"Ah, aku minta maaf untuk kejadian waktu itu. Aku benar-benar tidak bermaksud..." mata hazel bening itu memancarkan rasa bersalah. Tentu saja itu hanya akting.
Alice meraih tangan calon adik iparnya seraya berkata, "Tidak perlu minta maaf, Rosie. Aku tahu kamu tidak sengaja. Aku yang harusnya minta maaf karena sudah memaksamu, kau pasti merasa tidak
nyaman."Kedua gadis itu saling tersenyum. Tapi dalam hati Youngjae membatin, 'Berhenti bersikap sok baik, Alice. Kau membuatku makin muak!'
Rosie membenci Alice meski mereka baru dua kali bertemu. Baiklah, mungkin bukan Alice yang dia benci, melainkan kepribadiannya. Terlalu baik dan ramah pada semua orang, lugu, langsung percaya pada orang baru, bersikap layaknya dunia ini adalah surga. Sikap Alice mengingtkannya pada seseorang yang
sangat ia benci. Orang yang harusnya dia singkirkan sejak awal.***Rosie membuka matanya. Masih belum terbiasa dengan ranjang besar nyaman dan kamar barunya yang terlalu luas dibanding miliknya yang lama. Dia menatap plafon berwarna krem berhias lampu gantung mewah dari perak. Walaupun sudah beberapa hari menempati kamar itu, dia masih kagum dengan segala perabot mewah yang ada di sana. Ayah tirinya memang konglomerat. Tak diragukan lagi.Rosie mandi. Berpakaian dengan cepat karena jam digital sudah menjukkan pukul setengah delapan. Gadis yang rambutnya di kucir pony tail melenggang santai ke ruang makan. Di sana dia melihat Ayahnya sedang duduk di kursi utama, Ibunya sibuk menata makanan dan ada satu sosok lagi.
Seorang pria. Rosie tidak mengenalinya karena pria itu duduk membelakanginya. Rambut hitam sedikit basah ditata rapih, punggung lebar berbalut kemeja abu-abu muda melekat sempurna, ciri-cirinya
mengarah pada seseorang."Terima kasih, Bu." Edward berkata setelah Nyonya Quin meletakan sup di depannya.
EDWARD QUIN! Apa yang pria itu lakukan di sini? Sepagi ini? Di rumahnya?!
"Rosie, kau sudah siap? Ayo sarapan bersama dulu," Nyonya Quin tersenyum padanya.
Rosie duduk di kursinya yang biasa di sebelah kiri Tuan Lewis. Dan di sebelah Edward. Tuan Lewis melipat koran, meletakkannya di meja.
"Rosie tidurmu nyenyak?" ia bertanya dengan tulus karena tahu Rosie belum terbiasa dengan rumah baru ini.
"Iya, A-ayah. Aku mulai terbiasa sepertinya."
"Baguslah. Bilang saja kalau kau masih sulit tidur. Mungkin kita harus mengganti dekorasi kamarmu," Sang Ayah tersenyum hangat lalu menyuap sup ayam yang masih mengepul.
"Ya," Rosie juga tersenyum.
Lalu, Tuan Quin berkomentar tentang rasa sup ayam itu disambut kikikan malu-malu dari istrinya. Pasangan pengantin baru rerlihat sangat mesra dan bahagia. Mereka mengacuhkan kedua anak layaknya mereka tak kasat mata. Dasar budak cinta.
"Rosie sayang, hari ini kau diantar Edward dulu ya. Pak Edi sedang cuti, istrinya sakit," Nyonya Quin tiba-tiba berkata.
Rosie agak terperanjat tapi masih bisa
mengontrol ekspresinya. "Baik, Ibu.""Tidak merepotkan Edward, kan?"
"Tidak sama sekali, Bu. Lagi pula kampusku dan sekolah Rosie satu arah."
''Ah, aku sampai lupa. Rosie mulai sekarang Edward akan tinggal di sini. Bersama kita."
Kali ini Rosie tidak bisa mengontrol ekspresinya. Mulutnya-yang masih penuh nasi terbuka. Mata sipitnya melotot. Hal ini di luar dugaannya. Tadinya dia tenang-tenang saja saat memikirkan akan pindah ke rumah baru bersama keluarga baru. Ia tahu Kakak tirinya itu punya apartemen sendiri di dekat kampusnya. Jadi, Rosie hanya akan tinggal bersama Ibu dan Ayahnya. Hal itu masih bisa ia tangani.
Tapi, kalau pemuda menyebalkan itu juga harus tinggal bersama, Rosie sanksi bisa mengatasinya. Ia suka pergi dengan sahabatnya sampai larut malam. Ia juga suka melakukan pekerjaan, kadang sendiri, kadang bersama Claire, sampai dini hari. Ayah dan Ibunya mudah dikelabui. Tapi, Edward? Rosie tidak yakin.
"Y-ya,"' adalah jawaban singkat pasrah dari Rosie.
"Ayah dan Ibumu takut kau kesepian kalau kami pergi untuk perjalanan dinas. Selain itu kalian juga bisa lebih cepat akrab kalau sering ketemu, kan?" itu Tuan Quin menyahut kembali.
"Iya, Ayah. Itu sempurna," padahal ia berpikir sebaliknya.
***"Mulai sekarang hidupmu akan makin sulit, anak muda," seloroh Claire sambil nyengir kuda.Rosie baru saja menceritakan kejadian pagi ini. Dia awalnya ingin meminta solusi, tapi sahabatnya malah mengejek dan terlihat menikmati penderitaanya.
"Aku benci pria itu," desis Rosie membayangkan wajah Edward.
"Sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan. Lagi pula, kau tidak akan kerja lagi dan hang out bersamaku dan Annette bisa diatur. Kau bukannya pernah menyelinap dari rumah saat ibumu sedang tidur, kan? Skill kau itu sudah tingkat dewa jadi berhenti khawatir, Rosie." Claire merapihkan rambut kebanggaanya di depan cermin kecil yang selalu ia bawa.
Rosie memutar bola mata. Jengkel karena Claire tidak bisa menangkap kegelisahan yang ia rasa tentang Edward Quin. Pemuda itu, ada sesuatau tentang pemuda itu yang membuat Rosie was-was. Dia punya firasat kalau Edward akan jadi duri dalam kehidupannya.
***Sepertinya Claire benar. Rosie terlalu kuatir atas hal yang tidak penting. Dua minggu dirinya satu atap dengan Edward tidak ada hal buruk terjadi. Rosie masih bebas keluar malam, tentu dengan menyelinap, untuk hang out dengan sahabatnya. Kadang juga ia datang ke pesta yang temannya adakan hingga dini hari.
Tidak pernah sekalipun ia kepergok. Sekali lagi Claire benar. Skill menyelinapnya sudah tingkat dewa. Bagi Rosie itu hal yang patut dibanggakan.
Malam ini juga ia akan pergi ke klub malam, hanya dengan Claire pastinya, karena Annette tidak pernah tahu hobi rahasia kedua sahabatnya yang ini.
Rosie memeriksa lagi rambut hitamnya yang sekarang dicepol ke atas. Mini dress hitam ketat yang mempertontonkan bahu mulus juga paha berisinya ia tutup dengan coat coklat panjang se lutut. Wajah cantiknya dilapisinmake up agak tebal untuk menyamarkan usianya.
"Sempurna," ucapnya menyeringai puas pada diri sendiri. Dia melihat layar ponselnya untuk memeriksa pesan dari Claire.
Claire
Aku udah di depan. Cepat!Rosie tidak membalas pesan itu lantas menyelipkan ponsel pintar di saku jaket dan keluar kamar mengendap-endap.
Sudah jam sepuluh malam. Ayah dan Ibunya pasti sudah tidur karena seharian tadi banyak kerabat dari jauh yang datang memberi selamat. Seharian rumah penuh dengan orang yang tidak dia kenal tapi untungnya mereka tahu diri dan pergi tiga jam lalu.
Rosie menenteng heels-nya, berjalan membungkuk seperti maling menuju dapur. Saat baru dua hari pindah ke sini, dia menemukan pintu rahasia di halaman belakang dekat dapur yang tidak pernah terkunci. Pintu itu sudah tua dan karatan. Tersembunyi di balik tanaman tinggi menjulang. Jalan rahasia keluar masuk yang sempurna.
Saat ia masuk ke area dapur dengan percaya diri karena yakin seribu persen tidak akan ada mahluk lain berkeliaran jam segini, ia malah melihat Edward. Pemuda itu memakai kaos longgar hitam, sedang menuang air putih ke gelas.
"Rosie?"
Sejenak gadis itu membeku. Terkejut.
Sudah jam sepuluh malam. Ayah dan Ibunya pasti sudah tidur karena seharian tadi banyak kerabat dari jauh yang datang memberi selamat. Seharian rumah penuh dengan orang yang tidak dia kenal tapi untungnya mereka tahu diri dan pergi tiga jam lalu.Rosie menenteng heels-nya, berjalan membungkuk seperti maling menuju dapur. Saat baru dua hari pindah ke sini, dia menemukan pintu rahasia di halaman belakang dekat dapur yang tidak pernah terkunci. Pintu itu sudah tua dan karatan. Tersembunyi di balik tanaman tinggi menjulang. Jalan rahasia keluar masuk yang sempurna.Saat ia masuk ke area dapur dengan percaya diri karena yakin seribu persen tidak akan ada mahluk lain berkeliaran jam segini, ia malah melihat Edward. Pemuda itu memakai kaos longgar hitam, sedang menuang air putih ke gelas."Rosie?"Sejenak gadis itu membeku. Terkejut."Edward!"' sahutnya tersenyum kikuk."Apa yang kau lakuka
"Ros, berapa lama orang tuamu pergi bulan madu?" Claire berguling ke arah Rosie untukmenatap langsung gadis itu."Seminggu. Ada apa?""Berarti satu minggu ini kau hanya berdua dengan kakakmu itu dong?" Claire menampilkan wajah mesum yang membuat Rosie ingin mencekik gadis itu."Iya. Terus?" Rosie mengangkat alis."Tidak, hanya bicara. Kakak tirimu sangat tampan, awas suka.""Tidak akan pernah."Nampaknya Claire belum mengerti juga bahwaRosie sangat, amat membenci Edward Quin. Rasa bencinya hingga ke sumsum tulang. Segala sesuatu yang ada pada pemuda itu ia benci. Ketampanannya yang selangit juga tidak bisa menawar rasa benci Rosie.Pokoknya Rosie sangat benci pemuda yang bernama Edward Quin.***Kedua sahabatnya pulang sekitar dua jam kemudian. Rosie baru kembali dari ruang tamu setelah mengantar mereka ke pintu depan. Suasana rum
"Terserah kau mau bicara apa. Aku melakukan ini juga bukan atas keinginanku. Yang jelas kau akan menuruti peraturan ini mulai sekarang. Coba saja melawan. Kakak akan memberi pelajaran untuk adiknya ini."Rosie mendengus murka. Deru nafas cepatmiliknya bisa Edward rasakan menerpa kulit wajahnya. Posisi mereka teramat dekat tetapi tidak ada yang mau mengalah untuk memalingkan muka. Jika, kau berpaling itu artinya kau takut."Kalau sudah mengerti, Kakak pergi dulu ya adikku yang manis." Edward mengulangi adeganyang Rosie lakukan beberapa hari lalu. Persis sama. Dia menepuk-nepuk pucuk kepala Rosie seperti gadis yang tingginya hanya sebahunya itu adalah anjing perliharaan lalu keluar dari ruang keluarga.***Tidak ada pesta? Tidak ada keluar sampai malam? Harus memberi kabar? Cih! Rosie pastisudah sinting kalau mengikuti maunya Edward. Dia pikir Rosie akan gentar dengan gertak sambal murahan begitu?
"Apa yang kau lakukan?!" pekik gadis itu murka setelah dia mampu bangun dan duduk. Manik hazel miliknya bisa memancarkan laser untuk membor kepala Edwardhingga bolong."Menunjukkan padamu kalau aku tidak main-main.""Sial!" umpat Rosie sembari berusaha bangkit.Tapi, Edward menahannya. Pemuda itu memegangikedua tangan Rosie di atas kepalanya, tubuhn besarnya sendiri melayang di atas gadis itu. Rosie benci tempat ini. Baunya seperti Edward Quin. Aroma mint bercampur dengan, entahlah sesuatu yang manis."Kau akan tidur di sini malam ini. Dan renungkan kesalahanmu supaya mulai besokkau bisa menjadi gadis baik,"Edward selesai bicara, tapi penganggannya di tangan Rosie masih mengungci erat. Dia menunggu Rosie berhenti menggerak-gerakkan tangannya dan menggeliat tak sabar di bawahnya."Kenapa aku harus dikurung di sini?" Rosie masih saja mencari-cari alasan, tak t
Ada sesuatu yang mengganjal. Alice menarik kain hitam dari balik selimut. Sebuahmini dress yang sangat seksi.Gemuruh di hatinya kembali lagi. Lebih dahsyat dari ketika dia menyaksikan Rosie memakai kaos Edward. Pikiran negatif tentang Rosie dan Edward terbentuk di benaknya, membuatnya sedikit marah.Alice bangkit dari kasur, berjalan menghampiri Edward yang sedang mengacak-acak laci meja."Edward, apa ini?" dia mengangkat dress itu.Edward berhenti mencari-cari dan berbalik. Pupil matanya membesar melihat benda yang ada di genggaman kekasihnya. Alice bisa melihat itu, pria itu sedang kaget.Pikiran di benak Alice makin liar. Gadis itu mencoba tetap tenang meski rasanya ingin berteriak."I-tu jangan salah paham, Alice. Semalam terjadisesuatu yang mengharuskan Rosie tidur di sini. Tapi aku tidur di ruang keluarga kok. Kami t-tidak tidur sekamar," Edward berkata deng
"Edward, kapan kau akan menikahi gadis cantik ini? Kalian sudah cukup lama menjalin kasih. Apa lagi yang di tunggu?" canda Bibi Faye disambung dengan kikikan palsu."Edward harus menyelesaikan kuliah dulu. Nanti kalau kami sudah lulus kuliah baruakan membicarakan masalah itu,"Alice kembali bicara sembari meremat genggamaan tangannya dengan Edward."Ya. kami sepakat menyelesaikan pendidikan lebih dulu," jawaban Edward terdengar setengah hati tapi tak ada yang menghiraukan."Betul-betul. Pendidikan itu memang penting. Karena akan menjadi penilaian untuk keluarga calon pasangan kalian nantinya."''Aku setuju denganmu, Kak Marsha. Untung saja Edward pandai memilih calon istri, tidak seperti Ayahnya." perempuan yang dipanggil Bibi Jane melirik Rosie dari sudut matanya dengan sinis.Sejak tadi Rosie sudah muak mendengarkan orbrolan penuh kepalsuan. Tapi kalimat terakhir yang dia de
Setelah kejadian tidak mengenakkan yang menyudutkan anak bungsu mereka, Tuan dan Nyonya Quin memperlakukan Rosie jauh lebih baik. Mereka sangat amat menyesal setelah tahu alasan sebenarnya Rosieberlaku kasar pada orang yang lebih tua, itu semua semata untuk membela ibunya.Nyonya Quin merasa telah jadi ibu yang buruk, jadi dia meminta maaf sambil mengangis memeluk putri kesayangannya beberapa jam setelah meneriaki gadis malang itu.Tuan Lewis juga meyakinkan Rosie untuk mengatakan apapun perasaan yang dia rasa tanpa sungkan. Pria itu tidak mau Rosie merasa terasing atau bahkan merasa bukan bagian dari keluarga ini.Hubungan mereka lebih dekat dan erat berkat kejadian buruk itu. Seperti keluarga normaldan bahagia pada umumnya.Tapi, tidak demikian dengan hubungan Rosie dengan kakak tirinya tersayang. Kedua kakak beradik masih tidak akur. Mungkin mereka terlihat baik-baik saja, tapi keduanya tahu bah
Rosie sudah sampai ke titik di mana dia mampu membunuh Edward. Ah, lihat saja nanti. Tunggu saja tanggal mainnya kau, Edward!"Cih! Kau ini sok suci sekali! Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau dan kekasih lugu-mu itu lakukan di balik pintu kamarmu?! Apa yang aku lakukan kotor dan yang kau lakukan tidak?!" Rosie tersenyum menang mendapati keterkejutan di wajah sangar kakak tirinya.Ah, rasanya Rosie Wilkins ingin memanipulasi keadaan dan membenarkan perbuatannya? Jelas saja mereka berbeda. Edward tidak akan membiarkan gadis itu lolos lagi kali ini. Dia sudah terlalu banyak mengalah untuk menghormati ayah dan ibunya."Aku dan Alice sudah bertunangan. Kami bahkan akan menikah. Hubungan kami dilandasi cinta. Dan, apa yang kami lakukan jelas berbeda dengan yang kau lakukan denganbanyak pria. Jangan jadi gadisgila lalu menyamakan keadaanku dan Alice dengan hal rendah yang kau lakukan, Rosie Wilkins! Jelas itu berbeda."
"Wah, tidak jauh dari rumah. Kapan-kapan main ya ke rumah." Lidya terkekeh di akhir kalimatnya. Angel meringis dan Damian tersenyum kecil."Iya, Tante.""Siapa tahu, bisa menjadi menantu. Belum punya pacar, 'kan?"Angel sontak menatap Lidya dengan wajah terkejut namun setelah itu kembali melunak, terkekeh lalu menunduk. Kedua tangannya terkepal hingga jari kukunya kian memutih.***"Ella."Ella menoleh saat Samuel sudah berada di hadapannya dengan sekotak susu pisang."Ini, untukmu." Samuel menyodorkannya dan Ella dengan ragu mengambilnya."Terima kasih." cicit Ella pelan.Samuel tidak menjawab, anak itu langsung mengambil posisi di samping Ella seraya melanjutkan meminum susu pisangnya. Kini, sudah lima belas menit berlalu sejak bel istirahat berbunyi. Ella dan Samuel sedang duduk di santai di bangku taman seray
"Angel, kau apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada waktu luang? Bisa kita bicara sebentar?"Angel yang tidak tahu ingin berkata apa hanya mampu tersenyum kecil dan pasrah ketika tangannya di tarik begitu saja oleh Ibu Damian. Diam-diam, Damian merasakan tatapan tajam Angel yang siap membunuhnya.***Ella menghela napas lelah selepas turun dari mobil Rere. Padahal, niatnya hari ini dia tidak ingin masuk sekolah mengingat hal mengerikan lain yang mungkin saja bisa terjadi. Kemarin, seperti biasa dia selalu mendapat perlakuan yang menjengkelkan."Ella, tidak boleh cemberut begitu. Anak cantik harus tersenyum." Rere berujar dari balik kaca mobil.Ella hanya meliriknya sekilas lalu mengangguk. "I go to school, Aunty."Rere mengangguk, "I wiil pick you up later."Setelah Ella mengangguk barulah mobil Rere melesat menuju jalan ibu kota yang padat
"Aku berangkat dulu, ya." pamit Edward pada Rosie. Mengecup kening sang istri lalu beralih ke perut buncitnya."Sayang, jaga Ibu baik-baik, ya. Jangan nakal." Setelah itu, Edward juga meninggalkan kecupan untuk si jabang bayinya."Ayo, Ayah!" Rosie kembali terkekeh menyaksikan wajah lelah Edward."Aku sudah di tunggu Kak Eros di sekolah!" Samuel kembali bersuara, kali ini dengan menunjukkan jam tangan yang memiliki fungsi seperti ponsel, hadiah dari kakeknya."Iya, sebentar sayang.""Ya sudah, kamu berangkat. Hati-hati di jalan."Edward mengangguk, melemparkan senyum. "Baiklah."Lima menit kemudian, mobil yang di kendarai Edward melaju pergi, tersisa Samuel yang melambaikan tangannya pada Rosie sampai sang ibu hilang dari pandangannya.***David melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah setenga
"Kak Damian? Angel? Kalian saling kenal?" Rosie menatap sepasang pria dan wanita yang dia kenal di hadapannya. Edward sepertinya juga menatap heran keduanya dari pandangan mata.Damian yang semula berada berapa langkah di belakang Angel kini mulai berjalan hingga keduanya bersisihan."Ya, kami saling kenal. Kami pernah berpacaran semasa aku kuliah dulu." ungkap Damian secara gamblang dengan mudahnya. Sontak saja, itu memancing tiga pasang mata yang ada di sana menatap Damiam terkejut. Terlebih lagi Angel, rasanya bola mata gadis itu sebentar lagi akan melompat keluar jika tak sedetik kemudian Angel berkedip."Wah, kalian ternyata pernah berpacaran? Astaga, dunia ini benar-benar sempit." Edward berseru kalut, ikut mewakili Rosie yang juga terkejut mendengarnya.Damian hanya melemparkan tatapan tak berdosanya pada Angel seraya menampilkan senyuman terbaiknya. Sedan
"Kau masih menyukainya?"Angel membuang wajahnya tanpa sadar yang malah membuat Damian semakin yakin dengan persepsinya."Kau ada waktu sebentar di taman? Kebetulan, aku membawa makanan." Damian menunjukkan tentengan yang dia bawa, arah mata Angel mengikuti pergerakan tangan Damian.***"Kau sudah lama menjadi Dokter di sini?" Damian memulai pertanyaan seraya membuka bungkus roti yang dia bawa. Kebetulan, dia belum sarapan. Niatnya, dia ingin menjenguk Rosie dan Samuel, tapi saat dia ingin menjenguknya, dia malah menemukan sosok mantan kekasih yang sudah lama sekali tidak muncul di hadapannya. Sebuah kebetulan sekali.Ya, Damian dan Angel memang pernah memadu kasih bahkan Damian sudah mengenalkan Angel pada ayah dan ibunya. Kalian ingat saat hubungan Damian dan Rosie di tentang keras oleh kedua orang tua Damian? Bukan semata-mata hanya karena Rosie tidak memiliki Ayah dan latar bel
Pada awalnya, Rosie akan menduga bahwa Edward tidak bisa menerima Samuel sebagai anak pertamanya, tapi dugaannya salah ketika melihat senyuman Edward yang begitu tulus ketika kali pertamanya dia melihat Samuel. Hati Rosie juga ikut mencelos kala itu, merasa terharu dengan apa yang dia lihat.Edward yang merasa terusik dengan elusan di kepalanya kini perlahan mulai membuka matanya, dan langsung membeliak kaget ketika melihat wajah sang istri yang sudah kembali berseri."Kau sudah sadar? Bagaimana? Apa perutmu merasa sakit lagi?" Edward langsung mengecek keadaan Rosie, memutar tubuh sang istri, dia ingin memastikannya sendiri.Rosie tertawa geli menyadari sikap protektif Edward terhadapnya, "Aku tidak apa-apa, Edward. Aku baik-baik saja."Edward menaikkan satu alisnya, "Apa kau yakin?" Rosie tersenyum lalu mengangguk.Edward menghela napas lega, "Syukurlah
Rere berdehem dengan salah satu telunjuknya menyentuh dagu, terlihat berpikir. "Menurut Aunty, Si Bully ini seperti racun yang semakin lama akan semakin menggerogoti tubuh kita. Jadi, kita harus menghilangkan racun-racun itu. Jika, Ella merasa di rugikan maka Ella harus menjauh, Ella tidak boleh diam saja itu akan semakin membuat Ella meras lemah. Ella menjauh saja, tidak usah pedulikan apa yang dia bicarakan. Toh, mereka semakin lama akan bosan dan tidak akan mengganggu Ella lagi."Rupanya, ucapan Rere tadi belum berhasil mengundang senyuman di wajah Ella. "Tapi, aku tidak memiliki teman. Aku ingin memiliki teman seperti yang lain, Aunty."Rere mengelus punggung belakang Ella, "Ella tahu, 'kan? Kalau Ella belum lama ada di sini? Jadi, Ella memang harus beradaptasi dengan lingkungan Ella yang sekarang. Lingkungan Ella yang sekarang ini jauh berbeda dengan lingkungan Ella yang di Sydney. Aunty juga yakin pasti suatu saat Ella ak
"Kau sedang melihat apa?" tanya David yang setelah itu menegak minumannya."Aku sedang melihat anak-anak, Samuel dab Eros terlihat nampak dekat. Bahkan, Samuel sudah seperti adiknya sendiri. Apa kau tahu? Eros tidak seperti itu pada Zea dan Zelo, hanya pada Samuel dia seperti itu."David mengangkat kedua bahunya lalu bersandar pada senderan kursi di belakangnya seraya melebarkan kakinya, "Kurasa, Eros benar-benar sangat menyukai Samuel, dan Samuel juga sebaliknya. Dulu, Eros selalu bilang padaku, katanya seperti ini, aku juga ingin menjaga adikku tapi Zea sudah bersama dengan Zelo, selalu. Padahal, dia juga ingin seperti Zelo. Sedangkan, Zelo sepertinya juga bisa tanpanya. Mungkin, itulah yang menyababkan Eros sangat menyayangi Samuel."Alice mengangguk seraya tersenyum, "Kurasa begitu. Setidaknya, aku lega karena permasalahan harus berakhir seperti ini. Untung saja, takdir memang sudah di gariskan da
"Edward, kakiku lemas. Aku tidak bisa berjalan." lirih Rosie pelan tapi masih bisa di dengar oleh semua pasang telinga."Ibu! Ibu kenapa?" Samuel langsung menyeru ketika melihat wajah sang ibu yang pucat tapi masih bisa memaksakan senyum.Edward dengan siaga langsung menggendong tubuh Rosie, "Alice sebentar ya, tolong jaga anak-anak aku akan membawa Rosie ke ruangannya dan memanggil Dokter." Setelah itu, langkah Edward menghilang di balik pintu."Aku kasihan melihatnya." ujar Alice lirih. Sungguh, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia berada di posisi Rosie. Kandungannya yang mengalami flek dan anaknya yang habis terjatuh dari mainan bola dunia, benar-benar membuat Alice prustasi melihatnya."Tak apa, Rosie adalah gadis yang kuat." Alice mengangguk."Bibi Alice, Paman David. Ibu kenapa? Kenapa wajahnya sangat pucat sekali?" Samuel berkata dengan nada khawa