"Edward."
Edward yang baru saja ingin melangkah pergi kini kembali terhenti ketika sang ibu menyuarakan namanya.
"Ada apa, Bu?"
"Kata Alice, Rosie baru saja di antar pulang oleh seorang pria. Apa kau tahu siapa dia? Rosie pernah mengatakan sesuatu padamu?"
Diam-diam, Edward menghela napasnya. Otaknya yang sudah seperti kubangan air keruh kini malah semakin bertambah keruh dengan pernyataan itu.
"Aku tidak tahu, Bu." Edward terkekeh, pria itu tengah berusaha menutupi wajahnya yang nampak gelisah.
Nyonya Eliza mengangguk, "Baiklah, nanti kita tanyakan langsung pada Rosie. Ini kali pertamanya dia di antar oleh seorang pria dan Rosie juga menci—"
"Aku ke kamar dulu ya, Bu. Kau di sini sebentar ya, sayang." Edward tersenyum ke arah Alice lalu dengan cepat segera berlalu ke arah kamarnya.
Alice tersenyum membalas perkataan Edward.
Denting jam yang berbunyi di atas sana menjadi teman Rosie malam ini. Pikirannya berkelana pada masa awal-awal ia bertemu dengan Edward, mereka bertengkar selayaknya Tom & Jerry yang tak pernah akur. Rosie mencoba menggoda Edward sebagai pembalasan dendam agar pria itu jatuh ke pelukannya. Jatuh memang, tapi Rosie yang lebih dulu termakan omongannya.Gadis itu mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang, menatap langit-langit kamar yang seolah seperti tampilan layar lebar yang menampilkan adegan demi adegan manisnya dengan Edward. Rosie tersenyum lebar, rasanya akan semakin manis jika hubungan mereka adalah hubungan sehat seperti pasangan muda pada umumnya, bukannya bermain kucing-kucingan seperti ini.Rosie yang terlalu asik melamun atau Edward yang sudah sangat handal memasuki kamar Rosie tanpa menimbulkan suara sampai-sampai gadis itu tidak menyadari jika sekarang objek melamunnya sudah berada tepat di sampingnya.
"Apa Ibu sudah pergi?" Rosie mengangguk seraya menggeser sedikit tubuhnya, memberi ruang pada Edward."Sampai kapan, Edward? Sampai kapan kita terus bermain kucing-kucingan seperti ini?" Rosie menunduk, ia sudah tidak tahan dengan semua kebohongan yang ia perbuat. Melihat wajah Ibunya yang sangat senang membuatnya semakin tidak tega. Tapi, akan lebih menyakitkan memang kalau ia dan Edward mengaku pada semuanya."Sabar, sayang." Edward memeluk tubuh Rosie dari samping menyandarkan kepala gadis itu ke dadanya lalu mengusapnya lembut.Tangan Edward perlahan menengadahkan wajah Rosie hingga mereka wajah mereka terlampau satu centi meter saja. Rosie terdiam, ia tidak melakukan apapun, menunggu Edward."Aku sangat mencintaimu, Rosie. Jangan membiarkan tubuhmu ini di sentuh dengan pria selain aku." Edward semakin mendekatkan wajah mereka hingga tak ada lagi jarak di antara keduanya. Edward dengan sigap langsung menga
"Hey, jangan cemberut seperti itu. Setelah aku selesai kampus aku akan mentraktirmu sushi di belakang kantor Ayah. Kita akan berangkat bersama ke sana. Bagaimana?"Edward tahu jika Rosie sangat menyukai salah satu makanan Jepang itu."Lalu, bagaimana dengan kekasihmu itu?""Dia akan pulang sendiri dengan driver online.""Baiklah." Edward menatap wajah Rosie dari kaca kecil di atas dashboard lalu terkekeh. Wajah Rosie yang tengah merajuk malah terlihat sangat imut di matanya.Mobil yang dikendarai Edward menempuh waktu lima belas menit untuk akhirnya sampai di depan rumah Alice. Rosie menghela napas, ia harus memulai aksi drama-nya lagi. Edward menoleh setelah menghidupkan beberapa kali klakson, tersenyum pada Rosie seolah bermaksud menenangkannya."Hai, Kak Alice." sapa Rosie ketika Alice sudah duduk di tempatnya."Oh, Hai Rosie! Maaf, sudah membua
"Ah iya, Alice." Edward langsung membuka percakapan ketika keduanya sudah tiba di kafetaria dan duduk di salah meja yang ada di sana."Ada apa?""Sepertinya, aku tidak bisa mengantarmu pulang nanti. Aku di sutuh Ayah untuk datang ke kantornya. Maafkan aku."Alice mengangguk-anggukkan kepalanya, "Baiklah, tak apa. Aku akan pulang menggunakan driver online seperti biasa.""Ya, maafkan aku. Ini mendadak."Alice tersenyum lalu mengangguk, "Sebentar, aku akan pesan makanan."Edward menatap punggung Alice, sekiranya sudah sedikit jauh, Edward mulai mengeluarkan ponselnya dan mengetikan pesan pada Rosie jika ia sebentar lagi akan datang menjemputnya.***Rosie menatap hamparan rumput di depannya dengan kosong. Kini, jam istirahat kedua sudah berbunyi sejak lima belas menit lalu, tapi Rosie lebih menyukai suasana halaman belakang sekolah yang dipenuhi rumput, di sini senya
Setelah, mobil Edward sudah menghilang membaur dengan kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya barulah Alice berbalik, tapi pemandangan tak mengenakan langsung ia dapati. Di ujung lorong sana, tepatnya di bawah pohon rimbun terdapat seorang pria dan seorang gadis yang tengah beradu cekcok. Tempatnya sangat terpencil hingga tidak terlalu terjangkau oleh para mahasiswa lain.Alice menutup mulutnya dengan kedua tangan ketika melihat sang pria itu menampar gadis di depannya sampai ia terjatuh. Sontak saja, jiwa kemanusiaannya langsung mendorongnya agar segera berlari ke arah sana."Stop! Sudah, hentikan!" Alice berteriak, berdiri persis di depan gadis berambut pirang itu yang keadaannya sudah sangat kacau, bahkan di sudur bibirnya dan tulang pipinya sudah mengeluarkan bercak darah."Siapa kau? Menyingkirlah! Aku tidak punya urusan denganmu!" cerca pria tinggi di hadapannya ini dengan tatapan murka.Alice
Genki Sushi.Sebuah nama salah satu restoran terkenal di Ibu Kota. Restoran ini memberikan banyak hidangan macam sushi yang unik dan ramah kantong. Harganya yang cukup murah meriah, menjadi nilai plus bagi restoran Jepang yang satu ini.Tak hanya itu, interior restorannya pun sangatlah keren dibalut hiasan-hiasan khas Jepang yang kental. Genki sushi menjadi salah satu restoran yang menyediakan layanan secara self servicenya menggunakan gadget yang disediakan. Setiap makanan yang dipesan, akan diantar oleh kereta mainan yang lucu dan unik.Rosie menatap lapar pada banyaknya varian Sushi di depannya. Edward memesan hidangan yang hampir semua adalah kesukaannya. Tak menunggu lama lagi, Rosie langsung melahapnya, merasakan sensasi daging ikan yang lembut di mulutnya.Edward terkekeh, Rosie dengan makanan adalah satu paket komplit yang sangat menghibur. Pipi mulus itu mengembung karena ia sudah berhasil memasukan lima je
Tiba-tiba saja, interaksinya dengan Edward terlintas di otaknya. Berawal dari semuanya berasal, Rosie yang mengatakan ingin membuat Edward jatuh ke dalam pesonanya malah ia yang termakan jebakan sendiri. Rosie tahu, hubungannya dengan sang kakak bukanlah hubungan yang sehat. Hubungan mereka dilandasi dengan menyakiti beberapa pihak seperti orang tua mereka dan juga Alice. ingin mengakhiri Tapi, entah mengapa rasanya sangat sulit.Ponselnya kembali berdering, Rosie dengan sekuat tenaga mengambil ponselnya dan tertera nama Claire di sana. Gadis itu langsung mengangkatnya."Aku sudah sampai.""Baiklah."Dengan susah payah, Rosie menyeret langkahnya keluar dari bilik kamar mandi. Untung saja, darah yang semula mengalir diatas dipergelangan tangannya kini sudah mulai reda. Dengan cepat, sebelum ia ketahuan oleh Edward dan sang ayah, Rosie sedikit berlari menuju lobby kantor. Barulah ketika melihat tubuh Clair
Setiap menit berlalu, selama mereka semua membicarakan tentang pernikahan Edward dan Alice, Rosie tengah berusaha agar tetap diam di sana. Di balik sikap tenangnya dengan sesekali ikut memberi tanggapan, gadis cantik itu tengah berusaha menutupi gemuruh hatinya yang setiap kali mereka membahas tentang pernikahan itu. Jika, Rosie memilih egois, ia akan secara gamblang memberitahu semua orang tentang hubungannya dengan Edward. Tapi, Rosie tidak sanggup. ."Menurutku, akan lebih baik jika konsep pernikahan mereka menggunakan konsep Rustic. Kita bisa memilih beberapa warna kalem saja, Misalnya saja warna pink atau warna pastel lainnya, coklat, dan bunga-bunga dengan warna yang senada. Di tambah lagi dengan unsur kayu-kayu atau ranting pohon, daun-daun kering dan juga lampu yang menggantung. Itu menjadikan suasana—""Uhuk.. Uhuk..." Suara batuk Rosie membuat percakapan yang sedang asik itu sontak saja terhenti. Edward langsung bangkit, menyambar minuman