Share

6. Mimpi Buruk Menjadi Kenyataan

“Kenapa papa belum tidur dan tampak gelisah?” tanya Britne melihat papanya mondar-mandir di ruang tamu padahal malam sudah larut.

“Sudah beberapa hari tidak ada kabar dari Alvaro semenjak sarapan kita pagi itu. Jika terus begini, bagaimana dengan nasibmu?” jawab Axton.

“Aku tidak terkejut dengan hal tersebut, aku tahu bagaimana sifat keluarganya. Di jaman modern ini, hanya keluarganya yang masih memegang teguh sebuah kehormatan. Aku yakin Alvaro tidak akan menikahiku setelah mengetahui jika aku memiliki putra tanpa seorang ayah.”

“Papa akan coba menelponnya untuk mengetahui apa yang terjadi,” balas Axton hendak mengambil ponsel.

“Hentikan hal itu Pa! Kenapa papa masih saja mengharapkan Alvaro untuk mau menikahiku? Dia tidak mungkin menerimaku setelah mengetahui kenyataan jika Cedric adalah putraku,” larang Britne.

“Jika tidak dengan Alvaro, dengan siapa lagi kamu akan menikah?”

Kening Britne mengkerut tidak senang mendengar ucapan papanya. “Serendah itukah papa memandangku sehingga mengira tidak ada pria yang menginginkanku?”

Axton yang menyadari kesalahannya menatap Britne dengan perasaan bersalah. “Bukan seperti itu yang papa maksud. Sejak kecil, kamu tidak banyak bergaul dan teman-temanmu bisa dihitung dengan jari. Hanya Alvaro teman terdekatmu dan papa percaya padanya.”

“Aku tahu papa sangat percaya pada Alvaro dan sangat menginginkannya sebagai menantu, hingga papa menjodohkannya pada Geena dan saat rencana papa gagal, papa menjodohkannya denganku,” sindir Britne.

“Papa tidak mengerti dengan apa yang kamu katakan,” ucap Axton tersinggung dengan perkataan putrinya.

“Meski selama ini aku jauh dari keluarga ini, aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sampai saat ini, papa belum sepenuhnya menerima Mattew sebagai menantu papa bukan? Padahal dia pria yang baik dan bisa membahagiakan Geena.”

“Jangan mengalihkan pembicaraan, kita sedang membicarakanmu dan Alvaro, bukan Geena dan Mattew.”

“Tapi apa yang aku katakan benar bukan? Papa sangat menginginkan Alvaro menjadi menantu papa hingga rela memaksaku menikahinya, mengorbankan perasaanku dan menutup mata atas kepedihan hatiku. Apakah karena Alvaro adalah putra dari sahabat papa, itukah alasannya?”

“Cukup Britne! Jangan menyalahkan papa karena kebodohan yang kamu lakukan di masa lalu!” balas Axton tersulut kemarahan.

“Ya, aku memang bodoh hingga tidur dengan pria sembarangan, hingga aku melahirkan Cedric tanpa tahu siapa papanya. Itukah yang ingin papa katakan padaku?” seru Britne dengan nada tinggi.

“Ada apa ini?” suara Inggrid mengagetkan Britne dan Axton, menghentikan pertengkaran mereka..

“Papa sedang jatuh cinta pada Alvaro, kenapa tidak dia saja yang menikah dengan pria itu,” ucap Britne sinis, lalu pergi ke kamar meninggalkan orang tuanya.

Sepanjang malam, Britne mengunci diri di dalam kamar, sengaja tidak mengajak bicara papa dan mamanya. Meski sudah berbaring cukup lama, namun matanya tak kunjung terpejam. Rasa kantuknya lenyap entah hilang kemana.

Menjelang dini hari, Britne masuk ke alam mimpi. Dirinya kembali ke malam tiga tahun yang lalu, merasakan sentuhan Alvaro yang awalnya terasa begitu menyenangkan. Pria itu membuatnya melayang, memberikan sensasi yang seumur hidup belum pernah dia rasakan.

Suara nafas terdengar saling memburu, jantungnya berdetak kencang apalagi saat Alvaro menciumnya untuk pertama kali.

“Sudah lama aku menginginkanmu, tapi aku menahan diri untuk menjaga kehormatanmu,” perkataan Alvaro masih teringat jelas di kepalanya.

“Jika kamu melakukannya maka kita berdua akan tercemar, kehormatan kita berdua akan hilang.”

“Persetan dengan kehormatan, karena hal itu aku kehilanganmu. Aku menjadi pria pengecut yang tak bisa mengungkapkan perasaanku karena terlalu khawatir dengan kehormatan. Tak bisakah aku memilikimu saat ini? akan aku serahkan tubuh dan hatiku padamu.”

Perkataan itu membuat hati Britne luluh, sehingga dengan penuh kepasrahan dia menyerahkan kehormatannya.

Mimpi indah itu menjadi mimpi buruk ketika Alvaro berkata, “Geena, aku mencintaimu.”

Untuk sekian kali rasa sakit itu menghentakkan dirinya dan membuatnya terbangun dari mimpi. Tubuhnya gemetar dan keringat dingin membasahi pakaiannya. Entah sampai kapan dia akan terus hidup dalam rasa bersalah tersebut.

Isak tangis menggema di kamar, dia terduduk sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan, air mata pun terus mengalir tak bisa dihentikan sama persis seperti yang dia alami di dalam mimpi.

Semenjak malam yang dia lewati bersama Alvaro, semua menjadi berubah, hidupnya, keceriaannya, mimpinya dan juga sikapnya.

Dia tidak bisa lagi menjadi wanita normal, kini hanya ada rasa sesal yang tersisa karena dia telah menyerahkan kehormatan pada pria yang mencintai wanita lain dan hanya menjadi pelampiasan dari obsesi pria tersebut.

Seandainya saja dia tidak terlambat menyadari jika Alvaro hanya mencintai saudara kembarnya, maka hari ini mungkin dia telah menemukan pria lain yang bisa mencintainya dengan tulus.

Setelah puas menangis, Britne menghapus air matanya lalu pergi ke kamar mandi, mengunci diri di sana untuk waktu yang cukup lama.

Dia menyalakan air hangat untuk mengguyur tubuhnya, mencari rasa nyaman. Namun yang diperoleh hanya rasa jijik pada dirinya sendiri karena itu dia mengambil banyak sabun lalu menggosokkan pada tubuhnya dengan kuat dan kasar hingga kulitnya memerah.

Sayangnya, hal itu tidak berhasil membersihkan rasa jijik yang dirasakan. Bukan karena sabunnya tidak bagus, tetapi pikirannyalah yang bermasalah sehingga meski selama tiga tahun terakhir setiap kali mandi dia menggosok tubuhnya dengan kuat, tetapi rasa jijik itu tidak pernah bisa hilang.

Selesai mandi, Britne pergi ke kamar Cedric untuk memeriksa putranya. Sepertinya tidur anak itu tidak terlalu nyenyak karena tubuhnya terus bergerak, berguling ke kanan dan ke kiri.

“Ssstttt … ada apa Sayang?” ucapnya pelan lalu membawa Cedric dalam gendongannya.

“Mama, aku mimpi buruk,” gumam Cedric pelan sambil mengucek matanya.

“Kamu baik-baik saja Nak, ada mama disini,” Britne berusaha menenangkan putranya lalu mengayunnya dalam gendongan, berusaha membuat Cedric tidur kembali.

Meski tubuh Cedric sudah berat, tetapi dia tidak pernah merasa lelah menggendong anak itu. Aroma tubuh Cedric selalu bisa membuat dirinya tenang dan kehadiran Cedric memberinya kekuatan baru.

Cedric-lah alasan yang membuatnya bisa bertahan sampai detik ini.

Ayunan pelan Britne berhasil membuat Cedric tidur kembali, anak itu menyembunyikan wajahnya di ceruk leher mamanya yang nyaman dan terlelap.

Masih terus mengayun putranya dalam gendongan, Britne menatap keluar jendela, menatap langit yang begitu cerah dan ladang rumput yang hijau menyegarkan.

“Dulu pemandangan ini begitu indah bagiku, tetapi kenapa sekarang semua tampak membosankan,” batinnya.

Perhatiannya teralihkan ketika matanya menangkap sebuah mobil yang bergerak mendekati rumah. Penasaran dengan tamu yang berkunjung begitu pagi, Britne mendekati jendela untuk mengetahui siapa tamunya.

Dirinya terkejut melihat Alvaro keluar dari mobil yang berhenti di depan teras rumahnya. Raut wajah pria itu begitu dingin dan tak bisa diartikan, seperti ada kemarahan dan rasa cemburu.

“Cemburu …?” gumam Britne sambil menggelengkan kepala menolak pikiran tersebut karena Alvaro tidak memiliki alasan untuk cemburu.

“Untuk apa Alvaro datang ke sini?” Rasa penasaran Britne semakin besar.

Ingin tahu apa yang terjadi, Britne meletakkan Cedric ke atas ranjang dan menidurkannya. Setelah itu dia keluar dari kamar dan berjalan ke ruang tamu.

Dari jauh tawa keras papanya menggema sampai di telinga, semenjak Geena membatalkan pernikahannya, belum pernah papanya tertawa sesenang ini. Hal tersebut menimbulkan kecurigaan dalam diri Britne.

“Apakah ada yang aku lewatkan?” tanya Britne yang membuat tawa Axton seketika berhenti.

“Kemarilah Sayang,” ujar Axton sambil melambaikan tangan mengajak putrinya mendekat.

Dengan patuh Britne berjalan mendekati papanya, sekaligus memperpendek jarak antara dirinya dengan Alvaro yang duduk di depan papanya.

“Apa yang terjadi?” rasa penasaran mencengkram hati Britne.

“Kamu tidak perlu khawatir lagi. Alvaro bersedia menikah denganmu dan akan menerima Cedric seperti putranya sendiri. Dia berjanji pada papa jika akan menyayangi Cedric dengan tulus.”

Tubuh Britne seketika membeku, wajahnya memucat mendengar hal tersebut. Bagaimana papanya bisa bilang untuk tidak khawatir, sedangkan menikah dengan Alvaro adalah kekhawatiran terbesar dalam hidupnya.

“Bukankah kita sudah membicarakannya jika aku tidak ingin …”

“Hanya Alvaro yang papa percaya untuk bisa membahagiakanmu. Papa tidak menerima penolakan lagi darimu karena papa sudah sangat bersabar padamu selama tiga tahun ini. Oh ya satu hal lagi, kalian akan menikah akhir bulan ini,” ujar Axton memotong perkataan putrinya dan tidak ingin didebat lagi terkait keputusannya.

Tubuh Britne seketika merasa lemas, seakan dirinya baru saja menerima hukuman mati. Pernikahan yang dia hindari itu sekarang ada di depan mata dan dirinya tak bisa lagi melarikan diri seperti yang sudah dia lakukan sebelumnya.

Tatapan nanar yang tertuju pada papanya, tak mampu meluluhkan hati pria paruh baya itu. Mimpi buruknya semalam, seketika menjadi kenyataan hingga membuat tubuhnya menggigil dan gemetar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status