Akhirnya, setelah hampir satu jam mencari dengan berjalan kaki, mereka menemukan satu-satunya kedai yang buka malam itu. Kedainya ada di pinggir laut, angin sepoi berbau asin adalah pelengkap suasana nyaman dan hangat di tempat yang tidak terlalu ramai. Cukup pas untuk menikmati makan malam.
Selain mereka, hanya ada beberapa wanita paruh baya dan paman paruh baya yang mengisi meja plastik bundar di depan kedai. Lampu bohlam kuning yang digantung asal-asalan semakin menambah suasana nyaman dan hangat terlepas dari dinginnya suhu.
Rosie dan Edward memesan sate ayam, karena memang hanya itu menu yang tersedia di sini yang di campur dengan makanan lainnya seperti nasi dan telur dadar.
Menu pesanan mereka telah hampir habis saat Rosie berkata, "Kau mau bernyanyi?"
"Hah?" Edward mendelik terkejut menganggapi kalimat tiba-tiba Rosie.
Sejak awal mereka memesan makanan, Rosie telah memperhatikan Edward setid
"Dulu kau bernyanyi?" Edward hanya mengangguk sebagai jawaban."Kenapa berhenti?" Rosie mulai menemukan topik pembicaraan baru yang menarik baginya. Yang paling penting bisa mengalihkan perhatian dari rasa terpesonanya pada Edward.Pemuda itu kembali menyesap teh hijau yang terasa pahit. Getir yang bukan berasal dari teh kembali ia rasakan mengingat masa-masa itu. Kenangan yang dulu begitu bahagia kini meninggalkan nyeri kala kau mengingatnya sebagai kisah yang tidak akan terulang."Dulu aku punya mimpi. Cita-cita yang konyol." dia terkekeh tanpa jejak kesenangan, "Aku ingin menjadi penyanyi. Bahkan aku sempat mendirikan Band waktu SMA. Tapi, aku sadar kalau itu adalah impian mustahil."Edward berhenti untuk memutar lagi ingatan tentang masa-masa sulit saat dia harus melepaskan musik demi berlajar giat karena harus masuk universitas ternama. Edward tersenyum getir.Al
"Kau tuh yang harus berhenti kekanakan! Kau bukan anak kecil lagi, Edward Quin!""Kau yang lebih mirip anak kecil. Pendek!"Edward melet, menyebalkan. Makin puas melihat Rosie merah padam. Rosie sudah mau bangkit dan mencekik pemuda tinggi di sebelahnya. Sayang momen seru itu batal terlaksana lantaran Nyonya Lewis sudah masuk ke ruangan dengan nampan berisi buah potong yang lebih banyak."Rosie Wilkins, jangan seperti itu pada kakakmu." Eliza Lewis mendelik tajam pada putrinya sembari meletakkan nampan di meja. Perempuan cantik itu menoleh pada sang suami kemudian berkata, "Kau juga cekikikan saja! Bukannya melerai mereka.""Ah, iya." Tuan Lewis berdehem, "Rosie sayang, jangan marah-marah ya. Nanti Ayah belikan lagi mangga yang lebih banyak."Eliza melotot makin lebar pada suaminya. Lewis hanya angkat bahu lalu menyomot mangga di piring."Memang cuma Ayah yang sayang sama aku.
"Sayang, setelah ini kita juga foto, ya? Untuk kenang-kenangan.""Tapi, kita sudah punya banyak foto bersama, Alice," suara Edward terdengar menderita. Dia memasang senyum lebar untuk mengaburkan keadaan hati yang sebenarnya."Tapi aku mau yang diambil secara profesional. Foto kita semua hanya seperti biasa. Aku mau yang serius." paksa Alice setengah memelas. Gadis itu memancarkan tatapan sendu yang mustahil ditolak siapapun.Dan, Edward tidak punya pilihan lain selain mengatakan, "Baiklah."***Rosie kesal. Dia cemberut sejak tadi. Saat melihat Edward berfoto mesra dengan Alice tepatnya. Sekali lagi, untuk kesekian kalinya dia sadar betul bahwa tidak berhak sama sekali membenci Alice karena mesra dengan Edward.Rosie bukan siapa-siapa. Tidak akan pernah jadi siapa-siapa bagi Edward. Dan sungguh, dia berani sumpah, sudah berusaha sekuat tenaga melenyapkan rasa sialan ini. Rosie pun lelah harus uring-urin
Alice tidak cemburu. Sungguh.Setidaknya gadis yang kini tengah tersenyum simpul sambil berpura-pura memperhatikan kalimat Nyonya Quin itu berusaha tidak cemburu. Beberapa kali Alice bergumam "Hmm." untuk menanggapi perkataan wanita yang duduk di sebelahnya.Alice juga berjuang mempertahankan wajah antusias dan perhatian penuh pada sang calon mertua. Namun, ujung mata jernihnya mengawasi Edward dan Rosie yang duduk bersebelahan.Sekarang sang tunangan sedang mengomel pada Rosie karena ada sedikit tumpahan saus di gaun gadis itu. Rosie yang ceroboh menumpahkan saus dari steak yang barusan Edward potongkan untuknya."Kau ini sembrono sekali! Lihat gaunmu jadi kotor," omel Edward jengkel namun tangannya sibuk mengelap dengan hati-hati noda di leher gaun itu."Nah! Kau tahu gaunku yang kotor. Kenapa malah kau yang marah?" balas Rosie tak kalah jengkel. Dia merebut lap dari tangan Edward dan lanjut membe
Restoran tempat mereka makan siang memang patut menyandang nama besar di kalangan atas. Banyak orang penting yang rela antri berminggu-minggu untuk memesan satu meja di sini. Hidangan yang disajikan jelas menggambarkan keahlian mengesankan dari sang koki, sempurna. Dekorasi restoran yang didominasi warna krem dan emas, serta perabot berukiran rumit mewakilkan gaya eropa klasik yang memang diusung restoran tersebut.Sekarang mereka sudah sampai ke menu penutup yang berupa es krim choco mint. Alice menelan getir yang ia rasa bersamaan dengan kelembutan tekstur es krim. Dia melihat Edward, tunanganya, orang yang selalu perhatian padanya, yang tidak pernah sekalipun lupa menukar es krim miliknya dengan milik Alice karena ia sudah pasti tahu jika Alice sangat benci dengan choco mint.Tidak pernah, kecuali saat ini.Edward justru sibuk memperhatikan Rosie yang kelihatan tidak bernafsu dengan menu pencuci mulutnya. Sejak tadi gadis i
"Edward! Apa kau gila?" seru Rosie tertahan, karena ia tidak mungkin berteriak di sini."Kau yang gila, Rosie. Apa-apaan kau ini! Mengapa kau berkata seperti itu tadi?" tanya Edward langsung.Ya, tadi setelah beberapa saat Rosie pergi ke belakang dengan sangat kebetulan ponsel Edward berbunyi. Padahal, itu hanya alarm yang sebelumnya sudah ia atur agar ia dapat bertemu dengan Rosie. Dan, untung saja bilik kamar mandi perempuan sedang kosong."Memangnya kenapa? Apa pedulimu, Edward?""Rosie, kau benar-benar—""Apa? Di mana perkataanku yang salah? Kau terus saja mengatakan bahwa kau mencintaiku, tapi di depan semua orang kau berusaha keras agar rahasia kita tidak terbongkar. Kau ini maunya apa, Edward? Mengapa kau selalu—"Tak memberi kesempatan Rosie untuk melanjutkan bicara. Edward sudah membungkam bibir gadis itu dengan bibirnya dengan kedua tangannya mencengkal p
"Edward, kau ingin minum apa?"Edward yang sedang memperhatikan isi room chatnya dengan Rosie sama sekali tidak menghiraukan ucapan Alice. Rosie hanya membaca saja, itu tandanya gadis itu sedang merajuk dan itu juga sebagai sinyal untuknya agar segera pulang."Edward, kau kenapa?" Alice menyentuh pundak pria itu dan barulah Edward bereaksi, memasukan ponselnya ke dalam saku celana dan berdiri."Maaf, Alice. Sepertinya, aku harus segera pulang. Rasanya, tubuhku sangat lelah." alibi Edward seraya merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Sebenarnya, Edward tidak bohong, ia memang sangat lelah dan pengisi energinya ada di rumah, makanya ia harus segera kembali."Jika, begitu. Kau bisa menginap di sini." ujar Alice dengan nada ceria, mengabaikan spekulasi buruk yang sialnya kembali bersarang di otaknya."Sepertinya, aku tidak bisa, sayang. Besok aku ada pekerjaan yang harus aku urus
"Kau sangat cantik, sayang." Edward berkata dan setelah itu kembali menyatukan bibir mereka. Rosie yang berada di bawahnya hanya bisa pasrah.Sedangkan, di luar sana, tepatnya Nyonya Quin baru saja keluar dari bilik kamar mandi. Langkah kakinya membawa dirinya ke arah dapur guna mengambil secangkir gelas minum untuk suaminya yang siapa tahu akan haus nanti.Ketika Nyonya Quin berjalan melewati bilik kamar sang anak tertua, Edward Quin. Wanita paruh baya mengernyit heran, lampu kamar anaknya itu terlihat menyala dengan rongga pintu yang terbuka sedikit. Meski ia belum lama menyandang gelar Nyonya Quin, namun sedikit banyak ia telah tahu seperti apa kebiasaan yang dilakukan oleh Edward. Nyonya Quin ingat betul jika Edward mengatakan tidak suka penerangan ketika tidur karena itu sangat mengganggunya. Apa Edward belum tidur?Nyonya Quin melirik ke arah jarum jam yang terus berputar, waktu sudah menunjukkan pukul satu m
"Wah, tidak jauh dari rumah. Kapan-kapan main ya ke rumah." Lidya terkekeh di akhir kalimatnya. Angel meringis dan Damian tersenyum kecil."Iya, Tante.""Siapa tahu, bisa menjadi menantu. Belum punya pacar, 'kan?"Angel sontak menatap Lidya dengan wajah terkejut namun setelah itu kembali melunak, terkekeh lalu menunduk. Kedua tangannya terkepal hingga jari kukunya kian memutih.***"Ella."Ella menoleh saat Samuel sudah berada di hadapannya dengan sekotak susu pisang."Ini, untukmu." Samuel menyodorkannya dan Ella dengan ragu mengambilnya."Terima kasih." cicit Ella pelan.Samuel tidak menjawab, anak itu langsung mengambil posisi di samping Ella seraya melanjutkan meminum susu pisangnya. Kini, sudah lima belas menit berlalu sejak bel istirahat berbunyi. Ella dan Samuel sedang duduk di santai di bangku taman seray
"Angel, kau apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada waktu luang? Bisa kita bicara sebentar?"Angel yang tidak tahu ingin berkata apa hanya mampu tersenyum kecil dan pasrah ketika tangannya di tarik begitu saja oleh Ibu Damian. Diam-diam, Damian merasakan tatapan tajam Angel yang siap membunuhnya.***Ella menghela napas lelah selepas turun dari mobil Rere. Padahal, niatnya hari ini dia tidak ingin masuk sekolah mengingat hal mengerikan lain yang mungkin saja bisa terjadi. Kemarin, seperti biasa dia selalu mendapat perlakuan yang menjengkelkan."Ella, tidak boleh cemberut begitu. Anak cantik harus tersenyum." Rere berujar dari balik kaca mobil.Ella hanya meliriknya sekilas lalu mengangguk. "I go to school, Aunty."Rere mengangguk, "I wiil pick you up later."Setelah Ella mengangguk barulah mobil Rere melesat menuju jalan ibu kota yang padat
"Aku berangkat dulu, ya." pamit Edward pada Rosie. Mengecup kening sang istri lalu beralih ke perut buncitnya."Sayang, jaga Ibu baik-baik, ya. Jangan nakal." Setelah itu, Edward juga meninggalkan kecupan untuk si jabang bayinya."Ayo, Ayah!" Rosie kembali terkekeh menyaksikan wajah lelah Edward."Aku sudah di tunggu Kak Eros di sekolah!" Samuel kembali bersuara, kali ini dengan menunjukkan jam tangan yang memiliki fungsi seperti ponsel, hadiah dari kakeknya."Iya, sebentar sayang.""Ya sudah, kamu berangkat. Hati-hati di jalan."Edward mengangguk, melemparkan senyum. "Baiklah."Lima menit kemudian, mobil yang di kendarai Edward melaju pergi, tersisa Samuel yang melambaikan tangannya pada Rosie sampai sang ibu hilang dari pandangannya.***David melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah setenga
"Kak Damian? Angel? Kalian saling kenal?" Rosie menatap sepasang pria dan wanita yang dia kenal di hadapannya. Edward sepertinya juga menatap heran keduanya dari pandangan mata.Damian yang semula berada berapa langkah di belakang Angel kini mulai berjalan hingga keduanya bersisihan."Ya, kami saling kenal. Kami pernah berpacaran semasa aku kuliah dulu." ungkap Damian secara gamblang dengan mudahnya. Sontak saja, itu memancing tiga pasang mata yang ada di sana menatap Damiam terkejut. Terlebih lagi Angel, rasanya bola mata gadis itu sebentar lagi akan melompat keluar jika tak sedetik kemudian Angel berkedip."Wah, kalian ternyata pernah berpacaran? Astaga, dunia ini benar-benar sempit." Edward berseru kalut, ikut mewakili Rosie yang juga terkejut mendengarnya.Damian hanya melemparkan tatapan tak berdosanya pada Angel seraya menampilkan senyuman terbaiknya. Sedan
"Kau masih menyukainya?"Angel membuang wajahnya tanpa sadar yang malah membuat Damian semakin yakin dengan persepsinya."Kau ada waktu sebentar di taman? Kebetulan, aku membawa makanan." Damian menunjukkan tentengan yang dia bawa, arah mata Angel mengikuti pergerakan tangan Damian.***"Kau sudah lama menjadi Dokter di sini?" Damian memulai pertanyaan seraya membuka bungkus roti yang dia bawa. Kebetulan, dia belum sarapan. Niatnya, dia ingin menjenguk Rosie dan Samuel, tapi saat dia ingin menjenguknya, dia malah menemukan sosok mantan kekasih yang sudah lama sekali tidak muncul di hadapannya. Sebuah kebetulan sekali.Ya, Damian dan Angel memang pernah memadu kasih bahkan Damian sudah mengenalkan Angel pada ayah dan ibunya. Kalian ingat saat hubungan Damian dan Rosie di tentang keras oleh kedua orang tua Damian? Bukan semata-mata hanya karena Rosie tidak memiliki Ayah dan latar bel
Pada awalnya, Rosie akan menduga bahwa Edward tidak bisa menerima Samuel sebagai anak pertamanya, tapi dugaannya salah ketika melihat senyuman Edward yang begitu tulus ketika kali pertamanya dia melihat Samuel. Hati Rosie juga ikut mencelos kala itu, merasa terharu dengan apa yang dia lihat.Edward yang merasa terusik dengan elusan di kepalanya kini perlahan mulai membuka matanya, dan langsung membeliak kaget ketika melihat wajah sang istri yang sudah kembali berseri."Kau sudah sadar? Bagaimana? Apa perutmu merasa sakit lagi?" Edward langsung mengecek keadaan Rosie, memutar tubuh sang istri, dia ingin memastikannya sendiri.Rosie tertawa geli menyadari sikap protektif Edward terhadapnya, "Aku tidak apa-apa, Edward. Aku baik-baik saja."Edward menaikkan satu alisnya, "Apa kau yakin?" Rosie tersenyum lalu mengangguk.Edward menghela napas lega, "Syukurlah
Rere berdehem dengan salah satu telunjuknya menyentuh dagu, terlihat berpikir. "Menurut Aunty, Si Bully ini seperti racun yang semakin lama akan semakin menggerogoti tubuh kita. Jadi, kita harus menghilangkan racun-racun itu. Jika, Ella merasa di rugikan maka Ella harus menjauh, Ella tidak boleh diam saja itu akan semakin membuat Ella meras lemah. Ella menjauh saja, tidak usah pedulikan apa yang dia bicarakan. Toh, mereka semakin lama akan bosan dan tidak akan mengganggu Ella lagi."Rupanya, ucapan Rere tadi belum berhasil mengundang senyuman di wajah Ella. "Tapi, aku tidak memiliki teman. Aku ingin memiliki teman seperti yang lain, Aunty."Rere mengelus punggung belakang Ella, "Ella tahu, 'kan? Kalau Ella belum lama ada di sini? Jadi, Ella memang harus beradaptasi dengan lingkungan Ella yang sekarang. Lingkungan Ella yang sekarang ini jauh berbeda dengan lingkungan Ella yang di Sydney. Aunty juga yakin pasti suatu saat Ella ak
"Kau sedang melihat apa?" tanya David yang setelah itu menegak minumannya."Aku sedang melihat anak-anak, Samuel dab Eros terlihat nampak dekat. Bahkan, Samuel sudah seperti adiknya sendiri. Apa kau tahu? Eros tidak seperti itu pada Zea dan Zelo, hanya pada Samuel dia seperti itu."David mengangkat kedua bahunya lalu bersandar pada senderan kursi di belakangnya seraya melebarkan kakinya, "Kurasa, Eros benar-benar sangat menyukai Samuel, dan Samuel juga sebaliknya. Dulu, Eros selalu bilang padaku, katanya seperti ini, aku juga ingin menjaga adikku tapi Zea sudah bersama dengan Zelo, selalu. Padahal, dia juga ingin seperti Zelo. Sedangkan, Zelo sepertinya juga bisa tanpanya. Mungkin, itulah yang menyababkan Eros sangat menyayangi Samuel."Alice mengangguk seraya tersenyum, "Kurasa begitu. Setidaknya, aku lega karena permasalahan harus berakhir seperti ini. Untung saja, takdir memang sudah di gariskan da
"Edward, kakiku lemas. Aku tidak bisa berjalan." lirih Rosie pelan tapi masih bisa di dengar oleh semua pasang telinga."Ibu! Ibu kenapa?" Samuel langsung menyeru ketika melihat wajah sang ibu yang pucat tapi masih bisa memaksakan senyum.Edward dengan siaga langsung menggendong tubuh Rosie, "Alice sebentar ya, tolong jaga anak-anak aku akan membawa Rosie ke ruangannya dan memanggil Dokter." Setelah itu, langkah Edward menghilang di balik pintu."Aku kasihan melihatnya." ujar Alice lirih. Sungguh, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia berada di posisi Rosie. Kandungannya yang mengalami flek dan anaknya yang habis terjatuh dari mainan bola dunia, benar-benar membuat Alice prustasi melihatnya."Tak apa, Rosie adalah gadis yang kuat." Alice mengangguk."Bibi Alice, Paman David. Ibu kenapa? Kenapa wajahnya sangat pucat sekali?" Samuel berkata dengan nada khawa