Rosie sudah sampai ke titik di mana dia mampu membunuh Edward. Ah, lihat saja nanti. Tunggu saja tanggal mainnya kau, Edward!
"Cih! Kau ini sok suci sekali! Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau dan kekasih lugu-mu itu lakukan di balik pintu kamarmu?! Apa yang aku lakukan kotor dan yang kau lakukan tidak?!" Rosie tersenyum menang mendapati keterkejutan di wajah sangar kakak tirinya.
Ah, rasanya Rosie Wilkins ingin memanipulasi keadaan dan membenarkan perbuatannya? Jelas saja mereka berbeda. Edward tidak akan membiarkan gadis itu lolos lagi kali ini. Dia sudah terlalu banyak mengalah untuk menghormati ayah dan ibunya.
"Aku dan Alice sudah bertunangan. Kami bahkan akan menikah. Hubungan kami dilandasi cinta. Dan, apa yang kami lakukan jelas berbeda dengan yang kau lakukan dengan banyak pria. Jangan jadi gadis
gila lalu menyamakan keadaanku dan Alice dengan hal rendah yang kau lakukan, Rosie Wilkins! Jelas itu berbeda."<
"Memikirkan apa sih? Kok serius sekali sampai aku dihiraukan?"Mata hitam bening milik Alice menatapnya penuh rasa ingin tahu, pipi pucatnya berhiaskan lesung alami yang selalu menghasilkan debaran di dadanya, semua yang ada pada diri Alice merupakan daya tarik yang membuat Edward mencintai perempuan itu. Mustahil rasanya membayangkan dia bisa mengkhianati malaikat seperti Alice.Kalau dipikir-pikir lagi omongan Rosie sangat konyol dan tidak masuk akal. Tapi, yang lebih tidak masuk akal justru dirinya sendirilah yang mengkuatirkan omong kosong itu. Sampai tidak bisa tidur pula?Betapa anehnya dirinya. Benar! Tidak ada yang perlu dicemaskan.Edward mengenal dirinya sendiri dan dia tidak akan goyah apalagi sampai mengkhianati kekasihnya yang sudah setia padanya selama bertahun-tahun. Terlebih, hanya untuk jatuh pada godaan perempuan murahan macam Rosie. Edward pasti sudah gila kalau itu sampai terjadi.
"Jujur padaku. Kau hanya alasan saja membuat rencana untuk menggoda kakak tirimu yang tampan, kan? Katakan saja kalau kau memang suka dengan dia dan mau dekat-dekat dengan dia,"Claire berucap sembari berselonjoran di atas rumput lapangan. Keringatnya sudah berkali-kali dia lap dengan sapu tangan tapi masih saja bocor. Maklum. Dia, Rosie, dan Annette baru selesai mengitari lapangan dua puluh kali."Aku masih mikir itu rencana yang buruk," komentar David lalu minum dari botol yang dia bawa. Pemuda jangkung itu menghabiskan isi botol yang tinggal setengah kemudian kembali bicara."Bukannya kakak tirimu sudah punya tunangan, kan? Bagaimana dengan tunangannya?""Cih! Masa bodo! Salah sendiri dia mau saja bertunangan dengan orang brengsek macam Edward. Lagi pula Alice hanya akan tersakiti kalau tunangannya benar berkhianat. Kalau, Edward berhasil menahan godaanku, ya Alice aman."Rosie memijat pela
Lucu.Tingkah Edward yang Rosie maksud. Pemuda itu terus saja menghindar dari adik tirinya. Rosie yakin itu karena 'sapaan sopan' Rosie di dapur tempo hari. Edward langsung berinisiatif membatasi interaksi dengan Rosie.Contohnya, mulai keesokan hari setelah Rosie menggodanya, Edward selalu menjemput Alice dulu dengan alasan ingin sarapan bersama, lalu baru kembali ke rumah dan mengantar Rosie ke sekolah. Lucu bukan?Edward sungguh naif berpikir diabbisa lepas dari ancaman Rosie dengan pertahanan buruk seperti itu. Memang itu bisa mencegah Rosie berbuat macam-macam padanya ketika mereka berangkat atau pulang sekolah-ya, Edward juga memaksa untuk pulang dengan Alice sebelum menjemput Rosie.Dia kira dengan adanya Alice di antara mereka Rosie akan kehilangan kesempatan menggodanya? Sungguh lucu, Edward Quin. Sayangnya dia salah. Salah besar.Rosie hanya berbaik hati sambil menikmati raut gugup yang ka
Edward dan Alice hampir menyelesaikan tugas mereka sore itu. Semuanya berjalan lancar, mereka tidak menemukan kesulitan berarti dalam mengerjakan tugas-yang cukup sulit itu.Sampai Rosie muncul di ambang pintu. Gadis itu baru pulang dari apartemen Claire dan masuk ke ruang keluarga tempat Edward dan Alice masih berkutat dengan laptop masing-masing."Kak Alice! Halo!" sapa si pendatang baru dengan senyum cerah ceria. Tangannya ia lambaikan berkali-kali tanda gadis itu sedang bersemangat-entah karena apa."Halo, Rosie? Kau baru pulang?" balas Alice juga tersenyum manis. Sudah beberapa hari sejak kejadian canggung di mobil. Alice yang memang pada dasarnya pemaaf telah melupakan kekesalannya atas insiden itu."Eum, aku baru selesai main dari tempat Claire," kata Rosie sembari masih berjalan mendekat. Dengan alami, Rosie duduk di sebelah Edward yang duduk berhadapan dengan Alice."Halo, Kak Edward.
"Sepertinya aku harus mandi. Sudah sore. Aku ke atas dulu, Kak Alice, Kak Edward." Si gadis cantik penuh muslihat bangkit untuk mulai keluar dari ruang keluarga.Alice tersenyum lalu bergumam, "Eum..."Lalu, Edward berusaha menahan amarahnya dan membalas, "Baiklah."Rosie berbalik untuk mulai keluar tapi dua detik kemudian dia kembali berbalik. Sang adik tiri memberikan sorot mata paling innocent yang dia punya, "Kak Edward, terima kasih atas penjelasannya. Lain kali aku mau belajar bersama lagi."Ketika pemuda itu bertemu tatap dengan Rosie, dia menyaksikan gadis itu tersenyum menang dengan maksud mencemoohnya. Ada gelombang kuat berisi amarah yang berkobar di dadanya. Edward membuat janji untuk membalas anak itu segera. Rosie akan menyesal telah bermain-main dengannya. Tunggu saja pembalasannya! Dia akan membuat Rosie yang menuntut lebih dengan permainannya. Anak nakal seperti gadis itu harus di beri pelajar
Edward bangun. Menguap lebar lalu mengulet. Jiwanya belum sepenuhnya kembali, jadi dia tidak memprotes perlakukan kurang ajar kaki Youngjae tadi."Minta uang." Rosie menadahkan telapak tangan kanannya, yang kiri masih bertengger di pinggang."Buat apa?""Bayar makanan. Buat apa lagi? Aish, cepat!"Edward meraih dompet di saku celana pendeknya dan mengeluarkan tiga lembar uang ratusan ribu. Rosie tersenyum manis sembari menyambar uang itu."Terima kasih, Kak Edward." Dia berbalik menuju pintu depan tempat kurir grabfood sudah menunggu.Gadis itu kembali ke sofa tempat Edward duduk termenung. Menggeser badan besar kakak tirinya dengan kasar untuk bisa duduk nyaman di sofa kecil itu. Rosie membuka plastik putih yang membungkus makanan di meja. Satu cup bubur ayam dan satu k
"Mungkinkah karena—" Dia menggantung kalimatnya. Mata hazelitu menatap ke arah selangkangan Edward penuh arti."Bukan begitu! Jangan berpikir yang tidak-tidak," si pemuda berkata dengan muka merah padam sekalian menutupi area yang jadi objek perhatian si gadis."Tenang saja, Kak Edward. Aku punya kenalan tukang urut yang terkenal. Dia bisa bikin punyamu tahan lama." Rosie menepuk pundak kakak tirinya dengan wajah prihatin."Kubilang bukan itu!" wajah Edward makin merah dan panas."Apa ukuran yang menjadi masalah?? Tukang urut itu juga bisa memperbesar-""Aku mau mandi."Edward buru-buru bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Enggan mendengar ocehan tidak senonoh Rosie pagi-pagi begini. Sebelum dia behasil menutup pintu kaar mandi dengan sempurna, dia masih sempat mendengar teriakan Rosie yang terakhir."Kalau kau malu, bisa juga melakukannya sendiri. Aku bisa mengajar
"Kau suka yang seperti ini kan, Edward?" tanya gadis itu seraya mempercepat gerakan tangannya.Edward mengerang dengan nafas pendek merasakan sensasi panas berkumpul di perutnya. Persis seperti ketika tangan yang sama melakukan hal yang sama padanya beberapa hari lalu.Juga, dengan waktu yang sama. Tepat saat dia akan sampai ke puncak, gadis kejam itu menghentikan semua rangsangannya. Edward membuka mata dan menatap Rosie antara heran dan kecewa."Aku akan memberikanmu hal yang lebih nikmat dari ini. Aku akan menunggumu di kamarku. Kau boleh datang setelah mengusir Alice."***Rosie Wilkins terkekeh mencemooh.Pemandangan di luar jendela kamarnya teramat menarik. Edward tergesa-gesa mengusir tunangan yang katanya sangat dia cintai. Kurang dari lima menit sejak kegiatan nakal yang mereka lakukan di dapur, Edward sudah berhasil menyingkirkan Alice seperti perempuan itu adalah hama yang menggangu.
"Wah, tidak jauh dari rumah. Kapan-kapan main ya ke rumah." Lidya terkekeh di akhir kalimatnya. Angel meringis dan Damian tersenyum kecil."Iya, Tante.""Siapa tahu, bisa menjadi menantu. Belum punya pacar, 'kan?"Angel sontak menatap Lidya dengan wajah terkejut namun setelah itu kembali melunak, terkekeh lalu menunduk. Kedua tangannya terkepal hingga jari kukunya kian memutih.***"Ella."Ella menoleh saat Samuel sudah berada di hadapannya dengan sekotak susu pisang."Ini, untukmu." Samuel menyodorkannya dan Ella dengan ragu mengambilnya."Terima kasih." cicit Ella pelan.Samuel tidak menjawab, anak itu langsung mengambil posisi di samping Ella seraya melanjutkan meminum susu pisangnya. Kini, sudah lima belas menit berlalu sejak bel istirahat berbunyi. Ella dan Samuel sedang duduk di santai di bangku taman seray
"Angel, kau apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada waktu luang? Bisa kita bicara sebentar?"Angel yang tidak tahu ingin berkata apa hanya mampu tersenyum kecil dan pasrah ketika tangannya di tarik begitu saja oleh Ibu Damian. Diam-diam, Damian merasakan tatapan tajam Angel yang siap membunuhnya.***Ella menghela napas lelah selepas turun dari mobil Rere. Padahal, niatnya hari ini dia tidak ingin masuk sekolah mengingat hal mengerikan lain yang mungkin saja bisa terjadi. Kemarin, seperti biasa dia selalu mendapat perlakuan yang menjengkelkan."Ella, tidak boleh cemberut begitu. Anak cantik harus tersenyum." Rere berujar dari balik kaca mobil.Ella hanya meliriknya sekilas lalu mengangguk. "I go to school, Aunty."Rere mengangguk, "I wiil pick you up later."Setelah Ella mengangguk barulah mobil Rere melesat menuju jalan ibu kota yang padat
"Aku berangkat dulu, ya." pamit Edward pada Rosie. Mengecup kening sang istri lalu beralih ke perut buncitnya."Sayang, jaga Ibu baik-baik, ya. Jangan nakal." Setelah itu, Edward juga meninggalkan kecupan untuk si jabang bayinya."Ayo, Ayah!" Rosie kembali terkekeh menyaksikan wajah lelah Edward."Aku sudah di tunggu Kak Eros di sekolah!" Samuel kembali bersuara, kali ini dengan menunjukkan jam tangan yang memiliki fungsi seperti ponsel, hadiah dari kakeknya."Iya, sebentar sayang.""Ya sudah, kamu berangkat. Hati-hati di jalan."Edward mengangguk, melemparkan senyum. "Baiklah."Lima menit kemudian, mobil yang di kendarai Edward melaju pergi, tersisa Samuel yang melambaikan tangannya pada Rosie sampai sang ibu hilang dari pandangannya.***David melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah setenga
"Kak Damian? Angel? Kalian saling kenal?" Rosie menatap sepasang pria dan wanita yang dia kenal di hadapannya. Edward sepertinya juga menatap heran keduanya dari pandangan mata.Damian yang semula berada berapa langkah di belakang Angel kini mulai berjalan hingga keduanya bersisihan."Ya, kami saling kenal. Kami pernah berpacaran semasa aku kuliah dulu." ungkap Damian secara gamblang dengan mudahnya. Sontak saja, itu memancing tiga pasang mata yang ada di sana menatap Damiam terkejut. Terlebih lagi Angel, rasanya bola mata gadis itu sebentar lagi akan melompat keluar jika tak sedetik kemudian Angel berkedip."Wah, kalian ternyata pernah berpacaran? Astaga, dunia ini benar-benar sempit." Edward berseru kalut, ikut mewakili Rosie yang juga terkejut mendengarnya.Damian hanya melemparkan tatapan tak berdosanya pada Angel seraya menampilkan senyuman terbaiknya. Sedan
"Kau masih menyukainya?"Angel membuang wajahnya tanpa sadar yang malah membuat Damian semakin yakin dengan persepsinya."Kau ada waktu sebentar di taman? Kebetulan, aku membawa makanan." Damian menunjukkan tentengan yang dia bawa, arah mata Angel mengikuti pergerakan tangan Damian.***"Kau sudah lama menjadi Dokter di sini?" Damian memulai pertanyaan seraya membuka bungkus roti yang dia bawa. Kebetulan, dia belum sarapan. Niatnya, dia ingin menjenguk Rosie dan Samuel, tapi saat dia ingin menjenguknya, dia malah menemukan sosok mantan kekasih yang sudah lama sekali tidak muncul di hadapannya. Sebuah kebetulan sekali.Ya, Damian dan Angel memang pernah memadu kasih bahkan Damian sudah mengenalkan Angel pada ayah dan ibunya. Kalian ingat saat hubungan Damian dan Rosie di tentang keras oleh kedua orang tua Damian? Bukan semata-mata hanya karena Rosie tidak memiliki Ayah dan latar bel
Pada awalnya, Rosie akan menduga bahwa Edward tidak bisa menerima Samuel sebagai anak pertamanya, tapi dugaannya salah ketika melihat senyuman Edward yang begitu tulus ketika kali pertamanya dia melihat Samuel. Hati Rosie juga ikut mencelos kala itu, merasa terharu dengan apa yang dia lihat.Edward yang merasa terusik dengan elusan di kepalanya kini perlahan mulai membuka matanya, dan langsung membeliak kaget ketika melihat wajah sang istri yang sudah kembali berseri."Kau sudah sadar? Bagaimana? Apa perutmu merasa sakit lagi?" Edward langsung mengecek keadaan Rosie, memutar tubuh sang istri, dia ingin memastikannya sendiri.Rosie tertawa geli menyadari sikap protektif Edward terhadapnya, "Aku tidak apa-apa, Edward. Aku baik-baik saja."Edward menaikkan satu alisnya, "Apa kau yakin?" Rosie tersenyum lalu mengangguk.Edward menghela napas lega, "Syukurlah
Rere berdehem dengan salah satu telunjuknya menyentuh dagu, terlihat berpikir. "Menurut Aunty, Si Bully ini seperti racun yang semakin lama akan semakin menggerogoti tubuh kita. Jadi, kita harus menghilangkan racun-racun itu. Jika, Ella merasa di rugikan maka Ella harus menjauh, Ella tidak boleh diam saja itu akan semakin membuat Ella meras lemah. Ella menjauh saja, tidak usah pedulikan apa yang dia bicarakan. Toh, mereka semakin lama akan bosan dan tidak akan mengganggu Ella lagi."Rupanya, ucapan Rere tadi belum berhasil mengundang senyuman di wajah Ella. "Tapi, aku tidak memiliki teman. Aku ingin memiliki teman seperti yang lain, Aunty."Rere mengelus punggung belakang Ella, "Ella tahu, 'kan? Kalau Ella belum lama ada di sini? Jadi, Ella memang harus beradaptasi dengan lingkungan Ella yang sekarang. Lingkungan Ella yang sekarang ini jauh berbeda dengan lingkungan Ella yang di Sydney. Aunty juga yakin pasti suatu saat Ella ak
"Kau sedang melihat apa?" tanya David yang setelah itu menegak minumannya."Aku sedang melihat anak-anak, Samuel dab Eros terlihat nampak dekat. Bahkan, Samuel sudah seperti adiknya sendiri. Apa kau tahu? Eros tidak seperti itu pada Zea dan Zelo, hanya pada Samuel dia seperti itu."David mengangkat kedua bahunya lalu bersandar pada senderan kursi di belakangnya seraya melebarkan kakinya, "Kurasa, Eros benar-benar sangat menyukai Samuel, dan Samuel juga sebaliknya. Dulu, Eros selalu bilang padaku, katanya seperti ini, aku juga ingin menjaga adikku tapi Zea sudah bersama dengan Zelo, selalu. Padahal, dia juga ingin seperti Zelo. Sedangkan, Zelo sepertinya juga bisa tanpanya. Mungkin, itulah yang menyababkan Eros sangat menyayangi Samuel."Alice mengangguk seraya tersenyum, "Kurasa begitu. Setidaknya, aku lega karena permasalahan harus berakhir seperti ini. Untung saja, takdir memang sudah di gariskan da
"Edward, kakiku lemas. Aku tidak bisa berjalan." lirih Rosie pelan tapi masih bisa di dengar oleh semua pasang telinga."Ibu! Ibu kenapa?" Samuel langsung menyeru ketika melihat wajah sang ibu yang pucat tapi masih bisa memaksakan senyum.Edward dengan siaga langsung menggendong tubuh Rosie, "Alice sebentar ya, tolong jaga anak-anak aku akan membawa Rosie ke ruangannya dan memanggil Dokter." Setelah itu, langkah Edward menghilang di balik pintu."Aku kasihan melihatnya." ujar Alice lirih. Sungguh, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia berada di posisi Rosie. Kandungannya yang mengalami flek dan anaknya yang habis terjatuh dari mainan bola dunia, benar-benar membuat Alice prustasi melihatnya."Tak apa, Rosie adalah gadis yang kuat." Alice mengangguk."Bibi Alice, Paman David. Ibu kenapa? Kenapa wajahnya sangat pucat sekali?" Samuel berkata dengan nada khawa