan gemetar, Britne menorehkan tanda tangan di atas kertas yang membuat statusnya berubah menjadi Nyonya Cooper.Tidak ada pesta megah atau acara khusus untuk merayakan pernikahan dirinya dan Alvaro, mereka hanya menandatangani surat pernikahan yang disaksikan oleh keluarga dekat, lalu dilanjutkan dengan acara makan keluarga di rumahnya.Hal tersebut sudah menjadi keputusannya karena dia tidak ingin menikah dengan pesta megah sedangkan pernikahan dirinya dan Alvaro lebih seperti pernikahan bisnis.Sebelum acara makan dimulai, Britne duduk kaku di samping Alvaro, dia tidak mengerti dengan sikap pria yang kini sudah menjadi suaminya itu.Bukankah dari awal Alvaro sendiri yang bersikeras untuk menikah dengannya? Tetapi sekarang, pria itu malah terlihat dingin dan cuek, seakan tidak menginginkan pernikahan tersebut.“Apakah kamu menyesal dengan pernikahan ini?” singgung Britne sambil melirik ke arah suaminya.“Tidak ada yang perlu aku sesali,” ucapnya seakan pernikahan mereka bu
Perjalanan menuju peternakan Cooper menjadi perjalanan yang terasa panjang dan lama bagi Britne dan Alvaro. Sepanjang perjalanan mereka sama-sama diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.Britne duduk menjauh dari Alvaro sambil mendekap Cedric yang terlelap, sedangkan Alvaro fokus dengan kemudi mobil, sesekali mencuri pandang ke arah istrinya dengan tatapan yang tak terbaca.Tatapan itu disalah artikan sebagai ancaman bagi Britne sehingga dia semakin menutup diri dan memasang dinding atas keberadaan Alvaro.Mereka sampai di peternakan ketika hari sudah malam, Britne menidurkan Cedric ke kamar yang sudah disediakan Alvaro lalu pergi ke kamar dimana barang-barangnya ditaruh di sana.Saat membuka pintu, dia terkejut mendapati Alvaro sudah berada di kamar tersebut. Bayangan masa lalu mereka saat berada di dalam satu kamar yang sama, membuat Britne merasa sesak dan wajahnya memucat.Perubahan raut wajah Britne membuat Alvaro khawatir. “Apakah kamu baik-baik saja?” tanyanya sambil berjal
Keesokan paginya Britne bangun dan terkejut karena tanpa sadar telah tidur dengan begitu lelap, pertengkarannya dengan Alvaro cukup menguras emosi hingga membuatnya kelelahan.Dia segera beranjak dari tempat tidur dan pergi ke kamar Cedric untuk melihat keadaannya karena biasanya putranya sulit tidur saat berada di tempat yang baru. Butuh beberapa hari untuk Cedric bisa beradaptasi, itulah salah satu alasan kenapa dirinya keberatan ketika Alvaro memaksanya untuk pindah ke peternakan Cooper,Namun betapa heran dirinya saat mendapati Cedric tidur sangat lelap bahkan air liurnya sampai menetes ke bantal, membuat senyum Britne merekah.“Lelap sekali tidur anak mama,” gumamnya senang karena ternyata Cedric bisa beradaptasi dengan cepat di tempat yang baru, dia tidak tahu jika semalam putranya sempat bangun dan Alvaro yang menenangkannya.Dia duduk di ranjang putranya lalu mengusap rambut anak itu. “Sepertinya kita berdua sangat kelelahan hingga tidur sangat lelap.”Tidak ingin mengganggu t
Sebagai seorang wanita yang masih butuh perhatian, Britne berharap Alvaro akan menyusulnya pulang, namun sayangnya apa yang diharapkan tidak terjadi, bahkan sampai larut malam pria itu tak kunjung pulang.Bayangan Alvaro, William dan Dyana makan bersama sambil bercanda dan tawa membuat hati Britne memanas, kecemburuan mengusiknya dan rasa cemas mengganggunya.Setelah Cedric tidur, dia sengaja menunggu kepulangan Alvaro. Penantiannya terasa begitu lama hingga membuatnya mondar-mandir tidak tenang di ruang depan rumahnya. Langkahnya terhenti ketika pintu rumah terbuka dan Alvaro muncul dari sana.Mata mereka saling menatap namun mulut keduanya bungkam. Semua kata yang sudah Britne rangkai sebelumnya, tiba-tiba lenyap hingga tak ada satu kata pun yang mampu dia ingat.“Kamu belum tidur?” tanya Alvaro yang terlihat terkejut mendapati istrinya berdiri di depannya.“Kenapa kamu pulang larut malam? Bahkan untuk makan pun kamu tidak sempat,” Britne balik bertanya.“Ada masalah di peternakan s
Alvaro kembali ke rumah saat hari sudah sangat larut dan Britne sudah tidur lelap hingga tidak tahu jam berapa suaminya pulang. Mereka kembali tidur di tempat terpisah, diam-diam Alvaro tidur bersama Cedric karena anak itu memberinya kedamaian.Dia enggan memberitahu Britne tentang kebiasaan barunya tersebut, khawatir istrinya akan marah sehingga melarangnya mendekati Cedric. Apalagi Britne selalu sensitif jika menyinggung sesuatu yang berkaitan dengan putranya.Keesokan paginya, Britne terkejut mendapati Alvaro masih berada di rumah. Padahal semalam pria itu bilang harus ke peternakan pagi-pagi karena ada masalah.Dengan acuh, Britne berjalan melewati suaminya dan pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Dia mengeluarkan beberapa bahan makanan dari kulkas dan mulai memilih apa yang ingin dia olah terlebih dahulu.Menyadari ada yang datang, Britne menegakkan wajah dan melihat Alvaro diam berdiri di ambang pintu menatapnya.“Apakah kamu mau sarapan di rumah? Aku akan memasak lebih jika
“Alvaro saat ini sedang sibuk dengan peternakannya,” celetuk Britne mengalihkan pembicaraan tentang Cedric. Dia tidak ingin Emira tahu tentang apa yang dia sembunyikan selama ini.“Saya mendengar tentang masalah yang sedang terjadi di peternakan Cooper, semoga Tuan Alvaro bisa mengatasinya,” balas Emira yang membuat rasa ingin tahu Britne tergelitik.“Apakah kamu mengetahui masalah seperti apa yang sedang terjadi di peternakan?” selidik Britne.“Saya tidak tahu secara detail, tetapi semenjak industri kuda berkembang sangat pesat, Tuan Cooper mulai merambah ke bisnis rekreasi dan kompetisi. Yang saya dengar, Tuan Cooper menandatangani tender besar terkait hal tersebut. Sayangnya akhir-akhir ini kuda-kuda Tuan Cooper bermasalah tentang uji kesehatan,” terang Emira.“Mana mungkin kuda-kuda Cooper bermasalah tentang kesehatan? Selama ini mereka selalu mengembangbiakkan kuda yang terbaik dan papa adalah orang yang paling cermat dalam pemilihan serta perawatan kudanya,” sanggah Britne.“Awa
Sinar hangat matahari pagi menyapu kulit wajah Britne, untuk sejenak dia menikmati rasa hangat tersebut dengan mata terpejam, lalu dengan perlahan dia membuka mata sambil tersenyum lebar.Rasa bahagia meliputi hatinya pagi ini, pikirannya melayang mengingat kejadian tadi malam dimana dirinya dan Alvaro akhirnya bisa saling bercerita tanpa ada dinding penghalang lagi.Sikap dingin dan raut sinis pria itu telah berganti dengan sikap yang lebih bersahabat, mengingatkannya pada persahabatannya dulu. Meskipun sikap hangat dan lembut Alvaro belum sepenuhnya pulih, tetapi ada kemajuan yang sangat signifikan pada hubungan mereka.Hal itu memberi harapan bagi Britne jika suatu hari nanti persahabatan mereka akan kembali seperti dulu lagi.Dan dari apa yang Alvaro bicarakan semalam, membuatnya mengerti jika peternakan suaminya sedang mengalami masalah yang serius.“Aku mungkin bisa meminta pendapat papa tentang masalah peternakan Cooper,” gumamnya yang kemudian menegakkan tubuh lalu bersandar
Setelah Alvaro pergi ke bekerja, Britne pergi ke peternakan, menitipkan Cedric pada pengasuh yang membantunya selama ini. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di peternakan Cooper.Perjalanannya dimulai dari menyusuri padang rumput yang tergelar hijau bak permadani yang begitu indah. Selain menikmati pemandangan luar biasa tersebut, dia pun mengisi paru-parunya dengan udara segar dan bersih dengan aroma langu khas rumput hijau yang menenangkan.Setelah matahari meninggi, dia keluar dari padang rumput itu dan berjalan menuju gudang penyimpanan jerami. Ketika dirinya masuk, dilihatnya seorang pekerja sedang menaburkan sesuatu di atas jerami.“Apa yang kamu lakukan?” tegur Britne.Pekerja itu terkejut karena tidak menyangka akan ada yang datang, dia segera menyembunyikan tangan di belakang tubuhnya.“Nyo-nyonya …? Apa yang Anda lakukan di sini?” tanya pekerja tersebut.Britne menyipitkan mata melihat gelagat pekerja yang mencurigakan tersebut. “Apakah aku dilarang pergi ke sini?” d
“Auuuw …” rintih Trevor saat Anya mengobati lukanya.Anya melirik selintas menatap wajah pria itu lalu kembali berkonsentrasi dengan luka yang sedang dia obati.“Katanya tergores sedikit, kenapa sekarang jadi manja dan meringis kesakitan,” gumam Anya seolah sedang bicara pada dirinya sendiri.Trevor tersenyum masam menanggapi sindiran Anya. “Jika kamu bersikap sedikit lebih lembut, aku tidak akan merasa kesakitan.”Bukannya bersikap lembut, Anya malah sengaja menekan luka Trevor hingga pria itu berteriak kesakitan, menarik tangannya lalu menghindari Anya.“Ini sangat menyakitkan, aku tahu kamu sengaja melakukannya,” gerutunya tanpa rasa marah.Anya kembali menarik tangan pria itu lalu kini benar-benar mengobatinya dengan hati-hati. “Ini bukan luka ringan dengan sedikit goresan seperti yang kamu katakan. Lukamu cukup parah dan terus mengeluarkan darah, besok kamu harus periksa ke rumah sakit.”Trevor terdiam sambil memperhatikan Anya yang sedang mengobati lukanya. Sebenarnya dokter sud
“Sudah cukup, aku tidak mampu memakan semua ini,” kata Anya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil mengusap perutnya yang kekenyangan, mengabaikan sopan santun di hadapan Trevor.“Kamu harus makan banyak, aku melihatmu terlihat sangat kurus dan kantung matamu tidak bisa kamu sembunyikan dari make up tebal,” ujar Trevor seakan tahu kondisi Anya.Anya kembali menegakkan tubuh dan mengusap wajahnya. “Sekarang kita bisa membahas pekerjaan,” ujarnya lalu mengeluarkan dokumen untuk menghindari Trevor banyak bicara.“Kenapa buru-buru, aku masih ingin bersamamu.”“Cukup, Trevor! Bersikaplah profesional. Kita di sini untuk urusan pekerjaan dan aku tidak ingin terlibat denganmu lebih dari ini.” Anya menekankan hubungan mereka saat ini.Dengan buru-buru Anya membuka dokumen yang dibawa lalu membacakan pasal-pasal yang mereka sepakati. Trevor yang muak dengan sikap Anya, merebut dokumen tersebut lalu menutupnya.“Aku ingin bicara denganmu soal Remy,” terang Trevor.“Aku tidak ada urusan den
“Apa yang kamu dapatkan dari penyelidikan Remy?” tanya Trevor pada Adam.“Ada berita bagus yang bisa membuatmu keluar dari jerat wanita itu?” jawab Adam sambil menyerahkan hasil penemuannya pada Trevor.Trevor menaikkan satu alis dengan senyum sinis terkembang di ujung bibir membaca dokumen yang Adam berikan padanya.“Jadi wanita itu tidak hamil? Selama ini dia sedang bermain-main denganku dan berbohong padaku?” ujar Trevor.“Dia tidak mungkin hamil darimu karena kamu tidak bercinta dengannya,” kata Adam.“Jadi kamu percaya padaku sekarang?” Trevor menyombongkan diri menyindir ketidakpercayaan Adam padanya.“Aku tidak sepenuhnya percaya dengan perkataanmu, aku hanya percaya pada data yang aku dapatkan.” Adam langsung mematahkan kesombongan Trevor.“Data apa yang kamu dapatkan?”“Apakah kamu ingat saat kamu melakukan tes darah saat itu?” Adam mengingatkan.“Ah … ya … sehari setelah aku mabuk aku merasa tidak enak badan sehingga aku memutuskan ke rumah sakit untuk memeriksakan kesehatan
“Apakah aku bisa bertemu dengan papa tirimu?” tanya Trevor pada Remy dengan ekspresi tak terbaca.“Papaku …?” ulang Remy dengan cuping hidung kembang-kempis memperlihatkan kegugupan yang coba disembunyikan, “kenapa kamu ingin bertemu dengan papaku?”Tidak ingin dicurigai atas permintaannya, Trevor memilih kata dengan hati-hati sebelum mengucapkan.“Jika memang bayi yang kamu kandung adalah anakku, bukankah sudah seharusnya aku bertemu papamu? Karena papa kandungmu sudah meninggal, sudah sewajarnya aku bertemu dengan walimu saat ini.”Kecurigaan yang sempat terbesit dalam benak Remy, seketika lenyap ketika sikap Trevor berubah lembut padanya, bahkan pria itu tidak menolaknya lagi. “Aku tidak bisa janji, papaku susah untuk ditemui.”“Sayang sekali, apakah itu berarti tidak ada restu untuk kita?” pancing Trevor.“Re-restu …?” Kata-kata itu membuat mata Remy berbinar senang.“Lupakan saja permintaanku.” Trevor berusaha tarik ulur emosi Remy, dia kemudian beranjak dari tempat duduk hendak
Anya terbelalak mengetahui jika kakaknya yang masuk ke ruangan. Dia langsung berusaha bangun dan merapikan pakaian.“A-aku … ka-kami …” Otak Anya seketika kosong dan tak mampu menjelaskan apa yang terjadi.“Dia jatuh dari kursi dan aku berusaha menolongnya, aku harap kamu tidak salah paham dengan apa yang dilihat tadi,” jelas Trevor dengan santai sambil berdiri dan berjalan mendekati Arlo seolah tidak terjadi apa-apa.“Benarkah begitu?” tanya Arlo memastikan langsung ke Anya dengan tatapan penuh selidik.“Aku sedikit ceroboh hingga terjatuh dari kursi dan beruntung Trevor menolongku,” jelas Anya tak sepenuhnya berbohong.“Lalu bagaimana kamu bisa berada di sini? Bukankah seharusnya kamu menemuiku?” Tatapan curiga Arlo diarahkan pada Trevor.“Aku tersesat dan berakhir di sini.”Arlo terdiam berusaha memahami situasi yang terjadi, dia tipe orang yang tidak mudah percaya hanya dengan mendengar cerita dari orang lain. Banyak peristiwa dan proses dalam hidupnya yang membuat dia begitu hati
“Mereka memundurkan rapatnya karena kamu tidak datang,” ujar Adam yang kembali menemui Trevor.“Biarkan saja, aku masih bisa menanganinya. Apakah kamu sudah menemukan data tentang Remy? Apa yang kamu dapatkan?” cecar Trevor.“Tidak banyak yang bisa ditemukan, aku hanya bisa mengakses data pribadi dan keuangannya. Tidak ada hal yang mencurigakan dengan semua itu,” terang Adam.“Berikan semua data itu padaku dan tinggalkan aku sendiri, aku yang akan mengurusnya.”Adam kemudian menyerahkan sebuah flashdisk pada Trevor, tetapi tidak langsung pergi dari hadapan pria itu. Mengetahui hal tersebut, Trevor menatapnya dengan dingin. “Ada apa lagi?”“Arlo Jackson baru saja menelpon, dia ingin bertemu dan mengundangmu ke kantornya, ada kerjasama yang ingin ditawarkan,” ujar Adam menginformasikan tujuan Arlo.Rahang Trevor mengeras, rasa cemburu mengusik mengingat Anya sangat dekat dengan pria itu.“Bilang saja aku tidak berminat dengan semua yang dia tawarkan,” balas Trevor tanpa pikir panjang.“
“Sudah lama sekali aku tidak membicarakan papaku dan aku tidak berminat,” tolak Trevor enggan mengulik masa lalunya kembali.“Tapi ini berhubungan dengan keluarga Jackson, jika kita tidak menyelesaikannya maka hidup kita sebagai keluarga Smith tidak akan tenang,” terang Mattew.“Apa untungnya bagiku? Nama Smith tidak ada artinya bagiku dan aku tidak punya hubungan apapun dengan keluarga Jackson.” Trevor berusaha menghindar dari masalah yang lebih buruk.“Kamu dan Britne berteman baik, Arlo juga mengenalmu. Pertemananmu dengan Britne akan rusak dan bisnismu akan tersendat jika kita tidak menyelesaikan masalah keluarga kita.”Trevor menghela nafas panjang lalu memijit batang hidungnya. “Sepertinya keputusanku untuk pulang adalah sebuah kesalahan dan seharusnya aku tidak perlu mengenalmu sehingga masalah ini tidak mendatangiku.”Mattew tersenyum penuh pengertian. “Ini adalah kesalahan para orang tua kita yang tidak bisa kita hindari, jadi tugas kita sekarang adalah memutuskan semua kutuk
“Dasar anak pembawa sial! Mati saja kamu!” umpat mamanya sambil memukul dengan keras.Umurnya masih tujuh tahun saat itu tetapi bayangan itu masih sangat jelas di ingatan. Kekerasan, umpatan, pukulan selalu dia dapatkan di masa kecil.Dia sering disalahkan atas kehidupan mamanya yang buruk, papanya meninggalkan mereka dalam kemiskinan dan semenjak saat itu mamanya sering kali kehilangan akal sehat lalu memukul dirinya tanpa alasan.Tetapi bukan itu hal terburuk dalam hidupnya, hal terburuk yang dia alami adalah ketika menemukan mamanya bunuh diri dan meninggalkannya sebatang kara di dunia ini. Dia kemudian dibawa petugas sosial untuk dibesarkan di panti asuhan.Trevor terbangun dengan keringat dingin yang membasahi pakaian, rahangnya mengeras mengingat mimpinya. Hal itulah yang membuatnya begitu membenci papanya dan tidak ingin tahu siapa ayah kandungnya.Seumur hidup, dia membenci pria yang telah menghamili mamanya dan meninggalkannya begitu saja.Mimpi buruk itu membuatnya tidak bis
Trevor mengerang marah karena situasi sulit yang dihadapinya. Keadaan ruyam ketika dia mabuk dan terbangun dengan Remy tidur di sisinya dan sekarang wanita itu mengaku hamil anaknya.“Sudah ku bilang Remy akan menyulitkan hidupmu,” sindir Adam merespon sikap Trevor.“Bisakah kamu diam jika kamu tidak punya solusinya? Jangan membuatku semakin pusing,” geram Trevor.“Benarkah kamu tidak mengingat apapun malam itu?”Trevor menggeleng sambil memijat kepalanya yang berdenyut sakit. “Aku tidak mungkin bercinta dengan Remy, jika aku melakukannya aku pasti mengingatnya meski mungkin tidak secara detail. Itu yang aku rasakan pada Anya sehingga aku yakin jika anak yang Remy kandung bukan anakku, tetapi aku butuh bukti untuk menyanggahnya jika tidak Remy akan membuat media gempar dan nilai sahamku akan turun.”“Jadi kamu bercinta dengan Anya dalam keadaan mabuk? Dasar pria brengsek,” umpat Adam membuat Trevor sadar jika telah bicara terlalu banyak.“Enyahlah dari hadapanku, Adam! Aku sedang ingi