Alice tersenyum memandang Edward yang sedang minum di sampingnya. Bekal makan siang mereka sudah habis.
"Kau akan pergi kemana setelah ini?" tanya Alice. Edward hanya terdiam, niat awal pria itu ingin mengabari Rosie, tapi ponselnya malah tertinggal di rumah. Lantas, apa yang harus ia lakukan?
"Aku tidak tahu."
"Bagaimana kalau kita pergi ke kedai ice cream di depan kampus. Yang aku dengar mereka baru saja membukanya kemarin. Apa kau mau mencicipinya?"
Edward terdiam sejenak namun tak lama mengangguk. Alice tersenyum lebar lalu mengusak rambut hitam Edward dengan lembut.
Edward memang pria brengsek, ia tahu itu. Sudah memiliki Alice yang terlihat sangat menyayanginya, tapi ia malah bermain belakang dengan Rosie yang notabenenya adalah adiknya sendiri. Edward juga tak mungkin berbohong jika perasaanya pada Alice masih ada, tapi ia juga ingin Rosie menjadi miliknya. Egois memang, tap
Angin pantai berhembus dengan kencang, menyiurkan kesejukan yanh terlihat dari rambut gelombang Claire yang berterbangan dengan indah. Gadis itu tersenyum seraya memejamkan matanya. Rasanya, beban yang berada di pundaknya perlahan meluruh. Kejadian tadi di kedai ice cream bersama Edward perlahan mulai lenyap. Melihat hamparan air yang tak terbatas di hadapannya ini memang salah satu jitu penghilang stress ala Alice."Aku sangat mencintaimu, Edward." Alice berkata lirih seraya tersenyum. Alice perlahan sudah dapat menerima kesalahan Edward dalam memilih rasa tadi, bukankah lupa itu sangat manusiawi? Edward sudah semester akhir dan artinya banyak sekali tugas yang harus ia selesaikan, makanya pria itu kelelahan dan akhirnya tidak fokus. Dampak positif yang semoga menghasilkan kabar baik."Aku juga sangat mencintaimu, Alice." Edward datang dengan sebuah dua kaleng minuman dingin di tangannya. Tersenyum dan menyerahkannya pada Alice.
"Ros, maaf. Kita tidak bisa kumpul hari ini. Bagaimana jika besok? Ibuku bawel terus-menerus menyuruhku pulang." Claire cemberut seraya menatap layar ponselnya yang lagi-lagi menampilkan sebuah deretan pesan dari sang ibu dengan kalimat yang sama. Claire, kau harus cepat pulang sekarang. Huh.Rosie mengendus sebal, rasa gela yang sebenarnya ingin ia rasakan kembali masuk ke raganya, harus ia pending sampai besok.Rosie mengangguk. "Tak apa, Claire. Kau pulang saja duluan.""Baiklah, aku duluan, Rosie. Dah!" Claire berjalan keluar dari ruang kelas seraya melambaikan tangan pada Rosie.Rosie menyambutnya dengan senyuman lebar dan lambaian tangan juga lalu ia kembali membereskan buku-bukunya yang masih tergeletak di atas meja.Tadi, sang guru benar-benar memberikan pertanyaan pada Rosie. Gadis itu yang memang pada awalnya tidak fokus dan juga tidak mengerti apa-apa kelabakan. Rosie menggeledah buku mat
Dari arah berlawanan, sebuah motor berwarna merah melaju dan berhenti persis di depan mobil Edward. Rosie tertegun menyaksikan Edward yang sedang berciuman dengan Alice.Mendengar jika ada seseorang di sekeliling mereka dan juga suara raungan mesin motor membuat keduanya sontak melepaskan ciuman mereka, menoleh ke depan dan langsung mendapati Rosie yang baru saja turun dari motor entah siapa pemiliknya.Edward mengernyit, ini kali pertamanya Rosie diantar pulang oleh seorang pria selain dirinya. Tangan kanan Edward diam-diam mengepal kuat sampai kuku jarinya memutih, melihat Rosie yang sangat akrab dengan pria lain membuatnya naik pitam."Ah, siapa dia? Apa pacar baru, Rosie?" Alice bertanya dengan nada riang. Alice memang menunggu momen ini, menunggu Rosie yang memiliki kekasih, maka dengan begitu Rosie akan lebih menghabiskan banyak waktu dengan kekasihnya, seperti waktu ia dengan Edward. Satu lagi, agar Rosie tidak terlalu
"Edward."Edward yang baru saja ingin melangkah pergi kini kembali terhenti ketika sang ibu menyuarakan namanya."Ada apa, Bu?""Kata Alice, Rosie baru saja di antar pulang oleh seorang pria. Apa kau tahu siapa dia? Rosie pernah mengatakan sesuatu padamu?"Diam-diam, Edward menghela napasnya. Otaknya yang sudah seperti kubangan air keruh kini malah semakin bertambah keruh dengan pernyataan itu."Aku tidak tahu, Bu." Edward terkekeh, pria itu tengah berusaha menutupi wajahnya yang nampak gelisah.Nyonya Eliza mengangguk, "Baiklah, nanti kita tanyakan langsung pada Rosie. Ini kali pertamanya dia di antar oleh seorang pria dan Rosie juga menci—""Aku ke kamar dulu ya, Bu. Kau di sini sebentar ya, sayang." Edward tersenyum ke arah Alice lalu dengan cepat segera berlalu ke arah kamarnya.Alice tersenyum membalas perkataan Edward.
Denting jam yang berbunyi di atas sana menjadi teman Rosie malam ini. Pikirannya berkelana pada masa awal-awal ia bertemu dengan Edward, mereka bertengkar selayaknya Tom & Jerry yang tak pernah akur. Rosie mencoba menggoda Edward sebagai pembalasan dendam agar pria itu jatuh ke pelukannya. Jatuh memang, tapi Rosie yang lebih dulu termakan omongannya.Gadis itu mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang, menatap langit-langit kamar yang seolah seperti tampilan layar lebar yang menampilkan adegan demi adegan manisnya dengan Edward. Rosie tersenyum lebar, rasanya akan semakin manis jika hubungan mereka adalah hubungan sehat seperti pasangan muda pada umumnya, bukannya bermain kucing-kucingan seperti ini.Rosie yang terlalu asik melamun atau Edward yang sudah sangat handal memasuki kamar Rosie tanpa menimbulkan suara sampai-sampai gadis itu tidak menyadari jika sekarang objek melamunnya sudah berada tepat di sampingnya.
"Apa Ibu sudah pergi?" Rosie mengangguk seraya menggeser sedikit tubuhnya, memberi ruang pada Edward."Sampai kapan, Edward? Sampai kapan kita terus bermain kucing-kucingan seperti ini?" Rosie menunduk, ia sudah tidak tahan dengan semua kebohongan yang ia perbuat. Melihat wajah Ibunya yang sangat senang membuatnya semakin tidak tega. Tapi, akan lebih menyakitkan memang kalau ia dan Edward mengaku pada semuanya."Sabar, sayang." Edward memeluk tubuh Rosie dari samping menyandarkan kepala gadis itu ke dadanya lalu mengusapnya lembut.Tangan Edward perlahan menengadahkan wajah Rosie hingga mereka wajah mereka terlampau satu centi meter saja. Rosie terdiam, ia tidak melakukan apapun, menunggu Edward."Aku sangat mencintaimu, Rosie. Jangan membiarkan tubuhmu ini di sentuh dengan pria selain aku." Edward semakin mendekatkan wajah mereka hingga tak ada lagi jarak di antara keduanya. Edward dengan sigap langsung menga
"Hey, jangan cemberut seperti itu. Setelah aku selesai kampus aku akan mentraktirmu sushi di belakang kantor Ayah. Kita akan berangkat bersama ke sana. Bagaimana?"Edward tahu jika Rosie sangat menyukai salah satu makanan Jepang itu."Lalu, bagaimana dengan kekasihmu itu?""Dia akan pulang sendiri dengan driver online.""Baiklah." Edward menatap wajah Rosie dari kaca kecil di atas dashboard lalu terkekeh. Wajah Rosie yang tengah merajuk malah terlihat sangat imut di matanya.Mobil yang dikendarai Edward menempuh waktu lima belas menit untuk akhirnya sampai di depan rumah Alice. Rosie menghela napas, ia harus memulai aksi drama-nya lagi. Edward menoleh setelah menghidupkan beberapa kali klakson, tersenyum pada Rosie seolah bermaksud menenangkannya."Hai, Kak Alice." sapa Rosie ketika Alice sudah duduk di tempatnya."Oh, Hai Rosie! Maaf, sudah membua
"Ah iya, Alice." Edward langsung membuka percakapan ketika keduanya sudah tiba di kafetaria dan duduk di salah meja yang ada di sana."Ada apa?""Sepertinya, aku tidak bisa mengantarmu pulang nanti. Aku di sutuh Ayah untuk datang ke kantornya. Maafkan aku."Alice mengangguk-anggukkan kepalanya, "Baiklah, tak apa. Aku akan pulang menggunakan driver online seperti biasa.""Ya, maafkan aku. Ini mendadak."Alice tersenyum lalu mengangguk, "Sebentar, aku akan pesan makanan."Edward menatap punggung Alice, sekiranya sudah sedikit jauh, Edward mulai mengeluarkan ponselnya dan mengetikan pesan pada Rosie jika ia sebentar lagi akan datang menjemputnya.***Rosie menatap hamparan rumput di depannya dengan kosong. Kini, jam istirahat kedua sudah berbunyi sejak lima belas menit lalu, tapi Rosie lebih menyukai suasana halaman belakang sekolah yang dipenuhi rumput, di sini senya
"Wah, tidak jauh dari rumah. Kapan-kapan main ya ke rumah." Lidya terkekeh di akhir kalimatnya. Angel meringis dan Damian tersenyum kecil."Iya, Tante.""Siapa tahu, bisa menjadi menantu. Belum punya pacar, 'kan?"Angel sontak menatap Lidya dengan wajah terkejut namun setelah itu kembali melunak, terkekeh lalu menunduk. Kedua tangannya terkepal hingga jari kukunya kian memutih.***"Ella."Ella menoleh saat Samuel sudah berada di hadapannya dengan sekotak susu pisang."Ini, untukmu." Samuel menyodorkannya dan Ella dengan ragu mengambilnya."Terima kasih." cicit Ella pelan.Samuel tidak menjawab, anak itu langsung mengambil posisi di samping Ella seraya melanjutkan meminum susu pisangnya. Kini, sudah lima belas menit berlalu sejak bel istirahat berbunyi. Ella dan Samuel sedang duduk di santai di bangku taman seray
"Angel, kau apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada waktu luang? Bisa kita bicara sebentar?"Angel yang tidak tahu ingin berkata apa hanya mampu tersenyum kecil dan pasrah ketika tangannya di tarik begitu saja oleh Ibu Damian. Diam-diam, Damian merasakan tatapan tajam Angel yang siap membunuhnya.***Ella menghela napas lelah selepas turun dari mobil Rere. Padahal, niatnya hari ini dia tidak ingin masuk sekolah mengingat hal mengerikan lain yang mungkin saja bisa terjadi. Kemarin, seperti biasa dia selalu mendapat perlakuan yang menjengkelkan."Ella, tidak boleh cemberut begitu. Anak cantik harus tersenyum." Rere berujar dari balik kaca mobil.Ella hanya meliriknya sekilas lalu mengangguk. "I go to school, Aunty."Rere mengangguk, "I wiil pick you up later."Setelah Ella mengangguk barulah mobil Rere melesat menuju jalan ibu kota yang padat
"Aku berangkat dulu, ya." pamit Edward pada Rosie. Mengecup kening sang istri lalu beralih ke perut buncitnya."Sayang, jaga Ibu baik-baik, ya. Jangan nakal." Setelah itu, Edward juga meninggalkan kecupan untuk si jabang bayinya."Ayo, Ayah!" Rosie kembali terkekeh menyaksikan wajah lelah Edward."Aku sudah di tunggu Kak Eros di sekolah!" Samuel kembali bersuara, kali ini dengan menunjukkan jam tangan yang memiliki fungsi seperti ponsel, hadiah dari kakeknya."Iya, sebentar sayang.""Ya sudah, kamu berangkat. Hati-hati di jalan."Edward mengangguk, melemparkan senyum. "Baiklah."Lima menit kemudian, mobil yang di kendarai Edward melaju pergi, tersisa Samuel yang melambaikan tangannya pada Rosie sampai sang ibu hilang dari pandangannya.***David melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah setenga
"Kak Damian? Angel? Kalian saling kenal?" Rosie menatap sepasang pria dan wanita yang dia kenal di hadapannya. Edward sepertinya juga menatap heran keduanya dari pandangan mata.Damian yang semula berada berapa langkah di belakang Angel kini mulai berjalan hingga keduanya bersisihan."Ya, kami saling kenal. Kami pernah berpacaran semasa aku kuliah dulu." ungkap Damian secara gamblang dengan mudahnya. Sontak saja, itu memancing tiga pasang mata yang ada di sana menatap Damiam terkejut. Terlebih lagi Angel, rasanya bola mata gadis itu sebentar lagi akan melompat keluar jika tak sedetik kemudian Angel berkedip."Wah, kalian ternyata pernah berpacaran? Astaga, dunia ini benar-benar sempit." Edward berseru kalut, ikut mewakili Rosie yang juga terkejut mendengarnya.Damian hanya melemparkan tatapan tak berdosanya pada Angel seraya menampilkan senyuman terbaiknya. Sedan
"Kau masih menyukainya?"Angel membuang wajahnya tanpa sadar yang malah membuat Damian semakin yakin dengan persepsinya."Kau ada waktu sebentar di taman? Kebetulan, aku membawa makanan." Damian menunjukkan tentengan yang dia bawa, arah mata Angel mengikuti pergerakan tangan Damian.***"Kau sudah lama menjadi Dokter di sini?" Damian memulai pertanyaan seraya membuka bungkus roti yang dia bawa. Kebetulan, dia belum sarapan. Niatnya, dia ingin menjenguk Rosie dan Samuel, tapi saat dia ingin menjenguknya, dia malah menemukan sosok mantan kekasih yang sudah lama sekali tidak muncul di hadapannya. Sebuah kebetulan sekali.Ya, Damian dan Angel memang pernah memadu kasih bahkan Damian sudah mengenalkan Angel pada ayah dan ibunya. Kalian ingat saat hubungan Damian dan Rosie di tentang keras oleh kedua orang tua Damian? Bukan semata-mata hanya karena Rosie tidak memiliki Ayah dan latar bel
Pada awalnya, Rosie akan menduga bahwa Edward tidak bisa menerima Samuel sebagai anak pertamanya, tapi dugaannya salah ketika melihat senyuman Edward yang begitu tulus ketika kali pertamanya dia melihat Samuel. Hati Rosie juga ikut mencelos kala itu, merasa terharu dengan apa yang dia lihat.Edward yang merasa terusik dengan elusan di kepalanya kini perlahan mulai membuka matanya, dan langsung membeliak kaget ketika melihat wajah sang istri yang sudah kembali berseri."Kau sudah sadar? Bagaimana? Apa perutmu merasa sakit lagi?" Edward langsung mengecek keadaan Rosie, memutar tubuh sang istri, dia ingin memastikannya sendiri.Rosie tertawa geli menyadari sikap protektif Edward terhadapnya, "Aku tidak apa-apa, Edward. Aku baik-baik saja."Edward menaikkan satu alisnya, "Apa kau yakin?" Rosie tersenyum lalu mengangguk.Edward menghela napas lega, "Syukurlah
Rere berdehem dengan salah satu telunjuknya menyentuh dagu, terlihat berpikir. "Menurut Aunty, Si Bully ini seperti racun yang semakin lama akan semakin menggerogoti tubuh kita. Jadi, kita harus menghilangkan racun-racun itu. Jika, Ella merasa di rugikan maka Ella harus menjauh, Ella tidak boleh diam saja itu akan semakin membuat Ella meras lemah. Ella menjauh saja, tidak usah pedulikan apa yang dia bicarakan. Toh, mereka semakin lama akan bosan dan tidak akan mengganggu Ella lagi."Rupanya, ucapan Rere tadi belum berhasil mengundang senyuman di wajah Ella. "Tapi, aku tidak memiliki teman. Aku ingin memiliki teman seperti yang lain, Aunty."Rere mengelus punggung belakang Ella, "Ella tahu, 'kan? Kalau Ella belum lama ada di sini? Jadi, Ella memang harus beradaptasi dengan lingkungan Ella yang sekarang. Lingkungan Ella yang sekarang ini jauh berbeda dengan lingkungan Ella yang di Sydney. Aunty juga yakin pasti suatu saat Ella ak
"Kau sedang melihat apa?" tanya David yang setelah itu menegak minumannya."Aku sedang melihat anak-anak, Samuel dab Eros terlihat nampak dekat. Bahkan, Samuel sudah seperti adiknya sendiri. Apa kau tahu? Eros tidak seperti itu pada Zea dan Zelo, hanya pada Samuel dia seperti itu."David mengangkat kedua bahunya lalu bersandar pada senderan kursi di belakangnya seraya melebarkan kakinya, "Kurasa, Eros benar-benar sangat menyukai Samuel, dan Samuel juga sebaliknya. Dulu, Eros selalu bilang padaku, katanya seperti ini, aku juga ingin menjaga adikku tapi Zea sudah bersama dengan Zelo, selalu. Padahal, dia juga ingin seperti Zelo. Sedangkan, Zelo sepertinya juga bisa tanpanya. Mungkin, itulah yang menyababkan Eros sangat menyayangi Samuel."Alice mengangguk seraya tersenyum, "Kurasa begitu. Setidaknya, aku lega karena permasalahan harus berakhir seperti ini. Untung saja, takdir memang sudah di gariskan da
"Edward, kakiku lemas. Aku tidak bisa berjalan." lirih Rosie pelan tapi masih bisa di dengar oleh semua pasang telinga."Ibu! Ibu kenapa?" Samuel langsung menyeru ketika melihat wajah sang ibu yang pucat tapi masih bisa memaksakan senyum.Edward dengan siaga langsung menggendong tubuh Rosie, "Alice sebentar ya, tolong jaga anak-anak aku akan membawa Rosie ke ruangannya dan memanggil Dokter." Setelah itu, langkah Edward menghilang di balik pintu."Aku kasihan melihatnya." ujar Alice lirih. Sungguh, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia berada di posisi Rosie. Kandungannya yang mengalami flek dan anaknya yang habis terjatuh dari mainan bola dunia, benar-benar membuat Alice prustasi melihatnya."Tak apa, Rosie adalah gadis yang kuat." Alice mengangguk."Bibi Alice, Paman David. Ibu kenapa? Kenapa wajahnya sangat pucat sekali?" Samuel berkata dengan nada khawa