Angin pantai berhembus dengan kencang, menyiurkan kesejukan yanh terlihat dari rambut gelombang Claire yang berterbangan dengan indah. Gadis itu tersenyum seraya memejamkan matanya. Rasanya, beban yang berada di pundaknya perlahan meluruh. Kejadian tadi di kedai ice cream bersama Edward perlahan mulai lenyap. Melihat hamparan air yang tak terbatas di hadapannya ini memang salah satu jitu penghilang stress ala Alice.
"Aku sangat mencintaimu, Edward." Alice berkata lirih seraya tersenyum. Alice perlahan sudah dapat menerima kesalahan Edward dalam memilih rasa tadi, bukankah lupa itu sangat manusiawi? Edward sudah semester akhir dan artinya banyak sekali tugas yang harus ia selesaikan, makanya pria itu kelelahan dan akhirnya tidak fokus. Dampak positif yang semoga menghasilkan kabar baik.
"Aku juga sangat mencintaimu, Alice." Edward datang dengan sebuah dua kaleng minuman dingin di tangannya. Tersenyum dan menyerahkannya pada Alice.
<
"Ros, maaf. Kita tidak bisa kumpul hari ini. Bagaimana jika besok? Ibuku bawel terus-menerus menyuruhku pulang." Claire cemberut seraya menatap layar ponselnya yang lagi-lagi menampilkan sebuah deretan pesan dari sang ibu dengan kalimat yang sama. Claire, kau harus cepat pulang sekarang. Huh.Rosie mengendus sebal, rasa gela yang sebenarnya ingin ia rasakan kembali masuk ke raganya, harus ia pending sampai besok.Rosie mengangguk. "Tak apa, Claire. Kau pulang saja duluan.""Baiklah, aku duluan, Rosie. Dah!" Claire berjalan keluar dari ruang kelas seraya melambaikan tangan pada Rosie.Rosie menyambutnya dengan senyuman lebar dan lambaian tangan juga lalu ia kembali membereskan buku-bukunya yang masih tergeletak di atas meja.Tadi, sang guru benar-benar memberikan pertanyaan pada Rosie. Gadis itu yang memang pada awalnya tidak fokus dan juga tidak mengerti apa-apa kelabakan. Rosie menggeledah buku mat
Dari arah berlawanan, sebuah motor berwarna merah melaju dan berhenti persis di depan mobil Edward. Rosie tertegun menyaksikan Edward yang sedang berciuman dengan Alice.Mendengar jika ada seseorang di sekeliling mereka dan juga suara raungan mesin motor membuat keduanya sontak melepaskan ciuman mereka, menoleh ke depan dan langsung mendapati Rosie yang baru saja turun dari motor entah siapa pemiliknya.Edward mengernyit, ini kali pertamanya Rosie diantar pulang oleh seorang pria selain dirinya. Tangan kanan Edward diam-diam mengepal kuat sampai kuku jarinya memutih, melihat Rosie yang sangat akrab dengan pria lain membuatnya naik pitam."Ah, siapa dia? Apa pacar baru, Rosie?" Alice bertanya dengan nada riang. Alice memang menunggu momen ini, menunggu Rosie yang memiliki kekasih, maka dengan begitu Rosie akan lebih menghabiskan banyak waktu dengan kekasihnya, seperti waktu ia dengan Edward. Satu lagi, agar Rosie tidak terlalu
"Edward."Edward yang baru saja ingin melangkah pergi kini kembali terhenti ketika sang ibu menyuarakan namanya."Ada apa, Bu?""Kata Alice, Rosie baru saja di antar pulang oleh seorang pria. Apa kau tahu siapa dia? Rosie pernah mengatakan sesuatu padamu?"Diam-diam, Edward menghela napasnya. Otaknya yang sudah seperti kubangan air keruh kini malah semakin bertambah keruh dengan pernyataan itu."Aku tidak tahu, Bu." Edward terkekeh, pria itu tengah berusaha menutupi wajahnya yang nampak gelisah.Nyonya Eliza mengangguk, "Baiklah, nanti kita tanyakan langsung pada Rosie. Ini kali pertamanya dia di antar oleh seorang pria dan Rosie juga menci—""Aku ke kamar dulu ya, Bu. Kau di sini sebentar ya, sayang." Edward tersenyum ke arah Alice lalu dengan cepat segera berlalu ke arah kamarnya.Alice tersenyum membalas perkataan Edward.
Denting jam yang berbunyi di atas sana menjadi teman Rosie malam ini. Pikirannya berkelana pada masa awal-awal ia bertemu dengan Edward, mereka bertengkar selayaknya Tom & Jerry yang tak pernah akur. Rosie mencoba menggoda Edward sebagai pembalasan dendam agar pria itu jatuh ke pelukannya. Jatuh memang, tapi Rosie yang lebih dulu termakan omongannya.Gadis itu mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang, menatap langit-langit kamar yang seolah seperti tampilan layar lebar yang menampilkan adegan demi adegan manisnya dengan Edward. Rosie tersenyum lebar, rasanya akan semakin manis jika hubungan mereka adalah hubungan sehat seperti pasangan muda pada umumnya, bukannya bermain kucing-kucingan seperti ini.Rosie yang terlalu asik melamun atau Edward yang sudah sangat handal memasuki kamar Rosie tanpa menimbulkan suara sampai-sampai gadis itu tidak menyadari jika sekarang objek melamunnya sudah berada tepat di sampingnya.
"Apa Ibu sudah pergi?" Rosie mengangguk seraya menggeser sedikit tubuhnya, memberi ruang pada Edward."Sampai kapan, Edward? Sampai kapan kita terus bermain kucing-kucingan seperti ini?" Rosie menunduk, ia sudah tidak tahan dengan semua kebohongan yang ia perbuat. Melihat wajah Ibunya yang sangat senang membuatnya semakin tidak tega. Tapi, akan lebih menyakitkan memang kalau ia dan Edward mengaku pada semuanya."Sabar, sayang." Edward memeluk tubuh Rosie dari samping menyandarkan kepala gadis itu ke dadanya lalu mengusapnya lembut.Tangan Edward perlahan menengadahkan wajah Rosie hingga mereka wajah mereka terlampau satu centi meter saja. Rosie terdiam, ia tidak melakukan apapun, menunggu Edward."Aku sangat mencintaimu, Rosie. Jangan membiarkan tubuhmu ini di sentuh dengan pria selain aku." Edward semakin mendekatkan wajah mereka hingga tak ada lagi jarak di antara keduanya. Edward dengan sigap langsung menga
"Hey, jangan cemberut seperti itu. Setelah aku selesai kampus aku akan mentraktirmu sushi di belakang kantor Ayah. Kita akan berangkat bersama ke sana. Bagaimana?"Edward tahu jika Rosie sangat menyukai salah satu makanan Jepang itu."Lalu, bagaimana dengan kekasihmu itu?""Dia akan pulang sendiri dengan driver online.""Baiklah." Edward menatap wajah Rosie dari kaca kecil di atas dashboard lalu terkekeh. Wajah Rosie yang tengah merajuk malah terlihat sangat imut di matanya.Mobil yang dikendarai Edward menempuh waktu lima belas menit untuk akhirnya sampai di depan rumah Alice. Rosie menghela napas, ia harus memulai aksi drama-nya lagi. Edward menoleh setelah menghidupkan beberapa kali klakson, tersenyum pada Rosie seolah bermaksud menenangkannya."Hai, Kak Alice." sapa Rosie ketika Alice sudah duduk di tempatnya."Oh, Hai Rosie! Maaf, sudah membua
"Ah iya, Alice." Edward langsung membuka percakapan ketika keduanya sudah tiba di kafetaria dan duduk di salah meja yang ada di sana."Ada apa?""Sepertinya, aku tidak bisa mengantarmu pulang nanti. Aku di sutuh Ayah untuk datang ke kantornya. Maafkan aku."Alice mengangguk-anggukkan kepalanya, "Baiklah, tak apa. Aku akan pulang menggunakan driver online seperti biasa.""Ya, maafkan aku. Ini mendadak."Alice tersenyum lalu mengangguk, "Sebentar, aku akan pesan makanan."Edward menatap punggung Alice, sekiranya sudah sedikit jauh, Edward mulai mengeluarkan ponselnya dan mengetikan pesan pada Rosie jika ia sebentar lagi akan datang menjemputnya.***Rosie menatap hamparan rumput di depannya dengan kosong. Kini, jam istirahat kedua sudah berbunyi sejak lima belas menit lalu, tapi Rosie lebih menyukai suasana halaman belakang sekolah yang dipenuhi rumput, di sini senya
Setelah, mobil Edward sudah menghilang membaur dengan kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya barulah Alice berbalik, tapi pemandangan tak mengenakan langsung ia dapati. Di ujung lorong sana, tepatnya di bawah pohon rimbun terdapat seorang pria dan seorang gadis yang tengah beradu cekcok. Tempatnya sangat terpencil hingga tidak terlalu terjangkau oleh para mahasiswa lain.Alice menutup mulutnya dengan kedua tangan ketika melihat sang pria itu menampar gadis di depannya sampai ia terjatuh. Sontak saja, jiwa kemanusiaannya langsung mendorongnya agar segera berlari ke arah sana."Stop! Sudah, hentikan!" Alice berteriak, berdiri persis di depan gadis berambut pirang itu yang keadaannya sudah sangat kacau, bahkan di sudur bibirnya dan tulang pipinya sudah mengeluarkan bercak darah."Siapa kau? Menyingkirlah! Aku tidak punya urusan denganmu!" cerca pria tinggi di hadapannya ini dengan tatapan murka.Alice