Layaknya pelakon kawakan sudah terbiasab beraktingmenghadapi banyak keadaan, Rosie pun mengantisipasi setiap gestur- termasuk senyuman- yang diarahkan pada dirinya. Namun, lagi-lagi sial baginya. Edward adalah batu besar yang punya cukup daya untuk memporak-porandakan pertahanannya. Rosie langsung K.O hanya dengan satu senyuman dari Rosie.
Well, secara teknis dia K.O dua kali malam itu. Pertama karena kalimat Edward beberapa menit lalu, kedua karena senyuman yang masih lelaki sial itu pasang sekarang.
"Ada beberapa versi cerita tentang Cassiopeia. Tapi, ini adalah versi yang paling kusuka. Jadi, pada zaman dahulu kala hiduplah seorang ratu bernama Cassiopeia yang merupakan istri dari raja Cepheus. Mereka tinggal di kerajaan bernama Aetiophia bersama anak perempuan mereka, Andromeda. Sang ratu begitu cantik namun sayangnya sombong dan berkelakuan buruk. Suatu hari ratu yang sombong membual bahwa kecantikannya melebihi kecantikan semua perempuan
Akhirnya, setelah hampir satu jam mencari dengan berjalan kaki, mereka menemukan satu-satunya kedai yang buka malam itu. Kedainya ada di pinggir laut, angin sepoi berbau asin adalah pelengkap suasana nyaman dan hangat di tempat yang tidak terlalu ramai. Cukup pas untuk menikmati makan malam.Selain mereka, hanya ada beberapa wanita paruh baya dan paman paruh baya yang mengisi meja plastik bundar di depan kedai. Lampu bohlam kuning yang digantung asal-asalan semakin menambah suasana nyaman dan hangat terlepas dari dinginnya suhu.Rosie dan Edward memesan sate ayam, karena memang hanya itu menu yang tersedia di sini yang di campur dengan makanan lainnya seperti nasi dan telur dadar.Menu pesanan mereka telah hampir habis saat Rosie berkata, "Kau mau bernyanyi?""Hah?" Edward mendelik terkejut menganggapi kalimat tiba-tiba Rosie.Sejak awal mereka memesan makanan, Rosie telah memperhatikan Edward setid
"Dulu kau bernyanyi?" Edward hanya mengangguk sebagai jawaban."Kenapa berhenti?" Rosie mulai menemukan topik pembicaraan baru yang menarik baginya. Yang paling penting bisa mengalihkan perhatian dari rasa terpesonanya pada Edward.Pemuda itu kembali menyesap teh hijau yang terasa pahit. Getir yang bukan berasal dari teh kembali ia rasakan mengingat masa-masa itu. Kenangan yang dulu begitu bahagia kini meninggalkan nyeri kala kau mengingatnya sebagai kisah yang tidak akan terulang."Dulu aku punya mimpi. Cita-cita yang konyol." dia terkekeh tanpa jejak kesenangan, "Aku ingin menjadi penyanyi. Bahkan aku sempat mendirikan Band waktu SMA. Tapi, aku sadar kalau itu adalah impian mustahil."Edward berhenti untuk memutar lagi ingatan tentang masa-masa sulit saat dia harus melepaskan musik demi berlajar giat karena harus masuk universitas ternama. Edward tersenyum getir.Al
"Kau tuh yang harus berhenti kekanakan! Kau bukan anak kecil lagi, Edward Quin!""Kau yang lebih mirip anak kecil. Pendek!"Edward melet, menyebalkan. Makin puas melihat Rosie merah padam. Rosie sudah mau bangkit dan mencekik pemuda tinggi di sebelahnya. Sayang momen seru itu batal terlaksana lantaran Nyonya Lewis sudah masuk ke ruangan dengan nampan berisi buah potong yang lebih banyak."Rosie Wilkins, jangan seperti itu pada kakakmu." Eliza Lewis mendelik tajam pada putrinya sembari meletakkan nampan di meja. Perempuan cantik itu menoleh pada sang suami kemudian berkata, "Kau juga cekikikan saja! Bukannya melerai mereka.""Ah, iya." Tuan Lewis berdehem, "Rosie sayang, jangan marah-marah ya. Nanti Ayah belikan lagi mangga yang lebih banyak."Eliza melotot makin lebar pada suaminya. Lewis hanya angkat bahu lalu menyomot mangga di piring."Memang cuma Ayah yang sayang sama aku.
"Sayang, setelah ini kita juga foto, ya? Untuk kenang-kenangan.""Tapi, kita sudah punya banyak foto bersama, Alice," suara Edward terdengar menderita. Dia memasang senyum lebar untuk mengaburkan keadaan hati yang sebenarnya."Tapi aku mau yang diambil secara profesional. Foto kita semua hanya seperti biasa. Aku mau yang serius." paksa Alice setengah memelas. Gadis itu memancarkan tatapan sendu yang mustahil ditolak siapapun.Dan, Edward tidak punya pilihan lain selain mengatakan, "Baiklah."***Rosie kesal. Dia cemberut sejak tadi. Saat melihat Edward berfoto mesra dengan Alice tepatnya. Sekali lagi, untuk kesekian kalinya dia sadar betul bahwa tidak berhak sama sekali membenci Alice karena mesra dengan Edward.Rosie bukan siapa-siapa. Tidak akan pernah jadi siapa-siapa bagi Edward. Dan sungguh, dia berani sumpah, sudah berusaha sekuat tenaga melenyapkan rasa sialan ini. Rosie pun lelah harus uring-urin
Alice tidak cemburu. Sungguh.Setidaknya gadis yang kini tengah tersenyum simpul sambil berpura-pura memperhatikan kalimat Nyonya Quin itu berusaha tidak cemburu. Beberapa kali Alice bergumam "Hmm." untuk menanggapi perkataan wanita yang duduk di sebelahnya.Alice juga berjuang mempertahankan wajah antusias dan perhatian penuh pada sang calon mertua. Namun, ujung mata jernihnya mengawasi Edward dan Rosie yang duduk bersebelahan.Sekarang sang tunangan sedang mengomel pada Rosie karena ada sedikit tumpahan saus di gaun gadis itu. Rosie yang ceroboh menumpahkan saus dari steak yang barusan Edward potongkan untuknya."Kau ini sembrono sekali! Lihat gaunmu jadi kotor," omel Edward jengkel namun tangannya sibuk mengelap dengan hati-hati noda di leher gaun itu."Nah! Kau tahu gaunku yang kotor. Kenapa malah kau yang marah?" balas Rosie tak kalah jengkel. Dia merebut lap dari tangan Edward dan lanjut membe
Restoran tempat mereka makan siang memang patut menyandang nama besar di kalangan atas. Banyak orang penting yang rela antri berminggu-minggu untuk memesan satu meja di sini. Hidangan yang disajikan jelas menggambarkan keahlian mengesankan dari sang koki, sempurna. Dekorasi restoran yang didominasi warna krem dan emas, serta perabot berukiran rumit mewakilkan gaya eropa klasik yang memang diusung restoran tersebut.Sekarang mereka sudah sampai ke menu penutup yang berupa es krim choco mint. Alice menelan getir yang ia rasa bersamaan dengan kelembutan tekstur es krim. Dia melihat Edward, tunanganya, orang yang selalu perhatian padanya, yang tidak pernah sekalipun lupa menukar es krim miliknya dengan milik Alice karena ia sudah pasti tahu jika Alice sangat benci dengan choco mint.Tidak pernah, kecuali saat ini.Edward justru sibuk memperhatikan Rosie yang kelihatan tidak bernafsu dengan menu pencuci mulutnya. Sejak tadi gadis i
"Edward! Apa kau gila?" seru Rosie tertahan, karena ia tidak mungkin berteriak di sini."Kau yang gila, Rosie. Apa-apaan kau ini! Mengapa kau berkata seperti itu tadi?" tanya Edward langsung.Ya, tadi setelah beberapa saat Rosie pergi ke belakang dengan sangat kebetulan ponsel Edward berbunyi. Padahal, itu hanya alarm yang sebelumnya sudah ia atur agar ia dapat bertemu dengan Rosie. Dan, untung saja bilik kamar mandi perempuan sedang kosong."Memangnya kenapa? Apa pedulimu, Edward?""Rosie, kau benar-benar—""Apa? Di mana perkataanku yang salah? Kau terus saja mengatakan bahwa kau mencintaiku, tapi di depan semua orang kau berusaha keras agar rahasia kita tidak terbongkar. Kau ini maunya apa, Edward? Mengapa kau selalu—"Tak memberi kesempatan Rosie untuk melanjutkan bicara. Edward sudah membungkam bibir gadis itu dengan bibirnya dengan kedua tangannya mencengkal p
"Edward, kau ingin minum apa?"Edward yang sedang memperhatikan isi room chatnya dengan Rosie sama sekali tidak menghiraukan ucapan Alice. Rosie hanya membaca saja, itu tandanya gadis itu sedang merajuk dan itu juga sebagai sinyal untuknya agar segera pulang."Edward, kau kenapa?" Alice menyentuh pundak pria itu dan barulah Edward bereaksi, memasukan ponselnya ke dalam saku celana dan berdiri."Maaf, Alice. Sepertinya, aku harus segera pulang. Rasanya, tubuhku sangat lelah." alibi Edward seraya merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Sebenarnya, Edward tidak bohong, ia memang sangat lelah dan pengisi energinya ada di rumah, makanya ia harus segera kembali."Jika, begitu. Kau bisa menginap di sini." ujar Alice dengan nada ceria, mengabaikan spekulasi buruk yang sialnya kembali bersarang di otaknya."Sepertinya, aku tidak bisa, sayang. Besok aku ada pekerjaan yang harus aku urus