"Sekarang kau pergi cari Rosie." Edward lantas langsung mendongak untuk menatap Alice tidak percaya. Benarkahbapa yang baru saja pendengarannya tangkap?
"Kau harus cari Rosie dan antar dia pulang. Aku akan pulang naik taksi dari sini." tutur Alice mulai melangkah ke depan untuk mencari taksi.
"Terima kasih, Alice."
Edward menghentikan langkah Alice, memeluk gadis bertubuh langsing itu sebentar, lalu berlari kecil menuju parkiran.
Si gadis termenung. Memandang nanar pada satu-satunya orang yang ia cintai seumur hidupnya. Memperhatikan tubuh tegap itu menjauh pergi, mengecil, semakin jauh, dan menghilang di antara mobil yang berbaris rapih.
***Mereka baru selesai nonton film. Sekarang sedang berkeliaran di mall untuk mencari tempat makan. Annette bilang mau makan pasta, tapi Rosie dan Claire kompak ingin pizza. Di sana, mereka tanpa sengajabbertemu dengan David, teman satu kelas mereka yang kebetulan tengah mencari makan.''Kenapa sih aku selalu harus menuruti kemauan kalian?" protes Annette yang berjalan di belakang Rosie dan Claire. Si jangkung menendang-nendang udara kosong di depannya karena kesal tidak bisa makan pasta.
"Kita kan selalu mengikuti suara terbanyak, Annette." Sahut Rosie menoleh sekilas untuk menyunggingkan seringai jahil pada si paling muda.
"Siapa suruh seleramu selalu beda dengan kami? Lagian pasta dan pizza kan tidak beda jauh." sahut Claire tanpa menoleh. David yang mendengar itu hanya tertawa kecil. Tiga sejoli memang tidak pernah berubah walaupun ada di mana-mana, tingkahnya persis seperti di sekolah.
Annette mengerucutkan bibirnya. Tidak pernah ia bisa menang melawan dua penyihir ini. Kadang ia menyalahkan diri sendiri karena berteman dengan gadis yang cerewet dan super menyebalkan seperti Rosie dan Claire. Cuma kalau dipikir-pikir mungkin ini sudah takdir. Dirinya hanya bisa menerima dan mengelus dada. Sabar.
Karena sejak tadi David berjalan menunduk seraya memainkan ponsel, David tidak tahu bahwa Rosie berhenti sehingga ia tak sengaja menabrak gadis itu.
David mendongak dan menemukan seorang pemuda berdiri tepat di depan Rosie. Pemuda itu menatap Rosie dengan ekpsresi tenang namun garang.
"Ayo pulang." kata si pemuda dingin.
"Aku tidak mau! Siapa kau memerintahku?!" Pemuda itu menarik lengan Rosie untuk mengikutinya sambil dengan tenang bicara.
"Jangan keras kepala, Rosie. Ayo pulang."
Rosie tentu saja melawan. Ditambah Claire juga ikut membantu melepaskan Rosie dari pria itu.
"Lepaskan!"
"Eh, siapa kau main membawa anak orang sembarangan?! Kau mau bawa Rosie ke mana? Jangan macam-macam kau." Tantang Claire tidak sadar kalau tubuhnya hanya sehelai tisu dibanding tubuh tegap berotot pria itu.
"Aku Edward Quin. Kakaknya Rosie. Dia harus pulang sekarang. Ibunya pasti khawatir."
Setelah mendengar kalimat itu sontak Claire berhenti melawan. Agaknya bingung dengan apa yang harus di lakukan pada keadaan saat ini.
"Lepaskan aku!" Rosie masih berusaha
dengan putus asa melepaskan tanganEdward dari pergelangan tangannya."Kau harus pulang." Perintah Edward tak mau menyerah.
Namun, tarikan Edward harus dipaksa berhenti hingga membuat pemuda itu terdiam. Mungkin juga terkejut. Alasannya adalah David sudah ada di antara Rosie dan Edward, tangannya mencengkram tangan Edward untuk melepaskan Rosie.
"Lepaskan." David menatap Edward tajam. Baik Rosie dan Claire bisa merasakan ketegangan yang menyelimuti dua pemuda itu.
David yang lebih tinggi beberapa senti dari Edward tidak menemukan kesulitan untuk melayani adu tatap yang Edward mulai. Tidak ada yang mau mengalah. Pegangan David makin kencang seiring
mengencangnya juga cengkraman Edward pada Rosie."David, cukup. Lepaskan. Aku akan pulang sekarang." Desahan Rosie akhirnya mengalihkan tatapan dingin David dari Edward. Dia memandang Rosie agak tidak yakin dengan keputusan gadis itu.
"Jangan khawatir. Aku baik-baik saja. Lagian sudah sore, aku harus pulang." Sambung Rosie karena David masih belum melepas Edward.
Akhirnya David mengendurkan cengkramannya sampai tangan Edward terlepas sempurna. Seulas senyum simpul yang tulus tersungging di bibir Rosie untuk kedua sahabatnya.
"Aku pulang duluan, Claire, Annette, dan David."
Rosie mulai melangkah menjauh dari tiga sosok manusia tersebut. Edward dengan tenang dan langkah perlahan memimpin gadis itu keluar dari area mall. Telinganya ia pasang baik-baik untuk mendengarkan kalimat perpisahan antara sahabat.
"Telpon aku saat kau tiba di rumah." ujar David setegah berteriak lantaran jarak Rosie sudah cukup Jauh. Gadis itu hanya berbalik dan tersenyum kecil sebagai jabawan.
Kalau Claire dan Annette tidak bisa berkata-kata akibat insiden mengejutkan yang barusan terjadi.
''Gawat. Kakak tirinya Rosie sangat tampan." desah Claire kala Rosie sudah menghilang dari pandangan.
***Mereka dalam perjalanan pulang setelah kejadian menegangkan di Mall. Edward benci dirinya sendiri karena telah membuat masalah makin runyam. Rosie memang berhasil dia temukan tapi Edward yakin gadis itu makin murka padanya.Dari mulutnya yang cemberut sampai mata yang menatap Edward sinis, semua tanda jelas menyatakan Rosie membencinya. Edward mendesah pelan. Menyesali perbuatannya barusan. Biasanya ia paling pandai mengatur emosi, tapi sudah kukatakan, kan? Rosie Wilkins adalah sebuah pengecualian.
"Maafkan aku." ucap Edward tanpa menoleh. Dari nada bicaranya harusnya cukup menggambarkan betapa menyesalnya ia dan tulus permintaan maaf ini. Namun, Rosie bukanlah si gadis pemarah tanpa alasan.
Tak ada tanggapan. Sejak tadi masuk ke mobil Rosie memperlakukan Edward seperti pemuda itu transparan. Si gadis cantikbmendecak kesal dan makin membuang muka.
"Rosie, aku benar-benar menyesal dan minta maaf atas kejadian di butik dan di Mall. Aku tidak bermaksud memojokkanmu. Semua terjadi di luar kendaliku-baiklah sebenarnya aku bisa mengendalikannya, tapi aku tidak tau kenapa hari ini emosiku sulit terkendali. Maafkan aku, Rosie."
Edward akhirnya mecoba menatap gadis yang sama sekali tidak menghiraukannya. Berusaha keras membagi konsentrasi antara jalanan dan sosok yang membelakanginya. Tidak ada jawaban.
"Baiklah. Sebagai permohonan maafku aku akan mentraktirmu makan malam. Kau pasti belum makan, kan?"
Rosie berpaling. Melemparkan sorot tajam pada orang yang ia benci seraya berkata, "Aku bukan gelandangan dan aku tidak lapar!"
Hanya sepersekian detik setelah mulutnya terkatup menyelesaikan kalimat sinis tersebut, perut kecilnya meraung-raung. Itu menghasilkan gelak tawa dari lawannya.
"Perutmu berkata sebaliknya." Edward kembali fokus mengemudi, tapi bukan ke apartemen Rosie melainkan ke restoran favoritnya yang kebetulan jaraknya dekat.
Rosie membuang muka. Menatap ke luar jendela sambil merutuki perut sialannya yang tidak bisa diajak kompromi. Mukanya merah padam dan dia bersyukur Edward tidak bisa melihatnya.
Tentu saja salah besar. Karena Jaebeom bisa melihat pantulan wajah Rosie dari kaca pintu mobil.
"Manis." Pikir Edward dalam hati. Rosie yang tidak tahu menahu aksi sang calon kakak tirinya masih saja menampakkan wajah salah tingkah dengan pipi yang merah padam. Terkadang, ia mengetuk kepalanya seraya menggerutu. Dan, itu semakin terlihat manis di mata Edward.
"Perutmu berkata sebaliknya." Edward kembali fokus mengemudi, tapi bukan ke apartemen Rosie melainkan ke restoran favoritnya yang kebetulan jaraknya dekat.Rosie membuang muka. Menatap ke luar jendelasambil merutuki perut sialannya yang tidak bisa diajak kompromi. Mukanya merah padam dan dia bersyukur Edward tidak bisa melihatnya.Tentu saja salah besar. Karena Edward bisa melihat pantulan wajah Rosie dari kaca pintu mobil."Manis." Pikir Edward dalam hati. Rosie yang tidak tahu menahu aksi sang calon kakak tirinya masih saja menampakkan wajah salah tingkah dengan pipi yang merah padam. Terkadang, ia mengetuk kepalanya seraya menggerutu. Dan, itu semakin terlihat manis di mata Edward.***Mereka sudah sampai di restoran khas perancis favorit Edward. Sebenarnya favorit Alice juga. Malah, Alice sendiri yang memberitahu Edward restoran ini lebih dulu. Tapi, hal itu kini tidak terpikir oleh Edward. Di ben
"Ah, aku minta maaf untuk kejadian waktu itu. Aku benar-benar tidak bermaksud..." mata hazel bening itu memancarkan rasa bersalah. Tentu saja itu hanyaakting.Alice meraih tangan calon adik iparnya seraya berkata, "Tidak perlu minta maaf, Rosie. Aku tahu kamu tidak sengaja. Aku yang harusnya minta maaf karena sudah memaksamu, kau pasti merasa tidaknyaman."Kedua gadis itu saling tersenyum. Tapi dalam hati Youngjae membatin, 'Berhenti bersikap sok baik, Alice. Kau membuatku makin muak!'Rosie membenci Alice meski mereka baru dua kali bertemu. Baiklah, mungkin bukan Alice yang dia benci, melainkan kepribadiannya. Terlalu baik dan ramah pada semua orang, lugu, langsung percaya pada orang baru, bersikap layaknya dunia ini adalah surga. Sikap Alice mengingtkannya pada seseorang yangsangat ia benci. Orang yang harusnya dia singkirkan sejak awal.***Rosie membuka matanya. Masih belum terbiasa dengan ranja
Sudah jam sepuluh malam. Ayah dan Ibunya pasti sudah tidur karena seharian tadi banyak kerabat dari jauh yang datang memberi selamat. Seharian rumah penuh dengan orang yang tidak dia kenal tapi untungnya mereka tahu diri dan pergi tiga jam lalu.Rosie menenteng heels-nya, berjalan membungkuk seperti maling menuju dapur. Saat baru dua hari pindah ke sini, dia menemukan pintu rahasia di halaman belakang dekat dapur yang tidak pernah terkunci. Pintu itu sudah tua dan karatan. Tersembunyi di balik tanaman tinggi menjulang. Jalan rahasia keluar masuk yang sempurna.Saat ia masuk ke area dapur dengan percaya diri karena yakin seribu persen tidak akan ada mahluk lain berkeliaran jam segini, ia malah melihat Edward. Pemuda itu memakai kaos longgar hitam, sedang menuang air putih ke gelas."Rosie?"Sejenak gadis itu membeku. Terkejut."Edward!"' sahutnya tersenyum kikuk."Apa yang kau lakuka
"Ros, berapa lama orang tuamu pergi bulan madu?" Claire berguling ke arah Rosie untukmenatap langsung gadis itu."Seminggu. Ada apa?""Berarti satu minggu ini kau hanya berdua dengan kakakmu itu dong?" Claire menampilkan wajah mesum yang membuat Rosie ingin mencekik gadis itu."Iya. Terus?" Rosie mengangkat alis."Tidak, hanya bicara. Kakak tirimu sangat tampan, awas suka.""Tidak akan pernah."Nampaknya Claire belum mengerti juga bahwaRosie sangat, amat membenci Edward Quin. Rasa bencinya hingga ke sumsum tulang. Segala sesuatu yang ada pada pemuda itu ia benci. Ketampanannya yang selangit juga tidak bisa menawar rasa benci Rosie.Pokoknya Rosie sangat benci pemuda yang bernama Edward Quin.***Kedua sahabatnya pulang sekitar dua jam kemudian. Rosie baru kembali dari ruang tamu setelah mengantar mereka ke pintu depan. Suasana rum
"Terserah kau mau bicara apa. Aku melakukan ini juga bukan atas keinginanku. Yang jelas kau akan menuruti peraturan ini mulai sekarang. Coba saja melawan. Kakak akan memberi pelajaran untuk adiknya ini."Rosie mendengus murka. Deru nafas cepatmiliknya bisa Edward rasakan menerpa kulit wajahnya. Posisi mereka teramat dekat tetapi tidak ada yang mau mengalah untuk memalingkan muka. Jika, kau berpaling itu artinya kau takut."Kalau sudah mengerti, Kakak pergi dulu ya adikku yang manis." Edward mengulangi adeganyang Rosie lakukan beberapa hari lalu. Persis sama. Dia menepuk-nepuk pucuk kepala Rosie seperti gadis yang tingginya hanya sebahunya itu adalah anjing perliharaan lalu keluar dari ruang keluarga.***Tidak ada pesta? Tidak ada keluar sampai malam? Harus memberi kabar? Cih! Rosie pastisudah sinting kalau mengikuti maunya Edward. Dia pikir Rosie akan gentar dengan gertak sambal murahan begitu?
"Apa yang kau lakukan?!" pekik gadis itu murka setelah dia mampu bangun dan duduk. Manik hazel miliknya bisa memancarkan laser untuk membor kepala Edwardhingga bolong."Menunjukkan padamu kalau aku tidak main-main.""Sial!" umpat Rosie sembari berusaha bangkit.Tapi, Edward menahannya. Pemuda itu memegangikedua tangan Rosie di atas kepalanya, tubuhn besarnya sendiri melayang di atas gadis itu. Rosie benci tempat ini. Baunya seperti Edward Quin. Aroma mint bercampur dengan, entahlah sesuatu yang manis."Kau akan tidur di sini malam ini. Dan renungkan kesalahanmu supaya mulai besokkau bisa menjadi gadis baik,"Edward selesai bicara, tapi penganggannya di tangan Rosie masih mengungci erat. Dia menunggu Rosie berhenti menggerak-gerakkan tangannya dan menggeliat tak sabar di bawahnya."Kenapa aku harus dikurung di sini?" Rosie masih saja mencari-cari alasan, tak t
Ada sesuatu yang mengganjal. Alice menarik kain hitam dari balik selimut. Sebuahmini dress yang sangat seksi.Gemuruh di hatinya kembali lagi. Lebih dahsyat dari ketika dia menyaksikan Rosie memakai kaos Edward. Pikiran negatif tentang Rosie dan Edward terbentuk di benaknya, membuatnya sedikit marah.Alice bangkit dari kasur, berjalan menghampiri Edward yang sedang mengacak-acak laci meja."Edward, apa ini?" dia mengangkat dress itu.Edward berhenti mencari-cari dan berbalik. Pupil matanya membesar melihat benda yang ada di genggaman kekasihnya. Alice bisa melihat itu, pria itu sedang kaget.Pikiran di benak Alice makin liar. Gadis itu mencoba tetap tenang meski rasanya ingin berteriak."I-tu jangan salah paham, Alice. Semalam terjadisesuatu yang mengharuskan Rosie tidur di sini. Tapi aku tidur di ruang keluarga kok. Kami t-tidak tidur sekamar," Edward berkata deng
"Edward, kapan kau akan menikahi gadis cantik ini? Kalian sudah cukup lama menjalin kasih. Apa lagi yang di tunggu?" canda Bibi Faye disambung dengan kikikan palsu."Edward harus menyelesaikan kuliah dulu. Nanti kalau kami sudah lulus kuliah baruakan membicarakan masalah itu,"Alice kembali bicara sembari meremat genggamaan tangannya dengan Edward."Ya. kami sepakat menyelesaikan pendidikan lebih dulu," jawaban Edward terdengar setengah hati tapi tak ada yang menghiraukan."Betul-betul. Pendidikan itu memang penting. Karena akan menjadi penilaian untuk keluarga calon pasangan kalian nantinya."''Aku setuju denganmu, Kak Marsha. Untung saja Edward pandai memilih calon istri, tidak seperti Ayahnya." perempuan yang dipanggil Bibi Jane melirik Rosie dari sudut matanya dengan sinis.Sejak tadi Rosie sudah muak mendengarkan orbrolan penuh kepalsuan. Tapi kalimat terakhir yang dia de
"Wah, tidak jauh dari rumah. Kapan-kapan main ya ke rumah." Lidya terkekeh di akhir kalimatnya. Angel meringis dan Damian tersenyum kecil."Iya, Tante.""Siapa tahu, bisa menjadi menantu. Belum punya pacar, 'kan?"Angel sontak menatap Lidya dengan wajah terkejut namun setelah itu kembali melunak, terkekeh lalu menunduk. Kedua tangannya terkepal hingga jari kukunya kian memutih.***"Ella."Ella menoleh saat Samuel sudah berada di hadapannya dengan sekotak susu pisang."Ini, untukmu." Samuel menyodorkannya dan Ella dengan ragu mengambilnya."Terima kasih." cicit Ella pelan.Samuel tidak menjawab, anak itu langsung mengambil posisi di samping Ella seraya melanjutkan meminum susu pisangnya. Kini, sudah lima belas menit berlalu sejak bel istirahat berbunyi. Ella dan Samuel sedang duduk di santai di bangku taman seray
"Angel, kau apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada waktu luang? Bisa kita bicara sebentar?"Angel yang tidak tahu ingin berkata apa hanya mampu tersenyum kecil dan pasrah ketika tangannya di tarik begitu saja oleh Ibu Damian. Diam-diam, Damian merasakan tatapan tajam Angel yang siap membunuhnya.***Ella menghela napas lelah selepas turun dari mobil Rere. Padahal, niatnya hari ini dia tidak ingin masuk sekolah mengingat hal mengerikan lain yang mungkin saja bisa terjadi. Kemarin, seperti biasa dia selalu mendapat perlakuan yang menjengkelkan."Ella, tidak boleh cemberut begitu. Anak cantik harus tersenyum." Rere berujar dari balik kaca mobil.Ella hanya meliriknya sekilas lalu mengangguk. "I go to school, Aunty."Rere mengangguk, "I wiil pick you up later."Setelah Ella mengangguk barulah mobil Rere melesat menuju jalan ibu kota yang padat
"Aku berangkat dulu, ya." pamit Edward pada Rosie. Mengecup kening sang istri lalu beralih ke perut buncitnya."Sayang, jaga Ibu baik-baik, ya. Jangan nakal." Setelah itu, Edward juga meninggalkan kecupan untuk si jabang bayinya."Ayo, Ayah!" Rosie kembali terkekeh menyaksikan wajah lelah Edward."Aku sudah di tunggu Kak Eros di sekolah!" Samuel kembali bersuara, kali ini dengan menunjukkan jam tangan yang memiliki fungsi seperti ponsel, hadiah dari kakeknya."Iya, sebentar sayang.""Ya sudah, kamu berangkat. Hati-hati di jalan."Edward mengangguk, melemparkan senyum. "Baiklah."Lima menit kemudian, mobil yang di kendarai Edward melaju pergi, tersisa Samuel yang melambaikan tangannya pada Rosie sampai sang ibu hilang dari pandangannya.***David melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah setenga
"Kak Damian? Angel? Kalian saling kenal?" Rosie menatap sepasang pria dan wanita yang dia kenal di hadapannya. Edward sepertinya juga menatap heran keduanya dari pandangan mata.Damian yang semula berada berapa langkah di belakang Angel kini mulai berjalan hingga keduanya bersisihan."Ya, kami saling kenal. Kami pernah berpacaran semasa aku kuliah dulu." ungkap Damian secara gamblang dengan mudahnya. Sontak saja, itu memancing tiga pasang mata yang ada di sana menatap Damiam terkejut. Terlebih lagi Angel, rasanya bola mata gadis itu sebentar lagi akan melompat keluar jika tak sedetik kemudian Angel berkedip."Wah, kalian ternyata pernah berpacaran? Astaga, dunia ini benar-benar sempit." Edward berseru kalut, ikut mewakili Rosie yang juga terkejut mendengarnya.Damian hanya melemparkan tatapan tak berdosanya pada Angel seraya menampilkan senyuman terbaiknya. Sedan
"Kau masih menyukainya?"Angel membuang wajahnya tanpa sadar yang malah membuat Damian semakin yakin dengan persepsinya."Kau ada waktu sebentar di taman? Kebetulan, aku membawa makanan." Damian menunjukkan tentengan yang dia bawa, arah mata Angel mengikuti pergerakan tangan Damian.***"Kau sudah lama menjadi Dokter di sini?" Damian memulai pertanyaan seraya membuka bungkus roti yang dia bawa. Kebetulan, dia belum sarapan. Niatnya, dia ingin menjenguk Rosie dan Samuel, tapi saat dia ingin menjenguknya, dia malah menemukan sosok mantan kekasih yang sudah lama sekali tidak muncul di hadapannya. Sebuah kebetulan sekali.Ya, Damian dan Angel memang pernah memadu kasih bahkan Damian sudah mengenalkan Angel pada ayah dan ibunya. Kalian ingat saat hubungan Damian dan Rosie di tentang keras oleh kedua orang tua Damian? Bukan semata-mata hanya karena Rosie tidak memiliki Ayah dan latar bel
Pada awalnya, Rosie akan menduga bahwa Edward tidak bisa menerima Samuel sebagai anak pertamanya, tapi dugaannya salah ketika melihat senyuman Edward yang begitu tulus ketika kali pertamanya dia melihat Samuel. Hati Rosie juga ikut mencelos kala itu, merasa terharu dengan apa yang dia lihat.Edward yang merasa terusik dengan elusan di kepalanya kini perlahan mulai membuka matanya, dan langsung membeliak kaget ketika melihat wajah sang istri yang sudah kembali berseri."Kau sudah sadar? Bagaimana? Apa perutmu merasa sakit lagi?" Edward langsung mengecek keadaan Rosie, memutar tubuh sang istri, dia ingin memastikannya sendiri.Rosie tertawa geli menyadari sikap protektif Edward terhadapnya, "Aku tidak apa-apa, Edward. Aku baik-baik saja."Edward menaikkan satu alisnya, "Apa kau yakin?" Rosie tersenyum lalu mengangguk.Edward menghela napas lega, "Syukurlah
Rere berdehem dengan salah satu telunjuknya menyentuh dagu, terlihat berpikir. "Menurut Aunty, Si Bully ini seperti racun yang semakin lama akan semakin menggerogoti tubuh kita. Jadi, kita harus menghilangkan racun-racun itu. Jika, Ella merasa di rugikan maka Ella harus menjauh, Ella tidak boleh diam saja itu akan semakin membuat Ella meras lemah. Ella menjauh saja, tidak usah pedulikan apa yang dia bicarakan. Toh, mereka semakin lama akan bosan dan tidak akan mengganggu Ella lagi."Rupanya, ucapan Rere tadi belum berhasil mengundang senyuman di wajah Ella. "Tapi, aku tidak memiliki teman. Aku ingin memiliki teman seperti yang lain, Aunty."Rere mengelus punggung belakang Ella, "Ella tahu, 'kan? Kalau Ella belum lama ada di sini? Jadi, Ella memang harus beradaptasi dengan lingkungan Ella yang sekarang. Lingkungan Ella yang sekarang ini jauh berbeda dengan lingkungan Ella yang di Sydney. Aunty juga yakin pasti suatu saat Ella ak
"Kau sedang melihat apa?" tanya David yang setelah itu menegak minumannya."Aku sedang melihat anak-anak, Samuel dab Eros terlihat nampak dekat. Bahkan, Samuel sudah seperti adiknya sendiri. Apa kau tahu? Eros tidak seperti itu pada Zea dan Zelo, hanya pada Samuel dia seperti itu."David mengangkat kedua bahunya lalu bersandar pada senderan kursi di belakangnya seraya melebarkan kakinya, "Kurasa, Eros benar-benar sangat menyukai Samuel, dan Samuel juga sebaliknya. Dulu, Eros selalu bilang padaku, katanya seperti ini, aku juga ingin menjaga adikku tapi Zea sudah bersama dengan Zelo, selalu. Padahal, dia juga ingin seperti Zelo. Sedangkan, Zelo sepertinya juga bisa tanpanya. Mungkin, itulah yang menyababkan Eros sangat menyayangi Samuel."Alice mengangguk seraya tersenyum, "Kurasa begitu. Setidaknya, aku lega karena permasalahan harus berakhir seperti ini. Untung saja, takdir memang sudah di gariskan da
"Edward, kakiku lemas. Aku tidak bisa berjalan." lirih Rosie pelan tapi masih bisa di dengar oleh semua pasang telinga."Ibu! Ibu kenapa?" Samuel langsung menyeru ketika melihat wajah sang ibu yang pucat tapi masih bisa memaksakan senyum.Edward dengan siaga langsung menggendong tubuh Rosie, "Alice sebentar ya, tolong jaga anak-anak aku akan membawa Rosie ke ruangannya dan memanggil Dokter." Setelah itu, langkah Edward menghilang di balik pintu."Aku kasihan melihatnya." ujar Alice lirih. Sungguh, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia berada di posisi Rosie. Kandungannya yang mengalami flek dan anaknya yang habis terjatuh dari mainan bola dunia, benar-benar membuat Alice prustasi melihatnya."Tak apa, Rosie adalah gadis yang kuat." Alice mengangguk."Bibi Alice, Paman David. Ibu kenapa? Kenapa wajahnya sangat pucat sekali?" Samuel berkata dengan nada khawa