"Kau perlu belajar menahan emosimu," komentar Annette datar setelah cerita selesai. Gadis enam belas tahun itu kembali berkutat pada game di komputer.
"AISH!"
Lemparan bantal tepat sasaran mengenai belakang kepala Annette membuat gadis itu berbalik lagi sembari menggaruk rambut ikal warna coklat gelap kebanggaannya.
"Annette lebih baik kau diam saja dari pada membuat Rosie semakin panas." hardik Claire melirik tajam. Dan, mau tak mau Annette kembali diam, padahal isi otaknya sudah menyusun kalimat untuk menyemprot Rosie.
"Sudahlah, memang kebanyakan orang kaya seperti itu. Suka seenaknya dan memaksakan kehendak semua orang lain. Mentang-mentang berkuasa. Kamlu jangan terkejut, Rosie. Jika, mereka macam-macam padamu lagi, beri tahu aku. Biar Edward dan kekasihnya menjadi urusanku." Claire kompor mode on. Maka dari itu, Claire dan Rsoie itu cocok sampai ke DNA, cara berpikirnya persis sama.
"Claire, kau memang sahabat sejatiku. Aku menyayangimu." Dua gadis itu berpelukan erat, pipi mereka menempel seperti sandwich.
Di sisi lain, Annette memutar bola matanya sambil geleng kepala. Annette memang punya kepribadian l yang bertolak belakang bila dibandingkan dengan Rosie dan Claire. Annette lebih pendiam, cuek, dan walaupun ia yang paling muda, Annette adalah yang paling bijaksana dan dewasa di antara ketiga sahabat. Sedangkan Rosie dan Claire berbagi sel otak yang sama. Cerewet, kekanakan, egois, labil, kadang berpikiran pendek, intinya sifat yang umum di miliki anak remaja seusia mereka.
Claire dan Rosie berteman sejak sekolah menengah pertama, itu sebabnya mereka sangat dekat. Seperti soulmate. Sedangkan Annette baru dua tahun ini melengkapi kelompok itu.
Waktu itu tahun ajaran baru dimulai. Annette adalah murid program kelas akselerasi saat sekolah menengah pertama, makanya ia yangnusianya lebih muda setahun bisa satu tingkat dengan Rosie dan Claire. Namun karena Annette tidak punya teman di SMA Nusa, karena ia pindahan dari kota Bali, ada beberapa murid nakal yang merundungnya. Annette juga berasal dari keluarga yang cukup berada, jadilah dia sasaran sempurna para pem-bully.
Untung Rosie dan Claire melihat ketika Annette dikeroyok lima orang kakak kelas di belakang gedung sekolah. Dua gadis itu berteriak minta tolong dan mengundang guru yang sedang berjaga. Sejak saat itu mereka jadi dekat dan akrab seperti sekarang.
"Agar kau tidak kesal lagi bagaimana kalau kita makan lalu pergi menonton di tempat biasa?"
Claire menaik turunkan alisnya sambil pasang cengiran konyol. Dia tau ekspresi itu selalu bisa menaikkan mood Rosie.
"Aku mau, tapi aku juga bosan. Minggu kemarin kita sudah pergi ke sana. Cari tempat lain saja." protes gadis itu dengan bibir nge-pout.
Tempat yang Claire maksud yakni Mall Of Indonesia yang letaknya memang dekat dengan apartemen Bambam. Mereka hampir selalu datang ke sana kalau sedang ada waktu luang atau bosan. Minggu kemarin juga, Rosie dan Claire sarapan di sana sebelum berangkat kerja bersama.
"Minggu kemarin kapan?" tanya Annette penasaran. Kenapa dua gadis itu main tanpa mengajaknya?
"Sabtu kemarin." jawab Youngjae keceplosan. Lupa, kalau harusnya Annette tidak tahu acara tujuh hari lalu.
"Sabtu? Bukannya kau ada pertemuan keluarga sabtu kemarin? Claire juga ikut audisi, kan?" Annette makin penasaran bercampur curiga. Gadis jangkung itu menggeser kursi beroda mendekat pada kasur, memicingkan mata sipitnya untuk menelisik dua gadis lebih jauh.
Rosie dan Claire membeku sejenak. "M-memangnya tidak boleh kita makan bersama lebih dulu sebelum aku ke tempat audisi dan Rosie ke pertemuan keluarga? Annette, kau ini tidak percaya sekali? I-iya, kan, Rosie?" Claire menyilangkan telunjuk dengan jari tengahnya di balik selimut.
"Betul. Atau kau cemburu karena tidak diajak?"' sahut Rosie masih gemetar, gugup.
"Maaf, Annette,' batin dua gadis itu bersamaan.
Mahluk paling tinggi di kamar itu kembali ke tatapannya yang biasa sembari angkat bahu, "Ah, tidak. Aku kan hanya bertanya. Lagi pula tingkah kalian itu mencurigakan."
"Ya sudah kita berangkat sekarang saja, masih siang." Claire bangkit dari kasur, menarik Rosie juga untuk beranjak.
***"Tenang saja, Edward. Aku tidak apa-apa." Ujar Alice untuk yang ketiga kali.Edward masih memancarkan kecemasan sambil memandangi perban di lengan kekasihnya. Meskipun luka Alice sudah diobati, rasa bersalah karena insiden tadi
siang masih menghantui Edward. Biarbagaimanapun Rosie adalah calon adik tiri Edward, memang belum resmi, dan ia merasa harus bertanggung jawab."Tetap saja, Alice. Aku takut lukanya akan berbekas." Keluh pemuda berbahu lebar yang kini berjalan dengan bahu menunduk.
"Dokter bilang karena segera diobati tidak akan ada bekasnya, kok. Kau jangan khawatir. Ini juga bukan salahmu." Alice tersenyum manis seraya mengusak rambut Edward untuk meyakinkan pemuda itu.
Mereka masih berjalan pelan keluar dari klinik tempat mengobati luka Alice.
"Aku yang salah. Harusnya aku tidak memaksa Rosie. Mungkin, ia masih kurang nyaman denganku, kan kami baru bertemu. Lain kali, aku akan lebih memahami perasaanya. Jangan khawatir." sambung Alice lagi karena melihat Edward masih lesu.
Edward tersenyum penuh syukur karena memiliki kekasih yang pengertian seperti Alice. Gadis itu seperti malaikat yang datang untuk menjaganya. Alice hadir di hidupnya membawa cahaya, menerangi sekaligus menghangatkan hatinya yang dingin dan gelap. Edward sungguh berterimakasih karena Alice sudi menerima lelaki serba berkekurangan seperti dirinya menjadi pendamping.
Alice merasakan jemari Edward terpaut dengan miliknya. Ia tersenyum malu kala Edward menariknya mendekat untuk menyandarkan kepalanya di sisi kepala Alice. Perbedaan tinggi mereka memang tidak terlalu jauh.
Sang pemuda dengan manik hitam kelam berpaling, menatap Alice ketika perempuan itu juga menoleh padanya. Ia mencium punggung tangan Alice, menghasilkan kikikan kecil dari gadis itu.
"Terima kasih, Alice. Kau terlalu baik." desahnya sambil tersenyum.
Alice menggeleng pelan,"It was nothing, Edward. All I did because I loved you."
"Aku mencintaimu. Sangat."
"Tapi kenapa kau masih cemas?" begitulah perempuan. Bisa membaca perasaan orang yang dicintai dengan mudah. Bahkan ketika orang yang bersangkutan tidak menyadari apa yang dia rasa, insting perempuan selalu bisa menemukan kebenaran.
Kali ini pun Alice tepat. Edward masih memikirkan, meski ia berusaha melupakannya, Rosie. Gadis itu langsung pergi begitu saja setelah mengganti gaun dengan baju miliknya. Tanpa kata keluar dari butik dan menghilang. Edward bingung kemana harus mencari bocah pemarah itu.
Saat mereka berangkat Edwardlah yang menjemputnya, maka ia pula yang harus mengantarnya pulang dengan selamat. Pesan dari Bibi Eliza tadi siang juga membayangi benaknya. Ia merasa tidak sopan jika sampai Bibi Eliza tahu Rosie pulang sendiri. Ia tidak mau timbul ketidaknyamanan di keluarganya lantaran insiden ini. Ia benci menciptakan masalah untuk Ayah yang sudah begitu baik membesarkannya.
"Rosie?" tebak Alice ketika Edward hanya diam membisu.
Si gadis berambut panjang melihat sang kekasih mengangguk pelan, matanya masihbmenunduk takut, entah takut pada apa.
"Sekarang kau pergi cari Rosie." Edward lantas langsung mendongak untuk menatap Alice tidak percaya. Benarkah apa yang baru saja pendengarannya tangkap?
"Kau harus cari Rosie dan antar dia pulang. Aku akan pulang naik taksi dari sini." tutur Alice mulai melangkah ke depan untuk mencari taksi.
"Terima kasih, Alice."
Edward menghentikan langkah Alice, memeluk gadis bertubuh langsing itu sebentar, lalu berlari kecil menuju parkiran.
Si gadis termenung. Memandang nanar pada satu-satunya orang yang ia cintai seumur hidupnya. Memperhatikan tubuh tegap itu menjauh pergi, mengecil, semakin jauh, dan menghilang di antara mobil yang berbaris rapih.
"Sekarang kau pergi cari Rosie." Edward lantas langsung mendongak untuk menatap Alice tidak percaya. Benarkahbapa yang baru saja pendengarannya tangkap?"Kau harus cari Rosie dan antar dia pulang. Aku akan pulang naik taksi dari sini." tutur Alice mulai melangkah ke depan untuk mencari taksi."Terima kasih, Alice."Edward menghentikan langkah Alice, memeluk gadis bertubuh langsing itu sebentar, lalu berlari kecil menuju parkiran.Si gadis termenung. Memandang nanar pada satu-satunya orang yang ia cintai seumur hidupnya. Memperhatikan tubuh tegap itu menjauh pergi, mengecil, semakin jauh, dan menghilang di antara mobil yang berbarisrapih.***Mereka baru selesai nonton film. Sekarang sedang berkeliaran di mall untuk mencari tempat makan. Annette bilang mau makan pasta, tapi Rosie dan Claire kompak ingin pizza. Di sana, mereka tanpa sengajabbertemu dengan David, teman satu kelas m
"Perutmu berkata sebaliknya." Edward kembali fokus mengemudi, tapi bukan ke apartemen Rosie melainkan ke restoran favoritnya yang kebetulan jaraknya dekat.Rosie membuang muka. Menatap ke luar jendelasambil merutuki perut sialannya yang tidak bisa diajak kompromi. Mukanya merah padam dan dia bersyukur Edward tidak bisa melihatnya.Tentu saja salah besar. Karena Edward bisa melihat pantulan wajah Rosie dari kaca pintu mobil."Manis." Pikir Edward dalam hati. Rosie yang tidak tahu menahu aksi sang calon kakak tirinya masih saja menampakkan wajah salah tingkah dengan pipi yang merah padam. Terkadang, ia mengetuk kepalanya seraya menggerutu. Dan, itu semakin terlihat manis di mata Edward.***Mereka sudah sampai di restoran khas perancis favorit Edward. Sebenarnya favorit Alice juga. Malah, Alice sendiri yang memberitahu Edward restoran ini lebih dulu. Tapi, hal itu kini tidak terpikir oleh Edward. Di ben
"Ah, aku minta maaf untuk kejadian waktu itu. Aku benar-benar tidak bermaksud..." mata hazel bening itu memancarkan rasa bersalah. Tentu saja itu hanyaakting.Alice meraih tangan calon adik iparnya seraya berkata, "Tidak perlu minta maaf, Rosie. Aku tahu kamu tidak sengaja. Aku yang harusnya minta maaf karena sudah memaksamu, kau pasti merasa tidaknyaman."Kedua gadis itu saling tersenyum. Tapi dalam hati Youngjae membatin, 'Berhenti bersikap sok baik, Alice. Kau membuatku makin muak!'Rosie membenci Alice meski mereka baru dua kali bertemu. Baiklah, mungkin bukan Alice yang dia benci, melainkan kepribadiannya. Terlalu baik dan ramah pada semua orang, lugu, langsung percaya pada orang baru, bersikap layaknya dunia ini adalah surga. Sikap Alice mengingtkannya pada seseorang yangsangat ia benci. Orang yang harusnya dia singkirkan sejak awal.***Rosie membuka matanya. Masih belum terbiasa dengan ranja
Sudah jam sepuluh malam. Ayah dan Ibunya pasti sudah tidur karena seharian tadi banyak kerabat dari jauh yang datang memberi selamat. Seharian rumah penuh dengan orang yang tidak dia kenal tapi untungnya mereka tahu diri dan pergi tiga jam lalu.Rosie menenteng heels-nya, berjalan membungkuk seperti maling menuju dapur. Saat baru dua hari pindah ke sini, dia menemukan pintu rahasia di halaman belakang dekat dapur yang tidak pernah terkunci. Pintu itu sudah tua dan karatan. Tersembunyi di balik tanaman tinggi menjulang. Jalan rahasia keluar masuk yang sempurna.Saat ia masuk ke area dapur dengan percaya diri karena yakin seribu persen tidak akan ada mahluk lain berkeliaran jam segini, ia malah melihat Edward. Pemuda itu memakai kaos longgar hitam, sedang menuang air putih ke gelas."Rosie?"Sejenak gadis itu membeku. Terkejut."Edward!"' sahutnya tersenyum kikuk."Apa yang kau lakuka
"Ros, berapa lama orang tuamu pergi bulan madu?" Claire berguling ke arah Rosie untukmenatap langsung gadis itu."Seminggu. Ada apa?""Berarti satu minggu ini kau hanya berdua dengan kakakmu itu dong?" Claire menampilkan wajah mesum yang membuat Rosie ingin mencekik gadis itu."Iya. Terus?" Rosie mengangkat alis."Tidak, hanya bicara. Kakak tirimu sangat tampan, awas suka.""Tidak akan pernah."Nampaknya Claire belum mengerti juga bahwaRosie sangat, amat membenci Edward Quin. Rasa bencinya hingga ke sumsum tulang. Segala sesuatu yang ada pada pemuda itu ia benci. Ketampanannya yang selangit juga tidak bisa menawar rasa benci Rosie.Pokoknya Rosie sangat benci pemuda yang bernama Edward Quin.***Kedua sahabatnya pulang sekitar dua jam kemudian. Rosie baru kembali dari ruang tamu setelah mengantar mereka ke pintu depan. Suasana rum
"Terserah kau mau bicara apa. Aku melakukan ini juga bukan atas keinginanku. Yang jelas kau akan menuruti peraturan ini mulai sekarang. Coba saja melawan. Kakak akan memberi pelajaran untuk adiknya ini."Rosie mendengus murka. Deru nafas cepatmiliknya bisa Edward rasakan menerpa kulit wajahnya. Posisi mereka teramat dekat tetapi tidak ada yang mau mengalah untuk memalingkan muka. Jika, kau berpaling itu artinya kau takut."Kalau sudah mengerti, Kakak pergi dulu ya adikku yang manis." Edward mengulangi adeganyang Rosie lakukan beberapa hari lalu. Persis sama. Dia menepuk-nepuk pucuk kepala Rosie seperti gadis yang tingginya hanya sebahunya itu adalah anjing perliharaan lalu keluar dari ruang keluarga.***Tidak ada pesta? Tidak ada keluar sampai malam? Harus memberi kabar? Cih! Rosie pastisudah sinting kalau mengikuti maunya Edward. Dia pikir Rosie akan gentar dengan gertak sambal murahan begitu?
"Apa yang kau lakukan?!" pekik gadis itu murka setelah dia mampu bangun dan duduk. Manik hazel miliknya bisa memancarkan laser untuk membor kepala Edwardhingga bolong."Menunjukkan padamu kalau aku tidak main-main.""Sial!" umpat Rosie sembari berusaha bangkit.Tapi, Edward menahannya. Pemuda itu memegangikedua tangan Rosie di atas kepalanya, tubuhn besarnya sendiri melayang di atas gadis itu. Rosie benci tempat ini. Baunya seperti Edward Quin. Aroma mint bercampur dengan, entahlah sesuatu yang manis."Kau akan tidur di sini malam ini. Dan renungkan kesalahanmu supaya mulai besokkau bisa menjadi gadis baik,"Edward selesai bicara, tapi penganggannya di tangan Rosie masih mengungci erat. Dia menunggu Rosie berhenti menggerak-gerakkan tangannya dan menggeliat tak sabar di bawahnya."Kenapa aku harus dikurung di sini?" Rosie masih saja mencari-cari alasan, tak t
Ada sesuatu yang mengganjal. Alice menarik kain hitam dari balik selimut. Sebuahmini dress yang sangat seksi.Gemuruh di hatinya kembali lagi. Lebih dahsyat dari ketika dia menyaksikan Rosie memakai kaos Edward. Pikiran negatif tentang Rosie dan Edward terbentuk di benaknya, membuatnya sedikit marah.Alice bangkit dari kasur, berjalan menghampiri Edward yang sedang mengacak-acak laci meja."Edward, apa ini?" dia mengangkat dress itu.Edward berhenti mencari-cari dan berbalik. Pupil matanya membesar melihat benda yang ada di genggaman kekasihnya. Alice bisa melihat itu, pria itu sedang kaget.Pikiran di benak Alice makin liar. Gadis itu mencoba tetap tenang meski rasanya ingin berteriak."I-tu jangan salah paham, Alice. Semalam terjadisesuatu yang mengharuskan Rosie tidur di sini. Tapi aku tidur di ruang keluarga kok. Kami t-tidak tidur sekamar," Edward berkata deng
"Wah, tidak jauh dari rumah. Kapan-kapan main ya ke rumah." Lidya terkekeh di akhir kalimatnya. Angel meringis dan Damian tersenyum kecil."Iya, Tante.""Siapa tahu, bisa menjadi menantu. Belum punya pacar, 'kan?"Angel sontak menatap Lidya dengan wajah terkejut namun setelah itu kembali melunak, terkekeh lalu menunduk. Kedua tangannya terkepal hingga jari kukunya kian memutih.***"Ella."Ella menoleh saat Samuel sudah berada di hadapannya dengan sekotak susu pisang."Ini, untukmu." Samuel menyodorkannya dan Ella dengan ragu mengambilnya."Terima kasih." cicit Ella pelan.Samuel tidak menjawab, anak itu langsung mengambil posisi di samping Ella seraya melanjutkan meminum susu pisangnya. Kini, sudah lima belas menit berlalu sejak bel istirahat berbunyi. Ella dan Samuel sedang duduk di santai di bangku taman seray
"Angel, kau apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada waktu luang? Bisa kita bicara sebentar?"Angel yang tidak tahu ingin berkata apa hanya mampu tersenyum kecil dan pasrah ketika tangannya di tarik begitu saja oleh Ibu Damian. Diam-diam, Damian merasakan tatapan tajam Angel yang siap membunuhnya.***Ella menghela napas lelah selepas turun dari mobil Rere. Padahal, niatnya hari ini dia tidak ingin masuk sekolah mengingat hal mengerikan lain yang mungkin saja bisa terjadi. Kemarin, seperti biasa dia selalu mendapat perlakuan yang menjengkelkan."Ella, tidak boleh cemberut begitu. Anak cantik harus tersenyum." Rere berujar dari balik kaca mobil.Ella hanya meliriknya sekilas lalu mengangguk. "I go to school, Aunty."Rere mengangguk, "I wiil pick you up later."Setelah Ella mengangguk barulah mobil Rere melesat menuju jalan ibu kota yang padat
"Aku berangkat dulu, ya." pamit Edward pada Rosie. Mengecup kening sang istri lalu beralih ke perut buncitnya."Sayang, jaga Ibu baik-baik, ya. Jangan nakal." Setelah itu, Edward juga meninggalkan kecupan untuk si jabang bayinya."Ayo, Ayah!" Rosie kembali terkekeh menyaksikan wajah lelah Edward."Aku sudah di tunggu Kak Eros di sekolah!" Samuel kembali bersuara, kali ini dengan menunjukkan jam tangan yang memiliki fungsi seperti ponsel, hadiah dari kakeknya."Iya, sebentar sayang.""Ya sudah, kamu berangkat. Hati-hati di jalan."Edward mengangguk, melemparkan senyum. "Baiklah."Lima menit kemudian, mobil yang di kendarai Edward melaju pergi, tersisa Samuel yang melambaikan tangannya pada Rosie sampai sang ibu hilang dari pandangannya.***David melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah setenga
"Kak Damian? Angel? Kalian saling kenal?" Rosie menatap sepasang pria dan wanita yang dia kenal di hadapannya. Edward sepertinya juga menatap heran keduanya dari pandangan mata.Damian yang semula berada berapa langkah di belakang Angel kini mulai berjalan hingga keduanya bersisihan."Ya, kami saling kenal. Kami pernah berpacaran semasa aku kuliah dulu." ungkap Damian secara gamblang dengan mudahnya. Sontak saja, itu memancing tiga pasang mata yang ada di sana menatap Damiam terkejut. Terlebih lagi Angel, rasanya bola mata gadis itu sebentar lagi akan melompat keluar jika tak sedetik kemudian Angel berkedip."Wah, kalian ternyata pernah berpacaran? Astaga, dunia ini benar-benar sempit." Edward berseru kalut, ikut mewakili Rosie yang juga terkejut mendengarnya.Damian hanya melemparkan tatapan tak berdosanya pada Angel seraya menampilkan senyuman terbaiknya. Sedan
"Kau masih menyukainya?"Angel membuang wajahnya tanpa sadar yang malah membuat Damian semakin yakin dengan persepsinya."Kau ada waktu sebentar di taman? Kebetulan, aku membawa makanan." Damian menunjukkan tentengan yang dia bawa, arah mata Angel mengikuti pergerakan tangan Damian.***"Kau sudah lama menjadi Dokter di sini?" Damian memulai pertanyaan seraya membuka bungkus roti yang dia bawa. Kebetulan, dia belum sarapan. Niatnya, dia ingin menjenguk Rosie dan Samuel, tapi saat dia ingin menjenguknya, dia malah menemukan sosok mantan kekasih yang sudah lama sekali tidak muncul di hadapannya. Sebuah kebetulan sekali.Ya, Damian dan Angel memang pernah memadu kasih bahkan Damian sudah mengenalkan Angel pada ayah dan ibunya. Kalian ingat saat hubungan Damian dan Rosie di tentang keras oleh kedua orang tua Damian? Bukan semata-mata hanya karena Rosie tidak memiliki Ayah dan latar bel
Pada awalnya, Rosie akan menduga bahwa Edward tidak bisa menerima Samuel sebagai anak pertamanya, tapi dugaannya salah ketika melihat senyuman Edward yang begitu tulus ketika kali pertamanya dia melihat Samuel. Hati Rosie juga ikut mencelos kala itu, merasa terharu dengan apa yang dia lihat.Edward yang merasa terusik dengan elusan di kepalanya kini perlahan mulai membuka matanya, dan langsung membeliak kaget ketika melihat wajah sang istri yang sudah kembali berseri."Kau sudah sadar? Bagaimana? Apa perutmu merasa sakit lagi?" Edward langsung mengecek keadaan Rosie, memutar tubuh sang istri, dia ingin memastikannya sendiri.Rosie tertawa geli menyadari sikap protektif Edward terhadapnya, "Aku tidak apa-apa, Edward. Aku baik-baik saja."Edward menaikkan satu alisnya, "Apa kau yakin?" Rosie tersenyum lalu mengangguk.Edward menghela napas lega, "Syukurlah
Rere berdehem dengan salah satu telunjuknya menyentuh dagu, terlihat berpikir. "Menurut Aunty, Si Bully ini seperti racun yang semakin lama akan semakin menggerogoti tubuh kita. Jadi, kita harus menghilangkan racun-racun itu. Jika, Ella merasa di rugikan maka Ella harus menjauh, Ella tidak boleh diam saja itu akan semakin membuat Ella meras lemah. Ella menjauh saja, tidak usah pedulikan apa yang dia bicarakan. Toh, mereka semakin lama akan bosan dan tidak akan mengganggu Ella lagi."Rupanya, ucapan Rere tadi belum berhasil mengundang senyuman di wajah Ella. "Tapi, aku tidak memiliki teman. Aku ingin memiliki teman seperti yang lain, Aunty."Rere mengelus punggung belakang Ella, "Ella tahu, 'kan? Kalau Ella belum lama ada di sini? Jadi, Ella memang harus beradaptasi dengan lingkungan Ella yang sekarang. Lingkungan Ella yang sekarang ini jauh berbeda dengan lingkungan Ella yang di Sydney. Aunty juga yakin pasti suatu saat Ella ak
"Kau sedang melihat apa?" tanya David yang setelah itu menegak minumannya."Aku sedang melihat anak-anak, Samuel dab Eros terlihat nampak dekat. Bahkan, Samuel sudah seperti adiknya sendiri. Apa kau tahu? Eros tidak seperti itu pada Zea dan Zelo, hanya pada Samuel dia seperti itu."David mengangkat kedua bahunya lalu bersandar pada senderan kursi di belakangnya seraya melebarkan kakinya, "Kurasa, Eros benar-benar sangat menyukai Samuel, dan Samuel juga sebaliknya. Dulu, Eros selalu bilang padaku, katanya seperti ini, aku juga ingin menjaga adikku tapi Zea sudah bersama dengan Zelo, selalu. Padahal, dia juga ingin seperti Zelo. Sedangkan, Zelo sepertinya juga bisa tanpanya. Mungkin, itulah yang menyababkan Eros sangat menyayangi Samuel."Alice mengangguk seraya tersenyum, "Kurasa begitu. Setidaknya, aku lega karena permasalahan harus berakhir seperti ini. Untung saja, takdir memang sudah di gariskan da
"Edward, kakiku lemas. Aku tidak bisa berjalan." lirih Rosie pelan tapi masih bisa di dengar oleh semua pasang telinga."Ibu! Ibu kenapa?" Samuel langsung menyeru ketika melihat wajah sang ibu yang pucat tapi masih bisa memaksakan senyum.Edward dengan siaga langsung menggendong tubuh Rosie, "Alice sebentar ya, tolong jaga anak-anak aku akan membawa Rosie ke ruangannya dan memanggil Dokter." Setelah itu, langkah Edward menghilang di balik pintu."Aku kasihan melihatnya." ujar Alice lirih. Sungguh, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia berada di posisi Rosie. Kandungannya yang mengalami flek dan anaknya yang habis terjatuh dari mainan bola dunia, benar-benar membuat Alice prustasi melihatnya."Tak apa, Rosie adalah gadis yang kuat." Alice mengangguk."Bibi Alice, Paman David. Ibu kenapa? Kenapa wajahnya sangat pucat sekali?" Samuel berkata dengan nada khawa