"Edward! Apa kau gila?" seru Rosie tertahan, karena ia tidak mungkin berteriak di sini.
"Kau yang gila, Rosie. Apa-apaan kau ini! Mengapa kau berkata seperti itu tadi?" tanya Edward langsung.
Ya, tadi setelah beberapa saat Rosie pergi ke belakang dengan sangat kebetulan ponsel Edward berbunyi. Padahal, itu hanya alarm yang sebelumnya sudah ia atur agar ia dapat bertemu dengan Rosie. Dan, untung saja bilik kamar mandi perempuan sedang kosong.
"Memangnya kenapa? Apa pedulimu, Edward?"
"Rosie, kau benar-benar—"
"Apa? Di mana perkataanku yang salah? Kau terus saja mengatakan bahwa kau mencintaiku, tapi di depan semua orang kau berusaha keras agar rahasia kita tidak terbongkar. Kau ini maunya apa, Edward? Mengapa kau selalu—"
Tak memberi kesempatan Rosie untuk melanjutkan bicara. Edward sudah membungkam bibir gadis itu dengan bibirnya dengan kedua tangannya mencengkal p
"Edward, kau ingin minum apa?"Edward yang sedang memperhatikan isi room chatnya dengan Rosie sama sekali tidak menghiraukan ucapan Alice. Rosie hanya membaca saja, itu tandanya gadis itu sedang merajuk dan itu juga sebagai sinyal untuknya agar segera pulang."Edward, kau kenapa?" Alice menyentuh pundak pria itu dan barulah Edward bereaksi, memasukan ponselnya ke dalam saku celana dan berdiri."Maaf, Alice. Sepertinya, aku harus segera pulang. Rasanya, tubuhku sangat lelah." alibi Edward seraya merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Sebenarnya, Edward tidak bohong, ia memang sangat lelah dan pengisi energinya ada di rumah, makanya ia harus segera kembali."Jika, begitu. Kau bisa menginap di sini." ujar Alice dengan nada ceria, mengabaikan spekulasi buruk yang sialnya kembali bersarang di otaknya."Sepertinya, aku tidak bisa, sayang. Besok aku ada pekerjaan yang harus aku urus
"Kau sangat cantik, sayang." Edward berkata dan setelah itu kembali menyatukan bibir mereka. Rosie yang berada di bawahnya hanya bisa pasrah.Sedangkan, di luar sana, tepatnya Nyonya Quin baru saja keluar dari bilik kamar mandi. Langkah kakinya membawa dirinya ke arah dapur guna mengambil secangkir gelas minum untuk suaminya yang siapa tahu akan haus nanti.Ketika Nyonya Quin berjalan melewati bilik kamar sang anak tertua, Edward Quin. Wanita paruh baya mengernyit heran, lampu kamar anaknya itu terlihat menyala dengan rongga pintu yang terbuka sedikit. Meski ia belum lama menyandang gelar Nyonya Quin, namun sedikit banyak ia telah tahu seperti apa kebiasaan yang dilakukan oleh Edward. Nyonya Quin ingat betul jika Edward mengatakan tidak suka penerangan ketika tidur karena itu sangat mengganggunya. Apa Edward belum tidur?Nyonya Quin melirik ke arah jarum jam yang terus berputar, waktu sudah menunjukkan pukul satu m
"Yah, Bu. Aku berangkat, ya. Sudah kesiangan." Edward mengambil tiga buah roti dan langsung memakannya.Rosie datang dan langsung meyantap sarapan yang sudah Ibunya sediakan."Kau buru-buru sekali, Edward." Tuan Quin berkomentar. Edward hanya mengangguk."Aku ada kuliah pagi hari ini, aku lupa. Aku pergi dulu, Yah, Bu." Setelah mengatakan itu, Edward langsung menghilang dari balik pintu."Ah, sayang sekali." Nyonya Quin menghela napas."Ada apa, sayang?""Sebenarnya, ada hal yang ingin aku tanyakan pada Edward. Semalam, ketika aku sedang buang air kecil, aku tidak sengaja melihat lampu kamar anak itu dalam keadaan menyala. Padahal, Edward tidak suka sekali ada penerangan ketika tidur. Dan, ketika aku mengeceknya Edward tidak ada. Padahal, pakaian yang ia kenakan ketika makan malam kemarin itu sudah ada di kasurnya. Pagi tadi, aku melihatnya keluar dari kamar. Kemana perg
"Bagaimana bisa ponsel Edward ada di dalam kamarmu, Rosie?" tanya Tuan Quin seraya mengambil benda pipih berwarna hitam itu.Rosie semakin gugup ketika Ayah dan Ibunya menatapnya tajam seolah ia seorang pencuri yang sedang di interogasi. Tatapannya sungguh mengintimidasi."Itu, apa, ah, semalam aku memang meminjam ponsel Kak Edward.""Untuk apa? Kau punya ponselmu, Rosie." Sekarang, Nyonya Quin yang menyerangnya. Aish, ia tidak suka keadaan yang seperti ini. Rasanya, ingin menghilang sekarang juga. Ini semua karena Edward!"Aku, aku meminjamnya untuk bermain game. Ruang penyimpanan di ponselku sudah penuh. Jadi, aku meminjamnya pada Kak Edward. Semalam, aku mengalami insomnia. Tadi, aku lupa ingin mengembalikannya pada Kak Edward." alibi Rosie dengan tangan yang terus bergerak gelisah di bawah meja. Semoga alasannya dapat diterima dengan Tuan dan Nyonya Quin."Kalau begitu, semalam
"Kau tidak berhubungan dengan Rosie, bukan?"Sontak saja, Edward membulatkan matanya. Sungguh, pria itu sangat terkejut. Apa Alice sudah mengetahui semuanya atau hanya instingnya saja sebagai seorang kekasih? Tapi, mengapa tepat sasaran."Apa kau menuduhku?"Sekarang, giliran Alice yang kelabakan. Bukan, bukan itu maksudnya. Sedari kemarin, mulutnya sudah gatal ingin menyampaikan perkataan seperti itu. Alice butuh kalimat dari Edward yang dapat menenangkannya dan menghapus segala spekulasi buruk yang berkecamuk di otaknya. Bukannya malah seperti ini."Tidak, Edward. Aku bukannya bermaksud untuk menuduhmu. Tapi, aku—""Apa kau sudah menganggapku gila telah mengencani adikku sendiri? Kau cemburu pada Rosie?" Rupanya, Edward sama sekali tidak membiarkan Alice mengutarakan maksudnya. Bukan, Edward bukan kesal sungguhan. Ia hanya ingin segera berakhir topik pembicaraan yang menyudutkann
"Kau ini cerewet sekali! Jika, kau ingin tahu apa yang akan aku ceritakan padamu, tunggulah pulang sekolah nanti, kita pergi ke tempat biasa.""Eyy, pergi kemana ni?"Mulut Claire yang sudah terbuka ingin menyangga ucapan Rosie kini kembali terkatup rapat ketika sosok pria tinggi tak di undang duduk di samping Rosie dengan tiga buah ice cream di tangannya."Tidak tahu tuh, Rosie. Dia sedang menyamar sebagai agen rahasia." Claire menyeletuk seraya mengambil satu buah ice cream rasa red velvet yang disodorkan David padanya lalu memakannya. Masih ada waktu lima belas menit lagi sebelum jam pelajaran pertama di mulai."Rahasia? Rahasia apa?" David yang mulai penasaran menatap Rosie dengan pandangan ingin tahu. Rosie memutar bola matanya malas. Sial, jika akan seperti ini ujungnya ia lebih baik memilih bungkam."Kau sedang ada masalah, Ros?" David kembali bertanya ketika Ros
Jam istirahat sudah berkumandang sejak lima menit yang lalu, tapi Rosie memilih untuk berdiam diri di dalam kelas dengan sebuah novel dan headset yang memutar lagu favoritnya. Di dalam ruang kelas hanya ada dia seorang diri, Claire sedang pergi ke kantin sekaligus ia menitip Roti dan jus mangga pada temannya itu."Kau sudah sam—"Merasa ada pergerakan di sampingnya, Rosie sontak menoleh dan malah menemukan David dengan senyuman manisnya. Rosie hanya mengurutkan keningnya. Pria di hadapannya ini adalah satu pria yang sangat digemari oleh gadis satu sekolah. Selain senyumannya yang memikat, David sangat handal dalam bermain bola basket yang di mana membentuk tubuhnya menjadi atletis, di tambah lagi dengan otaknya yang pintar, tercatat sudah dua kali David menjadi jajaran peringkat lima besar seangkatan."Ada apa?" Rosie memulai pertanyaan karena David yang seperti tidak biasanya, pria itu sedari tadi hanya tersenyum tidak
Alice tersenyum memandang Edward yang sedang minum di sampingnya. Bekal makan siang mereka sudah habis."Kau akan pergi kemana setelah ini?" tanya Alice. Edward hanya terdiam, niat awal pria itu ingin mengabari Rosie, tapi ponselnya malah tertinggal di rumah. Lantas, apa yang harus ia lakukan?"Aku tidak tahu.""Bagaimana kalau kita pergi ke kedai ice cream di depan kampus. Yang aku dengar mereka baru saja membukanya kemarin. Apa kau mau mencicipinya?"Edward terdiam sejenak namun tak lama mengangguk. Alice tersenyum lebar lalu mengusak rambut hitam Edward dengan lembut.Edward memang pria brengsek, ia tahu itu. Sudah memiliki Alice yang terlihat sangat menyayanginya, tapi ia malah bermain belakang dengan Rosie yang notabenenya adalah adiknya sendiri. Edward juga tak mungkin berbohong jika perasaanya pada Alice masih ada, tapi ia juga ingin Rosie menjadi miliknya. Egois memang, tap
"Wah, tidak jauh dari rumah. Kapan-kapan main ya ke rumah." Lidya terkekeh di akhir kalimatnya. Angel meringis dan Damian tersenyum kecil."Iya, Tante.""Siapa tahu, bisa menjadi menantu. Belum punya pacar, 'kan?"Angel sontak menatap Lidya dengan wajah terkejut namun setelah itu kembali melunak, terkekeh lalu menunduk. Kedua tangannya terkepal hingga jari kukunya kian memutih.***"Ella."Ella menoleh saat Samuel sudah berada di hadapannya dengan sekotak susu pisang."Ini, untukmu." Samuel menyodorkannya dan Ella dengan ragu mengambilnya."Terima kasih." cicit Ella pelan.Samuel tidak menjawab, anak itu langsung mengambil posisi di samping Ella seraya melanjutkan meminum susu pisangnya. Kini, sudah lima belas menit berlalu sejak bel istirahat berbunyi. Ella dan Samuel sedang duduk di santai di bangku taman seray
"Angel, kau apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada waktu luang? Bisa kita bicara sebentar?"Angel yang tidak tahu ingin berkata apa hanya mampu tersenyum kecil dan pasrah ketika tangannya di tarik begitu saja oleh Ibu Damian. Diam-diam, Damian merasakan tatapan tajam Angel yang siap membunuhnya.***Ella menghela napas lelah selepas turun dari mobil Rere. Padahal, niatnya hari ini dia tidak ingin masuk sekolah mengingat hal mengerikan lain yang mungkin saja bisa terjadi. Kemarin, seperti biasa dia selalu mendapat perlakuan yang menjengkelkan."Ella, tidak boleh cemberut begitu. Anak cantik harus tersenyum." Rere berujar dari balik kaca mobil.Ella hanya meliriknya sekilas lalu mengangguk. "I go to school, Aunty."Rere mengangguk, "I wiil pick you up later."Setelah Ella mengangguk barulah mobil Rere melesat menuju jalan ibu kota yang padat
"Aku berangkat dulu, ya." pamit Edward pada Rosie. Mengecup kening sang istri lalu beralih ke perut buncitnya."Sayang, jaga Ibu baik-baik, ya. Jangan nakal." Setelah itu, Edward juga meninggalkan kecupan untuk si jabang bayinya."Ayo, Ayah!" Rosie kembali terkekeh menyaksikan wajah lelah Edward."Aku sudah di tunggu Kak Eros di sekolah!" Samuel kembali bersuara, kali ini dengan menunjukkan jam tangan yang memiliki fungsi seperti ponsel, hadiah dari kakeknya."Iya, sebentar sayang.""Ya sudah, kamu berangkat. Hati-hati di jalan."Edward mengangguk, melemparkan senyum. "Baiklah."Lima menit kemudian, mobil yang di kendarai Edward melaju pergi, tersisa Samuel yang melambaikan tangannya pada Rosie sampai sang ibu hilang dari pandangannya.***David melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah setenga
"Kak Damian? Angel? Kalian saling kenal?" Rosie menatap sepasang pria dan wanita yang dia kenal di hadapannya. Edward sepertinya juga menatap heran keduanya dari pandangan mata.Damian yang semula berada berapa langkah di belakang Angel kini mulai berjalan hingga keduanya bersisihan."Ya, kami saling kenal. Kami pernah berpacaran semasa aku kuliah dulu." ungkap Damian secara gamblang dengan mudahnya. Sontak saja, itu memancing tiga pasang mata yang ada di sana menatap Damiam terkejut. Terlebih lagi Angel, rasanya bola mata gadis itu sebentar lagi akan melompat keluar jika tak sedetik kemudian Angel berkedip."Wah, kalian ternyata pernah berpacaran? Astaga, dunia ini benar-benar sempit." Edward berseru kalut, ikut mewakili Rosie yang juga terkejut mendengarnya.Damian hanya melemparkan tatapan tak berdosanya pada Angel seraya menampilkan senyuman terbaiknya. Sedan
"Kau masih menyukainya?"Angel membuang wajahnya tanpa sadar yang malah membuat Damian semakin yakin dengan persepsinya."Kau ada waktu sebentar di taman? Kebetulan, aku membawa makanan." Damian menunjukkan tentengan yang dia bawa, arah mata Angel mengikuti pergerakan tangan Damian.***"Kau sudah lama menjadi Dokter di sini?" Damian memulai pertanyaan seraya membuka bungkus roti yang dia bawa. Kebetulan, dia belum sarapan. Niatnya, dia ingin menjenguk Rosie dan Samuel, tapi saat dia ingin menjenguknya, dia malah menemukan sosok mantan kekasih yang sudah lama sekali tidak muncul di hadapannya. Sebuah kebetulan sekali.Ya, Damian dan Angel memang pernah memadu kasih bahkan Damian sudah mengenalkan Angel pada ayah dan ibunya. Kalian ingat saat hubungan Damian dan Rosie di tentang keras oleh kedua orang tua Damian? Bukan semata-mata hanya karena Rosie tidak memiliki Ayah dan latar bel
Pada awalnya, Rosie akan menduga bahwa Edward tidak bisa menerima Samuel sebagai anak pertamanya, tapi dugaannya salah ketika melihat senyuman Edward yang begitu tulus ketika kali pertamanya dia melihat Samuel. Hati Rosie juga ikut mencelos kala itu, merasa terharu dengan apa yang dia lihat.Edward yang merasa terusik dengan elusan di kepalanya kini perlahan mulai membuka matanya, dan langsung membeliak kaget ketika melihat wajah sang istri yang sudah kembali berseri."Kau sudah sadar? Bagaimana? Apa perutmu merasa sakit lagi?" Edward langsung mengecek keadaan Rosie, memutar tubuh sang istri, dia ingin memastikannya sendiri.Rosie tertawa geli menyadari sikap protektif Edward terhadapnya, "Aku tidak apa-apa, Edward. Aku baik-baik saja."Edward menaikkan satu alisnya, "Apa kau yakin?" Rosie tersenyum lalu mengangguk.Edward menghela napas lega, "Syukurlah
Rere berdehem dengan salah satu telunjuknya menyentuh dagu, terlihat berpikir. "Menurut Aunty, Si Bully ini seperti racun yang semakin lama akan semakin menggerogoti tubuh kita. Jadi, kita harus menghilangkan racun-racun itu. Jika, Ella merasa di rugikan maka Ella harus menjauh, Ella tidak boleh diam saja itu akan semakin membuat Ella meras lemah. Ella menjauh saja, tidak usah pedulikan apa yang dia bicarakan. Toh, mereka semakin lama akan bosan dan tidak akan mengganggu Ella lagi."Rupanya, ucapan Rere tadi belum berhasil mengundang senyuman di wajah Ella. "Tapi, aku tidak memiliki teman. Aku ingin memiliki teman seperti yang lain, Aunty."Rere mengelus punggung belakang Ella, "Ella tahu, 'kan? Kalau Ella belum lama ada di sini? Jadi, Ella memang harus beradaptasi dengan lingkungan Ella yang sekarang. Lingkungan Ella yang sekarang ini jauh berbeda dengan lingkungan Ella yang di Sydney. Aunty juga yakin pasti suatu saat Ella ak
"Kau sedang melihat apa?" tanya David yang setelah itu menegak minumannya."Aku sedang melihat anak-anak, Samuel dab Eros terlihat nampak dekat. Bahkan, Samuel sudah seperti adiknya sendiri. Apa kau tahu? Eros tidak seperti itu pada Zea dan Zelo, hanya pada Samuel dia seperti itu."David mengangkat kedua bahunya lalu bersandar pada senderan kursi di belakangnya seraya melebarkan kakinya, "Kurasa, Eros benar-benar sangat menyukai Samuel, dan Samuel juga sebaliknya. Dulu, Eros selalu bilang padaku, katanya seperti ini, aku juga ingin menjaga adikku tapi Zea sudah bersama dengan Zelo, selalu. Padahal, dia juga ingin seperti Zelo. Sedangkan, Zelo sepertinya juga bisa tanpanya. Mungkin, itulah yang menyababkan Eros sangat menyayangi Samuel."Alice mengangguk seraya tersenyum, "Kurasa begitu. Setidaknya, aku lega karena permasalahan harus berakhir seperti ini. Untung saja, takdir memang sudah di gariskan da
"Edward, kakiku lemas. Aku tidak bisa berjalan." lirih Rosie pelan tapi masih bisa di dengar oleh semua pasang telinga."Ibu! Ibu kenapa?" Samuel langsung menyeru ketika melihat wajah sang ibu yang pucat tapi masih bisa memaksakan senyum.Edward dengan siaga langsung menggendong tubuh Rosie, "Alice sebentar ya, tolong jaga anak-anak aku akan membawa Rosie ke ruangannya dan memanggil Dokter." Setelah itu, langkah Edward menghilang di balik pintu."Aku kasihan melihatnya." ujar Alice lirih. Sungguh, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia berada di posisi Rosie. Kandungannya yang mengalami flek dan anaknya yang habis terjatuh dari mainan bola dunia, benar-benar membuat Alice prustasi melihatnya."Tak apa, Rosie adalah gadis yang kuat." Alice mengangguk."Bibi Alice, Paman David. Ibu kenapa? Kenapa wajahnya sangat pucat sekali?" Samuel berkata dengan nada khawa