Malam hari, Britne tidur dengan gelisah. Mimpi yang selama ini mengganggu tidurnya, datang kembali. Dia meringis menahan rasa sakit di pangkal paha, rasa nyeri itu masih teringat jelas di alam bawah sadar.
“Geena, aku mencintaimu,” racau Alvaro sesaat setelah pria itu meledakkan benih di dalam rahimnya.
Telinga Britne berdenging sakit ketika mendengar hal tersebut, dia langsung terbangun dengan nafas terengah, keringat dingin membasahi tubuh, air mata menetes karena rasa sakit yang mencengkram hati, jantungnya berdetak kencang karena kemarahan yang meliputi.
Malam itu, tiga tahun yang lalu dia melakukan kesalahan besar, hal tersebut membuatnya trauma untuk menjalin hubungan dengan seorang pria. Alvaro berhasil meruntuhkan kepercayaan dirinya dengan menyebut nama Geena di dalam percintaan mereka.
Lebih menyedihkan lagi, pria itu tidak pernah ingat tentang malam yang mereka lewati bersama karena melakukannya dalam keadaan mabuk. Sampai detik ini, hanya dirinya dan Tuhan yang tahu tentang apa yang terjadi malam itu.
Anggota keluarganya mengira jika selama kabur dirinya terjerumus dalam pergaulan yang tidak baik dan membuat kesimpulan sepihak jika pria yang menghamilinya adalah pria brengsek yang mencampakkannya dan tidak mau bertanggung jawab.
Mereka tidak tahu jika pria itu adalah pria yang selama ini mereka anggap baik dan terhormat, pria yang mereka jodohkan dengannya saat ini.
Britne menghela nafas panjang mengingat kesalahpahaman tersebut, tetapi tak ada sedikit pun niatan dalam dirinya untuk meluruskan hal itu. Jangan sampai keluarganya memiliki satu lagi alasan kuat agar dirinya menikah dengan Alvaro.
Mimpinya bersama Alvaro membuat rasa kantuknya menghilang. Dia kemudian turun dari ranjang dan pergi ke kamar putranya. Sesampainya di sana, terlihat Cedric tidur sangat nyenyak, matanya tertutup rapat dengan nafas teratur sangat tenang.
Perlahan, Britne mendekatinya dan menatap wajah putranya. Dia bersyukur tidak ada yang menyadari jika wajah Cedric mirip dengan Alvaro. Entah sampai kapan dia bisa menyimpan rahasia besar ini karena saat dewasa nanti, dia yakin kemiripan Cedric dengan Alvaro tidak akan bisa ditutupi lagi.
“Maafkan mama, Sayang. Mama tidak bisa menikah dengan papamu, rasa sakit itu membekas jelas dalam diri mama. Mama akan mencarikanmu papa yang bisa menyayangimu dengan tulus,” ucap Britne lirih sambil mengusap pipi gembil putranya.
Keesokan harinya, Britne pergi makan malam dengan pria yang dia kenal dari aplikasi kencan buta. Awalnya dia berangkat tanpa rasa ragu karena yakin dengan pria pilihannya, tetapi kini dia duduk tidak nyaman di hadapan pria itu karena pria itu terus menatapnya dengan tidak sopan.
Britne sebenarnya terpaksa ikut kencan buta karena dia tidak menemukan seorang pria pun yang bisa diajak untuk berkencan, padahal waktu yang diberikan papanya untuk membangun hubungan dengan seorang pria sudah hampir habis.
Dia sudah menghubungi beberapa teman, namun kebanyakan dari mereka sudah menikah. Demi menolak perjodohannya dengan Alvaro, dia terpaksa masuk ke aplikasi kencan buta dan menemukan pria yang terlihat baik untuk diajak berkencan.
“Aku sudah kenyang,” ujar Britne meletakkan alat makan. Dia merasa semakin tidak nyaman dan ingin segera menyudahi makan malam mereka, sedikit menyesal dengan kencan buta yang dia lakukan.
“Apakah kamu ingin makanan penutup?” tanya pria yang Britne kenal bernama Boby.
“Tidak, terima kasih. Aku ingin pulang sekarang,” tolak Britne membuat senyuman Boby pudar.
“Ini masih terlalu pagi untuk mengakhiri kencan kita, bahkan aku belum mengenalmu,” Boby berusaha menahan kepergian Britne.
“Aku merasa tidak enak badan dan butuh istirahat. Maafkan aku,” Britne membuat alasan.
“Baiklah kalau begitu, aku akan mengantarmu pulang,” desak Boby yang membuat Britne tidak bisa menolak. Tanpa curiga, dia pun masuk ke mobil Boby dan bersedia untuk diantar pulang.
Dalam perjalanan, kepala Britne berdenyut dan pusing. Untuk menahan denyut sakit tersebut, dia menyandarkan kepala di kaca mobil dan menahannya dengan tangan.
“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Boby dengan seringai tersembunyi.
“Bisakah kamu mempercepat mobilnya? Kepalaku terasa sangat sakit,” pinta Britne.
“Aku akan mengantarmu ke rumah sakit untuk memastikan kamu baik-baik saja.”
Tadinya Britne ingin menolak, tetapi dia sadar dia butuh dokter untuk memastikan keadaannya, sehingga dia mengangguk mengiyakan ajakan Boby.
Sambil menunggu sampai rumah sakit, Britne memejamkan mata berharap denyut di kepalanya berkurang. Saat mobil yang dia naiki berhenti, dia membuka mata tetapi pandangannya kabur sehingga tidak bisa melihat dengan jelas kemana Boby membawanya.
Pria itu membantunya turun dari mobil karena hanya untuk berdiri tegak saja dia tidak mampu.
“Aku rasa ini bukan rumah sakit,” ujar Britne curiga karena tidak ada aroma obat atau bangsal pasien yang dia lihat di tengah pandangannya yang kabur.
“Percayalah padaku! Kamu harus segera ditangani. Sepertinya sakitmu serius,” balas Boby yang kemudian membawanya masuk ke lift.
“Sebaiknya aku pulang saja.”
Britne mendorong tubuh Boby karena merasa ada yang tidak beres, tetap Boby segera merangkulnya kembali.
“Kamu akan segera bertemu dengan dokter yang akan memeriksamu. Tenanglah!” Boby mengeratkan tangannya sehingga Britne tak mampu melepaskankan diri.
Britne berusaha menenangkan diri dan menjernihkan pikiran. Dia memejamkan mata selama lift membawanya naik ke lantai teratas. Dirinya terkejut ketika Boby membawanya berjalan di sebuah lorong, terdapat pintu yang berjajar seragam di kanan kirinya. Pintu itu memiliki nomor yang tertempel di bagian depan.
Dengan sisa tenaga yang dia miliki, Britne mendorong Boby agar menjauh dari dirinya. “Ini bukan rumah sakit, tetapi sebuah hotel. Kenapa kamu membawaku ke sini?” protesnya.
“Ayolah Sayang, jangan munafik! Bukankah tujuan kita berkencan adalah menghabiskan malam bersama,” ucap Boby dengan senyum menjijikkan.
“Dasar pria brengsek! Aku tidak sudi menghabiskan malam denganmu,” umpat Britne lalu membalikkan tubuhnya menjauh dari Boby.
Langkahnya tertahan ketika Boby mencengkramnya lalu menarikkan paksa. “Mau kemana kamu? Kamu tidak akan bisa pergi kemana-mana. Obat yang aku campurkan ke minumanmu, akan membuatmu tidak berdaya dan yang akan kamu ingat adalah bagaimana aku memberimu kenikmatan.”
Mata Britne menyipit tajam penuh rasa jijik. “Jadi rasa sakit di kepalaku karena perbuatanmu? Aku akan menuntut dan menyeretmu ke penjara karena telah menipu dan menjebakku,” ancam Britne.
Bukannya takut, Boby malah tertawa keras. “Dengan apa kamu akan menuntutku? Aku akan memperlakukanmu dengan lembut dan tidak akan ada kekerasan. Aku yakin kamu akan menikmatinya dan tidak ada hal yang bisa kamu ceritakan ke pihak berwenang jika kita melakukannya karena sama-sama suka.”
“Aku tidak menyukaimu, aku tidak sudi bersamamu, dasar pria brengsek!” teriak Britne yang membuat telinganya sendiri berdengung dan pandangannya semakin kabur.
“Stttt … teriakanmu akan membangunkan tamu-tamu disini. Semakin besar kamu menghabiskan energi, tubuhmu akan semakin lemah. Jadi patuhlah padaku dan semua akan baik-baik saja.”
Setelah mengatakan hal tersebut, Boby kembali menarik tubuh Britne dan Britne hanya bisa menangis karena tubuhnya tak mampu lagi memberontak. Bayangan dirinya dilecehkan oleh pria asing, membuat tubuhnya gemetar hebat.
Di tengah kekalutannya, dia berdoa di dalam hati, “Tuhan, kirimkan seseorang untuk menolongku lepas dari pria brengsek ini.”
Saat Boby menyeretnya menuju sebuah kamar, langkahnya tertahan karena seseorang menghalangi jalan mereka. Tiba-tiba saja perasaannya menjadi tenang dan berpikir jika orang itu adalah orang yang Tuhan kirimkan untuk menolongnya.
Britne menyipitkan mata berusaha mengenali wajah orang itu, tetapi pandangannya malah semakin tidak jelas. Yang terucap dari bibirnya hanya suara lirih, “Tolong aku!”
Tubuh Britne kemudian ambruk, kesadarannya hilang dan dia tidak ingat apa-apa lagi.
Keesokan paginya, Britne membuka mata dan mendapati dirinya berada di atas sebuah ranjang besar. Matanya bergerak mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar, berusaha mengenali dimana dirinya berada.
Dirinya tersentak mengingat apa yang terjadi tadi malam, pria yang dikencaninya menjebak dengan memberikan minuman yang membuatnya tidak sadarkan diri.
Untuk memastikan apa yang terjadi, dia mengintip pakaian yang dikenakan di balik selimut dan ternyata sudah berganti dengan kemeja putih besar milik seorang pria. Dia juga menyadari jika dirinya saat ini berada di kamar hotel, itu berarti pria itu telah berhasil melecehkannya.
Matanya seketika berkaca-kaca menyadari hal tersebut, mungkinkah dirinya telah tidur dengan pria asing yang membawanya?
Tubuhnya gemetar mendengar bunyi gemericik air di dalam kamar mandi, membuat dirinya semakin yakin jika pria itu telah berhasil melecehkannya.
Britne menyingkap selimut berniat kabur sebelum pria itu keluar dari kamar mandi. Hatinya teremas sakit karena sadar tidak bisa menjaga diri, kini hanya penyesalan yang dirasakannya.
Baru saja kaki Britne menyentuh lantai kamar, terdengar pintu kamar mandi terbuka. Dia menegakkan wajah bersikap waspada, tangannya mencengkram kemeja kebesaran yang dikenakan berharap hal itu bisa melindungi dirinya.
Namun keterkejutan menghentakkan dirinya, wajahnya memucat melihat pria yang keluar dari kamar mandi bukanlah pria yang dikencaninya semalam melainkan …
“Alvaro …?” gumamnya lirih dengan suara tercekik.
Alvaro melirik sekilas ke arah Britne lalu melemparkan handuk yang dipakai untuk mengeringkan rambut ke kursi di dekatnya, sengaja mengabaikan keterkejutan wanita itu.“Bagaimana aku bisa bersamamu?” tanya Britne heran.“Memangnya siapa yang kamu harapkan bersamamu saat ini, pria brengsek yang ingin melecehkanmu itu?” sindir Alvaro.“Aku tidak tahu jika dia pria jahat.”“Tentu saja kamu tidak tahu karena kamu begitu bodoh, mudah tergoda oleh bujuk rayu pria,” geram Alvaro menahan kemarahan tanpa memikirkan apa yang dia katakan.“Aku tidak …” Britne seketika terdiam tak melanjutkan perkataannya karena percuma saja dia menyangkal, Alvaro tidak akan percaya dengan apa yang dia katakan.Sambil tertunduk lesu, tangannya meremas bagian depan kemeja yang dipakai. Untuk sekian kali Alvaro meruntuhkan kepercayaan dirinya, membentuk persepsi di alam bawah sadar jika dirinya memang benar-benar bodoh.Bibir Britne gemetar, dadanya terasa sesak, ingin sekali dia menjauh dari pria itu tetapi ada ya
“Kenapa papa belum tidur dan tampak gelisah?” tanya Britne melihat papanya mondar-mandir di ruang tamu padahal malam sudah larut.“Sudah beberapa hari tidak ada kabar dari Alvaro semenjak sarapan kita pagi itu. Jika terus begini, bagaimana dengan nasibmu?” jawab Axton.“Aku tidak terkejut dengan hal tersebut, aku tahu bagaimana sifat keluarganya. Di jaman modern ini, hanya keluarganya yang masih memegang teguh sebuah kehormatan. Aku yakin Alvaro tidak akan menikahiku setelah mengetahui jika aku memiliki putra tanpa seorang ayah.”“Papa akan coba menelponnya untuk mengetahui apa yang terjadi,” balas Axton hendak mengambil ponsel.“Hentikan hal itu Pa! Kenapa papa masih saja mengharapkan Alvaro untuk mau menikahiku? Dia tidak mungkin menerimaku setelah mengetahui kenyataan jika Cedric adalah putraku,” larang Britne.“Jika tidak dengan Alvaro, dengan siapa lagi kamu akan menikah?”Kening Britne mengkerut tidak senang mendengar ucapan papanya. “Serendah itukah papa memandangku sehingga me
Dengan tangan gemetar, Britne menorehkan tanda tangan di atas kertas yang membuat statusnya berubah menjadi Nyonya Cooper.Tidak ada pesta megah atau acara khusus untuk merayakan pernikahan dirinya dan Alvaro, mereka hanya menandatangani surat pernikahan yang disaksikan oleh keluarga dekat, lalu dilanjutkan dengan acara makan keluarga di rumahnya.Hal tersebut sudah menjadi keputusannya karena dia tidak ingin menikah dengan pesta megah sedangkan pernikahan dirinya dan Alvaro lebih seperti pernikahan bisnis.Sebelum acara makan dimulai, Britne duduk kaku di samping Alvaro, dia tidak mengerti dengan sikap pria yang kini sudah menjadi suaminya itu.Bukankah dari awal Alvaro sendiri yang bersikeras untuk menikah dengannya? Tetapi sekarang, pria itu malah terlihat dingin dan cuek, seakan tidak menginginkan pernikahan tersebut.“Apakah kamu menyesal dengan pernikahan ini?” singgung Britne sambil melirik ke arah suaminya.“Tidak ada yang perlu aku sesali,” ucapnya seakan pernikahan mereka bu
Perjalanan menuju peternakan Cooper menjadi perjalanan yang terasa panjang dan lama bagi Britne dan Alvaro. Sepanjang perjalanan mereka sama-sama diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.Britne duduk menjauh dari Alvaro sambil mendekap Cedric yang terlelap, sedangkan Alvaro fokus dengan kemudi mobil, sesekali mencuri pandang ke arah istrinya dengan tatapan yang tak terbaca.Tatapan itu disalah artikan sebagai ancaman bagi Britne sehingga dia semakin menutup diri dan memasang dinding atas keberadaan Alvaro.Mereka sampai di peternakan ketika hari sudah malam, Britne menidurkan Cedric ke kamar yang sudah disediakan Alvaro lalu pergi ke kamar dimana barang-barangnya ditaruh di sana.Saat membuka pintu, dia terkejut mendapati Alvaro sudah berada di kamar tersebut. Bayangan masa lalu mereka saat berada di dalam satu kamar yang sama, membuat Britne merasa sesak dan wajahnya memucat.Perubahan raut wajah Britne membuat Alvaro khawatir. “Apakah kamu baik-baik saja?” tanyanya sambil berjal
Keesokan paginya Britne bangun dan terkejut karena tanpa sadar telah tidur dengan begitu lelap, pertengkarannya dengan Alvaro cukup menguras emosi hingga membuatnya kelelahan.Dia segera beranjak dari tempat tidur dan pergi ke kamar Cedric untuk melihat keadaannya karena biasanya putranya sulit tidur saat berada di tempat yang baru. Butuh beberapa hari untuk Cedric bisa beradaptasi, itulah salah satu alasan kenapa dirinya keberatan ketika Alvaro memaksanya untuk pindah ke peternakan Cooper,Namun betapa heran dirinya saat mendapati Cedric tidur sangat lelap bahkan air liurnya sampai menetes ke bantal, membuat senyum Britne merekah.“Lelap sekali tidur anak mama,” gumamnya senang karena ternyata Cedric bisa beradaptasi dengan cepat di tempat yang baru, dia tidak tahu jika semalam putranya sempat bangun dan Alvaro yang menenangkannya.Dia duduk di ranjang putranya lalu mengusap rambut anak itu. “Sepertinya kita berdua sangat kelelahan hingga tidur sangat lelap.”Tidak ingin mengganggu t
Sebagai seorang wanita yang masih butuh perhatian, Britne berharap Alvaro akan menyusulnya pulang, namun sayangnya apa yang diharapkan tidak terjadi, bahkan sampai larut malam pria itu tak kunjung pulang.Bayangan Alvaro, William dan Dyana makan bersama sambil bercanda dan tawa membuat hati Britne memanas, kecemburuan mengusiknya dan rasa cemas mengganggunya.Setelah Cedric tidur, dia sengaja menunggu kepulangan Alvaro. Penantiannya terasa begitu lama hingga membuatnya mondar-mandir tidak tenang di ruang depan rumahnya. Langkahnya terhenti ketika pintu rumah terbuka dan Alvaro muncul dari sana.Mata mereka saling menatap namun mulut keduanya bungkam. Semua kata yang sudah Britne rangkai sebelumnya, tiba-tiba lenyap hingga tak ada satu kata pun yang mampu dia ingat.“Kamu belum tidur?” tanya Alvaro yang terlihat terkejut mendapati istrinya berdiri di depannya.“Kenapa kamu pulang larut malam? Bahkan untuk makan pun kamu tidak sempat,” Britne balik bertanya.“Ada masalah di peternakan s
Alvaro kembali ke rumah saat hari sudah sangat larut dan Britne sudah tidur lelap hingga tidak tahu jam berapa suaminya pulang. Mereka kembali tidur di tempat terpisah, diam-diam Alvaro tidur bersama Cedric karena anak itu memberinya kedamaian.Dia enggan memberitahu Britne tentang kebiasaan barunya tersebut, khawatir istrinya akan marah sehingga melarangnya mendekati Cedric. Apalagi Britne selalu sensitif jika menyinggung sesuatu yang berkaitan dengan putranya.Keesokan paginya, Britne terkejut mendapati Alvaro masih berada di rumah. Padahal semalam pria itu bilang harus ke peternakan pagi-pagi karena ada masalah.Dengan acuh, Britne berjalan melewati suaminya dan pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Dia mengeluarkan beberapa bahan makanan dari kulkas dan mulai memilih apa yang ingin dia olah terlebih dahulu.Menyadari ada yang datang, Britne menegakkan wajah dan melihat Alvaro diam berdiri di ambang pintu menatapnya.“Apakah kamu mau sarapan di rumah? Aku akan memasak lebih jika
“Alvaro saat ini sedang sibuk dengan peternakannya,” celetuk Britne mengalihkan pembicaraan tentang Cedric. Dia tidak ingin Emira tahu tentang apa yang dia sembunyikan selama ini.“Saya mendengar tentang masalah yang sedang terjadi di peternakan Cooper, semoga Tuan Alvaro bisa mengatasinya,” balas Emira yang membuat rasa ingin tahu Britne tergelitik.“Apakah kamu mengetahui masalah seperti apa yang sedang terjadi di peternakan?” selidik Britne.“Saya tidak tahu secara detail, tetapi semenjak industri kuda berkembang sangat pesat, Tuan Cooper mulai merambah ke bisnis rekreasi dan kompetisi. Yang saya dengar, Tuan Cooper menandatangani tender besar terkait hal tersebut. Sayangnya akhir-akhir ini kuda-kuda Tuan Cooper bermasalah tentang uji kesehatan,” terang Emira.“Mana mungkin kuda-kuda Cooper bermasalah tentang kesehatan? Selama ini mereka selalu mengembangbiakkan kuda yang terbaik dan papa adalah orang yang paling cermat dalam pemilihan serta perawatan kudanya,” sanggah Britne.“Awa
“Auuuw …” rintih Trevor saat Anya mengobati lukanya.Anya melirik selintas menatap wajah pria itu lalu kembali berkonsentrasi dengan luka yang sedang dia obati.“Katanya tergores sedikit, kenapa sekarang jadi manja dan meringis kesakitan,” gumam Anya seolah sedang bicara pada dirinya sendiri.Trevor tersenyum masam menanggapi sindiran Anya. “Jika kamu bersikap sedikit lebih lembut, aku tidak akan merasa kesakitan.”Bukannya bersikap lembut, Anya malah sengaja menekan luka Trevor hingga pria itu berteriak kesakitan, menarik tangannya lalu menghindari Anya.“Ini sangat menyakitkan, aku tahu kamu sengaja melakukannya,” gerutunya tanpa rasa marah.Anya kembali menarik tangan pria itu lalu kini benar-benar mengobatinya dengan hati-hati. “Ini bukan luka ringan dengan sedikit goresan seperti yang kamu katakan. Lukamu cukup parah dan terus mengeluarkan darah, besok kamu harus periksa ke rumah sakit.”Trevor terdiam sambil memperhatikan Anya yang sedang mengobati lukanya. Sebenarnya dokter sud
“Sudah cukup, aku tidak mampu memakan semua ini,” kata Anya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil mengusap perutnya yang kekenyangan, mengabaikan sopan santun di hadapan Trevor.“Kamu harus makan banyak, aku melihatmu terlihat sangat kurus dan kantung matamu tidak bisa kamu sembunyikan dari make up tebal,” ujar Trevor seakan tahu kondisi Anya.Anya kembali menegakkan tubuh dan mengusap wajahnya. “Sekarang kita bisa membahas pekerjaan,” ujarnya lalu mengeluarkan dokumen untuk menghindari Trevor banyak bicara.“Kenapa buru-buru, aku masih ingin bersamamu.”“Cukup, Trevor! Bersikaplah profesional. Kita di sini untuk urusan pekerjaan dan aku tidak ingin terlibat denganmu lebih dari ini.” Anya menekankan hubungan mereka saat ini.Dengan buru-buru Anya membuka dokumen yang dibawa lalu membacakan pasal-pasal yang mereka sepakati. Trevor yang muak dengan sikap Anya, merebut dokumen tersebut lalu menutupnya.“Aku ingin bicara denganmu soal Remy,” terang Trevor.“Aku tidak ada urusan den
“Apa yang kamu dapatkan dari penyelidikan Remy?” tanya Trevor pada Adam.“Ada berita bagus yang bisa membuatmu keluar dari jerat wanita itu?” jawab Adam sambil menyerahkan hasil penemuannya pada Trevor.Trevor menaikkan satu alis dengan senyum sinis terkembang di ujung bibir membaca dokumen yang Adam berikan padanya.“Jadi wanita itu tidak hamil? Selama ini dia sedang bermain-main denganku dan berbohong padaku?” ujar Trevor.“Dia tidak mungkin hamil darimu karena kamu tidak bercinta dengannya,” kata Adam.“Jadi kamu percaya padaku sekarang?” Trevor menyombongkan diri menyindir ketidakpercayaan Adam padanya.“Aku tidak sepenuhnya percaya dengan perkataanmu, aku hanya percaya pada data yang aku dapatkan.” Adam langsung mematahkan kesombongan Trevor.“Data apa yang kamu dapatkan?”“Apakah kamu ingat saat kamu melakukan tes darah saat itu?” Adam mengingatkan.“Ah … ya … sehari setelah aku mabuk aku merasa tidak enak badan sehingga aku memutuskan ke rumah sakit untuk memeriksakan kesehatan
“Apakah aku bisa bertemu dengan papa tirimu?” tanya Trevor pada Remy dengan ekspresi tak terbaca.“Papaku …?” ulang Remy dengan cuping hidung kembang-kempis memperlihatkan kegugupan yang coba disembunyikan, “kenapa kamu ingin bertemu dengan papaku?”Tidak ingin dicurigai atas permintaannya, Trevor memilih kata dengan hati-hati sebelum mengucapkan.“Jika memang bayi yang kamu kandung adalah anakku, bukankah sudah seharusnya aku bertemu papamu? Karena papa kandungmu sudah meninggal, sudah sewajarnya aku bertemu dengan walimu saat ini.”Kecurigaan yang sempat terbesit dalam benak Remy, seketika lenyap ketika sikap Trevor berubah lembut padanya, bahkan pria itu tidak menolaknya lagi. “Aku tidak bisa janji, papaku susah untuk ditemui.”“Sayang sekali, apakah itu berarti tidak ada restu untuk kita?” pancing Trevor.“Re-restu …?” Kata-kata itu membuat mata Remy berbinar senang.“Lupakan saja permintaanku.” Trevor berusaha tarik ulur emosi Remy, dia kemudian beranjak dari tempat duduk hendak
Anya terbelalak mengetahui jika kakaknya yang masuk ke ruangan. Dia langsung berusaha bangun dan merapikan pakaian.“A-aku … ka-kami …” Otak Anya seketika kosong dan tak mampu menjelaskan apa yang terjadi.“Dia jatuh dari kursi dan aku berusaha menolongnya, aku harap kamu tidak salah paham dengan apa yang dilihat tadi,” jelas Trevor dengan santai sambil berdiri dan berjalan mendekati Arlo seolah tidak terjadi apa-apa.“Benarkah begitu?” tanya Arlo memastikan langsung ke Anya dengan tatapan penuh selidik.“Aku sedikit ceroboh hingga terjatuh dari kursi dan beruntung Trevor menolongku,” jelas Anya tak sepenuhnya berbohong.“Lalu bagaimana kamu bisa berada di sini? Bukankah seharusnya kamu menemuiku?” Tatapan curiga Arlo diarahkan pada Trevor.“Aku tersesat dan berakhir di sini.”Arlo terdiam berusaha memahami situasi yang terjadi, dia tipe orang yang tidak mudah percaya hanya dengan mendengar cerita dari orang lain. Banyak peristiwa dan proses dalam hidupnya yang membuat dia begitu hati
“Mereka memundurkan rapatnya karena kamu tidak datang,” ujar Adam yang kembali menemui Trevor.“Biarkan saja, aku masih bisa menanganinya. Apakah kamu sudah menemukan data tentang Remy? Apa yang kamu dapatkan?” cecar Trevor.“Tidak banyak yang bisa ditemukan, aku hanya bisa mengakses data pribadi dan keuangannya. Tidak ada hal yang mencurigakan dengan semua itu,” terang Adam.“Berikan semua data itu padaku dan tinggalkan aku sendiri, aku yang akan mengurusnya.”Adam kemudian menyerahkan sebuah flashdisk pada Trevor, tetapi tidak langsung pergi dari hadapan pria itu. Mengetahui hal tersebut, Trevor menatapnya dengan dingin. “Ada apa lagi?”“Arlo Jackson baru saja menelpon, dia ingin bertemu dan mengundangmu ke kantornya, ada kerjasama yang ingin ditawarkan,” ujar Adam menginformasikan tujuan Arlo.Rahang Trevor mengeras, rasa cemburu mengusik mengingat Anya sangat dekat dengan pria itu.“Bilang saja aku tidak berminat dengan semua yang dia tawarkan,” balas Trevor tanpa pikir panjang.“
“Sudah lama sekali aku tidak membicarakan papaku dan aku tidak berminat,” tolak Trevor enggan mengulik masa lalunya kembali.“Tapi ini berhubungan dengan keluarga Jackson, jika kita tidak menyelesaikannya maka hidup kita sebagai keluarga Smith tidak akan tenang,” terang Mattew.“Apa untungnya bagiku? Nama Smith tidak ada artinya bagiku dan aku tidak punya hubungan apapun dengan keluarga Jackson.” Trevor berusaha menghindar dari masalah yang lebih buruk.“Kamu dan Britne berteman baik, Arlo juga mengenalmu. Pertemananmu dengan Britne akan rusak dan bisnismu akan tersendat jika kita tidak menyelesaikan masalah keluarga kita.”Trevor menghela nafas panjang lalu memijit batang hidungnya. “Sepertinya keputusanku untuk pulang adalah sebuah kesalahan dan seharusnya aku tidak perlu mengenalmu sehingga masalah ini tidak mendatangiku.”Mattew tersenyum penuh pengertian. “Ini adalah kesalahan para orang tua kita yang tidak bisa kita hindari, jadi tugas kita sekarang adalah memutuskan semua kutuk
“Dasar anak pembawa sial! Mati saja kamu!” umpat mamanya sambil memukul dengan keras.Umurnya masih tujuh tahun saat itu tetapi bayangan itu masih sangat jelas di ingatan. Kekerasan, umpatan, pukulan selalu dia dapatkan di masa kecil.Dia sering disalahkan atas kehidupan mamanya yang buruk, papanya meninggalkan mereka dalam kemiskinan dan semenjak saat itu mamanya sering kali kehilangan akal sehat lalu memukul dirinya tanpa alasan.Tetapi bukan itu hal terburuk dalam hidupnya, hal terburuk yang dia alami adalah ketika menemukan mamanya bunuh diri dan meninggalkannya sebatang kara di dunia ini. Dia kemudian dibawa petugas sosial untuk dibesarkan di panti asuhan.Trevor terbangun dengan keringat dingin yang membasahi pakaian, rahangnya mengeras mengingat mimpinya. Hal itulah yang membuatnya begitu membenci papanya dan tidak ingin tahu siapa ayah kandungnya.Seumur hidup, dia membenci pria yang telah menghamili mamanya dan meninggalkannya begitu saja.Mimpi buruk itu membuatnya tidak bis
Trevor mengerang marah karena situasi sulit yang dihadapinya. Keadaan ruyam ketika dia mabuk dan terbangun dengan Remy tidur di sisinya dan sekarang wanita itu mengaku hamil anaknya.“Sudah ku bilang Remy akan menyulitkan hidupmu,” sindir Adam merespon sikap Trevor.“Bisakah kamu diam jika kamu tidak punya solusinya? Jangan membuatku semakin pusing,” geram Trevor.“Benarkah kamu tidak mengingat apapun malam itu?”Trevor menggeleng sambil memijat kepalanya yang berdenyut sakit. “Aku tidak mungkin bercinta dengan Remy, jika aku melakukannya aku pasti mengingatnya meski mungkin tidak secara detail. Itu yang aku rasakan pada Anya sehingga aku yakin jika anak yang Remy kandung bukan anakku, tetapi aku butuh bukti untuk menyanggahnya jika tidak Remy akan membuat media gempar dan nilai sahamku akan turun.”“Jadi kamu bercinta dengan Anya dalam keadaan mabuk? Dasar pria brengsek,” umpat Adam membuat Trevor sadar jika telah bicara terlalu banyak.“Enyahlah dari hadapanku, Adam! Aku sedang ingi