"Jangan diam saja! Cepat bergerak!" hardik Rosie pada Edward sembari memiting Emily yang meronta.
Edward tersentak. Langsung sadar kalau dia harusnya menyelamatkan Claire dari gadis bernama Ginny. Pemuda itu berlari menghampiri Ginny dan Claire.
"Maaf, bocah," ia berkata pada Ginny dengan senyum agak bersalah. Melepaskan Claire dari cengkraman Ginny dengan mendorong Ginny tanpa tenaga. Agaknya Ginny sudah terpesona duluan dengan kemilau dari wajah tampan Edward, maka bocah itu tidak melawan lagi. Dia kemudian membuka ikatan di tangan Claire.
Rosie melihat sahabatnya sudah bebas melontarkan tendangan terakhir pada dua lawannya. Dia memberi aba-aba untuk Edward kabur secepat kilat.
Mereka bertiga lari seperti orang gila keluar dari komplek gedung kosong itu. Sesekali memeriksa tiga musuh di belakang. Tak ada yang mengikuti mereka. Edward langsung tancap gas ketika semua orang sudah berhasil masuk mobil.
"Mana ada yang seperti itu. Organisasi ini tidak pernah mengumpulkan iuran dari anggota."Dan, Edward langsung paham meski terlambat apa arti dari rasa tidak enak yang sedari tadi bergelantungan di depan matanya, mengingatkannya. Dia sudah masuk perangkap dua gadis licik itu.Rosie mengulas senyum indah menawan yang mampu menerangi Palung Mariana sekalipun, "Kau yang bayar, Kak Edward." Dia berkata dengan santai sembari berdiri. Claire pun mengikutinya dan mereka berdua berjalan keluar dari restoran meninggalkan Edward di meja itu, masih memegang kertas sial yang menunjukkan harga serarus lima puluh ribu rupiah.***Setelah mengobati luka di wajah Claire, mereka mengantarnya ke lokasi audisi. Rencananya akan kembali menjemput gadis berbibir tebal itu setelah proses audisi selesai tiga jam lagi. Namun, ternyata ada perubahan rencana. Claire menelpon Rosie dan mengatakan dia tidak bisa pulang ke Jakarta hari ini juga. Audisinya diperpanjan
"Tapi, sangat aneh. Kenapa mereka di sini?" Emily megerutkan alisnya sedikit, mulai menyadari ada yang mencurigakan.Ketiga gadis saling tatap. Berbagi kecurigaan dan rasa penasaran. Sampai Ginny mendelik penuh kekagetan, mulutnya menganga lebar. Telunjuk si maknae tertuju pada body mobil sport kesayangan Irene yang baru dibeli tiga bulan lalu.Irene dan Emily kompak menoleh. Dan betapa terkejut juga murkanya mereka menyadari apa yang telah Rosie dan Edward mereka lakukan."DASAR BEDEBAH! AKU AKAN MEMBUNUHMU!"***Rosie dan Edward bersandar pada tembok beton setelah berlari tanpa henti selama sepuluh menit. Dada mereka naik turun dengan ritme yang cepat, mulut terbuka untuk menghirup dan menghempaskan udara. Sekujur tubuh Rosie sampai lemas saking takutnya dia tertangkap Irene dan dua anak buahnya. Bisa jadi dendeng kalau dia benar tertangkap. Untungnya tidak."Kau...me...ning...gal...kan..kuhhh..." prot
"Permisi, Bibi." Edward masuk ke toko kecil di pinggir laut tersebut."Iya. Mau cari apa?" seorang bibi berumur sekitar empat pulih tahunan muncul dari balik etalase. Senyuman ramah menyapa dua calon pembeli."Kami mau cari taksi di mana?""Taksi?" raut muka si bibi agak bingung. Menatap Edward layaknya dia telah melakukan hal yang aneh dan tidak masuk akal."Iya. Taksi. Kami harus kembali ke pusat kota.""Maksudmu Bandung?" Edward dan Rosie mengangguk kompak."Astaga, kau tidak tau di mana ini ya?" sekarang si bibi memasang wajah prihatin. Itu membuat Edward dan Rosie mulai curiga."Memang ini di mana?" Rosie yang sekarang bicara. Tidak bisa menahan gatal penasaran di mulutnya."Pangandaran."Akhirnya mereka berdua sadar. Mereka sudah tidak ada di Bandung, melainkan daerah lain bernama Pantai Pangandaran. Mereka di luar daerah. Ter
Layaknya pelakon kawakan sudah terbiasab beraktingmenghadapi banyak keadaan, Rosie pun mengantisipasi setiap gestur- termasuk senyuman- yang diarahkan pada dirinya. Namun, lagi-lagi sial baginya. Edward adalah batu besar yang punya cukup daya untuk memporak-porandakan pertahanannya. Rosie langsung K.O hanya dengan satu senyuman dari Rosie.Well, secara teknis dia K.O dua kali malam itu. Pertama karena kalimat Edward beberapa menit lalu, kedua karena senyuman yang masih lelaki sial itu pasang sekarang."Ada beberapa versi cerita tentang Cassiopeia. Tapi, ini adalah versi yang paling kusuka. Jadi, pada zaman dahulu kala hiduplah seorang ratu bernama Cassiopeia yang merupakan istri dari raja Cepheus. Mereka tinggal di kerajaan bernama Aetiophia bersama anak perempuan mereka, Andromeda. Sang ratu begitu cantik namun sayangnya sombong dan berkelakuan buruk. Suatu hari ratu yang sombong membual bahwa kecantikannya melebihi kecantikan semua perempuan
Akhirnya, setelah hampir satu jam mencari dengan berjalan kaki, mereka menemukan satu-satunya kedai yang buka malam itu. Kedainya ada di pinggir laut, angin sepoi berbau asin adalah pelengkap suasana nyaman dan hangat di tempat yang tidak terlalu ramai. Cukup pas untuk menikmati makan malam.Selain mereka, hanya ada beberapa wanita paruh baya dan paman paruh baya yang mengisi meja plastik bundar di depan kedai. Lampu bohlam kuning yang digantung asal-asalan semakin menambah suasana nyaman dan hangat terlepas dari dinginnya suhu.Rosie dan Edward memesan sate ayam, karena memang hanya itu menu yang tersedia di sini yang di campur dengan makanan lainnya seperti nasi dan telur dadar.Menu pesanan mereka telah hampir habis saat Rosie berkata, "Kau mau bernyanyi?""Hah?" Edward mendelik terkejut menganggapi kalimat tiba-tiba Rosie.Sejak awal mereka memesan makanan, Rosie telah memperhatikan Edward setid
"Dulu kau bernyanyi?" Edward hanya mengangguk sebagai jawaban."Kenapa berhenti?" Rosie mulai menemukan topik pembicaraan baru yang menarik baginya. Yang paling penting bisa mengalihkan perhatian dari rasa terpesonanya pada Edward.Pemuda itu kembali menyesap teh hijau yang terasa pahit. Getir yang bukan berasal dari teh kembali ia rasakan mengingat masa-masa itu. Kenangan yang dulu begitu bahagia kini meninggalkan nyeri kala kau mengingatnya sebagai kisah yang tidak akan terulang."Dulu aku punya mimpi. Cita-cita yang konyol." dia terkekeh tanpa jejak kesenangan, "Aku ingin menjadi penyanyi. Bahkan aku sempat mendirikan Band waktu SMA. Tapi, aku sadar kalau itu adalah impian mustahil."Edward berhenti untuk memutar lagi ingatan tentang masa-masa sulit saat dia harus melepaskan musik demi berlajar giat karena harus masuk universitas ternama. Edward tersenyum getir.Al
"Kau tuh yang harus berhenti kekanakan! Kau bukan anak kecil lagi, Edward Quin!""Kau yang lebih mirip anak kecil. Pendek!"Edward melet, menyebalkan. Makin puas melihat Rosie merah padam. Rosie sudah mau bangkit dan mencekik pemuda tinggi di sebelahnya. Sayang momen seru itu batal terlaksana lantaran Nyonya Lewis sudah masuk ke ruangan dengan nampan berisi buah potong yang lebih banyak."Rosie Wilkins, jangan seperti itu pada kakakmu." Eliza Lewis mendelik tajam pada putrinya sembari meletakkan nampan di meja. Perempuan cantik itu menoleh pada sang suami kemudian berkata, "Kau juga cekikikan saja! Bukannya melerai mereka.""Ah, iya." Tuan Lewis berdehem, "Rosie sayang, jangan marah-marah ya. Nanti Ayah belikan lagi mangga yang lebih banyak."Eliza melotot makin lebar pada suaminya. Lewis hanya angkat bahu lalu menyomot mangga di piring."Memang cuma Ayah yang sayang sama aku.
"Sayang, setelah ini kita juga foto, ya? Untuk kenang-kenangan.""Tapi, kita sudah punya banyak foto bersama, Alice," suara Edward terdengar menderita. Dia memasang senyum lebar untuk mengaburkan keadaan hati yang sebenarnya."Tapi aku mau yang diambil secara profesional. Foto kita semua hanya seperti biasa. Aku mau yang serius." paksa Alice setengah memelas. Gadis itu memancarkan tatapan sendu yang mustahil ditolak siapapun.Dan, Edward tidak punya pilihan lain selain mengatakan, "Baiklah."***Rosie kesal. Dia cemberut sejak tadi. Saat melihat Edward berfoto mesra dengan Alice tepatnya. Sekali lagi, untuk kesekian kalinya dia sadar betul bahwa tidak berhak sama sekali membenci Alice karena mesra dengan Edward.Rosie bukan siapa-siapa. Tidak akan pernah jadi siapa-siapa bagi Edward. Dan sungguh, dia berani sumpah, sudah berusaha sekuat tenaga melenyapkan rasa sialan ini. Rosie pun lelah harus uring-urin
"Wah, tidak jauh dari rumah. Kapan-kapan main ya ke rumah." Lidya terkekeh di akhir kalimatnya. Angel meringis dan Damian tersenyum kecil."Iya, Tante.""Siapa tahu, bisa menjadi menantu. Belum punya pacar, 'kan?"Angel sontak menatap Lidya dengan wajah terkejut namun setelah itu kembali melunak, terkekeh lalu menunduk. Kedua tangannya terkepal hingga jari kukunya kian memutih.***"Ella."Ella menoleh saat Samuel sudah berada di hadapannya dengan sekotak susu pisang."Ini, untukmu." Samuel menyodorkannya dan Ella dengan ragu mengambilnya."Terima kasih." cicit Ella pelan.Samuel tidak menjawab, anak itu langsung mengambil posisi di samping Ella seraya melanjutkan meminum susu pisangnya. Kini, sudah lima belas menit berlalu sejak bel istirahat berbunyi. Ella dan Samuel sedang duduk di santai di bangku taman seray
"Angel, kau apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada waktu luang? Bisa kita bicara sebentar?"Angel yang tidak tahu ingin berkata apa hanya mampu tersenyum kecil dan pasrah ketika tangannya di tarik begitu saja oleh Ibu Damian. Diam-diam, Damian merasakan tatapan tajam Angel yang siap membunuhnya.***Ella menghela napas lelah selepas turun dari mobil Rere. Padahal, niatnya hari ini dia tidak ingin masuk sekolah mengingat hal mengerikan lain yang mungkin saja bisa terjadi. Kemarin, seperti biasa dia selalu mendapat perlakuan yang menjengkelkan."Ella, tidak boleh cemberut begitu. Anak cantik harus tersenyum." Rere berujar dari balik kaca mobil.Ella hanya meliriknya sekilas lalu mengangguk. "I go to school, Aunty."Rere mengangguk, "I wiil pick you up later."Setelah Ella mengangguk barulah mobil Rere melesat menuju jalan ibu kota yang padat
"Aku berangkat dulu, ya." pamit Edward pada Rosie. Mengecup kening sang istri lalu beralih ke perut buncitnya."Sayang, jaga Ibu baik-baik, ya. Jangan nakal." Setelah itu, Edward juga meninggalkan kecupan untuk si jabang bayinya."Ayo, Ayah!" Rosie kembali terkekeh menyaksikan wajah lelah Edward."Aku sudah di tunggu Kak Eros di sekolah!" Samuel kembali bersuara, kali ini dengan menunjukkan jam tangan yang memiliki fungsi seperti ponsel, hadiah dari kakeknya."Iya, sebentar sayang.""Ya sudah, kamu berangkat. Hati-hati di jalan."Edward mengangguk, melemparkan senyum. "Baiklah."Lima menit kemudian, mobil yang di kendarai Edward melaju pergi, tersisa Samuel yang melambaikan tangannya pada Rosie sampai sang ibu hilang dari pandangannya.***David melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah setenga
"Kak Damian? Angel? Kalian saling kenal?" Rosie menatap sepasang pria dan wanita yang dia kenal di hadapannya. Edward sepertinya juga menatap heran keduanya dari pandangan mata.Damian yang semula berada berapa langkah di belakang Angel kini mulai berjalan hingga keduanya bersisihan."Ya, kami saling kenal. Kami pernah berpacaran semasa aku kuliah dulu." ungkap Damian secara gamblang dengan mudahnya. Sontak saja, itu memancing tiga pasang mata yang ada di sana menatap Damiam terkejut. Terlebih lagi Angel, rasanya bola mata gadis itu sebentar lagi akan melompat keluar jika tak sedetik kemudian Angel berkedip."Wah, kalian ternyata pernah berpacaran? Astaga, dunia ini benar-benar sempit." Edward berseru kalut, ikut mewakili Rosie yang juga terkejut mendengarnya.Damian hanya melemparkan tatapan tak berdosanya pada Angel seraya menampilkan senyuman terbaiknya. Sedan
"Kau masih menyukainya?"Angel membuang wajahnya tanpa sadar yang malah membuat Damian semakin yakin dengan persepsinya."Kau ada waktu sebentar di taman? Kebetulan, aku membawa makanan." Damian menunjukkan tentengan yang dia bawa, arah mata Angel mengikuti pergerakan tangan Damian.***"Kau sudah lama menjadi Dokter di sini?" Damian memulai pertanyaan seraya membuka bungkus roti yang dia bawa. Kebetulan, dia belum sarapan. Niatnya, dia ingin menjenguk Rosie dan Samuel, tapi saat dia ingin menjenguknya, dia malah menemukan sosok mantan kekasih yang sudah lama sekali tidak muncul di hadapannya. Sebuah kebetulan sekali.Ya, Damian dan Angel memang pernah memadu kasih bahkan Damian sudah mengenalkan Angel pada ayah dan ibunya. Kalian ingat saat hubungan Damian dan Rosie di tentang keras oleh kedua orang tua Damian? Bukan semata-mata hanya karena Rosie tidak memiliki Ayah dan latar bel
Pada awalnya, Rosie akan menduga bahwa Edward tidak bisa menerima Samuel sebagai anak pertamanya, tapi dugaannya salah ketika melihat senyuman Edward yang begitu tulus ketika kali pertamanya dia melihat Samuel. Hati Rosie juga ikut mencelos kala itu, merasa terharu dengan apa yang dia lihat.Edward yang merasa terusik dengan elusan di kepalanya kini perlahan mulai membuka matanya, dan langsung membeliak kaget ketika melihat wajah sang istri yang sudah kembali berseri."Kau sudah sadar? Bagaimana? Apa perutmu merasa sakit lagi?" Edward langsung mengecek keadaan Rosie, memutar tubuh sang istri, dia ingin memastikannya sendiri.Rosie tertawa geli menyadari sikap protektif Edward terhadapnya, "Aku tidak apa-apa, Edward. Aku baik-baik saja."Edward menaikkan satu alisnya, "Apa kau yakin?" Rosie tersenyum lalu mengangguk.Edward menghela napas lega, "Syukurlah
Rere berdehem dengan salah satu telunjuknya menyentuh dagu, terlihat berpikir. "Menurut Aunty, Si Bully ini seperti racun yang semakin lama akan semakin menggerogoti tubuh kita. Jadi, kita harus menghilangkan racun-racun itu. Jika, Ella merasa di rugikan maka Ella harus menjauh, Ella tidak boleh diam saja itu akan semakin membuat Ella meras lemah. Ella menjauh saja, tidak usah pedulikan apa yang dia bicarakan. Toh, mereka semakin lama akan bosan dan tidak akan mengganggu Ella lagi."Rupanya, ucapan Rere tadi belum berhasil mengundang senyuman di wajah Ella. "Tapi, aku tidak memiliki teman. Aku ingin memiliki teman seperti yang lain, Aunty."Rere mengelus punggung belakang Ella, "Ella tahu, 'kan? Kalau Ella belum lama ada di sini? Jadi, Ella memang harus beradaptasi dengan lingkungan Ella yang sekarang. Lingkungan Ella yang sekarang ini jauh berbeda dengan lingkungan Ella yang di Sydney. Aunty juga yakin pasti suatu saat Ella ak
"Kau sedang melihat apa?" tanya David yang setelah itu menegak minumannya."Aku sedang melihat anak-anak, Samuel dab Eros terlihat nampak dekat. Bahkan, Samuel sudah seperti adiknya sendiri. Apa kau tahu? Eros tidak seperti itu pada Zea dan Zelo, hanya pada Samuel dia seperti itu."David mengangkat kedua bahunya lalu bersandar pada senderan kursi di belakangnya seraya melebarkan kakinya, "Kurasa, Eros benar-benar sangat menyukai Samuel, dan Samuel juga sebaliknya. Dulu, Eros selalu bilang padaku, katanya seperti ini, aku juga ingin menjaga adikku tapi Zea sudah bersama dengan Zelo, selalu. Padahal, dia juga ingin seperti Zelo. Sedangkan, Zelo sepertinya juga bisa tanpanya. Mungkin, itulah yang menyababkan Eros sangat menyayangi Samuel."Alice mengangguk seraya tersenyum, "Kurasa begitu. Setidaknya, aku lega karena permasalahan harus berakhir seperti ini. Untung saja, takdir memang sudah di gariskan da
"Edward, kakiku lemas. Aku tidak bisa berjalan." lirih Rosie pelan tapi masih bisa di dengar oleh semua pasang telinga."Ibu! Ibu kenapa?" Samuel langsung menyeru ketika melihat wajah sang ibu yang pucat tapi masih bisa memaksakan senyum.Edward dengan siaga langsung menggendong tubuh Rosie, "Alice sebentar ya, tolong jaga anak-anak aku akan membawa Rosie ke ruangannya dan memanggil Dokter." Setelah itu, langkah Edward menghilang di balik pintu."Aku kasihan melihatnya." ujar Alice lirih. Sungguh, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia berada di posisi Rosie. Kandungannya yang mengalami flek dan anaknya yang habis terjatuh dari mainan bola dunia, benar-benar membuat Alice prustasi melihatnya."Tak apa, Rosie adalah gadis yang kuat." Alice mengangguk."Bibi Alice, Paman David. Ibu kenapa? Kenapa wajahnya sangat pucat sekali?" Samuel berkata dengan nada khawa