Berawal dari persahabatan kedua orang tua mereka, mereka bertemu sepuluh tahun lalu. Saat pria itu baru di adopsi oleh pasangan Quin. Kala itu Edward dan Alice masih berumur sebelas tahun.
Mereka mulai akrab, menjadi sahabat tidak terpisahkan, hingga Alice memberanikan diri untuk menyatakan cintanya pada Edward saat mereka duduk di bangku sekolah menengah.
Tentu saja Edward juga mencintai Alice, kalau tidak pemuda itu tidak mungkin menerima perasaan si gadis manis enam tahun lalu. Hanya saja pria itu masih ingin berfokus pada studinya. Ia ingin memberikan hasil memuaskan untuk membanggakan orang tua yang telah membesarkan juga merawatnya sejak kecil. Karena, ia hanya anak hasil adopsi, ia merasa punya kewajiban untuk membalas semua kebaikan orang tua angkatnya ini.
"Bagaimana acara tadi sore? Lancar?" Alice kembali memulai obrolan.
"Semua lancar. Calon istri Ayahku sangat baik dan aku yakin dia bisa membahagiakan Ayahku."
Ketika mengucapkan kalimat barusan mau tak mau Edward juga ikut mengingat wajah pucat gadis remaja itu. Rosie Wilkins. Mata kecil berwarna hazel yang bening miliknya. Hidung mancung tapi mungil yang selalu dia gosok sekilas setelah bicara. Bibir merah muda ranum yang dengan sembunyi-sembunyi menyunggingkan seringai misterius. Ada sesuatu tentang Rosie yang menarik bagi Edward.
"Syukurlah. Aku hanya khawatir kau merasa tidak nyaman dengan calon ibu tirimu."
"Ah, tidak begitu. Bibi Eliza baik dan tulus. Aku senang Ayah menemukan orang yang bisa membuatnya bahagia lagi. Oh, iya. Bibi Eliza juga memiliki seorang anak. Anak perempuan."
"Benarkah? Berapa umurnya?"
"Sekitar tujuh belas tahun."
''Wah! Sekarang kau memiliki adik perempuan. Akhirnya kau menjadi seorang kakak."
"Ngomong-ngomong soal itu. Aku jadi ingat ingin menjagamu bertemu bersama Rosie juga. Ayah bilang kau juga harus akrab dengan Rosie."
"Tentu. Aku memang harus akrab dengan calon adik ipar, bukan? Kapan kita bertemu bersama? Besok?" Entah kenapa Alice sangat bersemangat. Yah, gadis itu memang selalu seperti itu. Ceria, penuh senyum, dan ramah pada siapapun. Itu salah satu sebab Edward mencintai Alice.
"Ah, tidak besok juga, Alice. Kau sudah rindu ya dengan aku? Padahal kita belum lama bertemu tadi siang," goda Edward seraya menyembunyikan kekehannya.
''Iya. Iya, Edward Quin. Aku memang sudah ingin bertemu denganmu, padahal setiap hari kita bertemu di kampus. Bagaimana, kau puas Tuan Edward yang terhormat?" Edward bisa membayangkan bibir sang kekasih yang mencebik imut saat ini. Dia pun tak bisa lagi menahan gelak tawa karena perilaku menggemaskan kekasihnya itu.
"Puas Sekali, Nyonya Alice. You're too
cute that's why I love you, Alice.""Love you too, Edward Quin. And miss you too."
"Besok aku akan ke rumahmu."
"Hah?!"
"Hey, kau bilang ingin bertemu denganku. Besok aku ke rumah. Sekalian bertemu dengan orang tuamu. Sudah lama tidak mengobrol dengan mereka."
Kebanyakan orang mengira hanya Alice saja yang sungguh-sungguh serius menjalankan hubungan ini. Karena lebih sering Alice mengambil inisiatif duluan. Namun, sebenarnya Edward juga suka menunjukkan perhatiannya dengan hal-hal kecil. Seperti sekarang, dari pada membalas dengan omongan, Edward lebih suka langsung bertindak.
"Oke. Aku tunggu."
"Baiklah, sudah malam. Tidur sana."
Akhirnya Alice menguap setelah menahannya sejak tadi. Ia takut Edward akan langsung menyuruhnya tidur kalau tahu Alice sudah mengantuk. Gadis itu masih ingin mendengar suara kekasihnya meskipun sudah hafal setiap nada dan intonasi pada vokal khas Edward. Alice tidak pernah puas akan kekasihnya.
"Selamat malam."
"Malam. Mimpi Indah."
Alice terkikik sekali lagi mendengar betapa hangat dan cheesy seorang Edward.
"Kau juga. Bye."
"Bye."
***"Rosie, Ibu ingin pergi dulu. Ada makanan di kulkas. Kalau kau lapar tinggal panaskan saja, ya. Jaga rumah baik-baik dan jangan nakal, sayangku." Teriakan Eliza Wilkins dari depan pintu utama bisa didengar Rosie dari kamarnya."Iya, Bu. Hati-hati di jalan. Pulang cepat." Balas Rosie juga berteriak. Tidak sedikitpun mengubah posisi tengkurap, sambil mengetik pesan untuk sahabatnya, Claire dan Annette.
Suara pintu depan dibanting menutup
sebagai tanda bagi Rosie kalau ibunyasudah pergi kerja. Hari ini hari sabtu. Tapi, ibunya masih harus masuk kantor dan pulang larut malam. Rosie sudah biasa akan hal itu. Dia sudah tebiasa mengurus dirinya sejak kecil.Eliza Wilkins adalah orang tua tunggal. Jangan tanya kemana ayah Rosie karena dia pun tidak tau di mana bedebah itu. Ibu dan Ayah Youngjae tidak pernah menikah membuat wanita itu harus banting tulang ekstra keras untuk menafkahi dirinya dan anaknya.
Claire
lbumu sudah pergi?Hm, ada apa?
Claire
Pulang malam seperti biasa?Ya. Ada apa? Ada kerjaan?
Claire
Kau tahu saja.Seperti biasa?
Claire
Tentu saja. Nanti aku jemput.Di mana Annette?
Claier
Dia biar aku saja yang atur. Kau tenang saja.Kerja bagus.
Claire
Ah, omong-omong bagaimana acarakemarin? Yang aku dengar, calon Ayah tirimu orang berada? Ah, kau mendadak banyak uang.Ya, seperti itulah. Dia yang memiliki perusahaan manufaktur yang berada di pusat kota.
Claire
Kau beruntung sekali. Jadi, Ibumu tidak perlu bekerja lagi. Dan, kau juga bisa berhenti bekerja nantinya.Ah, aku tidak tahu. Kau kan tahu kita tidak bisa langsung percaya dengan orang baru, Claire. Asalkan Ibuku bahagia aku sudah puas. Masalah dia orang berada atau tidak itu urusan kesekian. Tapi ya..
Claire
Tapi? Tapi, kenapa?Anaknya itu lhoo..
Claire
Siapa?Edward Quin.
Claire
Kenapa? Dia seorang bedebah? Apa dia tidak suka padamu dan Ibumu?Bukan. Hanya saja aku merasa orang itu menyebalkan.
Claire
Menyebalkan bagaimana yang kau maksud? Ah, coba ceritakan padaku.Nanti saja, aku akan cerita jika kita bertemu sekaligus dengan Annette. Aku ingin mandi dulu.
Claire
Baiklah. Aku akan menjemputmu jam sepuluh.Baiklah. Sampai jumpa nanti.
***Satu minggu kemudian akhirnya malapetaka itu tiba juga. Rencananya hari ini Edward, Alice, dan Rosie akan bertemu untuk fitting baju yang akan mereka pakai diacara pernikahan Eliza dan sepuluh hari lagi.Butik yang menjadi langganan keluarga Quin baru buka pukul sebelas siang, tapi Alice memaksa untuk bertemu dengan Rosie lebih pagi agar mereka bisa sarapan bersama sebelum fitting.
Mobil Edward berhenti di depan apartemen Rosie. Satu menit. Dua menit. Lima menit berlalu tapi Rosie tak kunjung muncul. Apartemen itu letaknya di kawasan padat penduduk jadi banyak mobil lain yang lalu lalang, mobil Edward berkali-kali diklakson karena berhenti di pinggir jalan sembarangan.
Padahal pemuda itu sudah bilang kalau dia tidak bisa parkir terlalu lama karena pasti akan mengganggu pengendara lain, makanya Edward meminta Rosie untuk turun sebelum pukul sepuluh, waktu janjian mereka.
Tapi, sampai setengah sebelas siang gadis itu belum muncul batang hidungnya. Edward sudah berkali-kali mengitari apartemen seraya menggerutu kesal.
"Sabar, Edward. Mungkin terjadi sesuatu yang mmebuat Rosie telat." ucap Alice mencoba meredakan emosi sang kekasih.
"Tapi, dia seharusnya kan bisa mengirim pesan atau telpon padaky untuk memberi kabar." Gerutu Edward masih menatap pintu keluar apartemen dengan kesal.
Akhirnya sosok yang ditunggu muncul juga. Berjalan santai keluar dari apartemen dengan wajah datar tanpa rasa bersalah. Masuk ke kursi belakang tanpa menyapa kedua orang yang sudah menunggunya seperti orang bodoh.
"Sabar, Edward. Mungkin terjadi sesuatu yang membuat Rosie akhirnya telat." Ucap Alice mencoba meredakan emosi sang kekasih."Tapi, dia seharusnya kan bisa mengirim pesan atau telpon padaku untuk memberi kabar." Gerutu Edward masih menatap pintu keluar apartemen dengan kesal.Akhirnya sosok yang ditunggu muncul juga. Berjalan santai keluar dari apartemen dengan wajah datar tanpa rasa bersalah. Masuk ke kursi belakang tanpa menyapa kedua orang yang sudah menunggunya sepertiorang bodoh."Rosie, senang bertemu denganmu. Aku Alice." Alice membalik tubuhnya ke belakang lalu memanjangkan tangannya untukbersalaman."Aku Rosie." Ucap gadis itu singkat, membalas uluran tangan itu cepat dan asal saja.Edward mendengus kesal melihat tingkah bocah yang baru datang. Ia menggelengkan kepala tak habis pikir dengan sopan santun yang Rosie tunjukkan. Tapi Edward tidak mengatakan apapun, karena itulah
"Kau perlu belajar menahan emosimu," komentar Annette datar setelah cerita selesai. Gadis enam belas tahun itu kembali berkutatpada game di komputer."AISH!"Lemparan bantal tepat sasaran mengenai belakang kepala Annette membuat gadis itu berbalik lagi sembari menggaruk rambut ikalwarna coklat gelap kebanggaannya."Annette lebih baik kau diam saja dari pada membuat Rosie semakin panas." hardik Claire melirik tajam. Dan, mau tak mau Annette kembali diam, padahal isi otaknya sudah menyusun kalimat untuk menyemprot Rosie."Sudahlah, memang kebanyakan orang kaya seperti itu. Suka seenaknya dan memaksakan kehendak semua orang lain. Mentang-mentang berkuasa. Kamlu jangan terkejut, Rosie. Jika, mereka macam-macam padamu lagi, beri tahu aku. Biar Edward dan kekasihnya menjadi urusanku." Claire kompor mode on. Maka dari itu, Claire dan Rsoie itu cocok sampai ke DNA, cara berpikirnya persis sama.
"Sekarang kau pergi cari Rosie." Edward lantas langsung mendongak untuk menatap Alice tidak percaya. Benarkahbapa yang baru saja pendengarannya tangkap?"Kau harus cari Rosie dan antar dia pulang. Aku akan pulang naik taksi dari sini." tutur Alice mulai melangkah ke depan untuk mencari taksi."Terima kasih, Alice."Edward menghentikan langkah Alice, memeluk gadis bertubuh langsing itu sebentar, lalu berlari kecil menuju parkiran.Si gadis termenung. Memandang nanar pada satu-satunya orang yang ia cintai seumur hidupnya. Memperhatikan tubuh tegap itu menjauh pergi, mengecil, semakin jauh, dan menghilang di antara mobil yang berbarisrapih.***Mereka baru selesai nonton film. Sekarang sedang berkeliaran di mall untuk mencari tempat makan. Annette bilang mau makan pasta, tapi Rosie dan Claire kompak ingin pizza. Di sana, mereka tanpa sengajabbertemu dengan David, teman satu kelas m
"Perutmu berkata sebaliknya." Edward kembali fokus mengemudi, tapi bukan ke apartemen Rosie melainkan ke restoran favoritnya yang kebetulan jaraknya dekat.Rosie membuang muka. Menatap ke luar jendelasambil merutuki perut sialannya yang tidak bisa diajak kompromi. Mukanya merah padam dan dia bersyukur Edward tidak bisa melihatnya.Tentu saja salah besar. Karena Edward bisa melihat pantulan wajah Rosie dari kaca pintu mobil."Manis." Pikir Edward dalam hati. Rosie yang tidak tahu menahu aksi sang calon kakak tirinya masih saja menampakkan wajah salah tingkah dengan pipi yang merah padam. Terkadang, ia mengetuk kepalanya seraya menggerutu. Dan, itu semakin terlihat manis di mata Edward.***Mereka sudah sampai di restoran khas perancis favorit Edward. Sebenarnya favorit Alice juga. Malah, Alice sendiri yang memberitahu Edward restoran ini lebih dulu. Tapi, hal itu kini tidak terpikir oleh Edward. Di ben
"Ah, aku minta maaf untuk kejadian waktu itu. Aku benar-benar tidak bermaksud..." mata hazel bening itu memancarkan rasa bersalah. Tentu saja itu hanyaakting.Alice meraih tangan calon adik iparnya seraya berkata, "Tidak perlu minta maaf, Rosie. Aku tahu kamu tidak sengaja. Aku yang harusnya minta maaf karena sudah memaksamu, kau pasti merasa tidaknyaman."Kedua gadis itu saling tersenyum. Tapi dalam hati Youngjae membatin, 'Berhenti bersikap sok baik, Alice. Kau membuatku makin muak!'Rosie membenci Alice meski mereka baru dua kali bertemu. Baiklah, mungkin bukan Alice yang dia benci, melainkan kepribadiannya. Terlalu baik dan ramah pada semua orang, lugu, langsung percaya pada orang baru, bersikap layaknya dunia ini adalah surga. Sikap Alice mengingtkannya pada seseorang yangsangat ia benci. Orang yang harusnya dia singkirkan sejak awal.***Rosie membuka matanya. Masih belum terbiasa dengan ranja
Sudah jam sepuluh malam. Ayah dan Ibunya pasti sudah tidur karena seharian tadi banyak kerabat dari jauh yang datang memberi selamat. Seharian rumah penuh dengan orang yang tidak dia kenal tapi untungnya mereka tahu diri dan pergi tiga jam lalu.Rosie menenteng heels-nya, berjalan membungkuk seperti maling menuju dapur. Saat baru dua hari pindah ke sini, dia menemukan pintu rahasia di halaman belakang dekat dapur yang tidak pernah terkunci. Pintu itu sudah tua dan karatan. Tersembunyi di balik tanaman tinggi menjulang. Jalan rahasia keluar masuk yang sempurna.Saat ia masuk ke area dapur dengan percaya diri karena yakin seribu persen tidak akan ada mahluk lain berkeliaran jam segini, ia malah melihat Edward. Pemuda itu memakai kaos longgar hitam, sedang menuang air putih ke gelas."Rosie?"Sejenak gadis itu membeku. Terkejut."Edward!"' sahutnya tersenyum kikuk."Apa yang kau lakuka
"Ros, berapa lama orang tuamu pergi bulan madu?" Claire berguling ke arah Rosie untukmenatap langsung gadis itu."Seminggu. Ada apa?""Berarti satu minggu ini kau hanya berdua dengan kakakmu itu dong?" Claire menampilkan wajah mesum yang membuat Rosie ingin mencekik gadis itu."Iya. Terus?" Rosie mengangkat alis."Tidak, hanya bicara. Kakak tirimu sangat tampan, awas suka.""Tidak akan pernah."Nampaknya Claire belum mengerti juga bahwaRosie sangat, amat membenci Edward Quin. Rasa bencinya hingga ke sumsum tulang. Segala sesuatu yang ada pada pemuda itu ia benci. Ketampanannya yang selangit juga tidak bisa menawar rasa benci Rosie.Pokoknya Rosie sangat benci pemuda yang bernama Edward Quin.***Kedua sahabatnya pulang sekitar dua jam kemudian. Rosie baru kembali dari ruang tamu setelah mengantar mereka ke pintu depan. Suasana rum
"Terserah kau mau bicara apa. Aku melakukan ini juga bukan atas keinginanku. Yang jelas kau akan menuruti peraturan ini mulai sekarang. Coba saja melawan. Kakak akan memberi pelajaran untuk adiknya ini."Rosie mendengus murka. Deru nafas cepatmiliknya bisa Edward rasakan menerpa kulit wajahnya. Posisi mereka teramat dekat tetapi tidak ada yang mau mengalah untuk memalingkan muka. Jika, kau berpaling itu artinya kau takut."Kalau sudah mengerti, Kakak pergi dulu ya adikku yang manis." Edward mengulangi adeganyang Rosie lakukan beberapa hari lalu. Persis sama. Dia menepuk-nepuk pucuk kepala Rosie seperti gadis yang tingginya hanya sebahunya itu adalah anjing perliharaan lalu keluar dari ruang keluarga.***Tidak ada pesta? Tidak ada keluar sampai malam? Harus memberi kabar? Cih! Rosie pastisudah sinting kalau mengikuti maunya Edward. Dia pikir Rosie akan gentar dengan gertak sambal murahan begitu?
"Wah, tidak jauh dari rumah. Kapan-kapan main ya ke rumah." Lidya terkekeh di akhir kalimatnya. Angel meringis dan Damian tersenyum kecil."Iya, Tante.""Siapa tahu, bisa menjadi menantu. Belum punya pacar, 'kan?"Angel sontak menatap Lidya dengan wajah terkejut namun setelah itu kembali melunak, terkekeh lalu menunduk. Kedua tangannya terkepal hingga jari kukunya kian memutih.***"Ella."Ella menoleh saat Samuel sudah berada di hadapannya dengan sekotak susu pisang."Ini, untukmu." Samuel menyodorkannya dan Ella dengan ragu mengambilnya."Terima kasih." cicit Ella pelan.Samuel tidak menjawab, anak itu langsung mengambil posisi di samping Ella seraya melanjutkan meminum susu pisangnya. Kini, sudah lima belas menit berlalu sejak bel istirahat berbunyi. Ella dan Samuel sedang duduk di santai di bangku taman seray
"Angel, kau apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada waktu luang? Bisa kita bicara sebentar?"Angel yang tidak tahu ingin berkata apa hanya mampu tersenyum kecil dan pasrah ketika tangannya di tarik begitu saja oleh Ibu Damian. Diam-diam, Damian merasakan tatapan tajam Angel yang siap membunuhnya.***Ella menghela napas lelah selepas turun dari mobil Rere. Padahal, niatnya hari ini dia tidak ingin masuk sekolah mengingat hal mengerikan lain yang mungkin saja bisa terjadi. Kemarin, seperti biasa dia selalu mendapat perlakuan yang menjengkelkan."Ella, tidak boleh cemberut begitu. Anak cantik harus tersenyum." Rere berujar dari balik kaca mobil.Ella hanya meliriknya sekilas lalu mengangguk. "I go to school, Aunty."Rere mengangguk, "I wiil pick you up later."Setelah Ella mengangguk barulah mobil Rere melesat menuju jalan ibu kota yang padat
"Aku berangkat dulu, ya." pamit Edward pada Rosie. Mengecup kening sang istri lalu beralih ke perut buncitnya."Sayang, jaga Ibu baik-baik, ya. Jangan nakal." Setelah itu, Edward juga meninggalkan kecupan untuk si jabang bayinya."Ayo, Ayah!" Rosie kembali terkekeh menyaksikan wajah lelah Edward."Aku sudah di tunggu Kak Eros di sekolah!" Samuel kembali bersuara, kali ini dengan menunjukkan jam tangan yang memiliki fungsi seperti ponsel, hadiah dari kakeknya."Iya, sebentar sayang.""Ya sudah, kamu berangkat. Hati-hati di jalan."Edward mengangguk, melemparkan senyum. "Baiklah."Lima menit kemudian, mobil yang di kendarai Edward melaju pergi, tersisa Samuel yang melambaikan tangannya pada Rosie sampai sang ibu hilang dari pandangannya.***David melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah setenga
"Kak Damian? Angel? Kalian saling kenal?" Rosie menatap sepasang pria dan wanita yang dia kenal di hadapannya. Edward sepertinya juga menatap heran keduanya dari pandangan mata.Damian yang semula berada berapa langkah di belakang Angel kini mulai berjalan hingga keduanya bersisihan."Ya, kami saling kenal. Kami pernah berpacaran semasa aku kuliah dulu." ungkap Damian secara gamblang dengan mudahnya. Sontak saja, itu memancing tiga pasang mata yang ada di sana menatap Damiam terkejut. Terlebih lagi Angel, rasanya bola mata gadis itu sebentar lagi akan melompat keluar jika tak sedetik kemudian Angel berkedip."Wah, kalian ternyata pernah berpacaran? Astaga, dunia ini benar-benar sempit." Edward berseru kalut, ikut mewakili Rosie yang juga terkejut mendengarnya.Damian hanya melemparkan tatapan tak berdosanya pada Angel seraya menampilkan senyuman terbaiknya. Sedan
"Kau masih menyukainya?"Angel membuang wajahnya tanpa sadar yang malah membuat Damian semakin yakin dengan persepsinya."Kau ada waktu sebentar di taman? Kebetulan, aku membawa makanan." Damian menunjukkan tentengan yang dia bawa, arah mata Angel mengikuti pergerakan tangan Damian.***"Kau sudah lama menjadi Dokter di sini?" Damian memulai pertanyaan seraya membuka bungkus roti yang dia bawa. Kebetulan, dia belum sarapan. Niatnya, dia ingin menjenguk Rosie dan Samuel, tapi saat dia ingin menjenguknya, dia malah menemukan sosok mantan kekasih yang sudah lama sekali tidak muncul di hadapannya. Sebuah kebetulan sekali.Ya, Damian dan Angel memang pernah memadu kasih bahkan Damian sudah mengenalkan Angel pada ayah dan ibunya. Kalian ingat saat hubungan Damian dan Rosie di tentang keras oleh kedua orang tua Damian? Bukan semata-mata hanya karena Rosie tidak memiliki Ayah dan latar bel
Pada awalnya, Rosie akan menduga bahwa Edward tidak bisa menerima Samuel sebagai anak pertamanya, tapi dugaannya salah ketika melihat senyuman Edward yang begitu tulus ketika kali pertamanya dia melihat Samuel. Hati Rosie juga ikut mencelos kala itu, merasa terharu dengan apa yang dia lihat.Edward yang merasa terusik dengan elusan di kepalanya kini perlahan mulai membuka matanya, dan langsung membeliak kaget ketika melihat wajah sang istri yang sudah kembali berseri."Kau sudah sadar? Bagaimana? Apa perutmu merasa sakit lagi?" Edward langsung mengecek keadaan Rosie, memutar tubuh sang istri, dia ingin memastikannya sendiri.Rosie tertawa geli menyadari sikap protektif Edward terhadapnya, "Aku tidak apa-apa, Edward. Aku baik-baik saja."Edward menaikkan satu alisnya, "Apa kau yakin?" Rosie tersenyum lalu mengangguk.Edward menghela napas lega, "Syukurlah
Rere berdehem dengan salah satu telunjuknya menyentuh dagu, terlihat berpikir. "Menurut Aunty, Si Bully ini seperti racun yang semakin lama akan semakin menggerogoti tubuh kita. Jadi, kita harus menghilangkan racun-racun itu. Jika, Ella merasa di rugikan maka Ella harus menjauh, Ella tidak boleh diam saja itu akan semakin membuat Ella meras lemah. Ella menjauh saja, tidak usah pedulikan apa yang dia bicarakan. Toh, mereka semakin lama akan bosan dan tidak akan mengganggu Ella lagi."Rupanya, ucapan Rere tadi belum berhasil mengundang senyuman di wajah Ella. "Tapi, aku tidak memiliki teman. Aku ingin memiliki teman seperti yang lain, Aunty."Rere mengelus punggung belakang Ella, "Ella tahu, 'kan? Kalau Ella belum lama ada di sini? Jadi, Ella memang harus beradaptasi dengan lingkungan Ella yang sekarang. Lingkungan Ella yang sekarang ini jauh berbeda dengan lingkungan Ella yang di Sydney. Aunty juga yakin pasti suatu saat Ella ak
"Kau sedang melihat apa?" tanya David yang setelah itu menegak minumannya."Aku sedang melihat anak-anak, Samuel dab Eros terlihat nampak dekat. Bahkan, Samuel sudah seperti adiknya sendiri. Apa kau tahu? Eros tidak seperti itu pada Zea dan Zelo, hanya pada Samuel dia seperti itu."David mengangkat kedua bahunya lalu bersandar pada senderan kursi di belakangnya seraya melebarkan kakinya, "Kurasa, Eros benar-benar sangat menyukai Samuel, dan Samuel juga sebaliknya. Dulu, Eros selalu bilang padaku, katanya seperti ini, aku juga ingin menjaga adikku tapi Zea sudah bersama dengan Zelo, selalu. Padahal, dia juga ingin seperti Zelo. Sedangkan, Zelo sepertinya juga bisa tanpanya. Mungkin, itulah yang menyababkan Eros sangat menyayangi Samuel."Alice mengangguk seraya tersenyum, "Kurasa begitu. Setidaknya, aku lega karena permasalahan harus berakhir seperti ini. Untung saja, takdir memang sudah di gariskan da
"Edward, kakiku lemas. Aku tidak bisa berjalan." lirih Rosie pelan tapi masih bisa di dengar oleh semua pasang telinga."Ibu! Ibu kenapa?" Samuel langsung menyeru ketika melihat wajah sang ibu yang pucat tapi masih bisa memaksakan senyum.Edward dengan siaga langsung menggendong tubuh Rosie, "Alice sebentar ya, tolong jaga anak-anak aku akan membawa Rosie ke ruangannya dan memanggil Dokter." Setelah itu, langkah Edward menghilang di balik pintu."Aku kasihan melihatnya." ujar Alice lirih. Sungguh, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia berada di posisi Rosie. Kandungannya yang mengalami flek dan anaknya yang habis terjatuh dari mainan bola dunia, benar-benar membuat Alice prustasi melihatnya."Tak apa, Rosie adalah gadis yang kuat." Alice mengangguk."Bibi Alice, Paman David. Ibu kenapa? Kenapa wajahnya sangat pucat sekali?" Samuel berkata dengan nada khawa