"Itu tadi luar biasa," komentar Edward tiba-tiba. Sayangnya kalimat itu menyadarkan mereka berdua.
"Cih!" decak Rosie mengejek. "Tentu saja aku luar biasa."
Edward hanya tersenyum dalam diam mendengar si kasar Rosie telah kembali.
"Omong-omong. Mau sampai kapan kau memelukku?" Rosie kembali bertanya dengan nada sok jijik.
"Nah! Harusnya aku yang bertanya begitu. Kau kan yang menindihku dari tadi."
Sontak saja Rosie bangkit dari posisinya. Dia berdehem pelan untuk menyembunyikan rasa malunya. Tapi wajahnya makin merona kala mengingat bahwa milik Edward masih tertacap di lubangnya. Rosie mengangkat pantatnya dan menjauh dari ranjang.
Edward terkekeh geli dan kali ini tidak mau menyembunyikannya. Kekehan Edward dan sikap canggung Rosie terhenti setelah suara ketukan pintu terdengar.
Tok!Tok!Tok!
"Rosie, sayang. Apa kau ada di dalam?" panggil Nyon
"Oi! Bangun."Edward dengan ragu-ragu menyibak selimut dari wajahnya. Pemuda itu sekedar menunjukkan matanya yang sipit dan menemukan Rosie, berdiri dengan keangkuhan entah dari mana, bersedekap, masih tanpa busana dan tidak terlihat terganggu akan fakta tersebut, sambil menancapkan tatapan dingin padanya."Aku akan mandi. Kau harus enyah dari sini setelah aku selesai." Perintah itu terasa merendahkan. Begitu kontras dengan racauan dan desahan Rosie beberapa menit lalu."T-tunggu." Edward sudah beranjak dari ranjang dan telah menahan tangan Rosie.Gadis itu berpaling. Tatapannya masih sedingin es tapi ada setitik tanda tanya. Rosie menunggu Edward melanjutkan kalimatnya.Edward secara refleks memutus tatapan mereka. Tanpa sebab yang jelas merasakan panas di wajahnya dan debaran di dadanya. Dia juga langsung melepaskan pegangannya pada lengan Rosie seakan sentuhan kulit mereka membakarnya.
"Selamat datang di dunia para pendosa, Kak Edward. Kuharap kita bisa hidup akur mulai sekarang karena sudah berada pada level yang sama."Si gadis remaja menjauhkan bibirnya dari telinga Edward untuk menghadapi wajah merah padam itu. Mungkin Edward Quin hanya bisa diam membisu menanggapi setiap pelecehan dan hinaan darinya, tapiwajah itu memancarkan rasa jijik yang begitu kental.Sorot mata hitam Edward menatap Rosie bak Rosie adalah seonggok kotoran yang mengotori pakaian mahalnya. Begitu jijik dan benci."Aku akan mandi. Aku mau kau sudah pergi dari sini setelah aku selesai. Jadilah anak baik dan jangan memancing amarahku lagi, Edward. Kau mengerti, kan?"Rosie menepuk-nepuk pipi Edward pelan. Mengulas senyum manis untuk kesekian kalinya hari itu. Dia bangkit, berbalik dengan anggun, dengan pelan berjalan masuk ke kamar mandi.***Edward menuruti perkataan Rosie. Dia menghilang dari
"Sayang, aku ingin bicara." dia berkata, membawa nada manja sembari melirik Claire. Jelas sekali hanya ingin bicara empat mata dengan Rosie yang artinya Claire harus menyingkir."Aku sedang sibuk. Tidak ada waktu." Benar sekali Rosie sibuk. Sibuk menghindari Griffin tepatnya. Sejak awal mereka memutuskan untuk 'bersenang-senang, Rosie dengan jelas mengatakan bawa dia tidak suka terikat hubungan apapun. Semua yang mereka lakukan tidak akan berlanjut ke hubungan yang lebih dari friends with benefit. Tidak boleh ada perasaan dalam hubungan itu.Tetapi, Griffin nampaknya punya pemikiran yang berbeda. Pemuda itu terus saja meminta Rosie untuk jadi pacarnya. Ralat. Griffin terus saja meminta Rosie untuk jadi pacar gelapnya. Nah, Griffin memang sudah punya pacar dan gadis itu satu sekolah dengan mereka.Luar biasa, kan?"Come on, babe. Please."Masih belum mau menyerah atau memang tidak punya urat malu ada
Rosie terus mencoba melawan, mendorong dan menghalau tangan kurang ajar pemuda itu sekuat tenaga. Namun, kekuatannya jauh di bawah kakak kelasnya. Griffin memegangi kedua tangan Rosie dan memipit tubuhnya supaya tidak bisa menghindar.Ciuman itu makin kasar dan beringas. Bibir lelaki itu mulai turun ke leher, menghisap dan menggigit kulit putih yang lembut hingga berubah kemerahan. Dia merobek seragam Rosie supaya bisa menjangkau dada Rosie dengan mulutnya. Rosie memekik kesakitan kala Griffin mulai memakai giginya untuk menandai daerah tersebut.Lalu, dalam sekejap Rosie merasakan Griffin terlempar ke udara dan tersungkur di lantai. Gadis yang masih kehabisan nafas karena perlawanan yang sia-sia tadi melihat Edward berdiri di depannya dengan tatapan nyalang.Pemuda Quin itu memasang wajah garang dan aura menakutkan. Dia menatap Rosie sekilas lalu berpaling pada Griffin. Dia mendekat pada pemuda berseragam, lalu duduk di perutnya. T
"Kubilang berhenti menemui para cowok bedebah itu! mereka hanya bisa melecehkanmu saja!" ucapnya sedikit terlalu kasar dari yang dia maksud. Salahkan amarahnya yang belum reda."Dan siapa kau berani memerintahku? Apa kau lupa kau itu bukan lagi orang suci, Edward? Kau tidak pantas mengaturku di saat hidupmu juga sama hinanya denganku!" Rosie mengangkat alis dengan berani. Seharian ini semua lelaki yang dia kenal bertindak semena-mena. Tadi Griffin dan sekarang Edward."Pokoknya kau tidak boleh menemui pria itu dan pria lain lagi! Aku punya hak! Aku adalah Kakak-mu! Apa kau lupa?! Aku bertanggung jawab atas dirimu!" suara Edward tegas dan mengintimidasi. Sang kakak tiri mencengkram kedua lengan Rosie supaya dia bisa menatapnya lekat.Rosie jadi terpesona untuk sesaat. Untuk pertama kalinya wajah mereka berada dalam jarak sedekat ini sampai Rosie bisa melihat jelas dua tanda kembar di bawah alis pemuda itu yang menur
Edward tidak pernah berpikir bahwa dirinya akan berakhir seperti ini. Melanggar janji yang baru saja dia buat beberapa jam lalu pada kekasihnya, Alice. Bagi seorang Edward, janji adalah hal yang sakral, bukan hal main-main yang sembarangan kau ikrarkan lalu kau langgar dengan mudah.Namun kembali, Rosie membuatnya melakukan hal yang tidak pernah dia bayangkan untuk lakukan. Rosie membuatnya menodai janji itu. Dengan mudah membuat Edward mengkhianati Alice untuk kedua kalinya. Membuat Edward melupakan niat awalnya untuk menghakhiri jeratan penuh dosa yang mereka mainkan. Edward malah terjerat makin kuat dan dalam. Mustahil terlepas. Atau mungkin malah Edward yang tidak maumelepasnya.Pemicunya adalah pemandangan yang dia saksikan di lorong itu. Ketika melihat si gadis pembangkang disentuh pemuda lain, hati Edward langsung panas. Dia yang tidak posesif sama sekali sontak saja merasakan gemuruh yang terasa membunuhnya kala melihat lelaki
Gadis berambut kuncir kuda duduk di bangku, "Kau bilang makanannya sudah siap. Mana? Aku kelaparan!" teriak Rosie dari meja makan.Edward berbalik. Tersenyum pada sang adik. Senyumnya cerah dan hangat. Penampilan Edward dengan celemek polkadot warna pink hampir meledakkan tawa Rosie. Edward seperti bapak rumah tangga teladan."Kubilang hampir siap. Itu artinya hampir siap." Dia berbalik lagi.Rosie mendecih dengan suara yang cukup besar supaya terdengar oleh Edward. Tapi, diam-diam senyumnya tersungging indah meladeni kelakukan kakaknya. Memang hampir setiap hari seperti ini. Mereka melemparkan komentar sarkas yang memancing kekehan tersembunyi satu sama lain. Berlagak saling benci dan terganggu tapi dalam hati siapa yang tahu apa yang mereka rasakan.Sepiring panekuk ditambah telur mata sapi lengkap dengan ayam garing ditaruh di depan Rosie. Gadis itu mengukir senyum manis menatap sarapannya. Persis seperti yang se
"Jangan diam saja! Cepat bergerak!" hardik Rosie pada Edward sembari memiting Emily yang meronta.Edward tersentak. Langsung sadar kalau dia harusnya menyelamatkan Claire dari gadis bernama Ginny. Pemuda itu berlari menghampiri Ginny dan Claire."Maaf, bocah," ia berkata pada Ginny dengan senyum agak bersalah. Melepaskan Claire dari cengkraman Ginny dengan mendorong Ginny tanpa tenaga. Agaknya Ginny sudah terpesona duluan dengan kemilau dari wajah tampan Edward, maka bocah itu tidak melawan lagi. Dia kemudian membuka ikatan di tangan Claire.Rosie melihat sahabatnya sudah bebas melontarkan tendangan terakhir pada dua lawannya. Dia memberi aba-aba untuk Edward kabur secepat kilat.Mereka bertiga lari seperti orang gila keluar dari komplek gedung kosong itu. Sesekali memeriksa tiga musuh di belakang. Tak ada yang mengikuti mereka. Edward langsung tancap gas ketika semua orang sudah berhasil masuk mobil.
"Wah, tidak jauh dari rumah. Kapan-kapan main ya ke rumah." Lidya terkekeh di akhir kalimatnya. Angel meringis dan Damian tersenyum kecil."Iya, Tante.""Siapa tahu, bisa menjadi menantu. Belum punya pacar, 'kan?"Angel sontak menatap Lidya dengan wajah terkejut namun setelah itu kembali melunak, terkekeh lalu menunduk. Kedua tangannya terkepal hingga jari kukunya kian memutih.***"Ella."Ella menoleh saat Samuel sudah berada di hadapannya dengan sekotak susu pisang."Ini, untukmu." Samuel menyodorkannya dan Ella dengan ragu mengambilnya."Terima kasih." cicit Ella pelan.Samuel tidak menjawab, anak itu langsung mengambil posisi di samping Ella seraya melanjutkan meminum susu pisangnya. Kini, sudah lima belas menit berlalu sejak bel istirahat berbunyi. Ella dan Samuel sedang duduk di santai di bangku taman seray
"Angel, kau apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada waktu luang? Bisa kita bicara sebentar?"Angel yang tidak tahu ingin berkata apa hanya mampu tersenyum kecil dan pasrah ketika tangannya di tarik begitu saja oleh Ibu Damian. Diam-diam, Damian merasakan tatapan tajam Angel yang siap membunuhnya.***Ella menghela napas lelah selepas turun dari mobil Rere. Padahal, niatnya hari ini dia tidak ingin masuk sekolah mengingat hal mengerikan lain yang mungkin saja bisa terjadi. Kemarin, seperti biasa dia selalu mendapat perlakuan yang menjengkelkan."Ella, tidak boleh cemberut begitu. Anak cantik harus tersenyum." Rere berujar dari balik kaca mobil.Ella hanya meliriknya sekilas lalu mengangguk. "I go to school, Aunty."Rere mengangguk, "I wiil pick you up later."Setelah Ella mengangguk barulah mobil Rere melesat menuju jalan ibu kota yang padat
"Aku berangkat dulu, ya." pamit Edward pada Rosie. Mengecup kening sang istri lalu beralih ke perut buncitnya."Sayang, jaga Ibu baik-baik, ya. Jangan nakal." Setelah itu, Edward juga meninggalkan kecupan untuk si jabang bayinya."Ayo, Ayah!" Rosie kembali terkekeh menyaksikan wajah lelah Edward."Aku sudah di tunggu Kak Eros di sekolah!" Samuel kembali bersuara, kali ini dengan menunjukkan jam tangan yang memiliki fungsi seperti ponsel, hadiah dari kakeknya."Iya, sebentar sayang.""Ya sudah, kamu berangkat. Hati-hati di jalan."Edward mengangguk, melemparkan senyum. "Baiklah."Lima menit kemudian, mobil yang di kendarai Edward melaju pergi, tersisa Samuel yang melambaikan tangannya pada Rosie sampai sang ibu hilang dari pandangannya.***David melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah setenga
"Kak Damian? Angel? Kalian saling kenal?" Rosie menatap sepasang pria dan wanita yang dia kenal di hadapannya. Edward sepertinya juga menatap heran keduanya dari pandangan mata.Damian yang semula berada berapa langkah di belakang Angel kini mulai berjalan hingga keduanya bersisihan."Ya, kami saling kenal. Kami pernah berpacaran semasa aku kuliah dulu." ungkap Damian secara gamblang dengan mudahnya. Sontak saja, itu memancing tiga pasang mata yang ada di sana menatap Damiam terkejut. Terlebih lagi Angel, rasanya bola mata gadis itu sebentar lagi akan melompat keluar jika tak sedetik kemudian Angel berkedip."Wah, kalian ternyata pernah berpacaran? Astaga, dunia ini benar-benar sempit." Edward berseru kalut, ikut mewakili Rosie yang juga terkejut mendengarnya.Damian hanya melemparkan tatapan tak berdosanya pada Angel seraya menampilkan senyuman terbaiknya. Sedan
"Kau masih menyukainya?"Angel membuang wajahnya tanpa sadar yang malah membuat Damian semakin yakin dengan persepsinya."Kau ada waktu sebentar di taman? Kebetulan, aku membawa makanan." Damian menunjukkan tentengan yang dia bawa, arah mata Angel mengikuti pergerakan tangan Damian.***"Kau sudah lama menjadi Dokter di sini?" Damian memulai pertanyaan seraya membuka bungkus roti yang dia bawa. Kebetulan, dia belum sarapan. Niatnya, dia ingin menjenguk Rosie dan Samuel, tapi saat dia ingin menjenguknya, dia malah menemukan sosok mantan kekasih yang sudah lama sekali tidak muncul di hadapannya. Sebuah kebetulan sekali.Ya, Damian dan Angel memang pernah memadu kasih bahkan Damian sudah mengenalkan Angel pada ayah dan ibunya. Kalian ingat saat hubungan Damian dan Rosie di tentang keras oleh kedua orang tua Damian? Bukan semata-mata hanya karena Rosie tidak memiliki Ayah dan latar bel
Pada awalnya, Rosie akan menduga bahwa Edward tidak bisa menerima Samuel sebagai anak pertamanya, tapi dugaannya salah ketika melihat senyuman Edward yang begitu tulus ketika kali pertamanya dia melihat Samuel. Hati Rosie juga ikut mencelos kala itu, merasa terharu dengan apa yang dia lihat.Edward yang merasa terusik dengan elusan di kepalanya kini perlahan mulai membuka matanya, dan langsung membeliak kaget ketika melihat wajah sang istri yang sudah kembali berseri."Kau sudah sadar? Bagaimana? Apa perutmu merasa sakit lagi?" Edward langsung mengecek keadaan Rosie, memutar tubuh sang istri, dia ingin memastikannya sendiri.Rosie tertawa geli menyadari sikap protektif Edward terhadapnya, "Aku tidak apa-apa, Edward. Aku baik-baik saja."Edward menaikkan satu alisnya, "Apa kau yakin?" Rosie tersenyum lalu mengangguk.Edward menghela napas lega, "Syukurlah
Rere berdehem dengan salah satu telunjuknya menyentuh dagu, terlihat berpikir. "Menurut Aunty, Si Bully ini seperti racun yang semakin lama akan semakin menggerogoti tubuh kita. Jadi, kita harus menghilangkan racun-racun itu. Jika, Ella merasa di rugikan maka Ella harus menjauh, Ella tidak boleh diam saja itu akan semakin membuat Ella meras lemah. Ella menjauh saja, tidak usah pedulikan apa yang dia bicarakan. Toh, mereka semakin lama akan bosan dan tidak akan mengganggu Ella lagi."Rupanya, ucapan Rere tadi belum berhasil mengundang senyuman di wajah Ella. "Tapi, aku tidak memiliki teman. Aku ingin memiliki teman seperti yang lain, Aunty."Rere mengelus punggung belakang Ella, "Ella tahu, 'kan? Kalau Ella belum lama ada di sini? Jadi, Ella memang harus beradaptasi dengan lingkungan Ella yang sekarang. Lingkungan Ella yang sekarang ini jauh berbeda dengan lingkungan Ella yang di Sydney. Aunty juga yakin pasti suatu saat Ella ak
"Kau sedang melihat apa?" tanya David yang setelah itu menegak minumannya."Aku sedang melihat anak-anak, Samuel dab Eros terlihat nampak dekat. Bahkan, Samuel sudah seperti adiknya sendiri. Apa kau tahu? Eros tidak seperti itu pada Zea dan Zelo, hanya pada Samuel dia seperti itu."David mengangkat kedua bahunya lalu bersandar pada senderan kursi di belakangnya seraya melebarkan kakinya, "Kurasa, Eros benar-benar sangat menyukai Samuel, dan Samuel juga sebaliknya. Dulu, Eros selalu bilang padaku, katanya seperti ini, aku juga ingin menjaga adikku tapi Zea sudah bersama dengan Zelo, selalu. Padahal, dia juga ingin seperti Zelo. Sedangkan, Zelo sepertinya juga bisa tanpanya. Mungkin, itulah yang menyababkan Eros sangat menyayangi Samuel."Alice mengangguk seraya tersenyum, "Kurasa begitu. Setidaknya, aku lega karena permasalahan harus berakhir seperti ini. Untung saja, takdir memang sudah di gariskan da
"Edward, kakiku lemas. Aku tidak bisa berjalan." lirih Rosie pelan tapi masih bisa di dengar oleh semua pasang telinga."Ibu! Ibu kenapa?" Samuel langsung menyeru ketika melihat wajah sang ibu yang pucat tapi masih bisa memaksakan senyum.Edward dengan siaga langsung menggendong tubuh Rosie, "Alice sebentar ya, tolong jaga anak-anak aku akan membawa Rosie ke ruangannya dan memanggil Dokter." Setelah itu, langkah Edward menghilang di balik pintu."Aku kasihan melihatnya." ujar Alice lirih. Sungguh, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia berada di posisi Rosie. Kandungannya yang mengalami flek dan anaknya yang habis terjatuh dari mainan bola dunia, benar-benar membuat Alice prustasi melihatnya."Tak apa, Rosie adalah gadis yang kuat." Alice mengangguk."Bibi Alice, Paman David. Ibu kenapa? Kenapa wajahnya sangat pucat sekali?" Samuel berkata dengan nada khawa