Edward dan Alice hampir menyelesaikan tugas mereka sore itu. Semuanya berjalan lancar, mereka tidak menemukan kesulitan berarti dalam mengerjakan tugas-yang cukup sulit itu.
Sampai Rosie muncul di ambang pintu. Gadis itu baru pulang dari apartemen Claire dan masuk ke ruang keluarga tempat Edward dan Alice masih berkutat dengan laptop masing-masing.
"Kak Alice! Halo!" sapa si pendatang baru dengan senyum cerah ceria. Tangannya ia lambaikan berkali-kali tanda gadis itu sedang bersemangat-entah karena apa.
"Halo, Rosie? Kau baru pulang?" balas Alice juga tersenyum manis. Sudah beberapa hari sejak kejadian canggung di mobil. Alice yang memang pada dasarnya pemaaf telah melupakan kekesalannya atas insiden itu.
"Eum, aku baru selesai main dari tempat Claire," kata Rosie sembari masih berjalan mendekat. Dengan alami, Rosie duduk di sebelah Edward yang duduk berhadapan dengan Alice.
"Halo, Kak Edward.
"Sepertinya aku harus mandi. Sudah sore. Aku ke atas dulu, Kak Alice, Kak Edward." Si gadis cantik penuh muslihat bangkit untuk mulai keluar dari ruang keluarga.Alice tersenyum lalu bergumam, "Eum..."Lalu, Edward berusaha menahan amarahnya dan membalas, "Baiklah."Rosie berbalik untuk mulai keluar tapi dua detik kemudian dia kembali berbalik. Sang adik tiri memberikan sorot mata paling innocent yang dia punya, "Kak Edward, terima kasih atas penjelasannya. Lain kali aku mau belajar bersama lagi."Ketika pemuda itu bertemu tatap dengan Rosie, dia menyaksikan gadis itu tersenyum menang dengan maksud mencemoohnya. Ada gelombang kuat berisi amarah yang berkobar di dadanya. Edward membuat janji untuk membalas anak itu segera. Rosie akan menyesal telah bermain-main dengannya. Tunggu saja pembalasannya! Dia akan membuat Rosie yang menuntut lebih dengan permainannya. Anak nakal seperti gadis itu harus di beri pelajar
Edward bangun. Menguap lebar lalu mengulet. Jiwanya belum sepenuhnya kembali, jadi dia tidak memprotes perlakukan kurang ajar kaki Youngjae tadi."Minta uang." Rosie menadahkan telapak tangan kanannya, yang kiri masih bertengger di pinggang."Buat apa?""Bayar makanan. Buat apa lagi? Aish, cepat!"Edward meraih dompet di saku celana pendeknya dan mengeluarkan tiga lembar uang ratusan ribu. Rosie tersenyum manis sembari menyambar uang itu."Terima kasih, Kak Edward." Dia berbalik menuju pintu depan tempat kurir grabfood sudah menunggu.Gadis itu kembali ke sofa tempat Edward duduk termenung. Menggeser badan besar kakak tirinya dengan kasar untuk bisa duduk nyaman di sofa kecil itu. Rosie membuka plastik putih yang membungkus makanan di meja. Satu cup bubur ayam dan satu k
"Mungkinkah karena—" Dia menggantung kalimatnya. Mata hazelitu menatap ke arah selangkangan Edward penuh arti."Bukan begitu! Jangan berpikir yang tidak-tidak," si pemuda berkata dengan muka merah padam sekalian menutupi area yang jadi objek perhatian si gadis."Tenang saja, Kak Edward. Aku punya kenalan tukang urut yang terkenal. Dia bisa bikin punyamu tahan lama." Rosie menepuk pundak kakak tirinya dengan wajah prihatin."Kubilang bukan itu!" wajah Edward makin merah dan panas."Apa ukuran yang menjadi masalah?? Tukang urut itu juga bisa memperbesar-""Aku mau mandi."Edward buru-buru bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Enggan mendengar ocehan tidak senonoh Rosie pagi-pagi begini. Sebelum dia behasil menutup pintu kaar mandi dengan sempurna, dia masih sempat mendengar teriakan Rosie yang terakhir."Kalau kau malu, bisa juga melakukannya sendiri. Aku bisa mengajar
"Kau suka yang seperti ini kan, Edward?" tanya gadis itu seraya mempercepat gerakan tangannya.Edward mengerang dengan nafas pendek merasakan sensasi panas berkumpul di perutnya. Persis seperti ketika tangan yang sama melakukan hal yang sama padanya beberapa hari lalu.Juga, dengan waktu yang sama. Tepat saat dia akan sampai ke puncak, gadis kejam itu menghentikan semua rangsangannya. Edward membuka mata dan menatap Rosie antara heran dan kecewa."Aku akan memberikanmu hal yang lebih nikmat dari ini. Aku akan menunggumu di kamarku. Kau boleh datang setelah mengusir Alice."***Rosie Wilkins terkekeh mencemooh.Pemandangan di luar jendela kamarnya teramat menarik. Edward tergesa-gesa mengusir tunangan yang katanya sangat dia cintai. Kurang dari lima menit sejak kegiatan nakal yang mereka lakukan di dapur, Edward sudah berhasil menyingkirkan Alice seperti perempuan itu adalah hama yang menggangu.
Edward jadi begitu agersif. Tanpa ampun dia menyiksa adik tirinya hanya dengan daging kenyal di antara mulutnya. Bagian bawah milik Rosie membuatnya hilang akal. Begitu manis juga panas. Sangat sensitif, namun juga mampu bertahan lama di bawah gempuran lidah dan bibirnya.Baunya tidak harum, tapi punya aroma khas yang membuat Edward makin rakus dan sukar berhenti melumat. Dia malah menyesak makin dalam.Rintihan putus-putus dibarengi tubuh kaku gadis itulah yang menghentikan Edward. Rosie pelepasan hanya bercinta dengan lidah Edward.Edward menyapu sisa-sisa cairan kental milik Rosie dari bibirnya dengan lidah. Setelah itu, tanpa memalingkan tatapan bergairah dari sosok yang masih berusaha turun pasca orgasme barusan, Edward membuka celana panjangnya."Apa yang mau kau lakukan?" Rosie menautkan kedua alisnya, bingung.Edward tertawa geli. Rosie sungguh tidak tahu apa yang akan dia, mereka lebih tepa
"Itu tadi luar biasa," komentar Edward tiba-tiba. Sayangnya kalimat itu menyadarkan mereka berdua."Cih!" decak Rosie mengejek. "Tentu saja aku luar biasa."Edward hanya tersenyum dalam diam mendengar si kasar Rosie telah kembali."Omong-omong. Mau sampai kapan kau memelukku?" Rosie kembali bertanya dengan nada sok jijik."Nah! Harusnya aku yang bertanya begitu. Kau kan yang menindihku dari tadi."Sontak saja Rosie bangkit dari posisinya. Dia berdehem pelan untuk menyembunyikan rasa malunya. Tapi wajahnya makin merona kala mengingat bahwa milik Edward masih tertacap di lubangnya. Rosie mengangkat pantatnya dan menjauh dari ranjang.Edward terkekeh geli dan kali ini tidak mau menyembunyikannya. Kekehan Edward dan sikap canggung Rosie terhenti setelah suara ketukan pintu terdengar.Tok!Tok!Tok!"Rosie, sayang. Apa kau ada di dalam?" panggil Nyon
"Oi! Bangun."Edward dengan ragu-ragu menyibak selimut dari wajahnya. Pemuda itu sekedar menunjukkan matanya yang sipit dan menemukan Rosie, berdiri dengan keangkuhan entah dari mana, bersedekap, masih tanpa busana dan tidak terlihat terganggu akan fakta tersebut, sambil menancapkan tatapan dingin padanya."Aku akan mandi. Kau harus enyah dari sini setelah aku selesai." Perintah itu terasa merendahkan. Begitu kontras dengan racauan dan desahan Rosie beberapa menit lalu."T-tunggu." Edward sudah beranjak dari ranjang dan telah menahan tangan Rosie.Gadis itu berpaling. Tatapannya masih sedingin es tapi ada setitik tanda tanya. Rosie menunggu Edward melanjutkan kalimatnya.Edward secara refleks memutus tatapan mereka. Tanpa sebab yang jelas merasakan panas di wajahnya dan debaran di dadanya. Dia juga langsung melepaskan pegangannya pada lengan Rosie seakan sentuhan kulit mereka membakarnya.
"Selamat datang di dunia para pendosa, Kak Edward. Kuharap kita bisa hidup akur mulai sekarang karena sudah berada pada level yang sama."Si gadis remaja menjauhkan bibirnya dari telinga Edward untuk menghadapi wajah merah padam itu. Mungkin Edward Quin hanya bisa diam membisu menanggapi setiap pelecehan dan hinaan darinya, tapiwajah itu memancarkan rasa jijik yang begitu kental.Sorot mata hitam Edward menatap Rosie bak Rosie adalah seonggok kotoran yang mengotori pakaian mahalnya. Begitu jijik dan benci."Aku akan mandi. Aku mau kau sudah pergi dari sini setelah aku selesai. Jadilah anak baik dan jangan memancing amarahku lagi, Edward. Kau mengerti, kan?"Rosie menepuk-nepuk pipi Edward pelan. Mengulas senyum manis untuk kesekian kalinya hari itu. Dia bangkit, berbalik dengan anggun, dengan pelan berjalan masuk ke kamar mandi.***Edward menuruti perkataan Rosie. Dia menghilang dari
"Wah, tidak jauh dari rumah. Kapan-kapan main ya ke rumah." Lidya terkekeh di akhir kalimatnya. Angel meringis dan Damian tersenyum kecil."Iya, Tante.""Siapa tahu, bisa menjadi menantu. Belum punya pacar, 'kan?"Angel sontak menatap Lidya dengan wajah terkejut namun setelah itu kembali melunak, terkekeh lalu menunduk. Kedua tangannya terkepal hingga jari kukunya kian memutih.***"Ella."Ella menoleh saat Samuel sudah berada di hadapannya dengan sekotak susu pisang."Ini, untukmu." Samuel menyodorkannya dan Ella dengan ragu mengambilnya."Terima kasih." cicit Ella pelan.Samuel tidak menjawab, anak itu langsung mengambil posisi di samping Ella seraya melanjutkan meminum susu pisangnya. Kini, sudah lima belas menit berlalu sejak bel istirahat berbunyi. Ella dan Samuel sedang duduk di santai di bangku taman seray
"Angel, kau apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada waktu luang? Bisa kita bicara sebentar?"Angel yang tidak tahu ingin berkata apa hanya mampu tersenyum kecil dan pasrah ketika tangannya di tarik begitu saja oleh Ibu Damian. Diam-diam, Damian merasakan tatapan tajam Angel yang siap membunuhnya.***Ella menghela napas lelah selepas turun dari mobil Rere. Padahal, niatnya hari ini dia tidak ingin masuk sekolah mengingat hal mengerikan lain yang mungkin saja bisa terjadi. Kemarin, seperti biasa dia selalu mendapat perlakuan yang menjengkelkan."Ella, tidak boleh cemberut begitu. Anak cantik harus tersenyum." Rere berujar dari balik kaca mobil.Ella hanya meliriknya sekilas lalu mengangguk. "I go to school, Aunty."Rere mengangguk, "I wiil pick you up later."Setelah Ella mengangguk barulah mobil Rere melesat menuju jalan ibu kota yang padat
"Aku berangkat dulu, ya." pamit Edward pada Rosie. Mengecup kening sang istri lalu beralih ke perut buncitnya."Sayang, jaga Ibu baik-baik, ya. Jangan nakal." Setelah itu, Edward juga meninggalkan kecupan untuk si jabang bayinya."Ayo, Ayah!" Rosie kembali terkekeh menyaksikan wajah lelah Edward."Aku sudah di tunggu Kak Eros di sekolah!" Samuel kembali bersuara, kali ini dengan menunjukkan jam tangan yang memiliki fungsi seperti ponsel, hadiah dari kakeknya."Iya, sebentar sayang.""Ya sudah, kamu berangkat. Hati-hati di jalan."Edward mengangguk, melemparkan senyum. "Baiklah."Lima menit kemudian, mobil yang di kendarai Edward melaju pergi, tersisa Samuel yang melambaikan tangannya pada Rosie sampai sang ibu hilang dari pandangannya.***David melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah setenga
"Kak Damian? Angel? Kalian saling kenal?" Rosie menatap sepasang pria dan wanita yang dia kenal di hadapannya. Edward sepertinya juga menatap heran keduanya dari pandangan mata.Damian yang semula berada berapa langkah di belakang Angel kini mulai berjalan hingga keduanya bersisihan."Ya, kami saling kenal. Kami pernah berpacaran semasa aku kuliah dulu." ungkap Damian secara gamblang dengan mudahnya. Sontak saja, itu memancing tiga pasang mata yang ada di sana menatap Damiam terkejut. Terlebih lagi Angel, rasanya bola mata gadis itu sebentar lagi akan melompat keluar jika tak sedetik kemudian Angel berkedip."Wah, kalian ternyata pernah berpacaran? Astaga, dunia ini benar-benar sempit." Edward berseru kalut, ikut mewakili Rosie yang juga terkejut mendengarnya.Damian hanya melemparkan tatapan tak berdosanya pada Angel seraya menampilkan senyuman terbaiknya. Sedan
"Kau masih menyukainya?"Angel membuang wajahnya tanpa sadar yang malah membuat Damian semakin yakin dengan persepsinya."Kau ada waktu sebentar di taman? Kebetulan, aku membawa makanan." Damian menunjukkan tentengan yang dia bawa, arah mata Angel mengikuti pergerakan tangan Damian.***"Kau sudah lama menjadi Dokter di sini?" Damian memulai pertanyaan seraya membuka bungkus roti yang dia bawa. Kebetulan, dia belum sarapan. Niatnya, dia ingin menjenguk Rosie dan Samuel, tapi saat dia ingin menjenguknya, dia malah menemukan sosok mantan kekasih yang sudah lama sekali tidak muncul di hadapannya. Sebuah kebetulan sekali.Ya, Damian dan Angel memang pernah memadu kasih bahkan Damian sudah mengenalkan Angel pada ayah dan ibunya. Kalian ingat saat hubungan Damian dan Rosie di tentang keras oleh kedua orang tua Damian? Bukan semata-mata hanya karena Rosie tidak memiliki Ayah dan latar bel
Pada awalnya, Rosie akan menduga bahwa Edward tidak bisa menerima Samuel sebagai anak pertamanya, tapi dugaannya salah ketika melihat senyuman Edward yang begitu tulus ketika kali pertamanya dia melihat Samuel. Hati Rosie juga ikut mencelos kala itu, merasa terharu dengan apa yang dia lihat.Edward yang merasa terusik dengan elusan di kepalanya kini perlahan mulai membuka matanya, dan langsung membeliak kaget ketika melihat wajah sang istri yang sudah kembali berseri."Kau sudah sadar? Bagaimana? Apa perutmu merasa sakit lagi?" Edward langsung mengecek keadaan Rosie, memutar tubuh sang istri, dia ingin memastikannya sendiri.Rosie tertawa geli menyadari sikap protektif Edward terhadapnya, "Aku tidak apa-apa, Edward. Aku baik-baik saja."Edward menaikkan satu alisnya, "Apa kau yakin?" Rosie tersenyum lalu mengangguk.Edward menghela napas lega, "Syukurlah
Rere berdehem dengan salah satu telunjuknya menyentuh dagu, terlihat berpikir. "Menurut Aunty, Si Bully ini seperti racun yang semakin lama akan semakin menggerogoti tubuh kita. Jadi, kita harus menghilangkan racun-racun itu. Jika, Ella merasa di rugikan maka Ella harus menjauh, Ella tidak boleh diam saja itu akan semakin membuat Ella meras lemah. Ella menjauh saja, tidak usah pedulikan apa yang dia bicarakan. Toh, mereka semakin lama akan bosan dan tidak akan mengganggu Ella lagi."Rupanya, ucapan Rere tadi belum berhasil mengundang senyuman di wajah Ella. "Tapi, aku tidak memiliki teman. Aku ingin memiliki teman seperti yang lain, Aunty."Rere mengelus punggung belakang Ella, "Ella tahu, 'kan? Kalau Ella belum lama ada di sini? Jadi, Ella memang harus beradaptasi dengan lingkungan Ella yang sekarang. Lingkungan Ella yang sekarang ini jauh berbeda dengan lingkungan Ella yang di Sydney. Aunty juga yakin pasti suatu saat Ella ak
"Kau sedang melihat apa?" tanya David yang setelah itu menegak minumannya."Aku sedang melihat anak-anak, Samuel dab Eros terlihat nampak dekat. Bahkan, Samuel sudah seperti adiknya sendiri. Apa kau tahu? Eros tidak seperti itu pada Zea dan Zelo, hanya pada Samuel dia seperti itu."David mengangkat kedua bahunya lalu bersandar pada senderan kursi di belakangnya seraya melebarkan kakinya, "Kurasa, Eros benar-benar sangat menyukai Samuel, dan Samuel juga sebaliknya. Dulu, Eros selalu bilang padaku, katanya seperti ini, aku juga ingin menjaga adikku tapi Zea sudah bersama dengan Zelo, selalu. Padahal, dia juga ingin seperti Zelo. Sedangkan, Zelo sepertinya juga bisa tanpanya. Mungkin, itulah yang menyababkan Eros sangat menyayangi Samuel."Alice mengangguk seraya tersenyum, "Kurasa begitu. Setidaknya, aku lega karena permasalahan harus berakhir seperti ini. Untung saja, takdir memang sudah di gariskan da
"Edward, kakiku lemas. Aku tidak bisa berjalan." lirih Rosie pelan tapi masih bisa di dengar oleh semua pasang telinga."Ibu! Ibu kenapa?" Samuel langsung menyeru ketika melihat wajah sang ibu yang pucat tapi masih bisa memaksakan senyum.Edward dengan siaga langsung menggendong tubuh Rosie, "Alice sebentar ya, tolong jaga anak-anak aku akan membawa Rosie ke ruangannya dan memanggil Dokter." Setelah itu, langkah Edward menghilang di balik pintu."Aku kasihan melihatnya." ujar Alice lirih. Sungguh, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia berada di posisi Rosie. Kandungannya yang mengalami flek dan anaknya yang habis terjatuh dari mainan bola dunia, benar-benar membuat Alice prustasi melihatnya."Tak apa, Rosie adalah gadis yang kuat." Alice mengangguk."Bibi Alice, Paman David. Ibu kenapa? Kenapa wajahnya sangat pucat sekali?" Samuel berkata dengan nada khawa