Britne masuk ke apartemen Alvaro dengan rasa cemas dan khawatir, dia tahu jika Alvaro pasti sangat terpukul setelah acara pernikahannya gagal. Geena, saudara kembarnya melarikan diri dan meninggalkan pria itu begitu saja di hari pernikahan mereka.
Sebagai seorang sahabat, dia tidak mungkin diam saja. Karena itu, dia datang ke apartemen Alvaro berniat untuk menghiburnya.
Sesampainya di sana dia mendapati apartemen yang sepi dan gelap. Britne melangkah masuk mencari keberadaan sahabatnya itu.
“Alvaro, apakah kamu baik-baik saja?” suaranya menggema di dinding apartemen tanpa balasan.
Berusaha menajamkan penglihatan, Britne beradaptasi dalam kegelapan, mengandalkan kerlip lampu kota dari kejauhan sebagai penerangan meski cahayanya sangat minim.
“Dimana dirimu?” tanya Britne sambil berjalan perlahan, meraba dinding di dekatnya mencari saklar lampu.
Baru saja tangannya hendak menekan saklar tersebut, suara parau dan berat menghentikan gerakannya.
“Jangan nyalakan lampunya! Aku sedang ingin bersembunyi di kegelapan,” larang Alvaro terdengar putus asa.
Britne menyipitkan mata dan menatap ke sumber suara, dalam remang cahaya, dia bisa melihat seseorang duduk di sofa menghadap ke dinding kaca apartemen.
Tahu jika itu adalah Alvaro, Britne berjalan mendekatinya dan mendapati pria itu sedang memegang gelas berisi minuman, terlihat sebuah botol wiski yang hampir habis ada di sebelahnya.
“Apakah kamu menghabiskan semua minuman ini?” ujar Britne sambil mengangkat botol kosong tersebut lalu menyingkirkannya.
“Hanya ini yang aku butuhkan sekarang,” balas Alvaro sambil memutar gelasnya dan menatap minuman yang tinggal sedikit di dalamnya.
“Apakah kamu sudah makan?” tanya Britne khawatir.
“Aku tidak lapar,” jawab Alvaro acuh, bahkan tidak ingat jika seharian belum makan.
“Jangan sampai kamu sakit karena terlambat makan, aku akan membuat sesuatu yang hangat agar perutmu terasa lebih nyaman,” kata Britne sambil beranjak menjauh dari tempat Alvaro duduk, tetapi pria itu menahan lengannya.
“Tetaplah disini! Temani aku,” pinta Alvaro dengan raut wajah sedih dan tatapan nanar, membuat Britne tidak tega meninggalkannya.
Dia kemudian duduk di samping pria itu dan menggenggam tangannya, berniat untuk menghibur.
“Kamu pasti akan mendapatkan wanita yang lebih baik dari Geena jadi jangan putus asa seperti ini.”
Alvaro tersenyum sinis dengan tatapan kosong. “Apakah kamu sedang mencoba untuk menghiburku? Perkataanmu sia-sia saja karena tidak menyelesaikan masalah yang sedang aku hadapi. Kenapa kamu tidak menggantikan Geena sebagai pengantinku seperti apa yang orang tuamu sarankan? Paling tidak aku dan keluargaku tidak akan menanggung malu.”
Perkataan tersebut menyentak hati Britne, dengan cepat dia melepaskan genggaman tangannya dari Alvaro. Ada rasa sakit yang berusaha dia pendam karena jauh di lubuk hati, dia sangat ingin menikah dengan Alvaro, tetapi mengetahui jika pria itu hanya mencintai saudara kembarnya, keinginan itu pun hancur lebur.
“Aku tidak bisa menikah denganmu karena seumur hidup kamu hanya akan menatapku sebagai Geena. Aku tidak ingin menjadi pelampiasan hanya karena wajahku mirip dengan Geena.”
“Kenapa kamu menolakku? Apakah kamu pikir aku tidak pantas untukmu?” Suara Alvaro tiba-tiba meninggi, manik matanya menggelap karena kemarahan yang tersulut. Britne yang melihatnya menjadi takut.
“Kamu sedang mabuk, Alvaro. Aku akan membuatkanmu makanan dan setelah makan, sebaiknya kamu segera tidur, kita akan bicara lagi besok saat keadaanmu lebih tenang.”
Baru saja Britne beranjak dari tempat duduknya, Alvaro dengan cepat mendekap dan menghimpitnya ke dinding apartemen.
Jantung Britne seketika berdetak kencang merespon kedekatan mereka, dada liat Alvaro menghimpit dadanya, nafas pria itu menyapu wajahnya. Meski sudah berteman sejak kecil, namun dirinya belum pernah seintim ini dengan Alvaro.
Selama ini dirinya memang mencintai Alvaro, tetapi terpaksa menyembunyikan perasaan tersebut karena tidak ingin persahabatan mereka hancur.
Dia tidak menyangka jika orang tuanya akan menjodohkan Alvaro dengan saudara kembarnya dan ternyata Alvaro menerima perjodohan tersebut. Disitulah dia baru tahu jika Alvaro mencintai saudara kembarnya.
“Kenapa kamu ingin pergi dariku? Katakan saja jika kamu juga menginginkanku,” ucap Alvaro kasar.
Britne mengerutkan kening, terkejut dengan perkataan pria itu. Selama mereka berteman, Alvaro tidak pernah berkata kasar, dia adalah pria yang sopan, selalu bersikap lembut dan menghormatinya.
“Lepaskan aku, Alvaro! Minuman itu mengubahmu, jangan sampai kamu menyesal karena hal yang tidak seharusnya kamu katakan dan lakukan,” geram Britne sambil menghentakkan tangan pria itu.
“Kamu yang telah mengubahku, bukan minuman yang aku minum,” sanggah Alvaro tak melepaskan Britne.
“Aku tidak pernah mengubahmu, terima saja keadaan ini dan jadilah lebih kuat. Masih banyak wanita di dunia ini dan Geena bukanlah satu-satunya.”
“Kenapa bukan kamu saja yang menikah denganku? Keluargamu sudah setuju, kenapa kamu menolaknya,” racau Alvaro dengan kesadaran yang semakin menipis.
Britne menggigit bibir menahan perasaannya. Seandainya saja Alvaro tidak mencintai saudara kembarnya, dia akan dengan senang hati menikah dengan pria itu. Rasa kecewa dan kemarahan melingkupi dirinya ketika Geena kabur dengan meninggalkan sepucuk surat yang memintanya untuk menikah dengan Alvaro.
Dia tidak ingin menjadi wanita pengganti, menikah dengan pria yang tidak mencintainya. Lebih menyedihkan lagi jika dirinya hanya dianggap sebagai objek obsesi karena kemiripan wajahnya dengan Geena.
“Aku tidak bisa menikah denganmu karena kamu mencintai Geena, tidak mencintaiku.”
“Aku mencintaimu,” ujar Alvaro yang membuat tubuh Britne membeku.
“Me-mencintaiku?” ulang Britne gagap, tidak percaya dengan apa yang dia dengar.
“Aku mencintaimu dari awal kita bertemu.”
“Be-benarkah itu?” Rasa senang merayap dalam diri Britne, perkataan Alvaro seperti mantra yang meluluhkan hati.
Matanya membulat lebar ketika tiba-tiba Alvaro mencium bibirnya. Tangannya meremas pakaian pria itu hendak mendorong menjauh, tetapi ketika bibir Alvaro bergerak melumatnya, dia tak mampu menolaknya.
Dengan polos, Britne menikmati gerakan bibir Alvaro yang memberinya berjuta sensasi. Hatinya bersorak senang merasakan ciuman pertama dari cinta pertamanya. Tanpa sadar, kedua tangannya sudah melingkar dan bergelayut manja di leher Alvaro.
Rasanya seperti sedang berada di musim semi dengan bunga-bunga bertaburan di atasnya, cecapan Alvaro seperti madu yang memuaskan dahaga. Nafas pria itu terhembus menyapu kulit wajahnya seperti angin sepoi yang hangat membuatnya melayang.
Britne terkesiap ketika Alvaro mendorong tubuhnya tanpa melepaskan ciuman. Tangan pria itu memutar gagang pintu yang ada di belakang tubuhnya dan membukanya dengan mudah.
Tanpa ada perlawanan, Alvaro kembali mendorongnya masuk ke dalam kamar.
Saat menyadari keberadaannya, Britne menjauhkan bibirnya menghindari ciuman pria itu. “Kamu sedang mabuk, tidak seharusnya aku berada di kamarmu.”
“Aku menginginkanmu, jadilah milikku seutuhnya,” ucap Alvaro dengan tatapan serius yang menghanyutkan.
Britne berusaha menjaga akal sehat, tetapi tubuhnya tidak mau bekerja sama. Saat Alvaro kembali menciumnya, dinding pertahanannya pun runtuh. Tubuhnya jatuh ke ranjang bersama Alvaro yang menindihnya.
Pikirannya seketika kacau, dia tak bisa lagi berpikir jernih. Yang dia ingat hanya sentuhan Alvaro yang membuat kulitnya meremang dan nadinya berdenyut kuat, darahnya memanas dengan sejuta sensasi nikmat menyerang.
Dia hanya bisa pasrah ketika pria itu melepas satu persatu pakaiannya. Pekikkan keras menggema di dinding kamar ketika rasa sakit menyengat di pangkal pahanya. Air matanya menetes ketika sadar jika dirinya telah menyerahkan kehormatannya pada Alvaro.
“Kenapa kamu menangis? Apakah aku menyakitimu?” tanya Alvaro sambil mengusap air matanya dengan bibirnya.
Britne menggeleng menahan isak tangisnya. “Benarkah kamu mencintaiku?” Britne berusaha menyakinkan dirinya jika Alvaro benar-benar mencintainya.
“Tentu saja, aku mencintaimu,” ucap Alvaro yang kemudian menyempurnakan penyatuan mereka.
Mendengar hal tersebut, Britne tak lagi ragu dengan perasaannya. Dia membuka diri untuk Alvaro dan menyambut gerakan pria itu di atas tubuhnya. Malam semakin larut dan tarian keduanya semakin memanas.
Keduanya mengerang keras ketika mencapai puncak bersama, Alvaro jatuh di atas tubuh Britne dengan keringat yang membuat tubuh keduanya basah. Kebahagiaan melingkupi hati Britne menyadari jika Alvaro ternyata mencintai dirinya.
“Geena, aku mencintaimu,” gumam Alvaro di telinga Britne yang membuat kebahagiaan yang baru saja dirasakan lenyap seketika.
Tubuh Britne membeku dan berubah menjadi dingin. Dia mendorong tubuh Alvaro menjauh dari tubuhnya.
“Apa maksud perkataanmu? Apa kamu berpikir aku adalah Geena?” cicit Britne dengan suara tertahan, rasa sakit menghimpitnya hingga telinganya berdenging dan tubuhnya menggigil.
Sayangnya hanya gumaman tak jelas yang keluar dari mulut Alvaro, membuat Britne sadar jika pria itu benar-benar mabuk. Bahkan dia yakin, Alvaro tidak akan pernah menyadari jika mereka baru saja tidur bersama.
Tangis Britne seketika pecah, dengan tertatih dia mengumpulkan pakaian yang berserakan di lantai lalu memakainya dengan cepat.
Dia pergi dari apartemen Alvaro dengan rasa jijik dan malu, saat ini dia tak sanggup bertemu dengan siapapun, terutama untuk bertemu lagi dengan Alvaro, menatap wajah pria itu, membuat hatinya terasa sangat sakit.
Dengan membawa rasa sakit tersebut, Britne memutuskan untuk kabur seperti apa yang Geena lakukan, menghilang dari kehidupan Alvaro.
Tiga tahun kemudian …Britne duduk di kursi belakang sebuah mobil sambil menatap padang hijau yang sangat dirindukannya. Dia menurunkan kaca mobil lalu menghirup udara segar pedesaan yang beraroma rumput basah.Tiga tahun dia meninggalkan rumah, bersembunyi di ujung dunia demi meninggalkan masa lalu yang kelam. Harapan baru muncul saat hatinya yakin jika semua sudah baik-baik saja.Tatapannya beralih ke seorang anak berumur dua tahun yang tidur nyenyak di pangkuannya. Wajah tampan anak itu menghanyutkannya ke dalam lamunan.“Sebentar lagi kamu akan bertemu grandpa dan grandma. Di sini ada banyak kuda dan kamu bisa menaikinya, mama yakin kamu akan suka tinggal disini,” ucapnya sambil mengusap rambut anak itu.Mobil yang dinaikinya berhenti di depan sebuah rumah dengan bentuk bangunan yang masih sama seperti yang dia tinggalkan terakhir kali. Belum sempat dirinya keluar dari mobil, papa dan mamanya sudah keluar dari dalam rumah untuk menyambut kedatangannya.Mata Britne berkaca-kaca men
Ketegangan Britne dan Geena masih terus berlanjut hingga acara pernikahan sepupu mereka berlangsung. Dia sengaja menghindar dari keramaian dan menatap acara pernikahan tersebut dari kejauhan.“Pernikahan yang sangat indah,” pujinya sedikit iri.Berusaha mengurangi kegalauan hati, Britne mengambil minuman yang berada di pojok taman. Saat berbalik langkahnya terhenti melihat sosok pria yang dihindarinya selama ini. Jantungnya seketika berdetak sangat cepat dan tubuhnya gemetar tanpa alasan.“Al-Alvaro ...” ucapnya gagap.Mata pria itu menatap tajam tak bersahabat ke arahnya, tatapan lembut yang dulu sering Alvaro berikan, kini lenyap tak berbekas. Britne mendapati pria yang berbeda dari sahabatnya dulu, hal itu membuatnya semakin gugup.“Kemana saja dirimu selama ini?” tanya Alvaro yang sama sekali tidak ingat hal terakhir yang dia lakukan pada Britne.“Aku menyingkir untuk menenangkan diri,” jawab Britne.“Menenangkan diri?” ulang Alvaro dengan seringai sinis. “Aku yang gagal menikah,
Malam hari, Britne tidur dengan gelisah. Mimpi yang selama ini mengganggu tidurnya, datang kembali. Dia meringis menahan rasa sakit di pangkal paha, rasa nyeri itu masih teringat jelas di alam bawah sadar.“Geena, aku mencintaimu,” racau Alvaro sesaat setelah pria itu meledakkan benih di dalam rahimnya.Telinga Britne berdenging sakit ketika mendengar hal tersebut, dia langsung terbangun dengan nafas terengah, keringat dingin membasahi tubuh, air mata menetes karena rasa sakit yang mencengkram hati, jantungnya berdetak kencang karena kemarahan yang meliputi.Malam itu, tiga tahun yang lalu dia melakukan kesalahan besar, hal tersebut membuatnya trauma untuk menjalin hubungan dengan seorang pria. Alvaro berhasil meruntuhkan kepercayaan dirinya dengan menyebut nama Geena di dalam percintaan mereka.Lebih menyedihkan lagi, pria itu tidak pernah ingat tentang malam yang mereka lewati bersama karena melakukannya dalam keadaan mabuk. Sampai detik ini, hanya dirinya dan Tuhan yang tahu tentan
Alvaro melirik sekilas ke arah Britne lalu melemparkan handuk yang dipakai untuk mengeringkan rambut ke kursi di dekatnya, sengaja mengabaikan keterkejutan wanita itu.“Bagaimana aku bisa bersamamu?” tanya Britne heran.“Memangnya siapa yang kamu harapkan bersamamu saat ini, pria brengsek yang ingin melecehkanmu itu?” sindir Alvaro.“Aku tidak tahu jika dia pria jahat.”“Tentu saja kamu tidak tahu karena kamu begitu bodoh, mudah tergoda oleh bujuk rayu pria,” geram Alvaro menahan kemarahan tanpa memikirkan apa yang dia katakan.“Aku tidak …” Britne seketika terdiam tak melanjutkan perkataannya karena percuma saja dia menyangkal, Alvaro tidak akan percaya dengan apa yang dia katakan.Sambil tertunduk lesu, tangannya meremas bagian depan kemeja yang dipakai. Untuk sekian kali Alvaro meruntuhkan kepercayaan dirinya, membentuk persepsi di alam bawah sadar jika dirinya memang benar-benar bodoh.Bibir Britne gemetar, dadanya terasa sesak, ingin sekali dia menjauh dari pria itu tetapi ada ya
“Kenapa papa belum tidur dan tampak gelisah?” tanya Britne melihat papanya mondar-mandir di ruang tamu padahal malam sudah larut.“Sudah beberapa hari tidak ada kabar dari Alvaro semenjak sarapan kita pagi itu. Jika terus begini, bagaimana dengan nasibmu?” jawab Axton.“Aku tidak terkejut dengan hal tersebut, aku tahu bagaimana sifat keluarganya. Di jaman modern ini, hanya keluarganya yang masih memegang teguh sebuah kehormatan. Aku yakin Alvaro tidak akan menikahiku setelah mengetahui jika aku memiliki putra tanpa seorang ayah.”“Papa akan coba menelponnya untuk mengetahui apa yang terjadi,” balas Axton hendak mengambil ponsel.“Hentikan hal itu Pa! Kenapa papa masih saja mengharapkan Alvaro untuk mau menikahiku? Dia tidak mungkin menerimaku setelah mengetahui kenyataan jika Cedric adalah putraku,” larang Britne.“Jika tidak dengan Alvaro, dengan siapa lagi kamu akan menikah?”Kening Britne mengkerut tidak senang mendengar ucapan papanya. “Serendah itukah papa memandangku sehingga me
Dengan tangan gemetar, Britne menorehkan tanda tangan di atas kertas yang membuat statusnya berubah menjadi Nyonya Cooper.Tidak ada pesta megah atau acara khusus untuk merayakan pernikahan dirinya dan Alvaro, mereka hanya menandatangani surat pernikahan yang disaksikan oleh keluarga dekat, lalu dilanjutkan dengan acara makan keluarga di rumahnya.Hal tersebut sudah menjadi keputusannya karena dia tidak ingin menikah dengan pesta megah sedangkan pernikahan dirinya dan Alvaro lebih seperti pernikahan bisnis.Sebelum acara makan dimulai, Britne duduk kaku di samping Alvaro, dia tidak mengerti dengan sikap pria yang kini sudah menjadi suaminya itu.Bukankah dari awal Alvaro sendiri yang bersikeras untuk menikah dengannya? Tetapi sekarang, pria itu malah terlihat dingin dan cuek, seakan tidak menginginkan pernikahan tersebut.“Apakah kamu menyesal dengan pernikahan ini?” singgung Britne sambil melirik ke arah suaminya.“Tidak ada yang perlu aku sesali,” ucapnya seakan pernikahan mereka bu
Perjalanan menuju peternakan Cooper menjadi perjalanan yang terasa panjang dan lama bagi Britne dan Alvaro. Sepanjang perjalanan mereka sama-sama diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.Britne duduk menjauh dari Alvaro sambil mendekap Cedric yang terlelap, sedangkan Alvaro fokus dengan kemudi mobil, sesekali mencuri pandang ke arah istrinya dengan tatapan yang tak terbaca.Tatapan itu disalah artikan sebagai ancaman bagi Britne sehingga dia semakin menutup diri dan memasang dinding atas keberadaan Alvaro.Mereka sampai di peternakan ketika hari sudah malam, Britne menidurkan Cedric ke kamar yang sudah disediakan Alvaro lalu pergi ke kamar dimana barang-barangnya ditaruh di sana.Saat membuka pintu, dia terkejut mendapati Alvaro sudah berada di kamar tersebut. Bayangan masa lalu mereka saat berada di dalam satu kamar yang sama, membuat Britne merasa sesak dan wajahnya memucat.Perubahan raut wajah Britne membuat Alvaro khawatir. “Apakah kamu baik-baik saja?” tanyanya sambil berjal
Keesokan paginya Britne bangun dan terkejut karena tanpa sadar telah tidur dengan begitu lelap, pertengkarannya dengan Alvaro cukup menguras emosi hingga membuatnya kelelahan.Dia segera beranjak dari tempat tidur dan pergi ke kamar Cedric untuk melihat keadaannya karena biasanya putranya sulit tidur saat berada di tempat yang baru. Butuh beberapa hari untuk Cedric bisa beradaptasi, itulah salah satu alasan kenapa dirinya keberatan ketika Alvaro memaksanya untuk pindah ke peternakan Cooper,Namun betapa heran dirinya saat mendapati Cedric tidur sangat lelap bahkan air liurnya sampai menetes ke bantal, membuat senyum Britne merekah.“Lelap sekali tidur anak mama,” gumamnya senang karena ternyata Cedric bisa beradaptasi dengan cepat di tempat yang baru, dia tidak tahu jika semalam putranya sempat bangun dan Alvaro yang menenangkannya.Dia duduk di ranjang putranya lalu mengusap rambut anak itu. “Sepertinya kita berdua sangat kelelahan hingga tidur sangat lelap.”Tidak ingin mengganggu t